Anda di halaman 1dari 10

BAB I

A. Konsep Laparoscopy Cholelithiasis


1. Definisi
a. Cholelitiasis
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-
duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu
material mirip batu di dalam kandung empedu atau saluran empedu.
Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam
empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam
kandung empedu bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu
coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.
Lokasi batu empedu bisa bermacam–macam yakni di
kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, ampula vateri,
di dalam hati. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk
seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati.
Empedu yangdisekresi secara terus menerus oleh hati masuk
kesaluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar
yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus
kanan dan kiri yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang,duktus
koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula
vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua
saluran dan ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal
sebagai sfingter oddi.
b. Laparoscopy
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally
invasive dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga
peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan
organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam
rongga peritoneum tersebut.Teknik laparoskopi atau pembedahan
minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan.
Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di
awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai California AS
mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun
kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto
Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu
dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang
pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi
prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di
beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di
Indonesia.
Beberapa keuntungan dari tindakan laparascopy ini antara
lain :
1) Nyeri pasca bedah jauh lebih ringan
2) Membantu menegakkan diagnosa lebih akurat
3) Proses pemulihan lebih cepat
4) Rawat inap lebih singkat
5) Luka bekas operasi lebih kecil

Posisi pasien operasi Laparascopy Chole adalah pasien tidur


terlentang dalam posisi anti trendelenburg, miring kekiri 30°
kearah operator, operator berada disebelah kiri pasien, asisten dan
instrumen sebelah kanan pasien
2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna
namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa factor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu
empedu dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone
esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitis
pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih
cenderung untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan orang
usia yang lebih muda
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan
dengan tingginy BMI maka kadar kolesterol dalam kandung
empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta
mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti
setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap
unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai
resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadi batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung
empedu lebih sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu
empedu adalah crhon disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma,
dan ileus paralitik
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung
empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada
makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
3. Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di
klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu
kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90 % batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol)
atau batu campuran ( batu yang mengandung 20-50% kolesterol). 10 %
sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20%
kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain
adalah keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung empedu
yang tidak sempurna dan kosentrasi kalsium dalam kandung
empedu.Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi
bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk
nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung
empedu, kemudian lama kelamaan tersebut bertambah ukuran,
beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor motilitas kandung
empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu
campuran.
4. Manifestasi Klinis
b. Nyeri daerah midepigastrium
c. Mual dan muntah
d. Tachycardia
e. Diaphoresis
f. Demam
g. Flatus, rasa beban epigastrium, heart burn
h. Nyeri abdominal atas kronik
i. Jaundice
1. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
a. Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi
superinfeksi empedu yang tersumbat disertai kuman kuman
pembentuk pus.
b. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sitikus.
c. Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding
dan nekrosis jaringan berbercak atau total.
d. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi
bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar
30%.
e. Pembentukan fistula
f. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan
oleh lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus.
g. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.
2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen


Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika
terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya
15% hingga 20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

b. Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral
sebagai prosedur diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat digunakan pada
penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan
pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksaan
USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koledokus yang mengalami dilatasi. Dilaporkan bahwa USG
mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.
c. Pemeriksaan Radionuklida atau Koleskintografi
Koleskintografi telah berhasil dalam membantu
menegakkan diagnosis kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat
radioaktif disuntikkan melalui intravena. Preparat ini kemudian
diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam
system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu
untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan
bilier. Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG, memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mengerjakannya, membuat pasien
terpajan sinar radiasi, dan tidak dapat mendeteksi batu empedu.
Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus yang dengan
pemeriksaan USG, diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
d. Kolesistografi.
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai
pemeriksaan pilihan, kolesistografi masih digunakan jika alat USG
tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral
dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
Media kontras yang mengandung iodium yang diekskresikan oleh
hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada
pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan
tampak pada foto rontgen.
Preparat yang diberikan sebagai bahan kontras mencakup
asam iopanoat (Telepaque), iodipamie meglumine (Cholografin)
dan sodium ipodat (Oragrafin). Semua preparat ini diberikan dalam
dosis oral, 10-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan sinar-X.
sesudah diberikan preparat kontras, pasien tidak boleh
mengkonsumsi apapun untuk mencegah kontraksi dan untuk
pengosongan kandung empedu.
Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia mempunyai
riwayat alergi terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada
riwayat alergi, pasien mendapat preparat kontras oral pada malam
harinya sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan. Foto rontgen
mula-mula dibuat pada abdomen kuadaran kanan atas. Apabila
kandung empedu tampak terisi dan dapat mengosongkan isinya
secara normal serta tidak mengandung batu, kita dapat
menyimpulkan bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu.
Apabila terjadi penyakit kandung empedu, maka kandung empedu
tersebut mungkin tidak terlihat karena adanya obstruksi oleh batu
empedu. Pengulangan pembuatan kolesistogram oral dengan
pemberian preparat kontras yang kedua mungkin diperlukan jika
kandung empedu pada pemeriksaan pertama tidak tampak.
Kolesistografi pada pasien yang jelas tampak ikterik tidak
akan memberikan hasil yang bermanfaat karena hati tidak dapat
mengekskresikan bahan kontras radiopaque kedalam kandung
empedu pada pasien ikterik. Pemeriksaan kolesistografi oral
kemungkinan besar akan diteruskan sebagai bagian dari evaluasi
terhadap pasien yang telah mendapatkan terapi pelarutan batu
empedu.

3. Penatalaksanaan Medis
Laparoscopy cholelitiasis diindikasikan pada pasien simtomatis
yang terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi
laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open
Cholesistektomi.Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada
cholesistektomi yaitu: laparoscopic cholesistektomi menggabungkan
manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di
rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas
normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan terbatas,
dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik
open laparotomi.
Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi
setelah laparoskopi dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila
terjadi pendarahan perlu dilakukan laparotomi.. Kontra indikasi pada
Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada resiko tinggi
untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-
tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu
yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia
diafragma yang besar.
Daftar pustaka
Bland K. I, Beenken S.W, and Copeland E.E (from e-book). 2007. Gall Blader
and ExtrahepaticBilliary System. In: Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar
T.R., Dunn. D.L., Hunter J.L., Pollock R.E, ed. Schwartz’s Manual Surgery.
Eight edition. United States of America: McGraw-Hill Books Company
Dan L. Longo and Anthony S. Fauci. 2010. Gastroenterology and Hepatology.
Harrison’s 17th Edition. China: 439-455.
Friedman LS. 2007. Liver, Biliary Tract,& Pancreas. In: LM Tierney, SJ McPhee,
MA Papadakis (eds), Current Medical Diagnosis & Treatment, 46e. New
York, McGraw-Hill
Laurentius A. Lesmana. 2006. PenyakitBatuEmpedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta :Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Edisi Ke-4.h481-483
R.Sjamsuhidayat. Wim de Jong. 2005. Saluran empedu dan hati. Dalam: R.
Sjamsuhidayat, Wim de Jong, ed. Buku Ajar IlmuBedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
h. 561,570-73

Anda mungkin juga menyukai