UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017
STUDI KONSENTRASI KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) DI JALAN A.
P PETTARANI KOTA MAKASSAR
TAHUN 2014
Oleh :
RIZKI MARDHANI (1508105043)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2017
STUDI KONSENTRASI KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) DI JALAN A.
P PETTARANI KOTA MAKASSAR
TAHUN 2014
ABSTRAK
Kota besar yang padat lalu lintasnya akan banyak menghasilkan gas CO
sehingga kadar CO dalam udara relatif tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Didalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO di udara
perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor.
Penelitian ini untuk mengetahui kadar karbon monoksida udara ambien di jalan
A. P Pettarani kota Makassar. Selain pengukuran konsentrasi kadar karbon
monoksida dilakakukan juga pengukuran dengan faktor yang mempengaruhi
konsentrasi CO di udara yaitu: kecepatan Angin, Kelembaban, Suhu.
Jenis penelitian yang di gunakan adalah kuantitatif lapangan dengan melakukan
analisa laboratorium. Sampel penelitian adalah gas karbon monoksida yang tersebar
di empat titik di jalan A. P Pettarani Makassar.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar karbon Monoksida (CO) udara Ambien di jalan A.P Pettarani masih berada di
bawah standar baku mutu udara ambien berdasarkan PP RI No. 41 Tahun 1999 yaitu
30.000µg/Nm3 untuk gas karbon monoksida. Konsentrasi CO udara Ambien dijalan
A. P Pettarani kota Makassar rata-rata 2638,62µg/Nm3 . Suhu rata-rata 28-35 0C,
kelembaban rata-rata 54- 69 %RH dan kecepatan Angin rata-rata 1.13-2.08 m/s.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di sarankan perlu di lakukan pengukuran
bahan pencemar secara berkala untuk mengetahui perkembangan sebagai tindakan
pencegahan penanggulanganya. Kepada peneliti selanjutnya perlu di teliti hubungan
kadar CO udara ambien dan COHb pada kelompok yang resiko tinggi.
METODE PENELITIAN
Berikut adalah data-data hasil penelitian yang telah dilakukan selama 1 bulan
pada tanggal 1 juli sampai 31 juli 2014 di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan yang didapatkan di lapangan dan hasil sebagai berikut yang disajikan
dalam bentuk tabel dan narasi :
Waktu pengukuran
Parameter Lokasi
Pagi Siang Sore
0
I 28,0 C 35,0 0C 32,0 0C
0
II 30,0 C 33,0 0C 34,0 0C
Suhu
III 30,0 0C 35,0 0C 35,0 0C
0
IV 31,0 C 34,0 0C 35,0 0C
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui suhu bahwa pada pengukuran pagi
yang paling tinggi terdapat di lokasi ke IV yaitu sebanyak 31 0C dan yang paling
rendah terdapat di lokasi I yaitu, 28 0C, pada pengukuran siang suhu paling tinggi
terdapat di lokasi I dan III yaitu 35 0C dan yang paling rendah terdapat pada lokasi
II yaitu 33 0C, dan pada pengukuran sore suhu paling tinggi terdapat di lokasi III dan
IV yaitu 350C dan yang paling rendah terdapat di lokasi paling rendah terdapat di
lokasi I yaitu 320C.
3. Parameter kecepatan angin
Tabel Hasil Pengukuran Kecepatan Angin Udara di Jalan A. P Pettarani Makassar
Waktu pengukuran
Parameter Lokasi
Pagi Siang Sore
I 2,50 m/s 2,08 m/s 1,13 m/s
II 1,57 m/s 1,67 m/s 1,54 m/s
Kecepatan Angin
III 1,71 m/s 1,21 m/s 1,72 m/s
IV 1,45 m/s 1,37 m/s 2,15 m/s
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kecepatan angin pada
pengukuran pagi yang paling tinggi terdapat di lokasi ke I yaitu sebanyak 2,5m/s dan
yang paling rendah terdapat di lokasi IV yaitu, 1,45m/s, pada pengukuran kecepatan
siang paling tinggi terdapat di lokasi I yaitu 2,08m/s dan yang paling rendah terdapat
pada lokasi III yaitu 1,21 m/s, dan pada pengukuran sore kecepatan angina paling
tinggi terdapat di lokasi I yaitu 2,15 m/s dan yang paling rendah terdapat di lokasi
paling rendah terdapat di lokasi I yaitu 1,13 m/s.
