TANAMAN TEH
PENDAHULUAN
Pada dasarnya jasad hidup dipelajari dalam unit populasi. Populasi dapat
diartikan sebagai kumpulan individu suatu species organisme yang sama, hidup dalam
suatu tempat tertentu dan waktu tertentu. Batasan populasi ditentukan berdasarkan
pengaruh satu individu terhadap individu yang lain dalam populasi tersebut. Jadi
populasi dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis dan semua individu yang saling
berhubungan/ berinteraksi.
Kumpulan populasi membentuk suatu komunitas. Dengan memperhatikan
keanekaragaman dalam komunitas dapat diperoleh keterangan tentang kemapanan
organisasi komunitas tersebut. Biasanya bila suatu komunitas semakin beranekaragam,
maka organisasi dalam komunitas tersebut akan semakin kompleks, sehingga
kemapanan menjadi lebih mantap. Komunitas berinteraksi dengan faktor abiotik
membentuk suatu ekosistem. Ekosistem merupakan suatu tingkat organisasi yang lebih
kompleks dibanding komunitas. Ekosistem menurut Odum (1971) adalah suatu sistem
yang meliputi semua organisme dalam suatu daerah yang bekerja sama dalam
lingkungan fisik, sehingga arus energi di dalamnya menyebabkan terjadinya susunan
trofik, diversitas biotis dan daur materi. Yang dimaksud dengan susunan trofik adalah
susunan makanan, diversitas biotis adalah keaneka ragaman kehidupan, sedangkan daur
materi adalah materi yang berasal dari bumi kemudian beredar dari benda mati ke dalam
jasad hidup, kembali ke benda mati lalu masuk lagi ke dalam jasad hidup dan
seterusnya.
Ekosistem di alam sangat bervariasi, yang bergantung kepada subjeknya.
Ekosistem dalam lingkungan pertanian/ perkebunan/ hutan tanaman disebut
agroekosistem. Agroekosistem ini mempunyai kestabilan yang rendah atau relative
kurang dibandingkan dengan ekosistem yang masih murni/ alami, seperti hutan alam.
Ketidakstabilan agroekosistem ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor biotis
maupun faktor abiotis. Salah satu penyebab ketidakstabilan ekosistem ini adalah akibat
pertumbuhan populasi serangga yang bertindak sebagai hama adalah cepat. Ekosistem
dalam lingkungan pertanian sangat beragam dan banyak, salah satunya ekosistem
perkebunan teh. Berbicara tentang perkebunan teh, luas perkebunan teh di Indonesia
pada tahun ... adalah .... Begitu banyaknya masalah yang terpadat di ekosistem
perkebunan teh, diantaranya yaitu terjadinya ledakan populasi hama. Salah satu hama
yang begitu banyak mengakibatkan kerugian pada perkebunan teh adalah ulat jengkal
(Hyposidra talaca).
Salah satu kasus serangan ulat jengkal pada teh yang terjadi pada tahun 2015.
Terjadinya ledakan populasi ulat jengkal yang mengakibatkan puluhan hektar lahan teh
di Sarongge mengalami kerugian. Dimana daun teh di lahan teh tersebut habis dimakan
oleh ulat jengkal. (Tribun Jabar). Oleh karena itu, pada paper ini akan membahas
tentang hama ulat jengkal (Hyposidra talaca) pada tanaman teh beserta ekologi, siklus
hidup, musuh alami gejala serangan dan pengendalian yang tepat dilakukan untuk
mengendalikan ulat jengkal tersebut. Dan diharapkan paper ini bermanfaat bagi kita
semua.
1
KLASIFIKASI ULAT JENGKAL/ULAT KILAN
Ulat jengkal pertama kali dilaporkan merusak tanaman yang dibudidayakan di
Indonesia pada tahun 1925. Serangga tersebut menyerang tanaman teh, kopi, kina,
kakao (Menzel, 1925 dalam Sudjarwo, 1987). Setelah itu tidak ada laporan tentang
adanya serangan hama ulat jengkal dalam kurun waktu yang cukup lama. Pada tahun
1970-an terjadi lagi serangan ulat jengkal pada beberapa perkebunan kakao di Jawa
Timur dan Sumatera Utara. Ulat jengkal umumnya menyerang daun muda tanaman
inangya. Kerusakan pada daun tersebut berupa lubang-lubang pada helaian daun. Pada
serangan berat seluruh jaringan daun dimakan, sehingga tinggal tulang daun
Serangga hama ini dikenal dengan ulat jengkal atau "twig or cooper caterpillar"
termasuk ordo Lepidoptera, tamili Geometridae. Berikut klasifikasi hama ulat jengkal
ada tanaman teh.
