Anda di halaman 1dari 97

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN JIWA

STASE KEPERAWATAN JIWA

DIBUAT OLEH :

DIAN KARTIKASARI

175140010

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA (URINDO)

TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI

A. MASALAH UTAMA

Resiko bunuh diri

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Pengertian

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien

untuk mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan

Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:

a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional

b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi

c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung

(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan

kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

2. Tanda dan gejala :

a. Sedih

b. Marah

c. Putus asa

d. Tidak berdaya

e. Memberikan isyarat verbal maupun non verbal


3. Penyebab

Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan

masalah. Terbagi menjadi:

a. Faktor Genetik

Berdasarkan penelitian :

 1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu

yang menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami

gangguan mood/depresi/ yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

 Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar

dizigot

b. Faktor Biologis lain

Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya :

 Stroke

 Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)

 DiabetesPenyakit arteri koronaria

 Kanker

 HIV / AIDS

c. Faktor Psikososial & Lingkungan :

 Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa

kehilangan objek berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan

negatif thd diri, dan terakhir depresi

 Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang

berkembang, memandang rendah diri sendiri


 Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan,

kurangnya sistem pendukung sosial

4. Akibat

Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :

a. Keputusasaan

b. Menyalahkan diri sendiri

c. Perasaan gagal dan tidak berharga

d. Perasaan tertekan

e. Insomnia yang menetap

f. Penurunan berat badan

g. Berbicara lamban, keletihan

h. Menarik diri dari lingkungan social

i. Pikiran dan rencana bunuh diri

j. Percobaan atau ancaman verbal

C. POHON MASALAH

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah

Keputusasaan
D. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

1. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri

a. Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria

b. Usia: lebih tua, masalah semakin banyak

c. Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri

merupakan masalah.

d. Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan

bunuh diri / penyalahgunaan zat.

e. Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang

dicintai, pengangguran, mendapat malu di lingkungan social.

f. Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup diri.

g. Lain – lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih beresiko

mengalami perilaku bunuh diri.

2. Masalah keperawatan

a. Resiko Perilaku bunuh diri

DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya

hidup.

DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba

bunuhdiri.

b. Koping maladaptive

DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada

harapan.

DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol

impuls.
G. STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI

1. Kondisi Klien

Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun non

verbal

2. Diagnosa Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

3. Tujuan

a. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya

b. Pasien dapat mengungkapkan perasaanya

c. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya

d. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik

4. Tindakan Keperawatan

a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan

meminta bantuan dari keluarga atau teman.

b. Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:

1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.

2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.

3) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting

4) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien

5) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan

c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:

1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya

2) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara

penyelesaian masalah
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih

baik

5. Strategi Pelaksanaan

b. SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri

Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.

1) Orientasi :

”Selamat pagi Pak, kenalkan saya suster Fitri Purwaningsih, biasa di

pangil Fitri, saya mahasiswa Profesi Ners Keperawatan Urindo yang

bertugas di ruang ini, saya dinas pagi dari jam 3 siang sampai jam 8

malam.”

”Bagaimana perasaan Bapak hari ini?”

”Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang Bapak rasakan

selama ini. Dimana dan berapa lama kita bicara?”

2) Kerja

”Bagaimana perasaan Bapak setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana

ini Bapak paling merasa menderita di dunia ini? Apakah Bapak pernah

kehilangan kepercayaan diri? Apakah Bapak merasa tidak berharga atau

bahkan lebih rendah dari pada orang lain? Apakah Bapak merasa

bersalah atau mempersalahkan diri sendiri? Apakah Bapak sering

mengalami kesulitan berkonsentrasi? Apakah Bapak berniat unutuk

menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh diri atau berharap Bapak mati?

Apakah Bapak pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana

caranya? Apa yang Bapak rasakan?”


”Baiklah, tampaknya Bapak membutuhkan pertolongan segera karena

ada keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi

kamar Bapak ini untuk memastikan tidak ada benda – benda yang

membahayakan Bapak”

”Karena Bapak tampaknya mash memilikikeinginan yang kuat untuk

mengakhiri hidup Bapak, saya tidak akan membiarkan Bapak sendiri”

”Apa yang Bapak lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”

”Kalau keninginan itu muncul, maka akan mengatasinya Bapak harus

langsung minta bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga

atau teman yang sedang besuk. Jadi Bapak jangan sendirian ya, katakan

kepada teman perawat, keluarga atau teman jika ada dorongan untuk

mengakhiri kehidupan”

”Saya percaya Bapak dapat mengatasi masalah.”

3) Terminasi :

”Bagaimana perasaan Bapak sekarang setelah mengetahui cara

mengatasi perasaan ingin bunuh diri?”

”Coba Bapak sebutkan lagi cara tersebut!”

”Saya akan menemani Bapak terus sampapi keinginan bunuh diri

hilang.” (jangan meninggalkan pasien).


DAFTAR PUSTAKA

Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:

EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

A. MASALAH UTAMA

Waham

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Pengertian

Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas

yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan

latar belakang budaya klien.

Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham

atau delusi adalah ide yang salah dan bertentangan atau berlawanan dengan

semua kenyataan dan tidak ada kaitannya degan latar belakang budaya (Keliat,

2009).

2. Tanda dan gejala :

Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,

kebesaran, curiga, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak

sesuai dengan kenyataan

 Klien tampak tidak mempercayai orang lain, curiga, bermusuhan

 Takut, kadang panik

 Tidak tepat menilai lingkungan / realitas

 Ekspresi tegang, mudah tersinggung


3. Penyebab

Penyebab secara umum dari waham adalah gannguan konsep diri :

harga diri rendah. Harga diri rendah. Waham dipengaruhi oleh factor

pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak

ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. Waham dapat

dicetuskan oleh tekanan, isolasi, pengangguran yang disertai perasaan tidak

berguna, putus asa, tidak berdaya.

4. Akibat

Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi

verbal. Tanda dan gejala: Pikiran tidak realistik, flight of ideas, kehilangan

asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak mata yang kurang.

Akibat yang lain yang ditimbulkannya adalah beresiko mencederai diri,

orang lain dan lingkungan. Tanda dan gejala:

a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.

b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika

sedang kesal atau marah.

c. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.

d. Mata merah, wajah agak merah.

e. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit,

memukul diri sendiri/orang lain.

f. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.

g. Merusak dan melempar barang-barang.


C. POHON MASALAH

Kerusakan komunikasi

Waham Core problem

Gangguan konsep
diri: harga diri
rendah

D. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

1. Masalah keperawatan :

a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

b. Kerusakan komunikasi : verbal

c. Perubahan isi pikir : waham

d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.

2. Data yang perlu dikaji :

a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

1) Data subjektif

Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal

pada seseorang, klien suka membentak dan menyerang orang yang

mengusiknya jika sedang kesal, atau marah, melukai / merusak barang-

barang dan tidak mampu mengendalikan diri.


2) Data objektif

Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras,

bicara menguasai, ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan

melempar barang-barang.

b. Kerusakan komunikasi : verbal

1) Data subjektif

Klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik

2) Data objektif

Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang

didengar dan kontak mata kurang

c. Perubahan isi pikir : waham ( ………….)

1) Data subjektif

Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama,

kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan

tetapi tidak sesuai kenyataan.

2) Data objektif :

Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,

merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat

waspada, tidak tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien

tegang, mudah tersinggung.


d. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

1) Data subjektif

Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-

apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu

terhadap diri sendiri

2) Data objektif

Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih

alternative tindakan, ingin mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kerusakan komunikasi verbal


F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
G. STRATEGI PELAKSANAAN : GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

1. Kondisi Klien :

Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,

kebesaran, curiga, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak

sesuai dengan kenyataan. Klien tampak tidak mempercayai orang lain, curiga,

bermusuhan. Takut, kadang panik. Tidak tepat menilai lingkungan / realitas.