4. Parameter kelembaban
Hasil Pengukuran Kelembaban Udara di Jalan A. P Pettarani Makassar
Berdasarkan data yang diperoleh selama pengukuran pada pagi hari diperoleh
konsentrasi CO yang tinggi sebesar 4081,88 µg/Nm3 meskipun nilai konsentrasinya
masih dibawah standar baku mutu udara ambien berdasarkan PP RI NO 41 Tahun
1999, dibanding konsentrasi Karbon Monoksida pada siang hari sebesar 3063,95
µg/Nm3 sedangkan pada sore hari mengalami penurunan yaitu, 660,03 µg/Nm3,
dimana pada pagi hari konsentrasi meningkat pada jam padat kendaraan karena pada
pagi hari banyak aktivitas di jalanan ini berarti pengaruh kendaraan sangat berperan
penting dalam peningkatan gas CO pada pengukuran pagi hari lebih tinggi jika
dibandingan dengan pengukuran sore hari. Hal tersebut disebabkan karena suhu
udara yang tinggi akan mempercepat terjadinya reaksi kimia di atmosfer, karena
udara panas akan merambat ke atas sehingga udara yang mengandung polutan di
permukaan bumi akan terangkat ke atas.
Referensi : http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6604/1/MUZAYYID_opt.pdf
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017
Metana merupakan senyawa dengan berat molekul 16,04 g/mol yang tidak
berwarna maupun berbau (Tabel II.2). Metana tidak bersifat racun. Sifat
berbahayanya yang dapat meledak lebih dipicu oleh kontak dengan oksidator dan
halogen. Metana menyebabkan asfiksia yaitu keadaan yang dipicu oleh berkurangnya
kemampuan tubuh dalam menangkap oksigen atau mengakibatkan kadar oksigen
menjadi berkurang (Godhish, 2004).
Metana berwujud gas pada temperatur dan tekanan standar dengan rumus kimia
CH4. Metana murni memiliki sifat tidak berbau, akan tetapi apabila digunakan secara
komersial biasanya metana akan dicampur dengan odorant ethanethiol atau biasa
disebut mercaptan untuk dapat mendeteksi kebocoran. Membakar satu molekul
metana dengan oksigen akan menghasilkan/melepaskan satu mol CO2
(karbondioksida) dan H2O (air) menurut persamaan reaksi :
CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O
Dengan jumlahnya yang melimpah serta proses pembakaran yang bersih
membuat metana menjadi alternatif bahan bakar. Metana merupakan salah satu gas
penyebab efek rumah kaca dengan potensi pemanasan global adalah 23 kali dalam
100 tahun. Konsentrasi ini meningkat sebesar 150% sejak 1750 dan metana memiliki
konstribusi sebesar 20% dari total keseluruhan gas rumah kaca. Rata- rata konsentrasi
metana di permukaan bumi pada tahun 1998 sebesar 1,745 ppb.
