Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KIMIA LINGKUNGAN II

NI PUTU VENTI WIRATAMI (1508105020)


JEREMY JORDAN SETIA BUDI (1508105033)
RIZKI MARDHANI (1508105043)
DEWIK SETIYAWATI (1508105054)

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017
STUDI KONSENTRASI KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) DI JALAN A.
P PETTARANI KOTA MAKASSAR
TAHUN 2014

Oleh :
RIZKI MARDHANI (1508105043)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2017
STUDI KONSENTRASI KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) DI JALAN A.
P PETTARANI KOTA MAKASSAR
TAHUN 2014

ABSTRAK
Kota besar yang padat lalu lintasnya akan banyak menghasilkan gas CO
sehingga kadar CO dalam udara relatif tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Didalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO di udara
perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor.
Penelitian ini untuk mengetahui kadar karbon monoksida udara ambien di jalan
A. P Pettarani kota Makassar. Selain pengukuran konsentrasi kadar karbon
monoksida dilakakukan juga pengukuran dengan faktor yang mempengaruhi
konsentrasi CO di udara yaitu: kecepatan Angin, Kelembaban, Suhu.
Jenis penelitian yang di gunakan adalah kuantitatif lapangan dengan melakukan
analisa laboratorium. Sampel penelitian adalah gas karbon monoksida yang tersebar
di empat titik di jalan A. P Pettarani Makassar.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar karbon Monoksida (CO) udara Ambien di jalan A.P Pettarani masih berada di
bawah standar baku mutu udara ambien berdasarkan PP RI No. 41 Tahun 1999 yaitu
30.000µg/Nm3 untuk gas karbon monoksida. Konsentrasi CO udara Ambien dijalan
A. P Pettarani kota Makassar rata-rata 2638,62µg/Nm3 . Suhu rata-rata 28-35 0C,
kelembaban rata-rata 54- 69 %RH dan kecepatan Angin rata-rata 1.13-2.08 m/s.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di sarankan perlu di lakukan pengukuran
bahan pencemar secara berkala untuk mengetahui perkembangan sebagai tindakan
pencegahan penanggulanganya. Kepada peneliti selanjutnya perlu di teliti hubungan
kadar CO udara ambien dan COHb pada kelompok yang resiko tinggi.
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian


1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan adalah kuantitatif lapangan dengan melakukan
analisa laboratorium yang bertujuan untuk menggambarkan Distribusi kadar karbon
monoksida (CO) di udara tetapnya jalan A. P. Pettarni kota Makassar
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dijalan A. P Pettarani kota Makassar. Adapun lokasi
pengamatan dilakukan berdasarkan beberapa syarat kualifikasi dan ketentuan yang
telah ditetapkan pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol terjadi suatu
pencemaran udara.
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan uji laboratorium
untuk mengetahui kadar karbon monoksida (CO) di jalanA. P. Pettarani Makassar
dan data yang terdapat di dalam tabel dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam
bentuk Arc View 10.1.

C. Populasi dan Sampel.


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kadar Karbon monoksida (CO) udara
Ambient di jalan A.P Pettarani Kota Makassar.
2. Sampel
Rencana pengambilan sampel dilakukan untuk memperoleh hasil yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Pengambilan sampel udara akan dilakukan pada 4 titik
disepanjang jalan A. P Pettarani.
- Titik pertama terdapat pada Ujung jalan A. P Pettarani dekat Fly over
- Titik kedua terdapat pada jalan Boulevard
- Titik ketiga terdapat pada jalan ke Hertasning
- Titik keempat terdapat depan Telkom Makassar.
Adapun lokasi pengamatan dilakukan berdasarkan beberapa syarat kualifikasi
dan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah yang bertujuan untuk mengontrol
terjadi suatu pencemaran udara.
D. Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh berdasarkan hasil pengukuran menggunakan alat NDIR
(Non Dispersive Infra Red), Hygrometer, Manometer, Thermometer.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari berbagai buku-buku literatur, jurnal penelitian,
skripsi dan website internet serta bacaan lain yang erat kaitannya dengan penelitian
ini.
E. Instrumen penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini, digunakan alat-alat yaitu alat pengukur
kualitas udara :
1. Alat:
- NDIR (Non Dispersive Infra Red)
- Hygrometer
- Manometer
- Thermometer
- Arc view 10.1
- GPS 72 H merek Garmin.
2. Cara Kerja :
a. NDIR (Non Dispersive Infra Red) :
- Sediakan kantong pengumpul uji CO
- Pasang kantong pengumpul udara pada alat ukur detektor NDIR
- Atur laju pompa Vakum sesuai dengan kantong pengumpul yang digunakan.
- kemudian lakukan pengujian sampel
- hubungkan wadah pengumpul berisi kadar CO ke katup gas masuk pada alat
ukur.
F. Pengolahan dan penyajian data
Data yang terdapat di dalam tabel dianalisa secara deskriptif dengan
menggunakan sistem informasi geografi dan dibandingkan dengan standar
kualitas kandungan Karbon monoksida (CO) di udara sesuai dengan PP RI No.
41 Tahun 1999 yaitu 30.000µg/Nm3 untuk gas karbon monoksida.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil

Berikut adalah data-data hasil penelitian yang telah dilakukan selama 1 bulan
pada tanggal 1 juli sampai 31 juli 2014 di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan yang didapatkan di lapangan dan hasil sebagai berikut yang disajikan
dalam bentuk tabel dan narasi :

1. Pengukuran Karbonmonoksida (CO)


Tabel Hasil Pengukuran Karbon Monoksida Udara di Jalan A. P Pettarani Makassar
Waktu pengukuran Rata- NAB
Parameter Lokasi Pagi Siang Sore
rat (µg/Nm3)
a
I 3184,51 2555,67 1356,48 2365,54

II 4081,88 3063,95 660,03 2601.95


CO 30.000
III 2723,45 2296,90 4014,30 2581.02
IV 3173,65 2128,49 3715,85 3005.99
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kadar karbon monoksida (CO)
pada pengukuran pagi yang paling tinggi terdapat di lokasi ke II yaitu sebanyak
4081,88 µg/Nm3 dan yang paling rendah terdapat di lokasi III yaitu, 2723,45
µg/Nm3, pada pengukuran siang CO paling tinggi terdapat di lokasi I yaitu 3063,95
µg/Nm3 dan yang paling rendah terdapat pada lokasi IV yaitu 2128,49 µg/Nm3, dan
pada pengukuran sore kadar CO paling tinggi terdapat di lokasi III yaitu 4014,30
µg/Nm3 dan yang paling rendah terdapat di lokasi paling rendah terdapat di titik II
yaitu 660,03 µg/Nm3.