Ekspresi tegang, mudah tersinggung

2. Diagnosa Keperawatan

Gangguan proses pikir : waham

3. Tujuan

 Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap

 Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar

 Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan

 Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar

4. Tindakan Keperawatan

a. Bina hubungan saling percaya

Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham, saudara harus

membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa aman

dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus saudara

lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:

 Mengucapkan salam terapeutik

 Berjabat tangan

 Menjelaskan tujuan interaksi

 Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu orientasi realita

 Tidak mendukung atau membantah waham pasien

 Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman

 Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari

 Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya dengarkan tanpa

memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti

membicarakannya

 Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan

realitas

 Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi

sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah

 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan

emosional pasien

 Berdikusi tentang kemampuan positif yang dimiliki

 Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki

 Berdiskusi tentang obat yang diminum

 Melatih minum obat yang benar

5. Strategi Tindakan

a. SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya; mengidentifikasi kebutuhan

yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan; mempraktekkan pemenuhan

kebutuhan yang tidak terpenuhi


Orientasi:

“Selamat pagi pak, perkenalkan nama saya suster Fitri Purwaningsih, biasa dipanggil

Fitri, saya mahasiswa Profesi Ners Keperawatan dari Urindo yang akan praktek di

ruangan ini selama 2 minggu ke depan. Saya hari ini dinas siang dari pukul 15.00-20.00,

saya yang akan merawat Bapak siang ini.”

“Nama Bapak siapa?Senangnya dipanggil apa?”

“Pak K, bisa kita berbincang-bincang tentang apa yang Pak K rasakan sekarang?”

“Berapa lama Pak K mau kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 15 menit?”

“Bapak mau kita berbincang-bincang di mana?”

Kerja:

“Saya mengerti Pak K merasa bahwa Pak K adalah seorang…., tapi yang Bapak rasakan

tidak dirasakan oleh orang lain”

“Tampaknya Bapak gelisah sekali, bisa Bapak ceritakan apa yang Bapak rasakan?”

“O... jadi bang B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak

untuk mengatur diri abang sendiri?”

“Siapa menurut Bapak yang sering mengatur-atur diri Bapak?”

“Jadi ibu yang terlalu mengatur-ngatur Bapak, juga kakak dan adik Bapak yang lain?”

“Kalau Bapak sendiri inginnya seperti apa?”

“O... bagus Bapak sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri”

“Coba kita bersama-sama tuliskan rencana dan jadwal tersebut”

“Wah..bagus sekali, jadi setiap harinya Bapak ingin ada kegiatan diluar rumah karena

bosan kalau di rumah terus ya”


Terminasi :

“Oya Pak, karena sudak 15 menit, apakah Bapak mau kita berbincang-bincang lagi atau

sampai disini saja?”

“Bagaimana perasaan Bapak setelah berbincang-bincang dengan saya?”

“Apa saja yang sudah kita bicarakan Pak”

“Bagaimana kalau saya kembali lagi 2 jam lagi”

“Bagaimana kalau besok kita berbincang-bincang mengenai hobi Bapak?”

“Jadi Bapak, hari ini kita sudah berbincang tentang perasaan yang Bapak rasakan,

Bapak ingin seperti apa dan jadwal yang sudah kita buat”

“Kalau begitu saya pamit dulu Pak, Selamat Pagi”


DAFTAR PUSTAKA

Keliat Budi A. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi 1. EGC : Jakarta

Keliat Budi A. 2009. Model Praktik Keperawatan Professional Jiwa. EGC : Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. MASALAH UTAMA

Defisit perawatan diri

B. PROSES TERJADINYA

1. Definisi

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi

kebutuhannya,kesehatan dan kesejateraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien

dinyatakan terganggu keperatawan dirinya jika tidak dapat melakukan keperawatan

diri (Depkes, 2000).

Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan

gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan

untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat

dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum

secara mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti, 2012)

2. Penyebab

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah

kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000), penyebab kurang

perawatan diri adalah :

a. Factor predisposisi

1) Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga

perkembangan inisiatif terganggu


2) Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan

perawatan diri.

3) Kemampuan realitas turun

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang

menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan

diri.

4) Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.

Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

b. Faktor presipitasi

Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang

penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang

dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan

perawatan diri. Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi

personal hygiene adalah:

1) Body Image

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan

diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli

dengan kebersihan dirinya.

2) Praktik Sosial

Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka

kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.


3) Status Sosial Ekonomi

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta

gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk

menyediakannya.

4) Pengetahuan

Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan

yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita

diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.

5) Budaya

Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.

6) Kebiasaan seseorang

Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam

perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.

7) Kondisi fisik atau psikis

Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri

berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya

3. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygine

a. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak

terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,gangguan fisik yang sering

terjadi adalah: gangguan intleglitas kulit, gangguan membrane mukosa mulut,

infeksi mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.


b. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine adalah

gangguan kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan

harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012)

2. Jenis

Menurut (Damaiyanti, 2012) jenis perawatan diri terdiri dari :

a. Defisit perawatan diri : mandi

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan

mandi/beraktivitas perawatan diri sendiri

b. Defisit perawatan diri : berpakaian

Hambatan kemampuan untuk melakukan ata menyelesaikan aktivitas

berpakaian dan berhias untuk diri sendiri.

c. Defisit perawatan diri : makan

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas

sendiri

d. Defisit perawatan diri : eliminasi

Hambatn kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas

eliminasi sendiri.
3. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan diri Kadang perawatan diri Tidak melakukan perawatan

seimbang kadang tidak diri pada saat stress

1) Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu ntuk

berperilaku adatif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien

masih melakukan perawatan diri

2) Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan stressor

kadang-kadang pasien tidak menperhatikan perawatan dirinya

3) Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak perduli dan tidak

bisa melakukan perawatan saat stresso (Ade, 2011).

4. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala defisit dar menurut adalah (Damaiyanti, 2012) sebagai

berikut :

a. Mandi/hygine

Klien mengalami ketidakmapuan dalam membersihkan badan, memperoleh

atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan

perlengkapan mandi, mengerikan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi

b. Berpakaian

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan

pakian, menangalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian.


c. Makan

Klien mempunyai ketidak mampuan dalam menelan makanan,

mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,

menggunakan alat tambahan, mendapat makanan, membuka container,

memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanandari wadah lalu

memasukan ke mulut, melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara

yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup

makanan dengan aman

e. Eliminasi

Klien memiliki kebatasan atau krtidakmampuan dalam mendapatkan

jamban atau kamar kecil atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian

toileting, membersihkan diri setelah BAK/BAB dengan tepat, dan menyiram

toilet atau kamar kecil.

Menurut Depkes (2000) tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan

diri adalah :

1) Fisik

 Badan bau, pakaian kotor

 Rambut dan kulit kotor

 Kuku panjang dan kotor

 Gigi kotor disertai mulut bau

 Penampilan tidak rapi


2) Psikologis

 Malas, tidak ada inisiatif

 Menarik diri, isolasi diri

 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina

3) Social

 Interaksi kurang

 Kegiatan kurang

 Tidak mampu berperilaku sesuai norma

 Cara makan tidak teratur

 BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu

mandiri

5. Akibat

a. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak tidak

terpeliharanya kebersihan perorangandengan baik, gangguan fisik yang seering

terjadi adalah: gangguan integritas kulit, gangguan membrane mukosa mulut,

infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.

b. Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine adalah

gangguan kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan

harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012)

6. Mekanisme koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongan di bagi menjadi 2 yaitu:


a. Mekanisme koping adaptif

Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi pertumbuhan

belajar dan mencapai tujuan. Kategori ini adalah klien bisa memenuhi kebutuhan

perawatan diri secara mandiri.

b. Mekanisme koping maladaptive

Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah

pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.

Kategorinya adalah tidak mau merawat diri (Damaiyanti, 2012).

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan manurut herman (Ade, 2011) adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri

b. Membimbing dan menolong klien merawat diri

c. Ciptakan lingkungan yang mendukung

C. POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan

Harga diri rendah Kronis

Koping Individu Tidak Efektif


D. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Hygine Diri

2. Berhias

3. Makan

4. BAB/BAK
E. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
F. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Proses Keperawatan

a. Kondisi Pasien

Tn. A mengalami defisit perawatan diri, klien selalu BAB dan BAK di

sembarang tepat dan tidak mau di ajak ke WC atau ke kamar mandi. Klien

juga tidak membersihkan diri/cebok setelah BAB dan BAK.

1) Data Subjektif

 Klien mengatakan tidak mau BAB dan BAK di kamar mandi

 Kien mengatakan tidak mengerti cara BAB dan BAK di kamar mandi.