Emisi gas metana ke atmosfer berasal dari sumber alami, sumber alami yang
terkena pengaruh oleh aktivitas manusia, dan sumber yang disebabkan oleh aktivitas
manusia. Selain itu dapat pula berasal dari sumber biogenik seperti proses
dekomposisi anaerobik materi organik yang merupakan sedimen yang terdapat di
danau, saluran pembuangan dan pertanian. Emisi gas metan juga dapat berasal dari
penambangan batubara, ekstraksi minyak dan gas bumi, pemurnian petroleum,
kebocoran jalur transmisi gas alam, pembakaran savana dan hutan tropis serta asap
buangan kendaraan bermotor (Manahan, 1994). Waktu tinggal gas metan di atmosfer
selama 10 tahun. Sumber alami penghasil CH4 berasal dari wetlands, laut, hydrates,
wild ruminants dan serangga (rayap), dimana besar kontribusinya yaitu 30% atau
sekitar 100-200 TgCH4/tahun. Sedangkan sumber CH4 dari aktivitas manusia
meliputi: sektor energi, agrikultur, pembuangan sampah, pembakaran biomassa,
penanaman padi, yang besar kontribusinya mencapai 70% atau sekitar 250-600
TgCH4/tahun.
Sumber pengurangan CH4 (sink) terjadi akibat reaksi dengan radikal hydroxyl
(OH) di troposfer (90%), pergerakan/perpindahan ke lapisan stratosfer (5%) dan
oksidasi tanah kering (5%) dengan total pengurangan secara keseluruhan mencapai
560 TgCH4/tahun. Radikal hydroxyl merupakan senyawa yang terbentuk oleh
fotodisosiasi ozon dan uap air. Radikal hydroxyl ini merupakan oksidan bagi polutan
udara primer seperti CH4, CO dan NOx, sehingga besarnya pengurangan CH4 seiring
dengan keberadaan OH dan tingkatan/kecepatan reaksinya. Pembentukan senyawa
radikal hydroxyl mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut :
1. O3 + hv O(1D) + O2 (fotodisosiasi)
2. O(1D) + H2O OH + OH (reaksi dengan uap air) Pengurangan CH4
mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut :
CH4 + OH• CH3• + H2O
Konsentrasi radikal hydroxyl tidak hanya dipengaruhi oleh emisi langsung dari
metan, tetapi juga oleh produk oksidasinya seperti CO (Anonim, 1998).
Meskipun CH4 dan N2O memiliki kemampuan yang besar dalam menyerap
radiasi infra merah, tapi peranannya masih relatif terbatas apabila dibandingkan
dengan gas CO2. Dampak penting dari CH4 dan N2O hanya dikarenakan peningkatan
konsentrasi yang terjadi di atmosfer. Metan dan N2O mampu menyerap panas 21 dan
206 kali lebih efektif apabila dibandingkan dengan gas CO2. Konsentrasi gas metan
mengalami peningkatan sejak masa industri. Peningkatan konsentrasi tahunan sebesar
10-15 ppbv per tahun mulai dari tahun 1980 - 1992 (Godhish, 2004).
METODE PENELITIAN
2.1 Alat
Gas Chromatography Hewlwtt Packard ( HP 6890 Series )
Detector FID
Syringe 0,5 ml
Absorben Sampel Gas
Tabung Carrier Gas N2 dan He
Airkit Flask Sampler
2.2 Bahan
Sampel Gas 0,2 ml = 200 milimikron
Gas Carrier N2 dan He
Sampel Gas
DAFTAR PUSTAKA
Gioli, B., Toscano, P., Lugato, E., Matese, A., Miglietta, F., Zaldei, A. and Vaccari, F.P.
(2012) Methane and Carbon Dioxide Fluxes and Source Partitioning in Urban Areas:
The Case Study of Florence, Italy. Environmental Pollution, 164, 125-131.
Godish, T. (2004) Air Quality. Fourth Edition, CRC Press Inc., Boca Raton.
Gorka, M., Lewicka-Szczebak, D., Fus, R., Jakubiak, M. and Jedrysek, M.O. (2014)
Dynamics and Origin of Atmospheric CH4 in a Polish Metropolitan Area
Characterized by Wetlands. Applied Geochemistry, 45, 72-81.