2. Pengukuran parameter suhu


Tabel Hasil Pengukuran suhu di Jalan A. P Pettarani Makassar

Waktu pengukuran
Parameter Lokasi
Pagi Siang Sore
0
I 28,0 C 35,0 0C 32,0 0C
0
II 30,0 C 33,0 0C 34,0 0C
Suhu
III 30,0 0C 35,0 0C 35,0 0C
0
IV 31,0 C 34,0 0C 35,0 0C

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui suhu bahwa pada pengukuran pagi
yang paling tinggi terdapat di lokasi ke IV yaitu sebanyak 31 0C dan yang paling
rendah terdapat di lokasi I yaitu, 28 0C, pada pengukuran siang suhu paling tinggi
terdapat di lokasi I dan III yaitu 35 0C dan yang paling rendah terdapat pada lokasi
II yaitu 33 0C, dan pada pengukuran sore suhu paling tinggi terdapat di lokasi III dan
IV yaitu 350C dan yang paling rendah terdapat di lokasi paling rendah terdapat di
lokasi I yaitu 320C.
3. Parameter kecepatan angin
Tabel Hasil Pengukuran Kecepatan Angin Udara di Jalan A. P Pettarani Makassar

Waktu pengukuran
Parameter Lokasi
Pagi Siang Sore
I 2,50 m/s 2,08 m/s 1,13 m/s
II 1,57 m/s 1,67 m/s 1,54 m/s
Kecepatan Angin
III 1,71 m/s 1,21 m/s 1,72 m/s
IV 1,45 m/s 1,37 m/s 2,15 m/s
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kecepatan angin pada
pengukuran pagi yang paling tinggi terdapat di lokasi ke I yaitu sebanyak 2,5m/s dan
yang paling rendah terdapat di lokasi IV yaitu, 1,45m/s, pada pengukuran kecepatan
siang paling tinggi terdapat di lokasi I yaitu 2,08m/s dan yang paling rendah terdapat
pada lokasi III yaitu 1,21 m/s, dan pada pengukuran sore kecepatan angina paling
tinggi terdapat di lokasi I yaitu 2,15 m/s dan yang paling rendah terdapat di lokasi
paling rendah terdapat di lokasi I yaitu 1,13 m/s.
4. Parameter kelembaban
Hasil Pengukuran Kelembaban Udara di Jalan A. P Pettarani Makassar

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kelembaban pada pengukuran


Waktu pengukuran
Parameter Lokasi
Pagi Siang Sore
I 69,0 %RH 64,0 %RH 56,0 %RH
II 63,0 %RH 61,0 %RH 55,0 %RH
Kelembaban
III 64,0 %RH 57,0 %RH 54,0 %RH
IV 62,0 %RH 56,0 %RH 55,0 %RH
pagi yang paling tinggi terdapat di lokasi ke I yaitu sebanyak 69 %RH dan yang
paling rendah terdapat di lokasi IV yaitu, 62 %RH, pada pengukuran kelembaban
siang paling tinggi terdapat di lokasi I yaitu 64 %RH dan yang paling rendah terdapat
pada lokasi III yaitu 57 %RH, dan pada pengukuran sore kelembaban paling tinggi
terdapat di lokasi I yaitu 56%RH dan yang paling rendah terdapat di lokasi paling
rendah terdapat di lokasi I yaitu 54 %RH.
B. Pembahasan.
1. Konsentrasi CO di lokasi jalan A.P Pettarni

a. Konsentrasi karbon monoksida dilokasi fly over


Karbon monoksida adalah senyawa yang sangat beracun namun tidak
berwarna dan hampir tidak berbau, sehingga sangat membahayakan kehidupan. Oleh
karena itu harus dipantau secara terus menerus. Keberadaannya di udara sebagai
akibat dari pembakaran tidak sempurna dari bahan organik seperti kayu, batu-bara,
kertas, minyak serta hasil pembakaran kendaraan bermotor yang memakai bahan
bakar.
Berdasarkan data yang diperoleh selama pengukuran pada pagi hari diperoleh
konsentrasi CO sebesar 3184,51 µg/Nm3 dimana konsentrasi meningkat pada jam
padat kendaraan ini berarti pengaruh kendaraan sangat berperan penting dalam
peningkatan gas CO hal ini berkaitan erat dalam laporan WHO (1992) dinyatakan
paling tidak 90% dari CO di udara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor.
(Anggraeni, 2009:17). Pada saat itu kelembaban dan suhu dilokasi pagi hari
mencapai 69% RH dan 28oC. ini menunjukkan bahwa peningkatan kelembaban dan
suhu yang rendah di ikuti dengan peningkatan kadar Karbon Monoksida.
Kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan kadar polutan yang terdapat di udara
(Mukono, 2005: 27).
Berdasarkan data yang diperoleh selama pengukuran pada siang hari dilokasi
tersebut diperoleh konsentrasi CO sebesar 2555,67 µg/Nm3, mengalami penurunan
konsentrasi kadar karbon Monoksida ini dipengaruhi oleh tingkat aktivitas kendaraan
dijalan pada saat jam pengambilan sampel udara terlihat kurangnya kendaraan karena
pada jam-jam saat itu kurangnya kendaraan yang melaju disekitaran jalan tempat
pengambilan sampel meski kelembaban dan suhu tersebut tinggi tetapi tidak
mempengaruhi konsentrasi kadar karbon monoksida meningkat karena tingkat
kendaraan yang kurang pada saat pengambilan sampel. Sedangkan pada sore hari
data yang di peroleh sore hari mengalami penurun dengan kadar karbon Monoksida
1356,48 µg/Nm3 dibanding pagi dan siang.

b. Konsentrasi Karbon Monoksida di Lokasi Boulevard

Berdasarkan data yang diperoleh selama pengukuran pada pagi hari diperoleh
konsentrasi CO yang tinggi sebesar 4081,88 µg/Nm3 meskipun nilai konsentrasinya
masih dibawah standar baku mutu udara ambien berdasarkan PP RI NO 41 Tahun
1999, dibanding konsentrasi Karbon Monoksida pada siang hari sebesar 3063,95
µg/Nm3 sedangkan pada sore hari mengalami penurunan yaitu, 660,03 µg/Nm3,
dimana pada pagi hari konsentrasi meningkat pada jam padat kendaraan karena pada
pagi hari banyak aktivitas di jalanan ini berarti pengaruh kendaraan sangat berperan
penting dalam peningkatan gas CO pada pengukuran pagi hari lebih tinggi jika
dibandingan dengan pengukuran sore hari. Hal tersebut disebabkan karena suhu
udara yang tinggi akan mempercepat terjadinya reaksi kimia di atmosfer, karena
udara panas akan merambat ke atas sehingga udara yang mengandung polutan di
permukaan bumi akan terangkat ke atas.

c. Konsentrsi kadar Karbon Monoksida di jalan Hertasning.