Kingdom : Animalia
Filum : Arthopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Geometridae
Genus : Hyposidra
Spesies : Hyposidra talaca Gambar 1. Hyposidra talaca
2
1. Telur
Telur yang baru diletakan berwarna bening, kemudian berangsur-angsur
berubah menjadi biru kehijau. Telur dari ulat jengkal berbentuk bulat memanjang
atau lonjong. Ukuran panjangnya 0,06 – 0,08 cm dan lebarnya 0,04 - 0,06 cm
dan beratnya 0,0001 – 0,0002 gram. Warna telur akan berubah menjelang menetas
menjadi coklat kekuningan. Telur diletakan secara koloni tidak teratur pada ketiak
daun, bagian bawah daun, ranting dan celah-celah batang atau cabang tanaman
inang. Banyak telur yang dihasilkan imago betina berbeda-beda, berkisar antara
250-700 butir telur. Lama periode telur untuk menetas adalah berkisar antara 8-10
hari.
2. Larva
Larva yang baru keluar berwarna coklat. Setelah larva berumur satu hari
warna tubuhnya berubah menjadi coklat kehitaman dengan bintik-bintik putih pada
ruas toraks pertaman dan abdomen pertama sampai ke empat. Larva yang baru
menetas akan menggantung pada tanaman inangnya. Karena telur diletakan secara
berkoloni dan waktu menetasnya telur juga hamper bersamaan, sehingga larva juga
akan menggatung pada tanaman inangnya secara berkoloni.
Lama periode larva sangat beragan yaitu berkisar antara 28-35 hari. Larva
mengalami empat kali hanta kulit. Larva instar awal berwarna coklat kehitaman
sedangkan larva instar akhir berwarma coklat sampai coklat keabu-abuan Larva
instar akhir memiliki panjang tubuh berkisar antara 70-50 mm.
Larva instar pertama >> instar larva berwarna hitam dan hitam kecoklatan.
Pada tubuhnya terdpat tujuh garis-garis putih melintang pada bagian
dorsalnya. Panjang larva instar pertama sekitar 0,15 – 0,2 cm, lebarnya
sekitar 0,02 - 0,05 cm dan beratnya sekitar 0,01 gram. Tahap ini
berlangsung selama 2 - 5 hari
Larva instar kedua >> larva berubah warna menjadi coklat gelap. Tujuh
garis-garis melintang menjadi bintik-bintik putih di tubuh larva ini. Pada
tahap ini larva mempunya tiga pasang kaki pada toraks. Panjang larva ini 0.4
– 0.8 cm, lebarnya 0,06 – 0,08 cm dan beratnya sekitar 0,005 gram. Tahap
instar ke dua berlangsung selama 4 – 6 hari.
Larva instar ketiga >> larva instar ini memiliki panjang sekitar 1,6 – 12 cm,
lebarnya sekitar 0,11 – 0,14 cm dan beratnya ± 0,013 gram. Tahap ini
berlangsung selama 5 – 7 hari.
Larva instar keempat >> Warna tubuh larva berubah menjadi coklat terang.
Pada bagian punggung berwarna coklat dan bagian perut berwarna coklat
kehitaman. Larva mempunyai sepasang kaki di perut, sembilan pasang
spirakel dan sepasang clasper hadir di belakang tubuh. Tutup anal sedikit
gelap berwarna coklat, sedangkan warna garis lateral tetap sama. Instar larva
keempat memiliki panjang 3 – 5 cm, lebarnya sekitar 0,2 – 0,3 cm dan
beratnya ± 0,26 gram. Tahap ini berlangsung sekitar 5 – 8 hari.
Larva instar kelima >> larva instar kelima cokelat berwarna gelap pada
punggung, dengan bintik-bintik hitam dan berwarna coklat terang pada
bagian perut dengan bintik-bintik putih. Bagian mulut dalam berwarna coklat
kemerahan dan ditutupi dengan bintik-bintik putih. Anal penutup berwarna
cokelat muda. Sembilan pasang spirakel yang menonjol di tahap ini. Seluruh
3
tubuh ditutupi dengan rambut halus berwarna cokelat sedangkan warna garis
lateral tetap sama. Panjang larva instar kelima ± 5 – 7 cm, lebarnya 0,4 – 0,5
cm dan beratnya ± 0,44 gram. Tahap ini berlangsung selama 4- 6 hari.