Lowry, D., Holmes, C.W. and Rata, N.D. (2001) London Methane Emissions: Use of Diurnal
Changes in Concentration and δ13 C to Identify Urban Sources and Verify
Inventories. Journal of Geophysical Research, 106, 7427-7448.
Sinha, V., Williams, J., Crutzen, P.J. and Lelieveld, J. (2007) Methane Emissions from Boreal
and Tropical Forest Ecosystems Derived from In-Situ Measurements. Atmospheric
Chemistry and Physics Discussions, 7, 14011-14039.
Townsend-Small, A., Tyler, S.C., Pataki, D.E. and Xu, X. (2012) Isotopic Measurements of
Atmospheric Methane in Los Angeles, California, USA: Influence of “Fugitive”
Fossil Fuel Emissions. Journal of Geophysical Research, 117,
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017
Secara umum terdapat 8 parameter pencemar udara yaitu, debu, NH3, Pb,
CO, SO2, hidrokarbon, NOX, dan H2S, yang secara bersamaan maupun sendiri-
sendiri memiliki potensi bahaya bagi lingkungan, yang meliputi dampak bagi
kesehatan masyarakat, hewan, tanaman maupun bagi material (benda) seperti
bangunan, logam dll. Gas SO2 (sulfur dioksida), merupakan gas polutan yang banyak
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung unsur belerang
seperti minyak, gas, batubara, maupun kokas. Disamping SO2, pembakaran ini juga
menghasilkan gas SO3, yang secara bersama-sama dengan gas SO2 lebih dikenal
sebagai gas SOx (sulfur oksida).
2 SO2 + O2 2 SO3
Dari hasil pembakaran ini, jumlah SO2 selalu akan lebih besar dari jumlah
SO3, karena pembentukan SO3 sangat dipengaruhi oleh kondisi reaksi seperti suhu
dan jumlah O2, dan biasanya tidak lebih dari 10 % jumlah pembentukan gas Sulfur
oksida. Meskipun pembakaran
Udara yang mengadung SO2 dalam kadar cukup tinggi dapat menyebabkan
radang paru-paru dan tenggorokan pada manusia serta khlorosis (kepucatan) pada
daun-daun. Oksidasi SO2 akan menyebabkan terbentuknya SO3. SO3 bila bereaksi
dengan uap air akan menyebabkan hujan asam (acid rain). pH air hujan yang
mengandung oksida belerang akan turun menjadi 3 – 4. Akibatnya timbul korosi
logam-logam, kerusakan bangunan yang terbuat dari batu pualam dan memudarnya
cat-cat pada lukisan. SO2 apabila terisap oleh pernafasan, akan bereaksi dengan air
dalam saluran pernafasan dan membentuk asam sulfit yang akan merusak jaringan
dan menimbulkan rasa sakit. Apabila SO3 yang terisap, maka yang terbentuk adalah
asam sulfat, dan asam ini lebih berbahaya.
a.Sumber: Fasilitas pembangkit listrik dan panas yang menggunakan minyak atau
batu bara yang mengandung sulfur; pabrik asam sulfat,
b.Membahayakan kesehatan untuk SO2: 0,03 ppm (80 µg/m3) lebih setahun, 0,14
ppm (365 µg/m3) selbih 24 jam tidak lebih dari sekali setahun, 0,5 ppm (1300
µg/m3) lebih dari 3 jam.
Sumber pencemaran Sox, misalnya pembakaran arang, minyak bakar gas, kayu dan
sebagainya Sumber SOx yang kedua adalah dari proses-proses industri seperti
pemurnian petroleum, industri asam sulfat, industri peleburan baja dan sebagainya.
Pabrik peleburan baja merupakan industri terbesar yang menghasilkan Sox. Hal ini
disebabkan adanya elemen penting alami dalam bentuk garam sulfida misalnya
tembaga ( CUFeS2 dan CU2S ), zink (ZnS), Merkuri (HgS) dan Timbal (PbS).
