Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak

dijumpai di antara tumor ganas telingan hidung tenggorokan dan kepala leher (THT-

KL) di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma

nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring

(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

Tumor berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah

transisional epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Globocan, 2012).


Karsinoma nasofaring merupakan suatu keganasan dengan karakteristik

epidemiologi unik. Insiden bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi. Kurang dari 1

kasus per 100.000 penduduk setiap tahun angka insiden di Amerika Serikat. Namun, di

beberapa Negara di Asia (terutama di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara

kasus karsinoma nasofaring banyak ditemukan . Angka kejadian karsinoma nasofaing di

Indonesia cukup tinggi, sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau

sekitar 7000-8000 kasus per tahun. Perbandingan laki-laki dan perempuan 3:1 (Adham

M., dkk., 2012).


Sampai saat ini belum diketahui pasti penyebab karsinoma nasofaring. Faktor

ekstrinsik seperti virus Epstein-Barr, nitrosamin, lingkungan dan faktor intrinsik

misalnya gen HLA(Human Leucocyt Antigen), gen onkogen, gen supresor dicurigai

sebagai faktor penyebab. Di Indonesia sendiri kebiasaan memakan ikan asin, merokok,

dan mengunyah tembakau dianggap sebagai faktor resiko terjadinya karsinoma

nasofaring. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan

1
2

suatu masalah, karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini tidak khas serta letak

nasofaring tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat (Ariwibowo, 2013).


Karsinoma nasofaring lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, lanjut

usia, berpendidikan rendah. Karsinoma nasofaring mempunyai gejala hidung tersumbat,

telinga terasa penuh, parese saraf craniali, jenis histologis yang paling sering adalah

undifferentiated carcinoma dan stadium terbanyak ditemukan adalah stadium IV.

Prognosis tergantung pada stadium, penderita stadium awal karsinoma nasofaring

memiliki kualitas hidup yang lebih baik pasca perawatan bila dibandingkan dengan

pasien stadium lanjut (Adham M., dkk., 2012). Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui karakteristik penderita karsinoma nasofaring di Departemen Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung, Tenggorok, dan Kepala Leher (THT-KL) di Rumah Sakit

Umum Daerah Nganjuk (RSUD) pada periode 2014-2017.


B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian adalah bagaimana karakteristik penderita

karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pada Periode 2014-

2017 ?
C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jumlah penderita karsinoma nasofaring di Departemen Ilmu Kesehatan

THT-KL RSUD Nganjuk Periode Januari 2014- September 2017.

2. Mengetahui distribusi karsinoma nasofaring menurut umur, jenis kelamin,

pendidikan, stadium, gambaran histopatologis di Depatemen Ilmu kesehatan THT-

KL di RSUD Nganjuk Periode Januari 2014- September 2017.

3. Mengetahui keluhan utama dan gejala klinis pada penderita Ca Nasofaring tersebut.

D. Manfaat Penelitian

2
3

1. Manfaat masyarakat

a. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukkan kepada masyarakat di

RSUD Nganjuk untuk tetap menjaga kesehatan, meningkatkan cara hidup

sehat dan mengatur pola makan yang baik.

b. Memberikan informasi mengenai deteksi dini, khususnya karsinoma

nasofaring kepada masyarakat secara luas untuk peningkatan mutu

pelayanan kesehatan masyarakat

c. Bagi Pemerintah Daerah dapat dipergunakan sebagai informasi untuk

menentukan kebijakan-kebijakan dimasa yang akan datang.

2. Manfaat penelitian

a. Kepada peneliti, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan

menambah wawasan serta dapat mengembangkan kemampuan penelitian

dalam menulis dan melakukan penelitian ilmiah.

b. Dengan adanya informasi mengenai pengenalan dan penanggulangan

karsinoma nasofaring, diharapkan dokter dapat melakukan deteksi dini

adanya tumor pada nasofaring, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih

awal dan menurunkan tingkat mortalitas.

c. Melengkapi data yang sudah ada pada Departemen Ilmu Kesehatan THT-

KL RSUD Nganjuk, atau institusi lain guna penelitian lebih lanjut.

d. Dapat dijadikan informasi dan acuan tambahan bagi peneliti selanjutnya.

3
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker ganas yang timbul di rongga

belakang hidung (nasofaring) dengan predileksi di fossa Rossenmuller yang merupakan

daerah transisional yaitu epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamusa. Secara global

karsinoma nasofaring terjadi hanya 0.7% pada keselurahan kasus kanker, menempati

urutan ke-24 kanker yang paling sering terjadi (Tang, 2016). Di Indonesia, karsinoma

nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang menyerang seluruh

tubuh. Sedangkan di bagian telinga, hidung, dan tenggorok, karsinoma nasofaring


4
5

merupakan peringkat pertama. Berdasarkan data Globocan 2008, insidensi karsinoma

nasofaring di Indonesia pada pria dan wanita sebesar 4,9% setelah kanker payudara,

paru, kolorektal dan abdomen. Insidens karsinoma nasofaring di Indonesia terjadi

sebanyak 6,5/100.000 penduduk (Globocan, 2012).


Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria daripada

wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia produktif 30-60

tahun, dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Menurut England and Wales Cancer

Registry data. Setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun adalah

karsinoma. Seperti dikutip Globocan, menunjukkan 1-2 per sejuta karsinoma nasofaring

terjadi pada usia 15-19 tahun. Sejauh ini, penderita termuda ditemuka di India 6 tahun

dan Inggris 7 tahun (Globocan, 2012).

B. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak

di belakang hidung. Rongga nasofaring sangat sulit dilihat, sehingga dahulu disebut

“rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah

depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah

basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal.

Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lain adalah dua sisi

lateral (Evan, dkk., 2003).

5
6

Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping (Evan,dkk 2003).

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang (Evan., dkk., 2003).

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah : (Evan, 2003).

1. Adenoid atau Tonsila Lushka

6
7

Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada

orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.

2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring

Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma

nasofaring atau angiofibroma nasofaring.

3. Torus Tubarius

Torus Tubarius adalah suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii

(ostium tuba)

4. Fosa Rosenmuller

Fosa Rosenmuller adalah suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus

tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang

disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmuller merupakan tempat perubahan

atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat

pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan nasofaring.

Fossa Rosenmuller merupakan area yang menjadi asal dari sebagian besar sel

karsinoma nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomi dengan beberapa

organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan persentasi

klinis serta prognosis.

a. Anterior : tuba eustachius

b. Antero-Lateral : otot levator veli palatina

c. Posterior : retropharyngeal space

d. Superior : foramen laserum di bagian medial,

apeks petrosus dan kanalis karotikus di bagian

7
8

posterior, serta foramen ovale dan spinosum di bagian

anterolateral.

e. Lateral : otot tensor veli palatine dan pharyngeal

space.

f. Inferio : otot konstriktor superior

Gambar 2.3 Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus Morgagni (Hasselt, dkk.,

1999). (A:Pharyngobasilar Fascia, B:Buccopharyngeal Fascia, C:Alar Fascia,

D:Prevertebral Fascia, S:Kanalis Karotikus; 1.Otot Pterigoid Lateral, 2.Otot Pterigoid

Medial, 3.Otot Tensor Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini, 5.Parapharyngeal Space,

6.Fossa Rossenmuller, 7.Stiloid Prosesus, 8.Rouviere Node, 9.Retropharyngeal Space)

Walaupun fosa Rosenmuller atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi

keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di tempat-tempat

lain di nasofaring (Evan, dkk., 2003). Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan

nasofaring dapat juga terjadi pada :

1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.

2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.

3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring.
8
9

Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksternal, sedangkan

drainase vena melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Persarafan nasofaring

berasal dari cabang saraf craniali V2, IX, dan X, serta saraf simpatik ( Shah. JP., 2001)

Gambar 2.4 Vaskularisasi dan inservasi kepala dan leher (Standring S, 2008)

Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening

sehingga dapat mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis. Kelenjar getah

bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan retrofaring, dimana terdapat

kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan Rouviere node. Drainase ke

daerah jugular dapat melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran

langsung. Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang

mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang. Drainase lebih lanjut dapat

terjadi ke leher kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di

supraklavikula ( Shah JP, 2001).

9
10

Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher (Standring S., 2008).

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-

macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel

kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954,

Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke

arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah

palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah

pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan

atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya (Evan, 2003).

C. Faktor Risiko
Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang meningkatkan resiko

terkena karsinoma nasofaring, yaitu :


1. Jenis Kelamin.
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
2. Ras.
Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia dan

Afrika Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih tinggi dari

jenis kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran Amerika.


3. Umur.

10
11

Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering

didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.


4. Makanan yang diawetkan.
Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan, seperti

ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung, meningkatkan risiko

karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat

meningkatkan risiko.
5. Virus Epstein-Barr.
Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala ringan,

seperti pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi mononucleosis. Virus

Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa kanker langka, termasuk karsinoma

nasofaring.
6. Riwayat keluarga.
Riwayat memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring

meningkatkan risiko penyakit.


7. Merokok
Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya

dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya. Rokok mempunyai lebih dari 4000

bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena

karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60%

karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko

karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok (Zhang,

dkk., 2011).

D. Etiologi Karsinoma Nasofaring

11
12

Penyebab pasti karsinoma nasofaring masih belum diketahui, namun

gabungan dari beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab, yaitu

faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein Barr (EBV) sebagai berikut ini :

1. Faktor Genetik

Kerentanan genetik sebagai faktor predisposisi karsinoma nasofaring

didasarkan atas fakta banyaknya penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu

KNF juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia

terutama Asia Tenggara yang masih tergolong rumpun Melayu. Insiden karsinoma

nasofaring di China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar 10-50 kali

dibandingkan negara lainnya. Adanya riwayat tumor ganas dalam keluarga

merupakan salah satu faktor resiko karsinoma nasofaring. Secara umum

didapatkan sekitar 10% dari penderita karsinoma nasofaring mempunyai keluarga

yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya sama-

sama menderita KNF dalam keluarganya (Dewi, 2010), (Ren, dkk., 2010).