3. Pupa
Larva instar akhir dari ulat jengkal akan turun dari tanaman inang dengan
cara menggantung pada benang liur yang dihasilkannya atau berjalan melalui
ranting, cabang dan batang ke tanah. Setibanya di permukaan tanah ulet jengkal
instar akhir masuk ketanah yang gembur atau bersembunyi di serasah untuk menjadi
pupa. Pada mulanya, pupa berwarna putih coklat kehijauan, kemudian berangsur-
angsur berubah menjadi coklat kemerahan. Jika pupa diletakan di dalam tanah,
biasanya dengan kedalaman sekitar 2-5 cm yang terletak di sekitar pangkal batang
tumbuhan inang atau di bawah tajuk. Ukuran pupa betina belih besar dibandingkan
dan pupa jantan. Panjang pupa betina yaitu ± 1,76 cm, lebarnya ± 0.54 cm dan
beratnya ± 1,28 gram, sedangkan pupa jantan memiliki panjang ± 1,34 cm, lebarnya
± 1,38 cm dan beratnya ± 0,157 gram. Lama periode pupa berlangsung antara 6-10
hari. Dan biasanya panjang pupa berkisar antara 10-15 mm, dengan lebar antara 5-6
mm.
4. Imago
Imago ulat jengkal ini berupa ngengat berwarna coklat sampai coklat keabu-
abuan. Imago jantan mempunyai tubuh yang relative kecil dibandingkan dengan
imago betina. Imago ulat jengkal berkisar antara 4-6 hari. Imago jantan dari ulat
jengkal mempunyai rata-rata lama hidup yang relative lebih panjang dibanding
dengan imago betina. Imago betina dari ulat jengkal mulai bertelur setelah 2 hari
keluar dari pupa.
Warna sayap ngengat jantan kecoklatan dengan titik noda hitam. Dua bintik-
bintik putih yang berbeda hadir di wilayah apikal sayap depan itu. Tubuh berwarna
cokelat kehitaman di bagian punggung, kepala coklat gelap, dada kehitaman dan
perut berwarna cokelat. Bagian perut dalam seluruhnya berwarna cokelat dengan
garis rusuk coklat kehitaman di masing-masing sisi tubuh. Antena yang bi-pectinate
berwarna coklat kehitaman. rentang sayap ngengat jantan itu ± 3.38 cm. Panjang
ngengat jantan ± 1,44 cm, lebar ± 0,25 cm dan beratnya ± 0,I38 gram. Umur dari
ngengat jantan adalah ± 4 - 5 hari.
Sayap ngengat betina berwarna cokelat kehitaman. Kepala berwarna coklat
gelap, thorax berwarna coklat terang dan sisi dorsal perut berwarna abu-abu
kecoklatan dengan semburat kehijauan. Sayap menunjuk dan dirancang dengan garis
bergelombang dari warna gelap abu-abu dan coklat; bagian atas sayap depan sedikit
kehijauan di warna. Dua bintik-bintik putih yang menonjol yang hadir di apika titik
depan sayap. Antena yang filliform dan sedikit berwarna coklat. Dasar antena
berwarna cokelat sedangkan bagian apikal sedikit hijau. Rentang sayap ngengat
betina adalah sekitar ± 4,7 cm. Ngengat betina memiliki penjang sekitar ± 1,78 cm,
lebarnya ± 0,48 cm dan berat sekitar ± 0,253 gram. Umur ngengat betina adalah
sekitar 6 hari.
4
Gambar 2. Larva instar pertama Gambar 3. Larva instar kedua Gambar 4. Larva instar ketiga Gambar 5. Larva instar keempat
Gambar 6. Larva instar kelima Gambar 7. Pupa Gambar 8. Ngengat Jantan Gambar 9. Ngengat Betina
b. Siklus hidup
Siklus hidup Hyposidra talaca bisa dibilang cukup lama yaitu sekitar 7 –
9 bulan yang mana tahap yang paling panjang atau lama adalah tahap larva. Pada
tahap larva inilah yang akan menimbulkan kerugian besar pada tanaman teh.
Untuk menekan perkembangan populasi hama Hyposidra talaca pada tahap
larva memiliki kesulitan sehingga populasi hama akan berkembang cepat. Dan
5
hal ini tergantung bagaimana pengendalian dilain fase hidupnya, seperti
pengendalian tepat pada fase telur
c. Daya Survival
Daya survival meliputi daya mobilitas, daya disperse dan daya adabtasi.