2) Data Objektif

 Klien tidak mau diajak BAB dan BAK di kamar mandi

 Klien tidak mebersihkan diri setalah BAB dan BAK

c. Diagnosa Keperawatan

Defisit Perawatan Diri

d. Tujuan Khusus

1) Melakukan kebersihan diri sendiri secara mandiri

2) Melakukan berhias atau berdandan secara baik

3) Melakukan akan dengan baik.

e. Tindakan keperawatan

1) Melatih pasien secara perawatan kebersihan dengan cara

 Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri

 Menjelaskan alat - alat untuk menjaga kebersihan

 Menjeaskan cara-cara melakukan kebersihan diri

 Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.


1) Membantu pasien atihan berhias

Latihan berhias pada pria berhias harus dibedakan dengan wanita.

Pada pasien laki-laki, latihan meiputi latihan berpakaian, menyisiir

rambut dan bercukur sedangkan pada pasien perepuan latihan meliputi

latihan berpakaian, menyisir rambut dan berdandan

2) Melatih pasien akan secara andiri dengan cara

 Menjelaskan cara mempersiapkan makan

 Menjelaskan cara akan yang tertib

 Menjelaskan cara merapikan peraatan akan seteah akan

 Mempraktikkan cara akan yang baik

3) mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara andiri

 Menjeaskan tepat BAB/BAK yang sesuai

 Menjeaskan cara mebersihkan diri setaah BAB/BAK

 Menjeaskan cara mebersihkan tepat BAB/BAK

2. Strategi komunikasi pelaksanaan tindakan

a. SP 1 pasien : mendiskusikan pentingnya kebersihan diri, cara-cara

merawat diri dan melatih pasien tentang cara-cara perawatan kebersihan

diri.
a. Orientasi

Salam terapeutik
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya suster Fitri, saya mahasiswa
Profesi Ners Keperawatan Urindo yang dinas di ruangan ini“.
“Boleh tau, nama bapak siapa? Senangnya dipanggil apa?”
“Saya dinas siang di ruangan ini dari jam 3 siang sampai 8 malam,
selama di rumah sakit ini saya yang akan merawat bapak B”
Evaluasi
“Dari tadi, saya lihat menggaruk-garuk badannya, gatal ya”?

Kontrak

“Bagaimana kalau kita bicara tentang kebersihan diri ?”


“Berapa lama kita bicara ? 20 menit ya… ? mau dimana.. ? disini saja ya?”

b. Kerja

“Berapa kali B mandi dalam sehari?”

“Apakah B sudah mandi hari ini?”

“menurut B apa kegunaan mandi?”

“Apa alasan B sehingga tidak biasa merawat diri?”

“Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak merawat diri dengan baik seperti apa ? badan gatal, mulut
bau, apalagi.. ? kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah apa menurut B yang bias
muncul ? betul ada kudis, kutu”

“Bagaimana kalau kita sekarang kekamar mandi, saya akan membimbing bapak B melakukannya.
Bagus sekali, sekarang buka pakaian dan gantung. Sekarang bapak B siram seluruh tubuh bapak B
termasuk rambut lalu ambil sampo gosokkan pada kepala bapak B sampai berbusa lalu bilas sampai
bersih. Bagus sekali. Selanjutnya ambil sabun, gosokkan di seluruh tubuh secara merata lalu siram
dengan air bersih, jangan lupa sikat gigi pakai odol.. gosok seluruh gigi bapak B mulai dari depan
sampai belakang, atas dan bawah. Bagus lalu kumur-kumur sampai bersih.. terakhir siram lagi
seluruh tubuh bapak B sampai bersih lalu keringkan dengan handuk. Bagus sekali melakukannya.
Selanjutnya bapak B pakai baju yang bersih, bagus sekali, mari kita ke kaca dan sisir rambutnya,
nah bapak B rapi dan bersih”

c. Terminasi

Evaluasi subyektif

Bagaimana perasaan B setelah mandi dan mengganti pakaian?

Evaluasi Obyektif

Coba sebutkan lagi, apa saja cara mandi yang baik yang sudah B ketahui ?

Kontrak

a) Topik

Baik pak sekarang bincang bincangnya sudah selesai, bagai mana kalau besok jam 8 saya kembali
lagi untuk latihan berias

b) Tempat

Kita akan melakukan di kamar, bagaimana menurut bapak? Apakah bapak setuju? Atau ganti di
tempat lain?

c) Waktu

Waktunya berapa lama pak ? baiklah 5 menit saja.

Rencana tindak lanjut

Bagaimana kalau latihan ini kita memasukkan dalam jadwal kegiatan sehari-hari?

Untuk selanjutnya saya berharap bpak dapat melakukan cara-cara pasien berhias.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti. (2012). Asuhan keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Depkes, R. (2000). Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan keperawatan Jiwa. Jakarta:

Depkes RI.

Herman ade. (2011). buku ajar asuhan keperawatan jiwa. yogyakarta: nuha medika.
LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

A. MASALAH UTAMA

Ganguan persepsi sensori : halusinasi

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Definisi

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra

tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi

melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu. (Prabowo, 2014 : 129)

Halusinasi adaah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan

internal (pikiran) dan rangsnagan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau

pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai

contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang

berbicara.(Kusumawati & Hartono, 2012:102)

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalamai

perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya

tidak ada. (Damaiyanti, 2012: 53)


2. Penyebab

a. Faktor Predisposisi

1) Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan kehangatan

keluarga menyebabkan pasien

tidak mampu mandiri sehjak kecil, mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih

rentan terhadap stress.

2) Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima di ingkungannya sejak bayi akan merasa

disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

3) Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang

berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan zat yang dapat bersifat

halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya

neutransmitter otak.

4) Faktor Psikologi

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus

padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan pasien

dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien lebih memilih

kesenangan sesaat dan lari dari alam nyataa menuju alam hayal.
5) Faktor Genetik dan Pola Asuh

Penelitian menunjukkan bahwaanak sehat yang diasuh oleh orang tua

skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor

keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh padapenyakit ini. (Prabowo,

2014: 132-133)

b. Faktor Presipitasi

1) Biologis

Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses

informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan

ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak

untuk diinterprestasikan.

2) Stress Lingkungan

Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor lingkungan

untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3) Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi

stress.(Prabowo, 2014 : 133)

4) Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak

aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak mampu

mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan nyata dan tidak.


a) Dimensi fisik

Halusianasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang

luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan

kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang lama.

b) Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi

merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat berupa peritah

memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut

hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

c) Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi

akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi

merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun

merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh

perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua perilaku klien.

d) Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting,

klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan.

Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk

memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak

didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut,

sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu

cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interkasi yang

menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien


tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan

halusinasi tidak berlangsung.

e) Dimensi spiritual

Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak

bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk

menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu.(Damaiyanti, 2012 : 57-58)

3. Jenis

Haluinasi terdiri dari beberapa jenis, dengan karakteristik tertentu, diantaranya:

a. Halusinasi Pendengaran (akustik, audiotorik)

Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-suara

orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang

sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

b. Halusinasi Pengihatan (visual)

Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,

gambaraan geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan komplesk.

Bayangan bias bisa menyenangkan atau menakutkan.

c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)

Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau busuk,

amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-kadang terhidu

bau harum. Biasnya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.

d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak enak tanpa

stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati

atau orang lain.


e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis,

dan menjijikkan.

f. Halusinasi sinestetik

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah

mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine. (Yosep

Iyus, 2007: 130)

g. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah tidak

seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sering pada

skizofrenia dan sindrom obus parietalis. Misalnya sering merasa diringa terpecah dua.

2) Derelisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang tidak sesuai dengan

kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu yang dialaminya seperti dalam mimpi.

(Damaiyanti, 2012 : 55-56)

4. Rentang Respon

Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu stimulus

berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon neurobiologis

sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis, persepsi akurat, emosi

konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon maladaptif yang meliputi delusi,

halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut :
Rentang Respon Neurobiologist

Respon adaptif Respon Maladaptif

Pikiran Logis Pikiran Kadang Menyimpang


Kelainan Pikiran
Persepsi Akurat Ilusi
Halusinasi
Emosi Konsisten Reaksi Emosional
Ketidakmampuan
Perilaku Sesuai Perilaku Tidak Lazim
Emosi
Hubungan Sosial Mengalami

Ketidakteraturan Menarik Diri

Rentang respon neurobiologis (Stuart and Sundeen, 1998)

Rentang Respon

a. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social budaya

yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi

suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif :

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman

ahli

4) Perilaku social adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran

5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan

b. Respon psikosossial
Meliputi :

1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan

2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang

benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra

3) Emosi berlebih atau berkurang

4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.

c. Respon maladapttif

Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang

menyimpang dari norma-norma social budaya dan lingkungan, ada pun respon

maladaptive antara lain :

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak

diyakin ioleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan social.