Hilangnya alel HLA (Human Leucocyt Antigen) kelas I atau kelas II

(alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan menyebabkan kegagalan

interaksi HLA- peptide complex dengan limfosit T sitotoksik (CD8+) atau limfosit

T helper (CD4+). Hal ini disebabkan karena tidak dimunculkannya antigen

virus/tumor pada epitop (antigenic determinant) sehingga keberadaan virus

Epstein Barr (EB) didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel

kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten. Adanya kelainan genetik ini

akan sangat merugikan karena sel yang terinfeksi virus maupun sel kanker dapat

terhindar dari penghancuran melalui mekanisme imunologik, berakibat

pertumbuhan kanker yang terus berlangsung (Dewi, 2010), (Ren, dkk., 2010).
12
13

2. Faktor Lingkungan

Insidensi karsinoma nasofaring yang tinggi di lokasi geografi tertentu

mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di lingkungan yang

dapat menginduksi terjadinya karsinoma nasofaring (environmental carcinogens)

antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup (life style related cancer), termasuk

kebiasaan makan (diet habits). Karsinogen lingkungan bertindak sebagai kofaktor

atau promotor timbulnya karsinoma nasofaring (Ren, dkk., 2010).

Penelitian in vitro membuktikan bahwa aktivasi virus Epstein-Barr dapat

menyebabkan perubahan sel normal menjadi sel kanker. Penelitian epidemiologi

menunjukkan hubungan yang kuat antara meningkatnya kejadian karsinoma

nasofaring dengan konsumsi bahan makanan berupa ikan atau udang yang

diawetkan dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin (dry salted fish), pindang

asin dan udang asin, atau yang dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada

penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia ditemukan ikan asin terbukti

sebagai faktor risiko yang sangat kuat terhadap kejadian karsinoma nasofaring.

Bubur ikan asin yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina Selatan sejak

kecil, dikenal sebagai “Cantonese salted fish” terbukti mengandung nitrosamin.

Nitrosamin merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi virus EB

diketemukan dalam kadar yang tinggi pada ikan asin. Pro karsinogen merupakan

karsinogen yang memerlukan perubahan metabolis agar menjadi karsinogen aktif

(ultimate carcinogen), sehingga dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA, atau

protein sel tubuh (Dewi, 2010).

Hubungan yang konsisten dan kuat antara kejadian karsinoma nasofaring

dengan konsumsi ikan asin dalam waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini
13
14

di Hongkong pada sekitar 90 % kasus karsinoma nasofaring. Pada proses

pengasinan atau pengeringan ikan (protein) dengan pemanasan sinar matahari

terjadi reaksi biokimiawi berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk

akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin dan beberapa volatile

nitrosamines antara lain senyawa N-nitrosodimethylamine (NDMA), N-

nitrosodiethylamine (NDEA), N-nitrosodi-n-propylamine (NDPA), N-nitrosodi-

butylamine (NDBA) dan N-nitrosomorpholine (NMOR). Disamping sebagai

pemicu aktifnya virus EB (promotor, EBV inducer), beberapa senyawa ini

terutama NDMA dan NDEA bersifat karsinogenik aktif (epigenetic carcinogen).

Selain ikan asin, nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau makanan yang

diawetkan dengan nitrit atau nitrat sebagai bahan aditif, sayuran yang diawetkan

dengan cara fermentasi atau diasinkan dan taoco di Cina Kadar NDMA

diketemukan dalam jumlah yang lebih tinggi setelah ikan asin bereaksi dengan

asam lambung dan nitrit. Hal ini menunjukkan bahwa nitrosamin dapat dibuat

secara endogen pada proses pencernaan ikan asin di lambung. Selain nitrosamin,

diduga ada substrat atau bahan kimiawi lain yang terdapat di ikan asin yang dapat

menyebabkan replikasi dan aktivasi virus EBV yang secara laten berada dalam

epitel nasofaring dan limfosit B (Dewi, 2010), (Wee J, dkk., 2010).

Kebiasaan makan termasuk minum jamu, merokok, dan minum alkohol

serta kebersihan lingkungan yang buruk diduga dapat meningkatkan risiko terkena

karsinoma nasofaring. Sejumlah makanan dan tanaman obat, cara tradisional

(jamu) ataupun yang berasal dari Cina (Chinese herbal medicine) dan minyak

untuk hidung ternyata mengandung ester forbol dan N-butyric acid yang selain

dapat bertindak sebagai EBV inducer, juga mutagenik. Semacam teh dari Cina dan
14
15

Tunisia dapat merupakan bahan karsinogenik. Selain menyebabkan iritasi

menahun pada tenggorok (nasofaringitis kronik), makanan panas atau pedas dan

asap pembakaran hio diduga dapat mengaktifkan virus EB (Dewi, 2010), (Friborg,

dkk., 2007).

Dilaporkan juga bahwa risiko terkena karsinoma nasofaring pada

perokok yang merokok lebih dari 20 batang sehari ternyata dua kali lipat lebih

besar dari pada yang bukan perokok (Friborg, dkk., 2007). Bahan karsinogenik di

asap rokok yang diperkirakan berperan sebagai promotor terjadinya yaitu 3,4-

benzypyrene dan polycyclic aromatic hydrocarbon. Namun demikian, Roezin

mengatakan bahwa meskipun kebiasaan merokok lebih sering dijumpai pada

kelompok penderita karsinoma nasofaring (49,38%) dibandingkan non karsinoma

nasofaring (32,10%) ternyata tidak menunjukkan kemaknaan secara statistik.