Ulat jengkal mempunyai daya mobilitas yang baik sehingga dalam beberapa
kurun hari sudah dapat membuat kerugian yang berarti dan jika sampai 1 – 3
bualan makan dapat dipastikan kebun teh berpuluh-puluh hektar menjadi gagal
panen karena tiada lagi daun teh yang tersisa melainkan hanya ranting dan
tulang daun saja. Sedangkan daya adaptasi pada ulat jengkal terhadap cuaca
kurang. Pada musim hujan akan mengganggu tahap perkembangannya karena
pupa ulat jengkal biasanya didalam tanah.
2. Resistensi Lingkungan
a. Faktor Iklim
Pada musism kemarau perkembangan populasi ulat jengkal lebih cepat
dibandingkan dengan musim hujan. Hal ini dapat disebabkan karena ulat dapat
terjatuh ketanah oleh hujan dan bisa mati, begitu juga dengan pupa ulat jengkal
yag di dalam tanah akan terendam dan gegel manjadi imago serta imago akan
rusak sayapnya oleh curah hujan yang tinggi karena sayap ngengat bersifat tipis
dan mudah rusak. Curah hujan juga dapat menjadi penyebab ulat jengkal yang
menyerang tanaman menjadi mati. Air hujan yang menempel pada daun
tanaman inang merupakan perangkap yang menyebabkan larva tidak dapat
melepaskan diri. Kondisi cuaca yang panas terik saat siang dan lembab saat
malam hari membuat pertumbuhan ulat jengkal pada daun teh mudah
berkembang.
Pengaruh kelembapan tanah terhadap mortalitas pupa dapat terjadi
karena pupa tergenang air oleh adanya curah hujan yang tinggi. Sedangkan pada
tanah yang kering dapat mengakibatkan pupa yang berada didalam tanah,
tubuhnya menjadi kering dan mengalami penurunan berat, hal ini terjadi karena
larva mengalami dehidrasi. Terdapat perilaku pupa yang berbeda pada tanah
dengan kelembapan tinggi dan kelembapan rendah. Pada tanah dengan
kelembapan tinggi, larva akan menggali tanah yang tidak terlalu dalam sebagai
tempat untuk berpupa. Sedangkan pada tanah dengan kelembapan yang rendah,
larva akan menggali tanah yang lebih dalam untuk menemukan kelembapan
tanah yang sesuai dengan kebutuhannya sebagai tempat untuk berpupa.
6
Populasi ulat jengkal juga dapat dipengaruhi oleh sifat tanaman inang.
Apabila tanaman inang memiliki ketahan dan antibody yang kuat maka
perkembangan ulat jengkal dapat ditekan, namun jika tanaman inang rentan
maka perkembangan populasi ulat jengkal akan berkembang cepat.
c. Faktor hayati
Ulat jengkal memiliki musuh alami diantaranya predator telur, ulat, pupa
dan ngengat Hyposidra talaca yaitu cecopet, jangkrik, kepik leher dan kepik
perisai, semut rangrang, kumbang, katak, dan kelelawar. Sedangkan parasitoid
telur dan ulat Hyposidra talaca yaitu berbagai jenis tawon. Dan Patogen pada
Hyposidra talaca yaitu NPV.
Jika pada suatu lahan perkebunan teh dipelihara dengan baik dan bijak
dengan mempertimbangkan ekologi musuh alami maka populasi hama ulat
jengkal dapat ditekan oleh musuh alami tersebut. Namun jika pemeliharaan
suatu lahan tidak bijak dan mengabaikan keberadaan musuh alami dari ulat
jengkal maka akan terjadi ledakan populasi ulat jengkal yang dapat
mengakibatkan kerugian yang besar.
d. Faktor manusia
Faktor manusia sering kali menjadi faktor pangaruh perkembangan
populasi hama, seperti tindakan pemeliharaan tanaman budidaya baik yang tepat
maupun yang tidak tepat. Pemeliharaan tanaman teh jika dilakukan dengan baik,
tepat dan memperhatikan segi ekologi tanaman, ekologi tanah, ekologi hama dan
ekologi musuh alami maka perkembangan populasi hama akan dapat ditekan.
Tetapai jika pemeliharaan tidak tepat dan tidak bijak serta mengabaikan konsep
ekologi maka akan terjadi ledakan populasi hama. Berikut beberapa tindakan
manusia yang menyebabkan terjadinya peningktan perkembangan ulat jengkal:
Lahan yang tidak pernah dibersihkan dari sisa-sisa tanaaman dan serasah
disekitar pertanaman sehingga menjadi tempat nyama bagi hama hidup
dan berkembang
Penggunaan insektisida secara tidak bijak. Maksudnya dengan dosis
yang tidak tepat, dengan jangka waktu yang pendek dan sering, dan
penyemprotan yang tidak serempak. Sehingga menyebabkan hama
resisten dan menyebabkan ledakan populasi hama.