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak

realita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.

4) Perilaku tidak terorganisi rmerupakan sesuatu yang tidak teratur

5) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima

sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negative

mengancam.(Damaiyanti,2012: 54)
5. Proses Terjadinya Masalah

Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase memiliki

karakteristik yang berdeda yaitu:

a. Fase I

Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah

dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan

ansietas. Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah

tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.

b. Fase II

Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali dan

mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumberdipersepsikan. Disini terjadi

peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-

tanda vital ( denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengna pengalaman

sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan reaita.

c. Fase III

Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah

pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan orang ain,

berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain dan berada dalam

kondisi yang sangat menegangkan terutamajika akan berhubungan dengan orang lain.

d. Fase IV

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah

halusinasi. Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu

berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.

Kondisi pasien sangan membahayakan. ( Prabowo, 2014: 130-131)


6. Tanda dan Gejala

Perilaku paisen yang berkaitan dengan halusinasi adalah sebagai berikut:

a. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri

b. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, dan respon verba lambat

c. Menarik diri dari orang lain,dan berusaha untuk menghindari diri dari orang ain

d. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata

e. Terjadi peningkatan denyut ajntung, pernapasan dan tekanan darah

f. Perhatian dengan lingkunganyang kurang atau hanya beberapa detik dan

berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.

g. Curiga, bermusuhan,merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya) dan takut

h. Sulit berhubungan dengan orang lain

i. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung,jengkel dan marah

j. Tidak mampu mengikuti perintah

k. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton. (Prabowo, 2014:

133-134)

7. Akibat

Akibat dari hausinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan ingkungan.

Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk

melakuka sesuatu hal diluar kesadarannya.( Prabowo, 2014: 134)

8. Mekanisme Koping

a. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari

b. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk

mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain


c. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimuus internal.

(Prabowo, 2014 :134).

9. Penatalaksanaan

Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga sangat

penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ pasien dinyatakan boleh pulang

sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal merawat pasien,

menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai pengawas minum obat

a. Farmakoterapi

Neuroleptika dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizofrenia yang

menahun,hasilnyalebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun penyakit.Neuroleptika

dengan dosis efek tiftinggi bermanfaat pada penderita psikomotorik yang meningkat.

Kelas Kimia Nama Generik (Dagang) Dosis Harian


Fenotiazin Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klopromazin (Thorazine) 30-800 mg
Flufenazine (Prolixine, Permit) 1-40 mg
Mesoridazin ( Serentil) 30-400 mg
Perfenazin (Trialon) 12-64 mg
Prokloperazin (Compazine) 15-150 mg
Promazine (Sparine) 40-1200 mg
Tiodazin (Mellani) 150-800 mg
Trifluopromazine (Stelazine) 2-40 mg
Trifluopromazine (Vesprin) 60-150 mg
Toksanten Kloproktisen (Tarctan) 75-600 mg
Tioktiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Didraindolon Molindone (Moban) 225-225
b. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mall

secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada

satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia yang tidak

mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5

joule/detik.

c. Psikoterapi dan rehabilitasi

Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena

berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan pasien kembali

kemasyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong pasien bergaul

dengan orang lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak mengasingkan

diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk

mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti therapy modalitas yang

terdiridari :

d. Terapi aktivitas

1) Terapi music

Focus ; mendengar ; memainkan alat musik ; bernyanyi. yaitu menikmati dengan

relaksasi music yang disukai pasien.

2) Terapi seni

Focus: untuk mengekspresikan perasaan melalui beberapa

pekerjaan seni.

3) Terapi menari

Focus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh

4) Terapi relaksasi
Belajar dan praktik relaksasi dalam kelompok

Rasional : untuk koping/perilaku mal adaptif/deskriptif meningkatkan partisipasi dan

kesenangan pasien dalam kehidupan.

5) Terapi social

Pasien belajar bersosialisai dengan pasien lain

6) Terapi kelompok

a). Terapi group (kelompok terapeutik)

b). Terapi aktivitas kelompok (adjunctive group activity therapy)

c). TAK Stimulus Persepsi; Halusinasi

Sesi 1 : Mengenal halusinasi

Sesi 2 ; Mengontrol halusinasi dengan menghardik

Sesi 3 ; Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan

Sesi 4 ; Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap

Sesi 5 : mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat

e. Terapi lingkungan

Suasana rumah sakit dibuat seperti suasana d idalam keluarga( Home Like

Atmosphere).(Prabowo,2014: 134-136)

10. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan

Isolasi Sosial
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)

Pertemuan 1

A. PROSES KEPERAWATAN

1. Kondisi

a. Pasien tampak bicara dan tertawa sendiri

b. Pasien mondar mandir

c. Pasien merasa mendengarkam suara laki-laki yang menyuruh memukul.

2. Diagnosa keperawatan

Resiko mencedarai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan

perubahan persepsi sensori yaitu halusinasi pendengaran.

3. Tujuan khusus

a. Pasien dapatt membina hubungan saling percaya dengan perawat.

b. Pasien dapat mengenal halusinasi yang di alaminya.

4. Tindakan keperawatan

a. Membina hubungan saling percaya

b. Membantu pasien menyadari gangguan sensori persepsi halusinasi


B. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)

1. Orientasi

a. Salam terapeutik

Selamat pagi mas, sedang apa?”.” Kenalkan nama saya suster Fitri Purwaningsih, mas

bisa panggil saya Ibu atau suster Fitri saja. Mas namanya siapa?.........oooooo Hermanto,

senang di panggil siapa?”.” Baiklah mas Hermanto, saya akan menemani mas kurang

lebih dua minggu ke depan, nanti bisa cerita masalah yang di alami mas Herman.

b. Evaluasi/validasi

Bagaimana perasaan mas Herman saat ini?....ooooo kalau saya lihat mas Herman

tampak bicara, berbicara sama siapa?

c. Kontrak

1) Topik

Bagaimana kalau kita bercakap-cakap suara yang mas Herman dengar dan orang yang

mengajak bicara?

2) Tempat

Dimana kita akan berbincang-bincang mas?di ruang makan, baiklah.

3) Waktu

“Kita akan bercakap-cakap berapa menit? 15 menit, ya baiklah”

2. Kerja

“Yeah sekarang jika sudah duduk santai, tolong ceritakan suara yang mas Herman

dengar tadi tentang apa isi suara tersebut ?. Saat kapan mas Herman mendengar suara

tersebut ?. berapa kali mas mendengar suara tersebut.? Maukah mas saya ajarkan cara

untuk mengontrol halusinasi ?caranya seperti menghardik, , misalkan ada suara-suara


yang mas dengar menghardiknya dengan cara berteriak “pergi.....” apakah mas sudah

minum obat secara langsung. Begitu, lalu! Jadi mas mendengar suara orang yang

mengajak berbicara dan menyuruh memukul orang”.” Menurut mas suara tersebut suara

siapa, apakah mengenalnya?seperti suara laki-laki”

3. Terminasi

a. Evaluasi Subjektif

“Bagaimana perasaan mas Herman setelah berbincang-bincang tentang suara yang mas

dengar?”

b. Evaluasi Objektif

“Jadi suara yang mas dengar adalah……muncul saat…….dan yang mas lakukan saat

suara-suara tersebut muncul…….“

c. Kontrak

1) Topik

“Bagaimana kalau begitu, dimana kita akan bercakap-cakap, tentang cara

mengendalikan suara-suara tersebut? Setuju!”

2) Tempat

“Baiklah kalau begitu, di mana kita akan bercakap-cakap, mungkin mas punya tempat

yang teduh dan santai untuk ngobrol?”

3) Waktu

“Berapa lama kita akan bercakap-cakap? 10 menit atau 15 menit. Sampai jumpa besok

ya mas!”

d. Rencana tindak lanjut

“Baiklah mas, nanti di ingat-ingat lagi yang suara lain yang di dengar. Jangan lupa kalau

suara-suara itu muncul lagi beritahu perawat biar di bantu ya!” (Wijayaningsih,2015).
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Iyus, Y. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT refika Aditama.