Berdasarkan data yang diperoleh selama pengukuran pada pagi hari diperoleh
konsentrasi CO yang sebesar 2723,45 µg/Nm3, konsentrasi CO di siang hari
mengalami penurunan sebesar 2296,90 µg/Nm3 dimana pada pagi hari konsentrasi
meningkat pada jam padat kendaraan karena pada pagi hari banyak aktivitas di
jalanan ini berarti pengaruh kendaraan sangat berperan penting dalam peningkatan
gas CO sedangkan pada sore hari konsentrasi CO meningkat sebesar 4014,3
µg/Nm3, meskipun nilai konsentrasinya masih dibawah standar baku mutu udara
ambien berdasarkan PP RI NO 41 Tahun 1999. dimana pada saat pengambilan
sampel mulai jam 16.00 aktivitas kendaraan meningkat karena jam pulang kantor.
d. Konsentrasi kadar Karbon Monoksida depan kantor Telkom
Karbon monoksida adalah senyawa yang sangat beracun namun tidak berwarna
dan hampir tidak berbau, sehingga sangat membahayakan kehidupan. Oleh karena itu
harus dipantau secara terus menerus. Keberadaannya di udara sebagai akibat dari
pembakaran tidak sempurna dari bahan organic seperti kayu, batu-bara, kertas,
minyak, dll. Hasil pembakaran kendaraan bermotor yang memakai bahan bakar
bensin di udara ambient mengandung CO berkisar 1 – 10 % tergantung dari operasi
mesin. Sedangkan operasi mesin diesel pada udara ambient hanya mengandung kira-
kira 0,1 % CO.(Susilawaty:83). Hasil monitoring kadar CO pagi hari pada titik di
jalan A.P Pettarani depan Telokm dalam wilayah Kota Makassar menunjukkan
bahwa konsentrasi CO masih memenuhi syarat (di bawah Nilai baku Mutu sesuai
Peraturan Pemerintah No. 41 tentang Pengendalian Pencemar Udara) Namun
demikian berdasarkan hasil pemantauan, sebagai acuan dalam menentukan kebijakan
selanjutnya, menunjukkan bahwa konsentrasi CO tertinggi pda sore hari sebesar
3715,85 µg/Nm3 terjadi dengan aktivitas transportasi yang tinggi dan ditempat
tersebut daerah padat lalu lintas, masing-masing terjadi pada jam–jam aktif. Dimana
banyak kendaraan yang berhenti mengambil penumpang tanpa menghentikan mesin
kendaraanya. Konsentrasi tertinggi kedua pada pagi hari pukul 08.00 dengan kadar
3173,65 µg/Nm3, Kedua wilayah tersebut adalah daerah dengan kepadatan lalu lintas
yang sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa kedua waktu tersebut adalah
kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi.
2. Konsentrasi kadar karbon Monoksida (CO) di jalan A. P Pettarani.
Karbon Monoksida adalah suatu gas yang tak berwarna, tidak berbau dan tidak
berasa diproduksi oleh pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-bahan yang
mengandung karbon (Sumantri, 2013 : 7). Sumber CO buatan antara lain kendaraan
bermotor,dimana konsentrasi CO sangat dipengaruhi oleh aktivitas kendaraan
bermotor terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Separuh dari jumlah ini
berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin dimana
kendaraan bermotor merupakan sumber utama polutan CO sekitar 59,2% (Fardaiz,
2008: 8). Dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak seperti pembakaran
batubara dan minyak dari industri dan pembakaran sampah domestik. Kadar CO
diperkotaan cukup bervariasi tergantung dari kepadatan kendaraan bermotor yang
menggunakan bahan bakar bensin dan umumnya ditemukan kadar maksimum CO
yang bersamaan dengan jam-jam sibuk pada pagi dan malam hari.
Berdasarkan Hasil monitoring kadar CO selama 24 jam pada 4 titik di jalan A.P
Pettrani Kota Makassar menunjukkan bahwa konsentrasi CO masih memenuhi syarat
(di bawah Nilai baku Mutu sesuai Peraturan Pemerintah No. 41 tentang
Pengendalian Pencemar Udara) Namun demikian berdasarkan hasil pemantauan,
sebagai acuan dalam menentukan kebijakan selanjutnya, menunjukkan bahwa
konsentrasi CO tertinggi pada pagi sebesar 3290,87µg/Nm3. Ini terjadi pada aktivitas
transportasi yang tinggi merupakan padat lalu lintas, serta terjadi pada jam–jam aktif.
Sedangkan pada lokasi konsentrasi kadar karbon Monoksida tertinggi terdapat di
depan Telkom Persimpangan jalan tidak dikendalikan dengan lampu lalu lintas/traffic
light.Persimpangan yang sering menimbulkan kemacetan seharusnya diatur dengan
lampu lalu lintas/traffic light dengan durasi waktu yang telah disesuaikan sehingga
tidak akan menimbulkan kemacetan lalu lintas. Adanya mobil yang parkir di badan
jalan sehingga kendaraan yang lewat terpaksa berjalan lambat, malah tidak bisa
bergerak, angkutan umum sering mangkal, menaikkan/menurunkan penumpang tidak
pada tempatnya ini menimbulkan polusi udara pembuangan asap (emisi) kendaraan
bermotor yang merupakan unsur-unsur kimia dalam udara bebas yang melampaui
kandungan alami yang semakin lama dapat menurunkan kualitas udara bebas karna
separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan
bakar bensin dimana kendaraan bermotor merupakan sumber utama polutan CO
sekitar 59,2% (Fardiaz, 2008: 34).
Penelitian yang dilakukan oleh Ismail, studi konsentrasi Karbon Monoksida
pada udara di jalan poros Sungguminasa-Makassar Kabupaten Gowa menemukan
bahwa bahwa sumber utama pencemaran kadar Karbon Monoksida adalah kendaran
bermesin dan Nova Yanti 2008, dimana judul penelitian adalah pola Spasial
konsentrasi CO di kota Jakarta dengan metode penelitian mengungkapkan pola
spasial kadar CO di kota Jakarta dengan menggunakan hubungan antara konsentrasi
kadar CO dengan arus lalu lintas. Hasil penelitian di peroleh adanya hubungan positif
dengan konsentrasi kadar CO dengan arus lalu lintas.
Selain faktor lalu lintas sangat berperan dalam pencemaran karbon monoksida,
factor meterologi juga memegang peranan dan menentukan konsentrasi CO di udara.
Dalam penelitian juga ini dilakukan pengukuran seperti kecepatan Angin,
kelembaban, suhu. Pengukuran terhadap kecepatan angin di jalan A. P Pettarani kota
Makassar menunjukkan rata-rata pagi hari sebesar 1,8 m/s, kecepatan angin siang
hari rata-rata sebesar 1,58 m/s dan sore hari kecepatan angin rata-rata sebesar 1,6 m/s
dimana pada tabel memperlihatkan kecepatan angin pagi hari tertinggi terjadi pada
lokasi fly over sebesar 2,5 m/s, kecepatan angin siang hari tertinggi terjadi pada
lokasi fly over sebesar 2,08 m/s dan kecepatan angin sore hari tertinggi terjadi pada
lokasi depan Telkom sebesar 2,15 m/s, dimana kecepatan angin akan menentukan
penyebaran dan sejauh mana karbon Monoksida diangkut dan disebarkan serta akan
membawa ke area lain searah dengan arah angin, makin besar kecepatan angin makin
kecil konsentrasi karbon Monoksida di udara.
Berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara di jalan A.P Pettarani kota
Makassar pagi hari berkisar 62-69%RH, pada siang hari kelembababan udara
berkisar 55-64%RH dan sore hari berkisar 54-56%RH, pada pagi hari kelembaban
tertinggi terdapat di lokasi fly over sebesar 69%RH dan terndah terdapat dilokasi
depan Telkom sebesar 62%RH, pengukuran kelembaban tertinggi di siang hari
terdapat di lokasi fly over sebesar 64%RH dan terendah terdapat di lokasi depan
Telkom sebebsar 56%RH dan pengukuran kelembaban sore hari tertinggi terdapat
dilokasi fly over sebesar 56%RH dan terendah di lokasi lampu merah jalan
Hertasning sebesar 54%RH. Semakin tinggi kelembaban udara maka konsentrasi CO
semakin tinggi Hal ini disebabkan karena penguapan uap air yang ditransfer ke udara
oleh naiknya suhu udara, sehingga konsentrasi CO mengalami penurunan begitupun
sebalikanya. Kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan kadar polutan yang
terdapat di udara (Mukono, 2005).
Berdasarkan pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu dipagi hari berkisar 28-
310C, siang hari pengukuran suhu berkisar 33-35oC dan sore hari berkisar 32-350C,
pada pagi hari suhu tertinggi terdapat di lokasi depan Telkom sebesar 310C dan
terendah terdapat dilokasi fly over sebesar 280C, pengukuran suhu tertinggi di siang
hari terdapat di lokasi fly over dan lampu merah Hertasning sebesar 350C,dan
terendah terdapat di lokasi lampu merah boulevard sebebsar 330C,dan pengukuran
suhu sore hari tertinggi terdapat dilokasi lampu merah hertasning dan depan telkom
sebesar 350C,dan terendah di lokasi fly over sebesar 320C.
Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan udara makin renggang sehingga
konsentrasi pencemar menjadi makin rendah dan sebaliknya pada suhu yang dingin
keadaan udara makin padat sehingga konsentrasi pencemar di udara makin tinggi
(Yenni, 2012: 8).
Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan bahan pencemar dalam udara
berbentuk partikel menjadi kering dan ringan sehingga bertahan lebih lama di udara,
terutama pada musim kemarau dimana keadaan udara lebih kering sehingga polutan
udara pada keadaan musim kemarau cenderung tinggi karena tidak terjadi
pengenceran polutan di udara (Yenny, 2012:8). Hubungan antara suhu udara terhadap
konsentrasi CO semakin tinggi suhu udara maka konsentrasi CO semakin tinggi. Hal
ini terjadi karena adanya suhu yang tinggi akan mempercepat terjadinya penguraian
(disosiasi) gas CO. Semakin tinggi suhu udara maka jumlah gas CO yang
terdisosisasi menjadi C dan O akan semakin banyak.
Hubungan pencemaran udara dan pengaruhnya terhadap kesehatan sangat sulit
dalam mengisolasi factor-faktor penyebab tuggal, jika orang terpapar dengan
beberapa bahan polutan apalagi mendeteksi zat/bahan pencemar yang kadarnya
rendah atau sedang(Ismail 2005:47). Efek yang ditimbulkan oleh polutan tergantung
dari besarnya pajanan (terkait dosis/kadarnya di udara dan lama/waktu pajanan) dan
juga faktor kerentanan host (individu) yang bersangkutan (efek buruk lebih mudah
terjadi pada anak, individu pengidap jantung-pembuluh darah dan pernapasan, serta
penderita diabetes melitus). Selain faktor zat aktif yang dibawa oleh polutan tesebut,
ukuran polutan juga menentukan lokasi anatomis terjadinya deposit polutan dan juga
efeknya terhadap jaringan sekitar.
Karakteristik biologik yang paling penting dari CO adalah kemampuannya untuk
berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen
keseluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO)
yang 200 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO
yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut
dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa
berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu,
metabolisme otot dan fungsi enzim intra-seluler juga dapat terganggu dengan adanya
ikatan CO yang stabil tersebut. Dampat keracunan CO sangat berbahaya bagi orang
yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang
parah.
Keracunan karbon monoksida dapat dideteksi dengan gejala-gejala sebagai
berikut : sakit kepala, mual, nyeri dada, sesak nafas, muntah, nyeri perut, kantuk,
pingsan, kejang. Tanda dan gejala keracunan CO bervariasi tergantung pada kadar
COHb dalam darah.
Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi Karbon Monoksida (CO) udara
Ambien di jalan A. P Pettarani kota Makassar menunjukkan bahwa konsentarasi rata-
rata CO pagi 3290,87µg/Nm3,Konsentrasi CO siang hari rata-rata 2511,25µg/Nm3
dan sore hari 2436,66µg/Nm3. Hal ini masih memenuhi syarat (di bawah Nilai baku
Mutu sesuai Peraturan Pemerintah No. 41 tentang Pengendalian Pencemar Udara).