GEJALA SERANGAN
Ulat jengkal merupakan hama yang poliphag, selama menjadi hama tanaman teh
juga menyerang tanaman kakao, kina, jeruk, sengon, gambir, dan beberapa jamur. Ulat
jengkal menyerang baik daun muda maupun daun tua. Ulat jengkal menyerang juga
menyarang pupus daun, dan pentil teh. Serangan berat menyebabkan daun berlubang
dan pucuk tanaman gundul, sehingga tinggal tulang daun saja. Daun teh dimakan dari
pinggir.terus ketengah dekat ibu tulang daun dan apabila serangan hebat maka setiap
daun hanya tingal cabang dan ranting saja. Akibatnya pertumbuhan tanaman terhambat
untuk beberapa waktu yang lama.
Serangan berat terjadi pada musim kemarau sedangkan pada musim penghujan
intensitas serangan menurun, hal ini dapat dipahami karena sebagian dari siklus
7
hidupnya berada dalam tanah (stadium pupa), dengan adanya hujan maka stadium pupa
akan banyak terganggu karena keadaan tanahnya terlalu dingin dan basah. Serangan ulat
jengkla yang lebih berat ditemukan didaerah pertanaman teh tua, oleh karena itu perlu
mendapatkan perhatian lebih serius misalnya dengan melakukan pemangkasan. Banyak
tanaman teh tidak berdaun sama sekali akibat gangguan hama ini.
MUSUH ALAMI
1. Predator
a. Laba-laba Lompat (Famili Salticidae, Ordo Araneae)
Laba-laba lompat aktif hanya pada siang hari. Laba-laba lompat bermata
delapan. Dua mata besar menghadap ke depan, tetapi mata lainnya kecil.
Matanya tajam dan bisa melihat mangsanya dari jauh. Laba-laba ini dapat
menerkam mangsanya dengan cepat sekali, bahkan dapat menangkap lalat yang
terbang cepat. Laba-laba ini tidak membuat jaring, tetapi meronda di tanaman
mencari mangsa. Sutera digunakan untuk menenun tali pengaman, sehingga bila
jatuh dari daun, tali itu menghindarinya jatuh sampai ke tanah. Sutera juga
dipakai untuk bikin sarung telurnya. Laba-laba dapat menangkap mangsa yang
lebih besar darinya dan merupakan pemangsa penting bagi kepik seperti
Helopeltis dan ngengat dari ulat jengkal dan hama lain. Laba-laba menusukkan
racun yang melumpuhkan mangsa, kemudian mengisap cairannya.
8
menangkap ulat besar. Macam-macam serangga lain juga dimakan oleh tawon
ini. Selain serangga, dia juga makan sari madu dari bunga.
9
i. Katak, bunglon dan kadal
Dimusim hujan sering terdengar paduan suara yang kompak dan riuh rendah
dari arah genangan air di sudut kebun. Konser ini dihasilkan oleh sekelompok bangkong
atau katak. Kelompok bangkong ini juga berjasa dalam mengurangi serbuan nyamuk
dan serangga pengganggu lainnya. Ada katak yang meloncat dan melayang dari satu
daun ke daun yang lain atau dari cabang ke cabang lain. Ini dinamakan katak terbang
atau katak pohon (Rana rhacophorus). Semua jenis katak dapat berfungsi sebagai
musuh alami bagi serangga hama tanaman teh. Katak memakan ngengat, kepik dan
serangga hama lainnya yang ada pada tanaman teh. Secara umum daur hidup katak
dapat digambarkan seperti di kanan (lihat gambar).
Bunglon dan kadal dapat menangkap dan memakan banyak jenis serangga,
seperti kepik pengisap daun teh (Helopeltis) dan ngengat. Bunglon dan kadal
memang membantu mengendalikan hama di kebun teh.
2. Parasitoid
a. Tawon ichneumonid (Famili Ichneumonidae, Ordo Hymenoptera)
Ada banyak jenis tawon ichneumonid yang biasa diesebut pinggang
ramping, dan tawon ini terdapat dalam berbagai warna. Tawon ini dapat menjadi
parasitoid pada berbagai serangga hama, seperti ulat jengkal. Beberapa jenis
ichneumonid menyerang inang dengan cara memakannya dari luar. Jenis lain
makan ulat inangnya dari dalam.