Mukhripah Damayanti, Iskandar . (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika

Aditama.

Sundeen, S. A. (1998). Keperawatan Jiwa Edisi III. Jakarta: EGC.

Wijayaningsih, K. s. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa.

Jakarta Timur: TIM.


LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH

A. MASALAH UTAMA

Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Definisi

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga,tidak berarti dan rendah diri

yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan

diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu

mencapai keinginan sesuai ideal diri. ( Yosep,2009)

Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri sendiri atau

kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung

diekspresikan. ( Towsend,2008)

Harga diri adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa

seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. ( Keliat BA,2006)

2. Penyebab

Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang.

Dalam tinjuan life span history klien. Penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada

masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu

mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan

tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan atau
pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan

menuntut lebih dari kemampuannya.( Yosep,2009)

Menurut Stuart & Sundeen (2006), faktor-faktor yang mengakibatkan harga diri

rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai berikut :

a. Faktor predisposisi

1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang

tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab

personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.

2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe peran gender, tuntutan

peran kerja, dan harapan peran budaya

3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan orangtua,

tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial. (Stuart & Sundeen, 2006)

b. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan

bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan atau produktivitas yang

menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara

emosional atau kronik. Secara situasional karena trauma yang muncul secara tiba-tiba,

misalnya harus dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau dipenjara, termasuk dirawat

dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik

atau pemasangan alat bantu yang membuat klien sebelum sakit atau sebelum dirawat

klien sudah memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.( Yosep,2009)

Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak efektif

akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung kemunduran
perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif, disfungsi system keluarga

serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal.(Townsend,2008)

2. Jenis

Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang

diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.

Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri

tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa

sebagai seseorang yang penting dan berharga.

Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan

diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya disertai

oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri.

Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara :

a. Situasional

Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,dicerai

suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi

harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang

sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan

fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak

menghargai. (Makhripah D & Iskandar, 2012)

b. Kronik

Yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu sebelum

sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit dan dirawat

akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons
yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis

atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah D & Iskandar, 2012)

3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep Harga Kerancuan


Diri Diri Depersonalisasi
Diri Identitas
Rendah

a. Respon Adaptif

Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapinya.

1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar

belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima

2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang positif

dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari

dirinya.(Eko P, 2014)

b. Respon Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak

mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.

1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya yang negatif

dan merasa lebih rendah dari orang lain.

2) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak

memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.


3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai

kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara

intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan

orang lain.(Eko P,2014)

4. Proses terjadinya masalah

a. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis menurut Herman (2011)

adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang

mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang

tidak realistis. Faktor predisposisi citra tubuh adalah :

1) Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh

2) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh akibat penyakit

3) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh

4) Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi. Faktor predisposisi harga diri

rendah adalah :

a) Penolakan

b) Kurang penghargaan, pola asuh overprotektif, otoriter,tidak konsisten,terlalu

dituruti,terlalu dituntut

c) Persaingan antar saudara

d) Kesalahan dan kegagalan berulang

e) Tidak mampu mencapai standar. Faktor predisposisi gangguan peran adalah :

(1) Stereotipik peran seks


(2) Tuntutan peran kerja

(3) Harapan peran kultural. Faktor predisposisi gangguan identitas adalah :

(a) Ketidakpercayaan orang tua

(b) Tekanan dari peer gruup

(c) Perubahan struktur sosial ( Herman,2011).

b. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian

anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta

menurunnya produktivitas. Harga diri kronis ini dapat terjadi secara situasional maupun

kronik.

1) Trauma adalah masalah spesifik dengan konsep diri dimana situasi yang membuat

individu sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti penganiayaan seksual

dan phisikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam atau menyaksikan kejadian

yang mengancam kehidupannya.

2) Ketegangan peran adalah rasa frustasi saat individu merasa tidak mampu melakukan

peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai dalam melakukan

perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat terjadi konflik peran, keraguan

peran dan terlalu banyak peran. Konflik peran terjadi saat individu menghadapi dua

harapan peran yang bertentangan dan tidak dapat dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila

individu tidak mengetahui harapan peran yang spesifik atau bingung tentang peran yang

sesuai :

(a) Trauma peran perkembangan

(b) Perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan


(c) Transisi peran situasi

(d) Perubahan jumlah anggota keluarga baik bertambah atau berkurang

(e) Transisi peran sehat-sakit

(f) Pergeseran konsidi pasien yang menyebabkan kehilangan bagian tubuh, perubahan

bentuk , penampilana dan fungsi tubuh, prosedur medis dan keperawatan.

( Herman,2011)

3) Perilaku

(a) Citra tubuh

Yaitu menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu, menolak bercermin, tidak

mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh, menolak usaha rehabilitasi, usaha

pengobatan ,mandiri yang tidak tepat dan menyangkal cacat tubuh.

(b) Harga diri rendah diantaranya mengkritrik diri atau orang lain, produkstivitas

menurun, gangguan berhubungan ketengangan peran, pesimis menghadapi hidup,

keluhan fisik, penolakan kemampuan diri, pandangan hidup bertentangan, distruktif

kepada diri, menarik diri secara sosial, khawatir, merasa diri paling penting, distruksi

pada orang lain, merasa tidak mampu, merasa bersalah, mudah tersinggung/marah,

perasaan negatif terhadap tubuh.

(c) Keracunan identitasdiantaranya tidak ada kode moral, kepribadian yang

bertentangan, hubungan interpersonal yang ekploitatif, perasaan hampa, perasaan

mengambang tentang diri, kehancuran gender, tingkat ansietas tinggi, tidak mampu

empati pada orang lain, masalah estimasi


(d) Depersonalisasi meliputi afektif, kehidupan identitas, perasaan terpisah dari diri,

perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, kurang rasa berkesinambungan, tidak

mampu mencari kesenangan. Perseptual halusinasi dengar dan lihat, bingung tentang

seksualitas diri,sulit membedakan diri dari orang lain, gangguan citra tubuh, dunia

seperti dalam mimpi, kognitif bingung, disorientasi waktu, gangguan berfikir, gangguan

daya ingat, gangguan penilaian, kepribadian ganda. ( Herman,2011)

5. Tanda dan gejala

Menurut Carpenito dalam keliat (2011) perilaku yang berhubungan dengan

harga diri rendah antara lain :

a. Mengkritik diri sendiri

b. Menarik diri dari hubungan sosial

c. Pandangan hidup yang pesimis

d. Perasaan lemah dan takut

e. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri

f. Pengurangan diri/mengejek diri sendiri

g. Hidup yang berpolarisasi

h. Ketidakmampuan menentukan tujuan

i. Merasionalisasi penolakan

j. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah

k. Menunjukkan tanda depresi ( sukar tidur dan sukar makan )


Sedangkan menurut Stuart (2006) tanda- tanda klien dengan harga diri rendah yaitu :

a. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan akibat tindakan

terhadap penyakit

b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri

c. Merendahkan martabat

d. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri

e. Percaya diri kurang

f. Menciderai diri

6. Akibat

Harga diri rendah dapat diakibatkan oleh rendahnya cita-cita seseorang. Hal ini

mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai tujuan. Tantangan yang rendah

menyebabkan upaya yang rendah. Selajutnya hal ini menyebutkan penampilan

seseorang yang tidak optimal. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung

mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuanya. Ketika seseorang mengalami

harga diri rendah,maka akan berdampak pada orang tersebut mengisolasi diri dari

kelompoknya. Dia akan cenderung menyendiri dan menarik diri.( Eko P,2014)

Harga diri rendah dapat berisiko terjadi isolasi sosial yaitu menarik diri. Isolasi sosial

menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang

maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.( DEPKES,2003).


7. Mekanisme koping

Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka panjang pendek atau

jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanann ego untuk melindungi diri

sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan. Pertaahanan tersebut

mencakup berikut ini :

Jangka pendek :

1) Aktivitas yang memberikan pelarian semestara dari krisis identitas diri ( misalnya,

konser musik, bekerja keras, menonton tv secara obsesif)

2) Aktivitas yang memberikan identitas pengganti semestara ( misalnya, ikut serta

dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan, atau geng)

3) Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang tidak

menentu ( misalnya, olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, kontes untuk

mendapatkan popularitas) Pertahanan jangka panjang mencakup berikut ini :

1) Penutupan identitas : adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang terdekat

tanpa memerhatikan keinginan,aspirasi,atau potensi diri individu

2) Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan yang

diterima masyarakat.

Mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi, disosiasi,isolasi, proyeksi,

pengalihan (displacement, berbalik marah terhadap diri sendiri, dan amuk).

(Stuart,2006)
8. Penatalaksanaan

Terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembnagkan

sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi

dari pada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :

a. Psikofarmaka

Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh

dengan resep dokter, dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan generasi pertama

(typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama

misalnya chlorpromazine HCL (psikotropik untuk menstabilkan senyawa otak), dan

Haloperidol (mengobati kondisi gugup). Obat yang termasuk generasi kedua misalnya,

Risperidone (untuk ansietas), Aripiprazole (untuk antipsikotik). (Hawari,2001)

b. Psikoterapi

Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang

lain, penderita lain, perawat dan dokter, maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri

lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.

Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005)

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas/ perilaku merupakan rencana pengobatan untuk skizofrenia

yang ditunjukan pada kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik perilaku

menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial.

Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal.

Terapi kelompok bagi skizofrenia biasnya memusatkan pada rencana dan masalah

dalam hubungan kehidupan yang nyata.( Eko P,2014)


d. Terapi Kejang Listrik (Electro Confulsive Terapi)

ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmal secara artifisial dengan

melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Terapi

kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika

oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4 – 5 joule/detik. (Maramis, 2005)

9. Pohon Masalah

Isolasi Sosial Effect

Harga Diri Rendah Kronik Core Problem

Koping Individu Tidak efektif Causa

10. Diagnosa Keperawatan

a. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah

b. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu

inefektif
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

Pertemuan ke I (satu)

A. Proses Keperawatan

1. Kondisi

a. Klien mengatakan malu dan tidak berguna

b. Klien mengatakan ekspresi wajah malu

c. Klien mengatakan “tidak bisa”ketika diminta melakukan sesuatu

d. Klien tampak kurang bergairah

e. Klien selalu mengungkapkan kekurangannya dari pada kelebihannya.

2. Diagnosa Keperawatan

Risiko isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

3. Tujuan Khusus

a. Klien dapat membina hubungan saling percaya

b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

B. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)

1. Orientasi

a. Salam Terapeutik

“Selamat pagi Bu, saya perawat Fitri, saya mahasiswa Profesi Ners Keperawatan

Urindo yang sedang praktek di rumah sakit ini”, “Ibu bisa panggil saya suster

warda”. ”Nama ibu siapa?”. “........” “Ibu lebih senang dipanggil siapa?”“o o o ibu siti”.
“saya akan menemani ibu selama 2 minggu, jadi kalau ada yang mengganggu pikiran

ibu bisa bilang ke saya, siapa tahu saya bisa bantu”

b. Evaluasi/Validasi

“Bagaimana perasaan ibu saat ini? ......... o o o begitu”

“Coba ceritakan pada saya, apa yang dirasakan dirumah, hingga dibawa ke RSJ”

c. Kontrak

1) Topik

“ Maukah ibu bsiti bercakap – cakap dengan kemampuan yang dimiliki serta hobi yang

sering dilakukan dirumah”

2) Tempat

“Ibu Sti lebih suka bercakap – cakap dimana?, o o o di taman, baiklah”

3) Waktu

“Kita mau bercakap – cakap berapa lama?, Bagaimana kalau 10 menit saja”

2. Kerja

“Kegiatan apa saja yang sering ibu siti lakukan dirumah?”......... “memasak, mencuci

pakaian, bagus itu bu”. “Terus kegiatan apalagi yang ibu lakukan?”. “kalau tidak salah

ibu juga senang menyulam ya?”, wah bagus sekali!

“Bagaimana kalau ibu siti menceritakan kelebihan lain/kemampuan lain yang dimiliki?”

kemudian apa lagi.

“Bagaimana dengan keluarga ibu siti, apakah mereka menyenangi apa yang ibu lakukan

selama ini, atau apakah mereka sering mengejek hasil kerja ibu?”
3. Terminasi

a. Evaluasi subyektif

“Bagaimana perasaan ibu siti selama kita bercakap – cakap?”, “Senang terima kasih”

b. Evaluasi Obyektif

“Tolong ibu siti ceritakan kembali kemampuan dan kegiatan yang sering ibu

lakukan? ........ Bagus”, “terus bagaimana tanggapan keluarga ibu terhadap kemampuan

dan kegiatan yang ibu lakukan?”.

c. Rencana Tindak Lanjut

“baiklah Bu siti, nanti ibu ingat ingat ya, kemampuan ibu yang lain dan belum sempat

ibu ceritakan kepada saya?”, “besok bisa kita bicara lagi”.

d. Kontrak

1) Topik

“Bagaimana kalau besok kita bicarakan kembali kegiatan /kemampuan yang dapat ibu

siti lakukan di rumah dan di RSJ”

2) Tempat

“Tempatnya mau dimana Bu? ”

3) Waktu

“Berapa lama kita akan bercakap – cakap?”. “Bagaimana kalau 15 menit”

“Setuju!”

“Sampai bertemu lagi besok ya, Bu siti”


DAFTAR PUSTAKA

Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Iskandar, M. D. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Keliat. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa : edisi 2. Jakarta: EGC.

Keliat, C. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Yogyakarta: EGC.

Prabowo, E. (2014). Konsep&Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta :

Nuhamedika.

Sundeen, S. &. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Townsend. (2008). Nursing Diagnosis in Psuchiatric Nursing a Pocket Guide for Care

Plan Construction. jakarta: EGC.

Sari, Kartika. (2015).Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta:

CV.Trans Info Media


LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

A. MASALAH UTAMA

Isolasi sosial

B. PROSES TERJADINYA MASALAH

1. Definisi

Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu mengalami penurunan

atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya

(Damaiyanti, 2008).

Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat

adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan

mengganggu fungsi seseorang dalam dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).

Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena

orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Farida, 2012).

Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang

lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 1993 dikutip Budi Keliat, 2001)

2. Penyebab

Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart dan

Sundeen (2007), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan
yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi

antara lain yaitu:

a. Faktor predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

1) Faktor perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu

dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi

individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih

sayang, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa

tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri dan dapat

mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian

hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa

diperlakukan sebagai objek.

2) Faktor sosial budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor

pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena

norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif

diasingkan dari lingkungan sosial.

3) Faktor biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya

gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah otak .

Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada

yang menderita skizofrenia.


Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat kelainan

pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat volume otak

serta perubahan struktur limbik.

b. Faktor presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal

maupun eksternal meliputi:

1) Stresor sosial budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti

perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat

di rumah sakit atau dipenjara.

2) Stresor psikologi

Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan

individu untuk berhubungan dengan orang lain.

(Damaiyanti, 2012: 79)

3. Rentang respon

Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006) menyatakan bahwa

manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam kehidupan, mereka

harus membina hubungan interpersonal yang positif. Individu juga harus membina

saling tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan

kemandirian dalam suatu hubungan.

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Kesepian
Menyendiri Manipulasi
Menarik Diri
Otonomi Impulsif
Ketergantungan
Bekerja Sama Narcisme

Interdependen
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang masih

dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum berlaku

dan lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini meliputi:

a. Solitude (menyendiri)

Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah

dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan

langkah-langkah selanjutnya.

b. Otonomi

Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,

perasaan dalam berhubungan sosial.

c. Mutualisme (bekerja sama)

Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu

untuk saling memberi dan menerima.

d. Interdependen (saling ketergantungan)

Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain

dalam rangka membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang

menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang umum berlaku dan

tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respon ini meliputi:

a. Kesepian adalah kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari

lingkungannya, merasa takut dan cemas.

b. Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan dengan

orang lain.
c. Ketergantungan (dependen) akan terjadi apabila individu gagal mengembangkan rasa

percaya diri akan kemampuannya. Pada gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain

diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain,

dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.

d. Manipulasi adalah individu memperlakuakan orang lain sebagai objek, hubungan

terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu cenderung berorientasi

pada diri sendiri.

e. Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar

dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.

f. Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu berusaha untuk

mendapatkan penghargaan dan pujian yang terus menerus, sikapnya egosentris,

pencemburu, dan marah jika orang lain tidak mendukungnya. (Trimelia, 2011: 9)

4. Proses terjadinya masalah

a. Faktor predisposisi

1) Faktor perkembangan

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang

harus dilalui individu dengan sukses agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.