Kerbanyakan senyawa logam sulfida dipekatkan dan dipanggang di udara untuk
mengubah sulfida menjadi oksida yang mudah tereduksi. Selain itu sulfur merupakan
kontaminan yang tidak dikehandaki didalam logam dan biasanya lebih mudah untuk
menghasilkan sulfur dari logam kasar dari pada menghasilkannya dari produk logam
akhirnya. Oleh karena itu SO2 secara rutin diproduksi sebagai produk samping dalam
industri logam dan sebagian akan terdapat di udara.
METODE PENELITIAN
µg SO2 / m3 = xD
( A – Ao ) ( Bs ) µg SO2 / m3 = --------------------- x D (1) Vr
Dimana : A = Absorbansi sample
Ao = Absorbansi pereaksi blanko
Vr = Volume udara terkoreksi pada 25°C dan 760 mmHg (m3 )
Bs = Faktor kalibrasi, ( µg/unit absorbansi)
D = Faktor pengencer, untuk sampel 30 menit dan 1 jam , D = 1, untuk sampel 24
jam, D = 10 Konsentrasi SO2 dapat dihitung sebagai ppm SO2 dengan cara : ppm
SO2 = µg SO2 /m3 x 3,82 x 10-4 …(2)
DAFTAR PUSTAKA
Prayudi T dan Susanto J.P. 2001, “Kualitas Debu Dalam Udara Sebagai Dampak
Industri
DEWIK SETIYAWATI
1508105054
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
BUKIT JIMBARAN
2017
Pengukuran Kadar Timbal (Pb) Di Udara Ambien
Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga disebut
dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah, mudah dibentuk,
memiliki sifat kimia yang aktif sehingga biasa digunakan untuk melapisi logam agar
tidak timbul perkaratan. Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-abu kebiruan
Timbal mempunyai nomor atom 82 dengan berat atom 207,20. Titik leleh
timbal adalah 1740 0C dan memiliki massa jenis 11,34 g/cm3 (Widowati, 2008). Palar
(1994) mengungkapkan bahwa logam Pb pada suhu 500-600 0C dapat menguap dan
membentuk oksigen di udara dalam bentuk timbal oksida (PbO). Dibawah ini
merupakan tabel yang menunjukkan beberapa sifat fisika yang dimiliki timbal.
Tabel 1. Sifat-sifat fisika Timbal (Pb)
Nomor atom 82
Densitas (g/cm3) 11,34
Titik lebur (0C) 327,46
Titik didih (0C) 1.749
Kalor peleburan (kJ/mol) 4,77
Kalor penguapan (kJ/mol) 179,5
Kapasitas pada 250C (J/mol.K) 26,65
Konduktivitas termal pada 300K (W/m K) 35,5
Ekspansi termal 250C (µm/ m K) 28,9
Kekerasan (skala Brinell=Mpa) 38,6
Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi
dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah (Brass & Strauss, 1981).
Pb dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya
Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi
manusia seperti padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik
secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke
perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu,
proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya
sulfat dan timbal klorofosfat (Faust & Aly, 1981). Kandungan Pb dari beberapa
batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki
Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk
dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap
pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang. Lebih lanjut Underwood
dan Shuttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk ternak unggas dalam
pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm, batas ambang tinggi
sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih dari 200 ppm. Timbal
(Pb) menurut Lu (1995) dapat diserap dari usus dengan sistem transport aktif.
berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut merupakan ion. Pada saat
terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi pengikatan dan membutuhkan energi
1.1 Prinsip
Partikel di udara ditangkap dengan menggunakan alat HVAS dan media
penyaring atau filter. Timbal yang terkandung di dalam partikel tersuspensi tersebut
didekstruksi dengan menggunakan pelarut asam, kemudian diukur dengan alat
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).