Tawon ichneumonid terbang mencari ulat sebagai inang untuk generasi
yang akan datang. Tawon hinggap pada ulat inangnya dan menaruh telur di
dalam atau di atasnya. Telur menetas dan larva makan inang dari dalam atau dari
luar. Larva kemudian menjadi kepompong, dan ulat inang mati. Kadang-kadang
ditemukan ulat mati tersambung ke kepompong yang sebesar ulat itu.
Kepompong itu mengandung kepompong tawon. Biarkan saja, supaya dapat
menghasilkan tawon baru. Setelah keluar dari kepompong, tawon dewasa
terbang dan kawin. Betina mencari ulat inang lagi untuk meletakkan telurnya.
Seekor betina dapat meletakkan telur pada 100 ulat.
10
pupuk kandang atau kotoran lain. Lalat aktif sepanjang hari. Lalat tachinid
kadang-kadang beristirahat pada bunga.
3. Patogen
a. Nucleopolyhedrovirus (NPV)
NPV telah digunakan oleh berbagai perusahaan biopestisida untuk
mengendalian hama, diantaranya ulat jengkal. Untuk mengendalikan hama ulat
jengkal digunakan Hyposidra talaca Nucleopolyhedrovirus (HtNPV). Kelebihan
HtNPV ini antara lain bersifat sepesifik pada ham aula jengkal sehingga tidak
membahayakan serangga bukan sasaran.
Infeksi NPV akan mengakibatkan kerusakan selsel kolumnar yang
terdapat di dalam saluran pencernaan bagian tengah, yang mengakibatkan
kerusakan sistem pencernaan dan menurunkan konsumsi makan. Infeksi NPV
biasanya dimulai dari saluran pencernaan, kemudian menyerang organ-organ
internal serangga lainnya. Waktu dari NPV mulai tertelan sampai menunjukkan
gejala serangan relatif lama, yaitu 2 sampai 3 hari dan kematian ulat baru terjadi
pada hari ke-4 hingga ke-7 setelah infeksi (Indrayani dkk 2009).
TEKNIK PENGENDALIAN
Hama ulat jengkal dapat dikendalikan dengan berbagai metode, diantaranya
pengedalian secara budidaya, pengendalian dengan varietas tahan, pengendalian secara
fisik dan mekanik dan pengendalian seraca kimiawi.
1. Pengendalian Secara Budidaya
a. Sanitasi
Pengendalian secara budidaya dengan sasaran pengurangan kesesuaian
ekosistem yaitu dengan sanitasi. Sanitasi disini yaitu dengan membersihkan dan
menghancurkan sisa-sisa tanaman yang masih hidup, sisa tanaman yang sudah
11
mati atau serasah dan gulma yang berada dipermukaan tanah disekitar
pertanaman teh. Tujuan sanitasi ini yaitu guna mengurangi tempat ulat jengkal
untuk melanjutkan stadia hidupnya menjadi pupa. Namun pada pembersihan ini
di tinggalkan beberapa helai serasah untuk menjaga kelembaban tanah dan
menjaga musuh alami yang mungkin hidup pada sisa-sisa tanaman tersebut.
b. Pembersihan atau modifikasi inang atau habitat pengganti
Pembersihan ini ditujukan pada tanaman pelindung pada perkebunan teh
yang juga merupakan tanaman inang atau habitat pengganti hama ulat jengkal
seperti lamtoro. Pembersihan ini bertujuan mengurangi laju peningkatan
populasi ulat jengkal dan mencegah perpindahan dari tanaman pelindung ke
tanaman teh. Dalam pembersihan tanaman lamtoro ini juga harus diperhatikan
dan dipelajari kemungkinan berkurangnya populasi musuh alami yang
menggunakan lamtoro sebagai habitat hidupnya. Agar keseimbangan ekosistem
tetap terjaga.
c. Pengerjaan tanah
Pengerjaan tanah ini bertujuan untuk membunuh dan mencegah pupa ulat
jemgkal melanjutkan stadia hidupnya menjadi imago. Pengerjaan tanah ini bisa
dengan cara membalikan tanah dengan cangkul sehingga pupa yang berada di
dalam tanah terbunuh langsung, atau terpapar langsung dengan sengatan panas
cahaya matahari sehingga menyebabkan kematian dan juga dimangsa oleh
semut, serangga lain maupun burung.