Referensi : http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6604/1/MUZAYYID_opt.pdf

Pengukuran Gas Metana (CH4) Di Udara


Jeremy Jordan Setia Budi
1508105033

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017

Pengukuran Gas Metana (CH4) Di Udara

Metana merupakan senyawa dengan berat molekul 16,04 g/mol yang tidak
berwarna maupun berbau (Tabel II.2). Metana tidak bersifat racun. Sifat
berbahayanya yang dapat meledak lebih dipicu oleh kontak dengan oksidator dan
halogen. Metana menyebabkan asfiksia yaitu keadaan yang dipicu oleh berkurangnya
kemampuan tubuh dalam menangkap oksigen atau mengakibatkan kadar oksigen
menjadi berkurang (Godhish, 2004).
Metana berwujud gas pada temperatur dan tekanan standar dengan rumus kimia
CH4. Metana murni memiliki sifat tidak berbau, akan tetapi apabila digunakan secara
komersial biasanya metana akan dicampur dengan odorant ethanethiol atau biasa
disebut mercaptan untuk dapat mendeteksi kebocoran. Membakar satu molekul
metana dengan oksigen akan menghasilkan/melepaskan satu mol CO2
(karbondioksida) dan H2O (air) menurut persamaan reaksi :
CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O
Dengan jumlahnya yang melimpah serta proses pembakaran yang bersih
membuat metana menjadi alternatif bahan bakar. Metana merupakan salah satu gas
penyebab efek rumah kaca dengan potensi pemanasan global adalah 23 kali dalam
100 tahun. Konsentrasi ini meningkat sebesar 150% sejak 1750 dan metana memiliki
konstribusi sebesar 20% dari total keseluruhan gas rumah kaca. Rata- rata konsentrasi
metana di permukaan bumi pada tahun 1998 sebesar 1,745 ppb.
Emisi gas metana ke atmosfer berasal dari sumber alami, sumber alami yang
terkena pengaruh oleh aktivitas manusia, dan sumber yang disebabkan oleh aktivitas
manusia. Selain itu dapat pula berasal dari sumber biogenik seperti proses
dekomposisi anaerobik materi organik yang merupakan sedimen yang terdapat di
danau, saluran pembuangan dan pertanian. Emisi gas metan juga dapat berasal dari
penambangan batubara, ekstraksi minyak dan gas bumi, pemurnian petroleum,
kebocoran jalur transmisi gas alam, pembakaran savana dan hutan tropis serta asap
buangan kendaraan bermotor (Manahan, 1994). Waktu tinggal gas metan di atmosfer
selama 10 tahun. Sumber alami penghasil CH4 berasal dari wetlands, laut, hydrates,
wild ruminants dan serangga (rayap), dimana besar kontribusinya yaitu 30% atau
sekitar 100-200 TgCH4/tahun. Sedangkan sumber CH4 dari aktivitas manusia
meliputi: sektor energi, agrikultur, pembuangan sampah, pembakaran biomassa,
penanaman padi, yang besar kontribusinya mencapai 70% atau sekitar 250-600
TgCH4/tahun.
Sumber pengurangan CH4 (sink) terjadi akibat reaksi dengan radikal hydroxyl
(OH) di troposfer (90%), pergerakan/perpindahan ke lapisan stratosfer (5%) dan
oksidasi tanah kering (5%) dengan total pengurangan secara keseluruhan mencapai
560 TgCH4/tahun. Radikal hydroxyl merupakan senyawa yang terbentuk oleh
fotodisosiasi ozon dan uap air. Radikal hydroxyl ini merupakan oksidan bagi polutan
udara primer seperti CH4, CO dan NOx, sehingga besarnya pengurangan CH4 seiring
dengan keberadaan OH dan tingkatan/kecepatan reaksinya. Pembentukan senyawa
radikal hydroxyl mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut :
1. O3 + hv O(1D) + O2 (fotodisosiasi)
2. O(1D) + H2O OH + OH (reaksi dengan uap air) Pengurangan CH4
mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut :
CH4 + OH• CH3• + H2O
Konsentrasi radikal hydroxyl tidak hanya dipengaruhi oleh emisi langsung dari
metan, tetapi juga oleh produk oksidasinya seperti CO (Anonim, 1998).
Meskipun CH4 dan N2O memiliki kemampuan yang besar dalam menyerap
radiasi infra merah, tapi peranannya masih relatif terbatas apabila dibandingkan
dengan gas CO2. Dampak penting dari CH4 dan N2O hanya dikarenakan peningkatan
konsentrasi yang terjadi di atmosfer. Metan dan N2O mampu menyerap panas 21 dan
206 kali lebih efektif apabila dibandingkan dengan gas CO2. Konsentrasi gas metan
mengalami peningkatan sejak masa industri. Peningkatan konsentrasi tahunan sebesar
10-15 ppbv per tahun mulai dari tahun 1980 - 1992 (Godhish, 2004).