Bahan lainnya yang diduga dapat mengaktifkan virus EB antara lain debu yang

mengandung kromium, nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput,

tembakau, candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah serta obat nyamuk.

Beberapa bumbu masak tertentu, makanan yang terlalu panas dan pedas juga

dapat meningkatkan kejadian karsinoma nasofaring. Bahan-bahan ini mungkin

berperan dalam mempercepat timbulnya karsinoma nasofaring bersama faktor

predisposisi lainnya. Bahan karsinogen dapat mencapai nasofaring melalui

inhalasi, per-oral, subkutan dan intra vena. Kelembaban tinggi disertai asap

(polusi udara) dalam jangka waktu yang lama akan memperbesar kemungkinan

terjadinya karsinoma nasofaring. Hal ini terutama didasarkan atas kenyataan

bahwa sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berasal dari golongan status

ekonomi yang lebih rendah. Selain kondisi lingkungan yang buruk, terdapat
15
16

beberapa bukti bahwa karsinoma nasofaring berkaitan dengan kurangnya makan

buah atau sayuran segar. Defisiensi nutrisi khususnya hipovitaminose-A

berhubungan erat dengan kejadian karsinoma nasofaring. Hal ini mungkin

disebabkan karena defisiensi vitamin A, B, dan C menyebabkan terganggunya

pertumbuhan epitel. Konsumsi vitamin C dan E dapat mencegah pembentukan

nitrosamin dalam tubuh (Dewi, 2010).

3. Virus Epstein Barr

a. Pengertian

Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk famili virus herpes yang

merupakan penyebab mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada

karsinoma nasofaring, karsinoma gaster serta limfoma akut (Munir, 2009).

Bukti kuat adanya peran EBV sebagai penyebab karsinoma nasofaring

didasarkan atas laporan hasil penelitian epidemiologi maupun laboratorik

terutama serologi, virologi, patologi, dan biologi molekuler dengan

ditemukannya : (Thompson, dkk., 2004).

1)Antibodi dengan titer yang tinggi terhadap antigen EBV dalam serum.

2)Epstein Barr nuclear antigen (EBNA) di dalam sel tumor nasofaring.

3)Genom EBV dalam bentuk plasmid di jaringan tumor nasofaring dan

isolasi virus.

4)DNA (deoxyribose-nucleic acid) virus EB pada jaringan kanker

nasofaring.

5)mRNA ( messenger asam ribonukleat ) – virus EB (EBERs) di sel kanker

nasofaring.

16
17

Keganasan yang disertai meningkatnya titer antibodi terhadap virus

EB hanya diketemukan pada KNF, dan tidak didapatkan pada keganasan di

daerah kepala dan leher lainnya. Peningkatan titer antibodi terhadap EBV

hanya dijumpai pada karsinoma nasofaring dengan jenis WHO (World Health

Organization) tipe 3 dan 2, sedangkan pada jenis WHO tipe 1 tidak

diketemukan peningkatan titer atau meningkat dalam titer yang sangat rendah

(Munir, 2009).

Penularan EBV lewat orofaring terjadi karena kontak oral yang

intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan. Kebiasaan

makan secara tradisional dengan menggunakan sumpit untuk mengambil

hidangan makanan diduga berkaitan dengan tingginya infeksi EBV pada ras

Cina. Karena mudah dan cepatnya terjadi penularan maka hamper semua

individu dibawah umur 25 tahun sudah terinfeksi EBV (Dewi, 2010).

Infeksi primer alamiah dimulai pada masa anak-anak, biasanya

gejala klinik ringan atau bahkan tanpa gejala. Di negara berkembang, hampir

semua (99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi EBV. Infeksi EBV

diperkirakan mengenai 80-90% populasi di negara maju. Survei di Hongkong

menunjukkan bahwa semua anak ras Cina sebelum umur 15 tahun telah

mempunyai antibodi terhadap EBV. Keadaan ini menunjukkan bahwa

meskipun hanya memberikan gejala klinik ringan, EBV yang memasuki tubuh

manusia akan menetap seumur hidup (persisten). Hal ini mendukung pendapat

bahwa EBV infected lymphocytes and pharyngeal epithelium banyak

diketemukan pada orang normal (Dewi, 2010).

b. Patogenesis Infeksi EBV


17
18

Patogenesis infeksi EBV dimulai dengan masuknya virus EB pada

epitel faring yang kemudian di ikuti dengan replikasi virus. Proliferasi limfosit

B yang pasif akibat provokasi virus EB diduga mendorong terjadinya

translokasi gen c-myc dengan menghasilkan suatu klon sel-sel limfosit B yang

neoplastik. Gangguan ekspresi protoonkogen karena terjadinya translokasi gen

c-myc mengakibatkan turunnya ekspresi gen-gen MHC (mayor

histocompatibility complex) kelas I yang diperlukan untuk mengenali antigen

asing oleh limfosit T sitotoksik (CD8). Menurunnya kemampuan sitotoksik

CD8 dalam mengenal dan menghancurkan sel kanker berakibat perkembangan

sel kanker yang seakan tanpa hambatan. EBV dalam siklus litik menghasilkan

protein yang disebut immediate early gene BZLF1 yang dapat menghilangkan

fungsi protein p53. Inaktivasi dari oncoprotein yang merupakan produk dari

tumor suppressor gene (p53) menyebabkan hilangnya hambatan proliferasi sel

yang berakibat proliferasi yang tak terkendali (Dewi, 2010).