d. Menghalangi peletakan telur
Pengendalian secara budidaya dengan sasaran gangguan kontinuitas
penyediaan keperluan hidup hama yaitu dengan menghalangi peletakan telur ulat
jengkal. Penghalangan peletakan telur Hyposidra talaca dapat dilaukan dengan
cara dengan cara pembungkus batang pohon Silver Oak yang merupakan salah
satu tanaman pelindung tanaman teh. Pohon Silver Oak yang ada di areal
pinggiran kebun yang berada dekat dengan jalan kebun dibungkus karena dapat
mencegah persebaran kupu-kupu yang bertelur di batang pohon Silver Oak yang
berada ke tanaman teh di bagian dalam lahan kebun.
Pembungkusan batang pohon seperti ini dikatakan efektif mengurangi
perkembangan kupu-kupu yang bertelur sampai 50-60 % sehingga
akan menekan perkembangan fase hama ulat berikutnya. (Sinder Afdeling
Gunung Mas I, 2011).
12
3. Pengendalian Secara Fisik Dan Mekanik
a. Metode pengumpulan langsung/manual
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan secara manual
pupa-pupa yang terdapat didalam tanah dan serasah sekitar pertanaman teh
maupun larva dan telur ulat jengkal yang berada pada tanaman teh baik itu pada
ketiak daun, di sisi bawah daun, cabang-cabang maupun ranting dan juga imago
Hyposidra talaca yang beristirahat siang hari pada diranting tanaman dan tempat
teduh sekitar pertanaman teh.
4. Pengendalian Hayati
a. Penggunaan predator, semut rangrang (Oceophyla sp)
Semut rangrang dapat memangsa pupa Hyposidra talaca. Pelestarian
semut rangrang pada ekosistem kebun teh ini dapat dilakukan dengan tetap
menyediakan tempat tinggal bagi semut rangrang tersebut yaitu dengan
menyisakan beberapa lapis sisa-sisa tanaman di permukaan tanah sekitar
pertanaman teh. Sehingga diharapkan semut rangrang dapat hidup dan
berkembang serta mampu mengendalikan pupa-pupa Hyposidra talaca yang
berada dalam tanah maupun di serasah sekitar pertanaman teh.
b. Penggunaan parasitoid larva Apanteles sp. dan parasitoid telur Telenomus sp.
Parasitoid Apalantes sp. dapat memparasit larva ulat jengkal sehingga
secara tidak langsung dapat membunuh ulat jengkal tersebut dan mencegahnya
berkembang menjadi pupa. Sedangkan parasitoid Telemus sp. dapat memparasit
telur-telur Hyposidra talaca sehingga dapat menekan pekembangannya.
13
5. Pengendalian Secara Kimiawi
a. Penggunaan insektisida
Insektisida yang biasa digunakan adalah insektisida Karbanil (Sevin 85
S) dosis 2 liter/ha, Metidation (Supracide 40 EC) dosis 1,50 liter/ha. Namun
penggunaan insektisida juga dapat menimbulkan masalah baru seperti resistensi
hama, dan keberadaan populasi hama yang tumpang tindih (overlapping)
sehingga untuk dapat mengendalikan hama ini membutuhkan dosis yang lebih
tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan aplikasi yang tidak tepat.
Kegiatan penyemprotan dilakukan secara terjadwal, sedangkan padam
kondisi populasi hama tinggi dan jumlah insektisida yang kurang mencukupi,
mengakibatkan dosis yang diaplikasikan di bawah anjuran, hal ini dapat
menyebabkan ada hama yang dapat bertahan dan menghasilkan generasi yang
lebih tahan.
Aplikasi yang terjadwal dan pengulangan yang tidak tepat
mengakibatkan populasi hama Hyposidra talaca menjadi tumpang tindih.
Penyemprotan yang tidak serempak mengakibatkan ulat berkembang cepat di
beberapa blok kebun yang belum diaplikasi, sedangkan di blok lain yang telah
diaplikasi belum tentu terkendali 100%, hal inilah yang menyebabkan hama
senantiasa ada dengan kondisi instar yang beragam dari larva instar pertama
hingga instar akhir.
c. Penggunaan biopestisida
Salah satu biopestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama
Hyposidra talaca adalah HtNPV (Hyposidra talaca Nucleopolyhedrovirus).