Apabila tugas ini tidak terpenuhi, akan mencetuskan seseorang sehingga mempunyai

masalah respon sosial maladaptif. (Damaiyanti, 2012)

2) Faktor biologis

Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif


3) Faktor sosial budaya

Isolasi sosial merupakan faktor utama dalam gangguan berhubungan. Hal ini

diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau

tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti lansia, orang cacat,

dan penderita penyakit kronis.

4) Faktor komunikasi dalam keluarga

Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang dalam

gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan hal-hal yang negative

dan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah. Seseorang anggota keluarga

menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, ekspresi emosi yang

tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar

keluarga.

b. Stressor presipitasi

1) Stressor sosial budaya

Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor

keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang

berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.

2) Stressor psikologis

Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan

keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang

dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat

menimbulkan kecemasan tingkat tinggi. (Prabowo, 2014: 111).


5. Tanda dan gejala

a. Gejala subjektif

1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain

2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain

3) Klien merasa bosan

4) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan

5) Klien merasa tidak berguna

b. Gejala objektif

1) Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak” dengan pelan

2) Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada

3) Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri

4) Menyendiri dalam ruangan, sering melamun

5) Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan secara berulang-ulang

6) Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)

7) Ekspresi wajah tidak berseri

8) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri

9) Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk

10) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya (Trimelia, 2011: 15).
6. Akibat

Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau

isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami pasien

dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan

kecemasan.(Prabowo, 2014: 112).

Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam

mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien menjadi regresi

atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap

penampilan dan kebersihan diri. Pasien semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap

penampilan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan

kenyataan, sehingga berakibat lanjut halusinasi (Stuart dan Sudden dalam Dalami, dkk

2009)

7. Mekanisme koping

Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang

merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering

digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)

a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.

b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima

secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.

c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya

kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau bertentangan

antara sikap dan perilaku. Mekanisme koping yang muncul yaitu:

1) Perilaku curiga : regresi, represi


2) Perilaku dependen: regresi

3) Perilaku manipulatif: regresi, represi

4) Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014:113).

8. Penatalaksanaan

Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok penyakit

skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan

adalah:

a. Electro Convulsive Therapy (ECT)

Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan

menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan

kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik

dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya

perubahan faal dan biokimia dalam otak.

b. Psikoterapi

Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam

proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan

tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa

adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal,

bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.

c. Terapi Okupasi

Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam

melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk

memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang. (Prabowo, 2014:

113)
9. Pohon masalah

Resiko Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Effect

Isolasi Sosial Core Problem

Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah Causa


C. STRATEGI PELAKSANAAN ISOLASI SOSIAL (MENARIK DIRI)

Pertemuan : 1

SP 1 Klien : Membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenali penyebab

isolasi sosial, membantu klien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak

berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien berkenalan

1. Orientasi

a. Salam terapeutik

“ Selamat pagi ibu, perkenalkan nama saya ...(sebutkan) , saya dipanggil ...(sebutkan),

saya perawat yang akan merawat ibu pagi ini. Nama ibu siapa dan senang dipanggil

siapa ? “

b. Evaluasi

1) Bagaimana perasaan ibu S saat ini ?

2) Masih ingat ada kejadian apa sampai ibu S dibawa kerumah sakit ini ?

3) Apa keluhan ibu S hari ini ? Dari tadi saya perhatikan ibu S duduk menyendiri, ibu S

duduk menyendiri, ibu S tidak tampak ngobrol dengan teman-teman yang lain ? Ibu S

sudah mengenal teman-teman yang ada disini ?

c. Kontrak

1) Topik

“ Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman ibu S? Juga

tentang apa yang menyebabkan ibu S tidak mau ngobrol dengan teman-teman?”

2) Waktu

“Ibu mau berapa lama bercakap-cakap? Bagaimana kalau 15 menit”


3) Tempat

“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang ibu S? Bagaimana kalau disini

saja?“

2. Fase kerja

a. Siapa saja yang tinggal satu rumah dengan ibu S? siapa yang paling dekat dengan ibu

S? siapa yang jarang bercakap-cakap dengan ibu S? Apa yang membuat ibu S jarang

bercakap-cakap denganya?”

b. Apa yang ibu S rasakan selama dirawat disini? O... ibu S merasa sendirian? Siapa

saja yang ibu S kenal diruangan ini? O... belum ada? Apa yang menyebabkan ibu S

tidak mempunyai teman disini dan tidak mau bergabung atau ngobrol dengan teman -

teman yang ada disini?

c. Kalau ibu S tidak mau bergaul dengan teman-teman atau orang lain, tanda-tandanya

apa saja? mungkin ibu S selalu menyendiri ya... terus apalagi bu... (sebutkan)

d. Ibu S tahu keuntungan kalau kita mempunyai banyak teman? coba sebutkan apa saja?

keuntungan dari mempunyai banyak teman itu bu S adalah... (sebutkan)

e. Nah kalau kerugian dari tidak mempunyai banyak teman ibu S tahu tidak? coba

sebutkan apa saja? Ya ibu S kerugian dari tidak mempunyai banyak teman adalah...

(sebutkan). Jadi banyak juga ruginya ya kalau kita tidak punya banyak teman. Kalau

begitu inginkan ibu S berkenalan dan bergaul dengan orang lain?

f. Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain.

g. Begini lo ibu S, untuk berkenalan dengan orang lain caranya adalah : pertama kita

mengucapkan salam sambil berjabat tangan, terus bilang “perkenalkan nama lengkap,

terus bilang “perkenalkan nama lengkap, terus nama panggilan yang disukai, asal kita

dan hobby kita. Contohnya seperti ini “assalamualaikum, perkenalkan nama saya
Febriana, saya lebih senang dipanggil Febri, asal saya dari Bandung dan hobby nya

membaca”.

h. Selanjutnya ibu S menanyakan nama lengkap orang yang diajak kenalan, nama

panggilan yang disukai, menanyakan juga asal dan hobbynya. Contohnya seperti ini

nama ibu siapa? Senang dipanggil apa? asalnya dari mana dan hobbynya apa?

i. Ayo ibu S dicoba! misalnya saya belum kenal dengan ibu S. Coba berkenalan dengan

saya! ya bagus sekali! coba sekali lagi bu S. Bagus sekali!

j. Setelah ibu S berkenalan dengan orang tersebut, ibu S bisa melanjutkan percakapan

tentang hal-hal yang menyenangkan misalkan tentang cuaca, hobi, keluarga, pekerjaan

dan sebagainya

3. Terminasi

a. Evaluasi respon

1) Evaluasi subyektif

- Bagaimana perasaan ibu S setelah berbincang-bincang tentang penyebab ibu S tidak

mau bergaul dengan orang lain dan berlatih cara berkenalan ?

2) Evaluasi obyektif

- Coba ibu S ibu sebutkan kembali penyebab ibu S tidak mau bergaul dengan orang

lain ? apa saja tanda-tandanya bu ? terus keuntungan dan kerugianya apa saja ?

- Coba ibu S sebutkan cara berkenalan dengan orang lain, yaitu... ya bagus

- Nah sekarang coba ibu S praktikkan lagi cara berkenalan dengan saya. Iya bagus

b. Kontrak

1) Topik
“Baik bu S sekarang bincang-bincangnya sudah selesai, bagaimana kalau 2 jam lagi

sekitar jam 11 saya akan datang kesini lagi untuk melatih ibu S berkenalan dengan

perawat lain yaitu teman saya perawat N“

2) Waktu

“ibu mau bertemu lagi jam berapa? bagaimana kalau jam 9?“

3) Tempat

“ibu mau bercakap-cakap dimana?“

c. Rencana tindak lanjut

1) Selanjutnya ibu S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi. Sehingga ibu S

lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. Ibu S bisa praktikkan pasien pasien lain.

2) Sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu, berapa kali sehari ibu mau berlatih

berkenalan dengan orang lain, jam berapa saja bu ? coba tulis disini. Oh jadi mau tiga

kali ya bu.