METODE PENELITIAN

1. Pengukuran gas metana dengan metode NDIR (Non Dispersive Infrared)


1.1. Alat
Portable combination gas detector model RX-515 RIKEN KEIKI
1.2. Bahan
Udara ambient pada setiap titik yang diperkirakan mengandung gas metana
1.3. Cara kerja
Alat Portable combination gas detector model RX-515 RIKEN KEIKI
diletakan pada setiap titik yang diperkirakan terdapat gas metana. Metode yang
digunakan pada alat tersebut adalah NDIR (Non Dispersive Infrared), sumber cahaya
memancarkan sinar inframerah melewati sel pengukuran, dan melewati pita filter
optik yang bisa melewati gelombang mengukur penyerapan gas lalu mencapai ke
sensor inframerah. Sejumlah inframerah akan mencapai sensor inframerah melalui sel
pengukuran dan akan berkurang sesuai dengan densitas gas. Jumlah variable
inframerah yang diukur oleh sensor inframerah akan ditampilkan sebagai konsentrasi
gas. Kadar CH4 yang terukur dalam satuan %LEL (Lower Explosive Limit). %LEL
adalah batas bawah dimana saat CH4 sebanyak 5% terdapat di udara dapat
menyebabkan ledakan dan kebakaran pada landfil . %LEL dapat dikonversi menjadi
%volume di mana %volume dapat dikonversi menjadi ppm, dengan cara: (RKI, 2011)
a. 100% LEL= 5% volume
b. 1%volume =10.000ppm
Pengukuran gas metan pada lokasi berdasarkan SNI 19-7119.6-2005 mengenai
penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambient, yaitu
pengukuran konsentrasi gas metan dilakukan di tengah grid menghadap ke arah angin
dominan. Sampling dilakukan dua kali di setiap grid yaitu pada pagi hari (06.00-
09.00) dan sore hari (16.00-18.00) untuk mengetahui fluktuasi konsentrasi gas metan
selama 1 hari.
2. Pengukuran gas metana dengan metode Chromatography – Flame Ionization
Detector (GC-FID).

2.1 Alat
 Gas Chromatography Hewlwtt Packard ( HP 6890 Series )
 Detector FID
 Syringe 0,5 ml
 Absorben Sampel Gas
 Tabung Carrier Gas N2 dan He
 Airkit Flask Sampler

2.2 Bahan
 Sampel Gas 0,2 ml = 200 milimikron
 Gas Carrier N2 dan He
 Sampel Gas

2.3 Cara kerja


Pengambilan sampel gas rumah kaca dilakukan dengan menggunakan Airkit
Flask Sampler. kemudian Gas Chromatography dikalibrasi terlebih dengan
menggunakan sebuah tabung kalibrasi. Setelah dikalibrasi, Gas Chromatography
dirangkai dan diperiksa kembali rangkaiannya. Gas Chromatography dihubungkan
dengan gas pembawa dan dihubungkan ke arus listrik, kemudian diatur kecepatan dan
tekanan gas pembawa, temperatur kolom dan oven Recorder dihidupkan dan ditunggu
sampai alat stabil yang ditandai dengan adanya garis lurus pada monitor. Disuntikkan
gas standard dengan menggunakan syringe, ditunggu beberapa saat hingga semua gas
yang disuntikkan keluar. Disuntikkan gas yang akan dianalisa sebanyak 0,2 ml atau
sekitar 200 milimikron dengan menggunakan syringe pada injection port, lalu data
komposisi berbentuk kromatogram dan hasil perhitungan keluar.
Pengukuran gas metana sudah dilakukan di zona 4 TPA sumur batu kota Bekasi
dan di bukit Kototabang, Sumatra Barat, dimana pengukuran di kota bekasi
menggunakan metode NDIR (Non Dispersive Infrared) dan pengukuran di bukit
Kototabang menggunakan metode Chromatography – Flame Ionization Detector
(GC-FID). Hasil pengukuran konsentrasi gas metan yang berada di zona 4 pada pagi
dan sore hari setiap grid berbeda- beda dengan konsentrasi terendah di pagi hari
sebesar 164.002,1 µg/m3 dan konsentrasi tertinggi sebesar 656.008,6 µg/m3.
Konsentrasi terendah yang terjadi di sore hari sebesar 328.004,3 µg/m3 dan
konsentrasi tertinggi sebesar 820.010,7 µg/m3. Konsentrasi rata-rata zona 4 adalah
sebesar 433.434,235 µg/m3 lebih besar jika dibandingkan dengan baku mutu dari
Negara Bagian Delaware (USA) (160 µg/m3). Sedangkan penelitian di bukit
Kototabang menunjukan pengukuran CH4 di Bukit Kototabang sejak tahun 2004
konsentrasi CH4 atmosferik cenderung stabil. Tren ini mirip dengan tren konsentrasi
CH4 secara global karena CH4 merupakan gas rumah kaca yang memiliki waktu
tinggal di atmosfer yang cukup lama, yaitu 11 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Gioli, B., Toscano, P., Lugato, E., Matese, A., Miglietta, F., Zaldei, A. and Vaccari, F.P.
(2012) Methane and Carbon Dioxide Fluxes and Source Partitioning in Urban Areas:
The Case Study of Florence, Italy. Environmental Pollution, 164, 125-131.
Godish, T. (2004) Air Quality. Fourth Edition, CRC Press Inc., Boca Raton.
Gorka, M., Lewicka-Szczebak, D., Fus, R., Jakubiak, M. and Jedrysek, M.O. (2014)
Dynamics and Origin of Atmospheric CH4 in a Polish Metropolitan Area
Characterized by Wetlands. Applied Geochemistry, 45, 72-81.
Lowry, D., Holmes, C.W. and Rata, N.D. (2001) London Methane Emissions: Use of Diurnal
Changes in Concentration and δ13 C to Identify Urban Sources and Verify
Inventories. Journal of Geophysical Research, 106, 7427-7448.
Sinha, V., Williams, J., Crutzen, P.J. and Lelieveld, J. (2007) Methane Emissions from Boreal
and Tropical Forest Ecosystems Derived from In-Situ Measurements. Atmospheric
Chemistry and Physics Discussions, 7, 14011-14039.
Townsend-Small, A., Tyler, S.C., Pataki, D.E. and Xu, X. (2012) Isotopic Measurements of
Atmospheric Methane in Los Angeles, California, USA: Influence of “Fugitive”
Fossil Fuel Emissions. Journal of Geophysical Research, 117,