Mekanisme karsinogenesis lainnya yaitu melalui insersi sebagian

atau seluruh DNA virus EB pada kromosom sel inang (hospes). Penggabungan

DNA ini dalam waktu yang lama menimbulkan mutasi gen p53 sehingga sel

bebas mengadakan replikasi DNA (Dewi, 2010).

Infeksi virus EB secara tersendiri tidak akan menimbulkan

karsinoma nasofaring. Virus EB baru akan menimbulkan perubahan pada sel

inang (hospes) apabila di aktifkan oleh promotor. Walaupun untaian ganda

DNA dari virus EB pada penelitian in vitro terbukti dapat menyebabkan

proliferasi dan transformasi morfologik dari limfosit B maupun epitel

18
19

nasofaring, namun mekanisme virus EB dalam menyebabkan transformasi sel

epitel nasofaring masih belum diketahui dengan jelas (Dewi, 2010).

Virus EB akan mengekspresikan berbagai macam antigen spesifik

tergantung pada siklus hidupnya dalam sel inang. Pada fase infeksi laten,

dibentuk protein inti (Epstein Barr nuclear antigen / EBNA) dan protein

membran (latent membrane protein / LMP). Kedua antigen ini mempunyai

pengaruh terhadap proliferasi dan replikasi virus, menyebabkan sel yang

terinfeksi menjadi imortal. Antigen pada fase replikasi dini disebut early

antigen (EA) yang dibentuk sebelum sintesa DNA virus. Pada fase lanjut

dibentuk antigen kapsul (viral capsid antigen / VCA) yang di-ekspresikan

pada saat infeksi aktif (Thompson, dkk., 2004).

Masuknya virus EB dalam tubuh menyebabkan dibentuknya

beberapa antibodi antara lain antibodi terhadap antigen kapsul (anti VCA)

yang dapat digunakan sebagai petunjuk (petanda) infeksi virus EB.

Selanjutnya genom EBV yang berada dalam sel inang yaitu limfosit B dan /

atau sel epitel faring akan mengalami fusi (terminal repeat EBV genome)

sehingga terbentuk episom berbentuk lingkaran, atau integrasi DNA EBV

pada genom (kromosom) sel inang. Nukleus sel inang yang mengandung DNA

virus EB (integrated EBV genome) akan memberi sinyal terbentuknya protein

baru. Perubahan fase laten ke bentuk litik dimulai dengan adanya aktivasi

protein ZEBRA yang di kode oleh immediate early gene BZLF-1 pada sel

epitel dan limfosit B diperlukan untuk menginduksi gen karsinoma nasofaring

(Thompson, dkk., 2004).

19
20

Ekspresi protein ini mengawali sintesis berbagai protein lainnya.

Sebanyak sekitar 85 gen EBV di transkripsi selama fase litik. Fase litik

ditandai dengan berbagai ekspresi gen EBV antara lain protein transkripsi

(BZLF-1), 6 protein inti (EBV associated nuclear antigen/EBNA 1-6) dan

beberapa protein membran (latent membrane protein/LMP). EBNA dan LMP

yang di ekspresikan dipermukaan limfosit B, disebut sebagai LYDMA

(lymphocyte detected membrane antigen) merupakan kompleks antigen yang

dapat dikenali oleh sel NK dan limfosit T cytotoxic / suppressor melalui HLA

(MHC). Sel limfosit B yang terinfeksi virus EB dapat dihancurkan (lisis) oleh

sel NK ( dan limfosit T c/s melalui ikatan HLA - antigen restricted limfosit T

c/s. Adanya EBNA menimbulkan reaksi tubuh dengan membentuk anti EBNA

(Thompson, dkk., 2004).

Salah satu protein produk onkogen virus EB yang secara in vitro

terbukti menyebabkan transformasi sel epitel faring maupun limfosit B

menjadi bentuk yang imortal adalah EBV-nuclear antigen 1 (EBNA-1) dan

latent membrane protein 1 dan 2 (EBV-LMP 1, 2). Beberapa bukti penelitian

menunjukkan bahwa untuk dapat menimbulkan terjadinya perubahan

keganasan dan replikasi tanpa kontrol pada sel “host” (in vivo), virus EB harus

mengalami aktivasi terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian pada hewan,

beberapa bahan diduga dapat bertindak sebagai mediator yang dapat

mengaktifkan virus EB antara lain yaitu nitrosamine, benzopyrene,

bensoanthracene dan beberapa hydrocarbon.

Zat-zat ini terutama nitrosamin, banyak dijumpai pada bahan

makanan yang di awetkan dengan cara di asinkan (misalnya ikan asin, sayur
20
21

asin, soy beans salted) maupun dengan pengasapan misalnya smoked salmon.