3) Ya bagus bu S dan jangan lupa dilatih terus ya bu sesuai jadwal latihanya dan ibu S

bisa berkenalan dengan teman-teman yang ada di ruangan ini.


DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:

Salemba Medika.

Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT

Refika Aditama.

Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. MASALAH UTAMA

Resiko Perilaku Kekerasan

B. PROSES TERJADINNYA MASALAH

1. Definisi

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai

seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku

kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan

lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang

berlangsung kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang

dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan

lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015:137).

2. Penyebab

a. Faktor Predisposisi

Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah:

1) Teori Biologis
a) Neurologic Faktor

Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit,

akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan

pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam

menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif (Mukripah Damaiyanti,

2012: hal 100). Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara

perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak dimana

terdapat interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat

menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012: 29).

b) Genetic Faktor

Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku

agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dorman

(potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal.

Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni

pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif

(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

c) Cycardian Rhytm

Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada jam sibuk

seperti menjellang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam

tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah

Damaiyanti, 2012: hal 100).


d) Faktor Biokimia

Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya epineprin,

norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam penyampaian informasi

melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang

dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui impuls

neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan

hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA (Gamma

Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi

terjadinya perilaku agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

e) Brain Area Disorder

Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor otak,

trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap

perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).

2) Teori Psikogis

a) Teori Psikoanalisa

Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang

seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2

tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu

yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa

sebagai komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya

kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat

konsep diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan

pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri

perilaku tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101)


b) Imitation, modelling and information processing theory

Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang

mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau

lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu

penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menontn tayangan pemukulan pada

boneka dengan reward positif ( semakin keras pukulannya akan diberi coklat). Anak

lain diberikan tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka

tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah anak – anak

keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan

tontnan yang pernah dilihatnya (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).

c) Learning Theory

Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan

terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan dan

mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).

b. Faktor Presipitasi

3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif RPK

a. Respon Adaptif

Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang

berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu

masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif (Mukripah

Damaiyanti, 2012: hal 96):

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan


2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran

5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan

b. Respon Maladaptif

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak

diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial

2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang

dimanifestasiakn dalam bentuk fisik

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati

4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur (Mukripah

Damaiyanti, 2012: hal 97).

4. Proses Terjadinya Masalah

a. Faktor Predisposisi

Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan faktor predisposis,

artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut

dialami oleh individu:

1) Psikologis

Menurut Townsend(1996, dalam jurnal penelitian) Faktor psikologi perilaku kekerasan

meliputi :

a) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman

dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan meningkatkan citra diri

(Nuraenah, 2012: 30).

b) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajarai,

individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung

untuk dipengaruhioleh peran eksternal (Nuraenah, 2012: 31).

2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering

mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstiumulasi

individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 142).

3) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi

memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi lain,

tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan dengan

berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress (Nuraenah, 2012: 31).

4) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal

dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku

kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 143).

b. Faktor Presipitasi

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injury

secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor pencetus perilaku

kekerasan adalah sebagai berikut:

1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang

penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.

2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik internal

dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lungkungan.

3) Lingkungan: panas, padat dan bising


5. Tanda dan Gejala

Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku

kkekerasan: (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97)

a. Muka merah dan tegang

b. Mata melotot atau pandangan tajam

c. Tangan mengepal

d. Rahang mengatup

e. Wajah memerah dan tegang

f. Postur tubuh kaku

g. Pandangan tajam

h. Jalan mondar mandir

Klien dengan perilaku kekerasan seringmenunjukan adanya (Kartika Sari, 2015: 138) :

a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam

b. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna

c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel

d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa

tercekik dan bingung

e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri, orang

lain dan lingkungan

f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya

6. Akibat

Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang meakukan tindakan

yang dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat
mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan

perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) :

Data Subyektif :

a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam

b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

Data Obyektif :

a. Wajah tegang merah

b. Mondar mandir

c. Mata melotot, rahang mengatup

d. Tangan mengepal

e. Keluar banyak keringat

f. Mata merah

g. Tatapan mata tajam

h. Muka merah

7. Mekanisme Koping

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi

diri antara lain:

a) Sublimasi

Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat unutk

suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya

seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti

meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk

mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
b) Proyeksi

Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,

misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual

terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba

merayu, mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).

c) Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.

Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.

Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci

orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan

benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012:

hal 103).

d) Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih

lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan

misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan memperlakukan orang

tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).

e) Deplacement

Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang tidak

begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu ,misalnya:

timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya

karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan

temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).


8. Penatalaksanaan

a. Farmakoterapi

Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai

dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan

psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya

trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan

obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai

efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).

b. Terapi okupasi

Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian

pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan

mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus

diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur

dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak

berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya.

Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap

rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya (Eko

Prabowo, 2014: hal 145).

c. Peran serta keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan

langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar

dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat

keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan

lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat.
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah

perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif

(pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif

(pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan

secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).

d. Terapi somatik

Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang

diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang

mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada

kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).

e. Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk

terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus

listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi

biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo,

2014: hal 146).

9. Pohon Masalah

Resiko Mencederai Diri Sendiri Dan Orang Lain Effect

Perilaku Kekerasan Core Problem

Halusinasi Causa

Harga Diri Rendah


Koping Individu Tidak Efektif

Faktor Presdiposisi dan Prestisipasi


C. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)

Masalah : Resiko Perilaku Kekerasan

Pertemuan ke I (satu)

A. PROSES KEPERAWATAN

1. Kondisi Pasien

Klien tenang, kooperatif dan klien mampu menjawab semua pertanyaan

2. Diagnosa Keperawatan

Resiko perilaku kekerasan

3. Tujuan Khusus

a. Klien mampu membina hubungan saling percaya

4. Tindakan Keperawatan

SP 1 : membina hubungan saling percaya dan mengidentifikasi penyebab marah

STRATEGI KOMUNIKASI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Orientasi

a. Salam terapeutik

“Assalamualaikum, Selamat siang ?”, “Perkenalkan saya perawat Fitri , saya perawat

yang bertugas di ruang perkutut ini. Nama mas siapa ? dan senang dipanggil apa ? ”

b. Evaluasi/validasi

“Bagaimana perasaan Mas saat ini ? apa masih ada perasaan marah, jengkel ?”

c. Kontrak

“Baiklah, pagi ini kita akan berbincang-bincang mengenai perasaan marah yang saat ini

mas rasakan ”. “Mari kita bercakap-cakap ke taman !” “Atau mas ingin ke tempat

lain ?”. “Berapa lama mas mau kita berbincang-bincang ? bagaimana kalau 15 menit ?”.
2. Kerja

“Apa yang meyebabkan mas bisa marah, Nah ceritakan apa yang dirasakan mas saat

marah ?”, saat mas Arif marah apa ada perasaan tegang ,kesal,tegang,menegepalkan

tangan,mondar mandir ?”. “atau mungkin ada hal lain yang dirasakan ?”.

“Apa ada tindakan saat mas Arif sedang marah seperti,memukul,membanting ?”......

“memukul ibu !”, “terus apakah setelah melakukan tindakan tadi masalah yang dialami

selesai, apakah diberikan motor oleh orang tua mas Arif ?”. “ Apa akibat dari tindakan

yang telah dilakukan di rumah ?”......ya ibu saya menangis dan kesakitan.......terus

apalagi ?”........dan akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa !”.

3. Terminasi

a. Evaluasi Subyektif

“Bagaimana perasaan mas setelah berbincang-bincang tentang perasaan marah yang

mas rasakan ?”

b. Evaluasi Obyektif

“Coba mas jelaskan lagi kenapa mas bisa marah”

c. Kontrak

1) Topik

“Baik, bagaimana kalau besok kita berbincang-bincang lagi tentang akibat dari perasaan

marah yang mas rasakan ?”

2) Tempat

“Dimana kita bisa berbincang lagi, bagaimana kalau disini saja?”

3) Waktu

“Berapa lama kita akan berbincang, bagaimana kalau 15 menit ?”


DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.

Yogyakarta: Nuha Medika.

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka Aditama.

Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat

Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur,

29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans

Info MEdia.

Anda mungkin juga menyukai