Pengukuran Gas Sulfur Oksida (SO) Di Udara

NI PUTU VENTI WIRATAMI


1508105020

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017

Pengukuran Gas Sulfur Oksida (SO)

Udara adalah suatu kesatuan ruangan, dimana makhluk hidup berada di


dalamnya. Udara atmosfer merupakan campuran gas yang terdiri dari sekitar 78%
Nitrogen, 20% oksigen, 0,93% Argon, 0,03% Karbon monoksida dan sisanya terdiri
dari Neon, Helium, Metan dan Hidrogen. Udara dikatakan “normal “ dan dapat
mendukung kehidupan manusia, apabila komposisinya seperti tersebut diatas.
Sedangkan apabila terjadi penambahan gas lain, apalagi yang menimbulkan gangguan
serta perubahan dari komposisi, maka dikatakan udara sudah tercemar. Pencemaran
udara adalah adanya atau masuknya salah satu atau lebih zat pencemar di udara,
dalam jumlah dan waktu tertentu, yang dapat menimbulkan gangguan pada manusia,
hewan, tumbuhan, dan bendabenda lainnya. (Undang-undang no 4 tahun 1982 tentang
pokok-pokok pengelolaan lingkungan hidup).

Secara umum terdapat 8 parameter pencemar udara yaitu, debu, NH3, Pb,
CO, SO2, hidrokarbon, NOX, dan H2S, yang secara bersamaan maupun sendiri-
sendiri memiliki potensi bahaya bagi lingkungan, yang meliputi dampak bagi
kesehatan masyarakat, hewan, tanaman maupun bagi material (benda) seperti
bangunan, logam dll. Gas SO2 (sulfur dioksida), merupakan gas polutan yang banyak
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung unsur belerang
seperti minyak, gas, batubara, maupun kokas. Disamping SO2, pembakaran ini juga
menghasilkan gas SO3, yang secara bersama-sama dengan gas SO2 lebih dikenal
sebagai gas SOx (sulfur oksida).

Akibat utama pencemaran gas sulfur oksida, khususnya SO2 terhadap


manusia adalah terjadinya iritasi pada system pernapasan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada konsentrasi SO2 sebesar 5 ppm
atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitive, iritasi sudah terjadi pada
paparan 1-2 ppm saja. Untuk penderita yang mempunyai penyakit kronis pada system
pernapasan dan kardiovaskular dan lanjut usia gas ini merupakan polutan yang
berbahaya karena dengan paparan yang rendah saja ( 0,2 ppm) sudah dapat
menyebabkan iritasi tenggorokan. Lebih lengkap, pada Table 1 ditunjukkan pengaruh
SO2 dalam berbagai kadar (ppm) terhadap kesehatan manusia. Disamping dampak
terhadap kesehatan manusia tersebut, polutan ini juga berpengaruh negatif pada
benda-benda maupun tanaman melalui pembentukan hujan asam. Secara umum,
proses pembentukan gas sulfur oksida hasil pembakaran bahan bakar fosil mengikuti
mekanisme reaksi sebagai berikut : S + O2 SO2

2 SO2 + O2 2 SO3

Dari hasil pembakaran ini, jumlah SO2 selalu akan lebih besar dari jumlah
SO3, karena pembentukan SO3 sangat dipengaruhi oleh kondisi reaksi seperti suhu
dan jumlah O2, dan biasanya tidak lebih dari 10 % jumlah pembentukan gas Sulfur
oksida. Meskipun pembakaran

Senyawa-senyawa belerang yang bertindak sebagai zat pencemar yang berbahaya


adalah gas-gasa SO2 dan SO3. Gas SO2 di atmosfer sebagian besar berasal dari hasil
pembakaran minyak bumi dan batubara yang mengandung belerang, di samping ada
juga yang berasal dari hasil oksidasi bijih-bijih sulfida di industri.

Udara yang mengadung SO2 dalam kadar cukup tinggi dapat menyebabkan
radang paru-paru dan tenggorokan pada manusia serta khlorosis (kepucatan) pada
daun-daun. Oksidasi SO2 akan menyebabkan terbentuknya SO3. SO3 bila bereaksi
dengan uap air akan menyebabkan hujan asam (acid rain). pH air hujan yang
mengandung oksida belerang akan turun menjadi 3 – 4. Akibatnya timbul korosi
logam-logam, kerusakan bangunan yang terbuat dari batu pualam dan memudarnya
cat-cat pada lukisan. SO2 apabila terisap oleh pernafasan, akan bereaksi dengan air
dalam saluran pernafasan dan membentuk asam sulfit yang akan merusak jaringan
dan menimbulkan rasa sakit. Apabila SO3 yang terisap, maka yang terbentuk adalah
asam sulfat, dan asam ini lebih berbahaya.

a.Sumber: Fasilitas pembangkit listrik dan panas yang menggunakan minyak atau
batu bara yang mengandung sulfur; pabrik asam sulfat,

b.Membahayakan kesehatan untuk SO2: 0,03 ppm (80 µg/m3) lebih setahun, 0,14
ppm (365 µg/m3) selbih 24 jam tidak lebih dari sekali setahun, 0,5 ppm (1300
µg/m3) lebih dari 3 jam.

Sumber pencemaran Sox, misalnya pembakaran arang, minyak bakar gas, kayu dan
sebagainya Sumber SOx yang kedua adalah dari proses-proses industri seperti
pemurnian petroleum, industri asam sulfat, industri peleburan baja dan sebagainya.
Pabrik peleburan baja merupakan industri terbesar yang menghasilkan Sox. Hal ini
disebabkan adanya elemen penting alami dalam bentuk garam sulfida misalnya
tembaga ( CUFeS2 dan CU2S ), zink (ZnS), Merkuri (HgS) dan Timbal (PbS).
Kerbanyakan senyawa logam sulfida dipekatkan dan dipanggang di udara untuk
mengubah sulfida menjadi oksida yang mudah tereduksi. Selain itu sulfur merupakan
kontaminan yang tidak dikehandaki didalam logam dan biasanya lebih mudah untuk
menghasilkan sulfur dari logam kasar dari pada menghasilkannya dari produk logam
akhirnya. Oleh karena itu SO2 secara rutin diproduksi sebagai produk samping dalam
industri logam dan sebagian akan terdapat di udara.