1.2 Alat
a. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA);
b. pemanas listrik yang dilengkapi dengan pengatur suhu;
c. labu ukur 50 mL; 100 mL dan 1000 mL;
d. gelas piala 200 mL atau 250 mL tipe tinggi;
e. gelas ukur 100 mL dan 1000 mL;
f. pipet volumetrik 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 4 mL; 6 mL dan 10 mL;
g. kaca arloji;
h. filter berpori 80 um diameter 125 mm atau 110 mm
i. gunting yang terbuat dari keramik atau plastik; dan
j. corong gelas.
CATATAN Semua peralatan gelas yang digunakan, harus bebas logam berat dengan
cara dicuci dengan asam nitrat 5%.
1.3 Bahan
a. larutan asam nitrat (HNO3) (2+98)
Masukkan kurang lebih 200 mL air suling ke dalam gelas piala 1.000
mL. Tambahkan ke dalamnya 20 mL HNO3 pekat dan kemudian tepatkan
dengan air suling sampai tanda tera 1.000 mL, larutan dihomogenkan
b. larutan asam klorida (HCI) (1+2)
Masukkan kurang lebih 300 mL air suling ke dalam gelas piala 1000
mL. Tambahkan ke dalamnya 300 mL HCl pekat dan kemudian tepatkan
dengan air suling sampai tanda tera 900 mL, larutan dihomogenkan.
c. Gas asetilen;
d. Air demineralisasi yang bebas logam
e. Hidrogen peroksida (H2O2) 30%;
f. Larutan induk timbal (Pb) 1000 mg/L
Dimana,
Cpb = Kadar timbal di udara (µg/m3)
Ct = Kadar timbal dalam larutan contoh uji yang spike (µg/mL)
Cb = kadar timbal dalam larutan blangko (µg/mL)
Vt = volume larutan sampel uji (mL)
S = luas sampel uji yang terpapar debu pada permukaan filter (mm2)
St = luas sampel uji yang digunakan (mm2)
V = volume udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi perhitungan pada saat
sampling total
CATATAN, Volum udara yang dihisap dihitung berdasarkan perhitungan pada
saat sampling total partikulat
DAFTAR PUSTAKA
Brass, G.M. and W. Strauss, 1981, Air Pollution Control, John Willey & Sons. New
York.
Kusnoputranto, H. 2006, Toksikologi Lingkungan, Logam Toksik dan Berbahaya,
FKM-UI Press dan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan
Lingkungan. Jakarta.
Lu, Rui. M. Hernandez, A. Montserrat, R.M. Isabelle, and D.C. Baulcombe, 2003,
Virus-induced Gene Silencing in Plants, Methods. Journal of Application
Science. 30: 296-303.
Palar, H. 1994, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Sulistiani, W.S. 2009, Analisis Simultan Logam Berat Pb, Cu, Zn, Cr, Mn, Ni, Fe dan
Cd pada Bioindikator Remis (Eremopyrgus eganensis) di Sungai Kuripan
Lampung Menggunakan ICP-OES (Skripsi), FMIPA Universitas Lampung,
Bandar Lampung.
Sunarya, Y, 2007, Kimia Umum, Grafisindo, Bandung.
Temple, 2007, Heavy Metal Toxicity, Spirit Newsletter.
http://www.yourtemple.org/spirit/october2007/article.do, diakses 19
Desember 2017.
Underwood, E.J. and N.F. Shuttle, 1999, The Mineral Nutrition of Livestock. CABI
Publishing, Third ed. London. England, pp. 185 – 212..
Rahde, A.F, 1991, Lead Inorganic, IPCS INCHEM, pp 1 – 24
Widagdo, S, 2005, Tanaman Elemen Lanskap Sebagai Biofilter Untuk Mereduksi
Polusi Timbal (Pb) di Udara, IPB, Bogor.
Widowati, W, 2008, Efek Toksik Logam, Penerbit Andi. Yogyakarta. Hal. 63, 109,119.
.