Beberapa pengobatan dengan menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan

(herbal) pada pengobatan tradisional yang berasal dari Cina (Chinese

traditional medicine) diduga mengandung N - butyric acid yang juga dapat

bertindak sebagai ko-faktor atau promotor terjadinya KNF melalui aktivasi

virus EB. Bahan yang di produksi oleh bakteri yang hidup di mukosa

nasofaring juga berpengaruh terhadap replikasi dan reaktivasi virus EB (Dewi,

2010), (Thompson, dkk., 2004).

Keganasan di nasofaring yang dihubungkan dengan virus EB ini

terutama jenis karsinoma anaplastik atau undifferentiated (WHO tipe 3) dan

sebagian jenis karsinoma sel skuamosa non keratinisasi (WHO tipe 2). Karena

tidak diketemukan DNA virus EB pada jaringan tumor, maka jenis karsinoma

sel skuamosa (WHO tipe 1) diperkirakan tidak berkaitan dengan infeksi virus

EB. Tidak adanya peningkatan titer antibodi atau peningkatan titer antibodi

terhadap virus EB yang sangat sedikit, maka karsinoma nasofaring jenis WHO

tipe 1 diduga disebabkan karena mutasi genetik yang terjadi spontan atau

karena induksi bahan kimiawi karsinogenik (Dewi, 2010).

Hubungan EBV dengan kejadian KNF sangat kuat, namun pada

kenyataannya tidak semua individu terinfeksi EBV akan berkembang menjadi

KNF. Keadaan ini menunjukkan bahwa EBV secara tersendiri masih belum

dapat menginduksi transformasi maligna dari sel mukosa nasofaring normal.

Transformasi sel baru terjadi bila EBV mengalami aktivasi terlebih dahulu,

baru kemudian dapat mempengaruhi sel inang (host cell) sehingga menjadi

21
22

maligna dan mengadakan replikasi tanpa kontrol. Aktivasi EBV terjadi oleh

karena faktor pendukung lain (Dewi, 2010).

E. Patogenesis

Karsinoma nasofaring terjadi akibat perubahan genetik yang dipengaruhi oleh

faktor lingkungan, baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan

genetik dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap awal perkembangan

kanker. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh

karsinogen kimia di lingkungan yang menyebabkan transformasi epitel normal ke lesi

pra-kanker tingkat rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya menunjukkan

bahwa infeksi laten virus EB berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke

tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB juga berperan penting dalam proses

seleksi klonal dan perkembangan lebih lanjut (Hasselt, 1999).

Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-kanker

tingkat tinggi (NPIN III) berperan dalam menghambat proses apoptosis. Kemudian

faktor lingkungan, perubahan genetik seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen

p16/p15, delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam tahap awal perkembangan

karsinoma nasofaring (Hasselt, 1999). Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada

kromosom 14q dan overekspresi dari gen c-myc, protein ras dan p53 berperan dalam

progresi karsinoma yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan genetik

lainnya juga berperan dalam proses metastasis (Hasselt, 1999). Pada gambar 2.5

Patogenesis Karsinoma Nasofaring sebagai berikut.

22
23

Gambar 2.5 Patogenesis Karsinoma Nasofaring (Hasselt, 1999).

F. Histopatologi

Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh pseudostatified kolumnar

epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified squamous epitelium.

Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang merupakan tempat transisi

pertemuan kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk kuboid atau globular yang

nantinya berpotensi ke arah keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi

jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal dari sel keganasan di

nasofaring. Sejak tahun 1991, WHO (World Health Organization) membagi karsinoma

nasofaring ke dalam tiga tipe, yaitu (Bailey, dkk., 2006). :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (keratinized squamous cell carcinoma). Tipe

ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring.

Sel-sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang, dan menghasilkan relatif

cukup banyak bahan keratin didalam maupun diluar sel.

2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin (nonkeratinized squamous cell carcinoma).

Tipe ini paling banyak variasinya, sebagian tumor dengan diferensiasi sedang dan

sebagian lainnya dengan sel-sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Seringkali

menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional.

23
24

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma). Kelompok disini

mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen. Termasuk disini karsinoma

anaplastik, limfoepitelioma, clear cell carcinoma dan varian sel spindel.

Gambar 2.6 Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin (Rosai, dkk., 2004).

Gambar 2.7 Karsinoma Sel Skuamosa Tidak Berkeratin (Rosai, dkk., 2004).

24
25

Gambar 2.8 Karsinoma tidak berdiferensiasi (Rosai, dkk., 2004).

Di Amerika Utara, ditemukan pasien karsinoma nasofaring dengan jenis

histopatologi WHO tipe 1 sekitar 25%, WHO tipe 2 12%, dan WHO tipe 3 63%.

Sedangkan di Cina Selatan ditemukan sekitar 3% WHO tipe 1, 2% WHO tipe 2, dan

95% WHO tipe 3 (Bailey, dkk., 2006). WHO tipe 3 pada karsinoma nasofaring

merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan endemik, terutama di Asia

Tenggara (Munir, 2009).

G. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan nasofaring,

pemeriksaan radiologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan patologi (Shah JP,

2001), (Surarso B, 2009).