METODE PENELITIAN

1.1 Metode pararosanilin


Analisa ini digunakan untuk SO2 di udara ambien. Udara ambien adalah udara bebas
dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan mempengaruhi
kesehatan manusia, mahluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.
Prinsip metode ini :
Gas SO2 diserap dalam larutan penjerap tetrakloromerkurat membentuk senyawa
kompleks diklorosulfonatomerkurat.
HgCl42- + SO2 + H2O –> HgCl2SO32- + 2H+ + 2Cl–
Dengan menambahkan larutan pararosanilin dan formaldehida, kedalam senyawa
diklorosulfonatomerkurat maka terbentuk pararosanilin metil sulfonat yang
berwarna ungu. Konsentrasi larutan di ukur pada panjang gelombang 550 nm.
HCHO + SO2 + H2O –> HOCH2SO3H
1.2 Alat
- spektrofotometer
- impinger3
1.3 Bahan
- kalium tetra kloromerkurat (TCM).
- Pararosanilin
- formaldehida
1.4 Cara kerja
Pengambilan sampel gas SO2 menggunakan metode pararosanilin dengan
peralatan impinger3 . Prinsip dari metode ini adalah berdasarkan pada absorbsi gas
SO2 dari udara pada larutan penyerap kalium tetra kloromerkurat (TCM). Dalam hal
ini terbentuk kompleks diklorosulfito merkurat yang tahan oksidasi udara.
Selanjutnya kompleks tersebut kemudian direaksikan dengan pararosanilin dan
formaldehida membentuk asam pararosanilin metil sulfonat yang berwarna. Intensitas
warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer yang dihubungkan langsung
dengan jumlah SO2 yang ada dalam sample udara yang telah diambil. Metode
pengukuran tersebut berdasarkan reaksi Schiff yang dapat mengukur konsentrasi SO2
pada kisaran 25 ~ 1000 µg/m3 pada laju aliran sample udara yang sama, sedangkan
untuk yang lebih kecil dari 25 µg/m3 dapat diukur dengan volume sample udara yang
lebih besar. Kisaran kerja absorbsi antara 0,03µg ~ 1,00µg atau 0,8 µg ~ 27 µg ion
sulfit pada larutan 25 ml dengan mengikuti hukum beer
Rumus Perhitungan Konsentrasi :

µg SO2 / m3 = xD
( A – Ao ) ( Bs ) µg SO2 / m3 = --------------------- x D (1) Vr
Dimana : A = Absorbansi sample
Ao = Absorbansi pereaksi blanko
Vr = Volume udara terkoreksi pada 25°C dan 760 mmHg (m3 )
Bs = Faktor kalibrasi, ( µg/unit absorbansi)
D = Faktor pengencer, untuk sampel 30 menit dan 1 jam , D = 1, untuk sampel 24
jam, D = 10 Konsentrasi SO2 dapat dihitung sebagai ppm SO2 dengan cara : ppm
SO2 = µg SO2 /m3 x 3,82 x 10-4 …(2)
DAFTAR PUSTAKA

Prayudi T dan Susanto J.P. 2001, “Kualitas Debu Dalam Udara Sebagai Dampak
Industri

Pengecoran Logam Ceper”, Jurnal Teknologi Lingkungan.

Kristanto P, 2002, “Ekologi Industri”, Edisi Pertama, Cetakan Pertama.

Khasani, S. I. 1995, Peralatan Impinger, Kalibrasi dan Aplikasinya, Kursus Teknik


Analisa Debu dan Gas Berbahaya, Bandung.
Pengukuran Kadar Timbal (Pb) Di Udara Ambien

DEWIK SETIYAWATI
1508105054

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017
Pengukuran Kadar Timbal (Pb) Di Udara Ambien

Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga disebut

dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah, mudah dibentuk,

memiliki sifat kimia yang aktif sehingga biasa digunakan untuk melapisi logam agar

tidak timbul perkaratan. Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-abu kebiruan

mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2 (Sunarya, 2007).

Gambar 1. Logam Timbal (Pb) (Temple, 2007)

Timbal mempunyai nomor atom 82 dengan berat atom 207,20. Titik leleh

timbal adalah 1740 0C dan memiliki massa jenis 11,34 g/cm3 (Widowati, 2008). Palar

(1994) mengungkapkan bahwa logam Pb pada suhu 500-600 0C dapat menguap dan

membentuk oksigen di udara dalam bentuk timbal oksida (PbO). Dibawah ini

merupakan tabel yang menunjukkan beberapa sifat fisika yang dimiliki timbal.
Tabel 1. Sifat-sifat fisika Timbal (Pb)

Sifat Fisika Timbal Keterangan

Nomor atom 82
Densitas (g/cm3) 11,34
Titik lebur (0C) 327,46
Titik didih (0C) 1.749
Kalor peleburan (kJ/mol) 4,77
Kalor penguapan (kJ/mol) 179,5
Kapasitas pada 250C (J/mol.K) 26,65
Konduktivitas termal pada 300K (W/m K) 35,5
Ekspansi termal 250C (µm/ m K) 28,9
Kekerasan (skala Brinell=Mpa) 38,6

Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi

makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai

dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah (Brass & Strauss, 1981).

Pb dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya

Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi

manusia seperti padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik

secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke

perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu,

proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya

sumber Pb ke perairan (Palar, 1994).


Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbal karbonat, timbal

sulfat dan timbal klorofosfat (Faust & Aly, 1981). Kandungan Pb dari beberapa

batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki

kandungan Pb kurang lebih 200 ppm.

Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk

dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap

tubuh semakin meningkat (Kusnoputranto, 2006). Menurut Underwood dan Shuttle

(1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan

akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang. Lebih lanjut Underwood

dan Shuttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk ternak unggas dalam

pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm, batas ambang tinggi

sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih dari 200 ppm. Timbal

(Pb) menurut Lu (1995) dapat diserap dari usus dengan sistem transport aktif.

Transport aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul melalui membran

berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut merupakan ion. Pada saat

terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi pengikatan dan membutuhkan energi

untuk metabolisme (Rahde, 1991).


METODE PENELITIAN

1.1 Prinsip
Partikel di udara ditangkap dengan menggunakan alat HVAS dan media
penyaring atau filter. Timbal yang terkandung di dalam partikel tersuspensi tersebut
didekstruksi dengan menggunakan pelarut asam, kemudian diukur dengan alat
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).

1.2 Alat
a. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA);
b. pemanas listrik yang dilengkapi dengan pengatur suhu;
c. labu ukur 50 mL; 100 mL dan 1000 mL;
d. gelas piala 200 mL atau 250 mL tipe tinggi;
e. gelas ukur 100 mL dan 1000 mL;
f. pipet volumetrik 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 4 mL; 6 mL dan 10 mL;
g. kaca arloji;
h. filter berpori 80 um diameter 125 mm atau 110 mm
i. gunting yang terbuat dari keramik atau plastik; dan
j. corong gelas.