Nucleopolyhedrovirus (NPV) termasuk famili Baculoviridae dari genus
Baculovirus. Sebagai parasit obligat, NPV hanya dapat berkembang pada sel-sel
hidup. NPV memiliki beberapa keunggulan antara lain: inangnya spesifik,
efektif, persisten di alam (tanah, air, tanaman), persisten dalam populasi inang
rendah, dan kompatibel dengan cara pengendalian yang lain termasuk insektisida
botani dan kimia (Tanada dan Kaya 1993).
Efektivitas NPV sebagai agens pengendalian hama terbukti dari hasil
penelitian di laboratorium dan lapangan. Pada dosis 20 Polyhedral Inclusion
Bodies (PIB) /mm2 luas pakan, mortalitas ulat H. armigera instar 3 mencapai
95% pada hari ke-8 setelah perlakuan, hampir sama dengan mortalitas ulat pada
dosis 160 PIB/mm2 (97,5%) pada hari ke-6 (Gothama et al. 1989).
Aplikasi lapangan Hyposidra talaca Nucleopolyhedrovirus (HtNPV)
dilakukan dengan penyemprotan. Aplikasi juga dapat dilakukan, menggunakan
40 ekor larva Hyposidra talaca yang telah terinfeksi Nucleopolyhedrovirus
14
(NPV) dengan ukuran larva 3 – 4 cm. Aplikasi HtNPV dilakukan pada waktu
sore hari antara pukul 16:00 – 17:00, hal ini dilakukan karena NPV sangat rentan
terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet (Ignoffo dan Montoya
1976). Alat semprot yang digunakan adalah power sprayer bertenaga baterei
dengan kapasitas tangki 15 liter.
Menurut Sanjaya (2004), infeksi NPV akan mengakibatkan kerusakan
selsel kolumnar yang terdapat di dalam saluran pencernaan bagian tengah, yang
mengakibatkan kerusakan sistem pencernaan dan menurunkan konsumsi makan.
Infeksi NPV biasanya dimulai dari saluran pencernaan, kemudian menyerang
organ-organ internal serangga lainnya. Waktu dari NPV mulai tertelan sampai
menunjukkan gejala serangan relatif lama, yaitu 2 sampai 3 hari dan kematian
ulat baru terjadi pada hari ke-4 hingga ke-7 setelah infeksi (Indrayani dkk 2009).
Larva yang mati karena terinfeksi virus ini di lapangan, banyak
ditemukan dalam posisi menggantung pada bagian pucuk tanaman tetapi ada
pula yang menempel dan hancur di permukaan daun teh.
Penularan dan infeksi NPV yang terjadi di lapangan tidak hanya terjadi
karena penyemprotan inokulum NPV pada daun, tetapi juga karena adanya
kontak dengan larva lain yang sudah terlebih dahulu mati atau terinfeksi NPV
scara alami di lapangan. Hal ini terjadi karena penularan NPV dapat terjadi
melalui kontak langsung antara serangga yang terinfeksi dengan yang sehat
(Granados dan Federici 1986).
DAFTAR REFERNSI
Borthakur, Monorama, dkk. 2012. Hyposidra talaca: A Major Defoliating Pest of Tea
in North East India. Entomology Departement, Tocklai Association, Johat-
785008, Assam, India. Reseacrh Paper, Two and a Bud 59 : 17-20
Looper Caterpillar Complex And Red Spider Mite – Teh Key Pests Of Darjeeling
Terai Tea Plantation.pdf
Susnianti, Nenet, dkk. 2005. Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan. Universitas
Padjajaran. Bandung
Departemen Pertanian. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Teh.
Direktorat Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jendral Bina Produksi
Perkebunan. Jakarta
15
Pradana, Rizki. 2013. Pengelolaan Kbeun dan Upaya Pengendalian Hama Ulat
Jengkal (Hyposidra talaca) dengan Aplikasi Hyposidra talaca
Nucleopolyhedrovirus pada Tanaman Teh di PT Perkebunan Nusantara VIII
Gunung Mas Bogor, Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor
Chandra, David. 2008. Inventarisasi Hama dan Penyakit pada Pertenaman Jarak
Pagar (Jatropha curcas Linn) di Lampung dan Jawa Barat. Institut Pertanian
Bogor.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/bahan_ajar_ilmu_hama-
tumbuhan.pdf
http://cybex.ipb.ac.id/indec.php/artikel/detail/topik/324
http://jabar.tribunnews.com/2015/09/03/ulat-jengkal-serang-tanaman-teh-di-sarongge/
http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-301-ulat-jengkal-pada-tanaman-
kakao/
http://shodhganga.inflibnet.ac.in/-bitstream/10603/43023/11/11_introduction.pdf
16