CATATAN Semua peralatan gelas yang digunakan, harus bebas logam berat dengan
cara dicuci dengan asam nitrat 5%.

1.3 Bahan
a. larutan asam nitrat (HNO3) (2+98)
Masukkan kurang lebih 200 mL air suling ke dalam gelas piala 1.000
mL. Tambahkan ke dalamnya 20 mL HNO3 pekat dan kemudian tepatkan
dengan air suling sampai tanda tera 1.000 mL, larutan dihomogenkan
b. larutan asam klorida (HCI) (1+2)
Masukkan kurang lebih 300 mL air suling ke dalam gelas piala 1000
mL. Tambahkan ke dalamnya 300 mL HCl pekat dan kemudian tepatkan
dengan air suling sampai tanda tera 900 mL, larutan dihomogenkan.
c. Gas asetilen;
d. Air demineralisasi yang bebas logam
e. Hidrogen peroksida (H2O2) 30%;
f. Larutan induk timbal (Pb) 1000 mg/L

1.4 Cara kerja


A. Persiapan pengujian
 Pembuatan larutan standar timbal (Pb) 100 mg/L
Dipipet 10 mL larutan induk timbal 1.000 mg/L dan masukkan ke dalam
labu ukur 100 mL kemudian ditambahkan air suling sampai tepat pada tanda
tera, lalu homogenkan.
 Pembuatan kurva kalibrasi
Dipipet berturut-turut ke dalam labu ukur 50 mL masing-masing 0,0
mL; 0,5 mL 1,0 mL;2,0 mL; 4,0 mL dan 6,0 mL larutan standar Pb 100 µg/mL
kemudian ditambahkan air suling sampai tepat pada tanda tera sehingga
diperoleh kadar Pb 0,0 µg/mL; 1,0 µg/mL; 2,0 µg/mL; 4,0 µg/mL; 8,0 µg/mL
dan 12,0 ug/mL setelah itu atur alat SSA dan optimalkan sesuai dengan
petunjuk penggunaan alat untuk pengujian kadar Pb dan aspirasikan larutan
deret standar satu persatu ke dalam alat SSA melalui pipa kapiler, kemudian
buat kurva kalibrasi dari data di atas atau tentukan persamaan garis lurusnya
kemudian baca dan catat masing-masing serapannya;
B. Pengujian sampel Pb pada udara terbuka
Disiapkan kertas filter terpapar debu yang berasal dari pengujian total
partikulat tersuspensi (TSP), lalu diukur dan catat panjang dan lebar filter yang
terpapar debu (mm) hitung luasnya (mm2). Kemudian dipotong kertas filter
menjadi 4 bagian yang sama kemudian hitung dan catat luasnya, setelah itu
ambil satu bagian kertas filter tersebut sebagai sampel uji dan masukkan ke
dalam gelas piala 200 mL dan tambahkan 60 mL larutan HCl (1+2) kemudian
tambahkan 5 mL H202 pekat dan tutup mulut gelas piala dengan kaca arloji
setelah itu letakkan gelas piala di atas pemanas listrik, panaskan contoh uji
selama kurang lebih satu jam pada temperatur 105°C kemudian turunkan
sampel dari pemanas,tambahkan kembali 5 mL H202 pekat dan lanjutkan
pemanasan di atas pemanas listrik selama 30 menit; setelah itu dinginkan
contoh uji dan kemudian lakukan penyaringan bilas kaca arloji dengan sejumlah
air bersamaan dengan penyaringan. Saring sampel dengan kertas saring dan
tampung filtrat pada gelas piala 200 mL; kemudian ditambahkan kembali 50
mL larutan HCI (1+2) pada gelas piala pada langkah 3.5 butir. Kemudian
dilanjutkan pemanasan selama 30 menit untuk residu terdahulu dan dinginkan
sampel uji dan kemudian lakukan penyaringan kembali, satukan filtrat dalam
gelas piala 200 mL lalu dipanaskan filtrat sampai mendekati kering (sisa cairan
tinggal sedikit) atau terbentuk kristal atau garam, dan ditambahkan 10 mL
HNO3 (2+98) ke dalam gelas piala lanjutkan pemanasan selama beberapa
menit (sampai seluruh residu terlarut) kemudian dinginkan dan saring sampel
uji, tampung filtrat dalam labu ukur 50 mL dan bilas gelas piala dengan HNO3
(2+98) kemudian tepatkan sampai tanda tera sampel uji siap dianalisis dengan
SSA, ulangi langkah untuk pengujian blanko.
Setelah didapatkan hasil kadar timbal di udara ambien di ukur dengan
rumus sebagai berikut:

Dimana,
Cpb = Kadar timbal di udara (µg/m3)
Ct = Kadar timbal dalam larutan contoh uji yang spike (µg/mL)
Cb = kadar timbal dalam larutan blangko (µg/mL)
Vt = volume larutan sampel uji (mL)
S = luas sampel uji yang terpapar debu pada permukaan filter (mm2)
St = luas sampel uji yang digunakan (mm2)
V = volume udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi perhitungan pada saat
sampling total
CATATAN, Volum udara yang dihisap dihitung berdasarkan perhitungan pada
saat sampling total partikulat

DAFTAR PUSTAKA

Brass, G.M. and W. Strauss, 1981, Air Pollution Control, John Willey & Sons. New
York.
Kusnoputranto, H. 2006, Toksikologi Lingkungan, Logam Toksik dan Berbahaya,
FKM-UI Press dan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan
Lingkungan. Jakarta.
Lu, Rui. M. Hernandez, A. Montserrat, R.M. Isabelle, and D.C. Baulcombe, 2003,
Virus-induced Gene Silencing in Plants, Methods. Journal of Application
Science. 30: 296-303.
Palar, H. 1994, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Sulistiani, W.S. 2009, Analisis Simultan Logam Berat Pb, Cu, Zn, Cr, Mn, Ni, Fe dan
Cd pada Bioindikator Remis (Eremopyrgus eganensis) di Sungai Kuripan
Lampung Menggunakan ICP-OES (Skripsi), FMIPA Universitas Lampung,
Bandar Lampung.
Sunarya, Y, 2007, Kimia Umum, Grafisindo, Bandung.
Temple, 2007, Heavy Metal Toxicity, Spirit Newsletter.
http://www.yourtemple.org/spirit/october2007/article.do, diakses 19
Desember 2017.
Underwood, E.J. and N.F. Shuttle, 1999, The Mineral Nutrition of Livestock. CABI
Publishing, Third ed. London. England, pp. 185 – 212..
Rahde, A.F, 1991, Lead Inorganic, IPCS INCHEM, pp 1 – 24
Widagdo, S, 2005, Tanaman Elemen Lanskap Sebagai Biofilter Untuk Mereduksi
Polusi Timbal (Pb) di Udara, IPB, Bogor.
Widowati, W, 2008, Efek Toksik Logam, Penerbit Andi. Yogyakarta. Hal. 63, 109,119.
.

Anda mungkin juga menyukai