1. Gejala Klinis

Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan letak

tumor, penyebaran, dan stadium karsinoma nasofaring. Karena nasofaring terletak

di daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga

penderita kebanyakan datang dengan keluhan benjolan di leher akibat penyebaran

tumor ke kelenjar getah bening regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul

adalah keluhan pada telinga atau hidung yang bersifat unilateral. Keluhan di

telinga dapat berupa gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media serosa dan

perforasi membran timpani. Gejala pada hidung dapat berupa sumbatan hidung

dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah atau berupa epistaksis. Gangguan

penciuman dan obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa

tumor yang menutupi koana. Gejala lanjut yang paling sering dijumpai dan

25
26

mendorong pasien untuk datang berobat adalah pembesaran kelenjar getah bening

leher unilateral atau bilateral (Hasselt, dkk., 1999).

Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan saraf intrakranial.

Tumor dapat meluas kearah superior menuju ke intra kranial dan menjalar

sepanjang fosa kranii media (penjalaran petrosfenoid). Biasanya tumor masuk

rongga tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan kerusakan atau lesi

pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi

gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal

dan parestesi wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf kranial yang tersering

mengalami gangguan adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua saraf grup

anterior terkena gangguan maka timbul kumpulan gejala yang disebut sebagai

sindroma petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral,

amaurosis dan nyeri kepala hebat Karena penekanan tumor pada duramater.

Terkenanya N. III menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi

bolamata (oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan

muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae inferior

dan obliqus.

Gangguan N.IV menimbulkan kelumpuhan muskulus obliqus inferior

bolamata. Lesi saraf N.IV jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi

lebih sering diikuti kelumpuhan N.III. Penekanan saraf-saraf N.IV terjadi

didalam atau pada dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI

mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan

penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen). Keluhan

lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang sering kali hebat.
26
27

Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal, fosa

pterigopalatina dan dapat sampai apeks orbita. Tumor besar dapat mendesak

palatum mole, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan

makanan.

Perluasan tumor kearah postero-lateral menuju ke ruang parafaring

dan fosa pterigopalatina yang kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran

retroparotidian). Saraf yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N.

VII sampai dengan N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan

menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut

sebagai sindroma retroparotidean, atau sindroma Jackson. Manifestasi

kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut (Hasselt, dkk., 1999) :

a. N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior, dan

gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.

b. N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring (gejala

regurgitasi, bindeng) disertai gangguan menelan, respirasi dan salivasi.

c. N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu Karena

kelumpuhan atau atrofi otot trapesius dan sternokleidomastoid.

d. N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral.

Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai gejala akibat kelumpuhan

dari nervus simpatikus servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmi

dan miosis yang dikenal sebagai sindroma Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang

terkena karena letaknya tinggi dan berada dalam kanal tulang. Kelainan

neurologik pada KNF ini berkisar antara 29-53%. Tumor di postero-lateral

nasofaring dapat menginfiltrasi otot-otot mengunyah, terutama otot pterigoid


27
28

internus yang berakibat trismus. Perluasan tumor kearah inferior menuju rongga

mulut atau regio retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan makan dan

napas (Dewi, 2010), (Hasselt, dkk., 1999).

Gejala lain KNF adalah trismus yang disebabkan oleh infiltrasi tumor

pada muskulus pterigoideus yang menyebabkan gangguan membuka mulut.

Apabila tumor telah menginvasi otot levator velli palatini maka akan

mengakibatkan paralisis palatum. Keadaan ini jarang terjadi, dan biasanya akibat

gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot tersebut (Hasselt, dkk., 1999).

Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan yang paling sering adalah

metastasis ke paru-paru, tulang, dan hepar. Metastase ke otak terjadi melalui

penjalaran secara hematogen, sedangkan penyebaran ke hipofisis dapat terjadi

akibat perluasan langsung dari tumor primer. Metastasis KNF ke epidural medula

spinalis dapat menyebabkan penekanan medula spinalis, dengan gejala sisa

paraplegia dan inkontinensia (Munir, 2009).

2. Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan karsinoma nasofaring dapat dilakukan dengan cara

rinoskopi posterior (tidak langsung) dengan menggunakan kaca laring yang kecil,

dan cara nasofaringoskopi langsung dengan alat endoskop/nasofaringoskop kaku

(rigid nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan,

biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor televisi. Penggunaan

alat ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut (trans-oral). Alat-alat

tersebut dapat digunakan untuk melihat keadaan massa di nasofaring, berupa

massa yang eksofitik atau berupa penonjolan submucosa (Dewi, 2010) pada

gambar 2.9 Nasofaringoskopi tumor.


28
29

Gambar 2.9 Nasofaringoskopi tumor (Dewi, 2010).

Pada pemeriksaan rinoskopi posterior sering kesulitan karena yang

dilihat hanya berupa gambaran atau bayangan di kaca. Pada kasus yang sulit,

diperlukan pemeriksaan dengan teknik nasofaringoskopi, dan jika perlu digunakan

anestesi lokal. Flexible fibrescope atau endoskop Hopkins kaku 00 dan 300 cukup

baik dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih rinci. Dapat dideteksi

seluruh permukaan rongga hidung dan nasofaring (Munir, 2009).

3. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya

tumor, perluasan, serta kekambuhan paska terapi. Pemeriksaan radiologi untuk

karsinoma nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak, CT scan, dan MRI

(Surarso B, 2009), (King, dkk., 2010).

a. Foto polos tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya jaringan lunak di

dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat struktur tulang dan foramen

29
30

pada proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi tumor ke hidung dan sinus

paranasal pada proyeksi antero-posterior dan Waters.

b. Tomografi Komputer (CT scan) mempunyai keuntungan dan nilai diagnosis

tinggi yaitu kemampuan membedakan berbagai densitas di nasofaring dan

dapat menilai perluasan tumor, penyebaran ke kelenjar limfa leher, destruksi

tulang serta penyebaran ke intrakranial. Pada gambar 2.10 CT Scan Karsinoma

Nasofaring.

Gambar 2.10 CT Scan Karsinoma Nasofaring (Surarso B, 2009).

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan pemeriksaan tambahan dari

CT scan karena dapat membedakan antara jaringan lunak dan cairan misalnya

retensi cairan akibat invasi ke sinus paranasal. Pada gambar 2.11.

30
31

Gambar 2.11 MRI sagital menunjukkan tumor pada atap dan

dinding posterior nasofaring (Surarso B, dkk., 2009).

3. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi sangat menunjang diagnosis KNF. Virus Epstein-

Barr yang diketahui sebagai etiologi KNF mengandung antigen virus, antara lain

EBV- VCA, EA, LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan serologi dilakukan untuk

mendeteksi antibodi yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA,

antibodi terhadap antigen membran, antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr

Nuclear Antigen/EBNA), antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody dependent

cellular cytotoxicity (ADCC). Titer antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan

pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)

dan radio-immuno assay. Dapat juga menggunakan teknik PCR pada material

yang diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah

bening leher. Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada undifferentiated

carcinoma dan nonkeratinizing squamous cell carcinoma. Pada pasien KNF dapat

dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus dan antibodi IgA

yang ditemukan pada kapsid antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi yang

paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat dipakai sebagai tumor marker.

Antibodi ini dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang titernya meninggi

sebelum gejala KNF timbul. Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen EBV

ternyata lebih spesifik dibandingkan dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBV-

VCA terjadi setelah sintesis DNA virus, dengan demikian antibodi ini berkaitan

dengan fase lanjut dari infeksi virus EB. Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap
31
32

ada seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai dengan stadium penyakitnya.

Imunoglobulin A anti EBV-VCA ini dapat merupakan pertanda tumor (tumor

marker) yang spesifik untuk deteksi KNF terutama pada stadium dini (nilai

diagnostik), memantau hasil pengobatan dan memperkirakan kekambuhan (nilai

prognostik) (Dewi, 2010).

IgG (Immunoglobulin G) anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA

virus yaitu pada fase dini siklus replikasi virus. Kenaikan titer IgG anti EBV-EA

sudah ditemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA

dianggap positif bila ≥ 1/80. Berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi, IgG anti

EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbatas (EA-restricted) dan

tipe menyebar (EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBV-EA (D) didapatkan

pada semua penderita KNF yang telah mendapatkan pengobatan dengan radiasi

dan tidak pada penderita dengan kanker kepala dan leher lainnya. Bila titernya

meningkat lagi harus dicurigai adanya kekambuhan atau metastasis. Pemeriksaan

IgG anti EBV-EA lebih berguna untuk menentukan perjalanan penyakit dan

prognosis karsinoma nasofaring (Dewi, 2010).

4. Pemeriksaan Patologi (Biopsi)

Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan jaringan

tumor di nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang diperoleh dari jaringan hasil

biopsi. Apabila penderita yang menunjukkan hasil pemeriksaan serologi yang

positif, tetapi hasil biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap menderita KNF. Ada

beberapa cara melakukan biopsi, yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi buta

terpimpin (guided biposy), biopsi dengan nasofaringoskopi direkta, dan biopsi

dengan fibernasolaringoskop (Dewi, 2010).


32
33

H. Stadium Tumor

Tabel 2.1 Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut

American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun 2002 (Lee, 2008).

T : Tumor primer

Tx : Tumor primer tidak dapat ditemukan


T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas sampai jaringan lunak pada orofaring dan
rongga hidung
T2a : Tumor tanpa perluasan ke daerah parafaring
T2b : Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : Tumor meluas ke struktur tulang sekitarnya dan atau ke
sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke daerah intrakranial atau terlibatnya saraf
kranialis, fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang
Masticator
N : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional
Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran ≤ 6 cm dalam
ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikular
N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran ≤ 6 cm dalam
ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikular
N3 : Metastasis KGB dengan ukuran > 6 cm atau terletak pada
fosa supraklavikular
N3a : Ukuran KGB > 6 cm
N3b : Menginvasi KGB fosa supraklavikular
M : Metastasis jauh
Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh
Stadium
Stadium 0 : Tis – N0 – M0
Stadium I : T1 – N0 – M0
Stadium IIA : T2a – N0 – M0
Stadium IIB : T1 – N1 – M0; T2a – N1 – M0; T2b – N0,N1 – M0
Stadium III : T1 – N2 – M0; T2a,T2b – N2 – M0; T3 –
N0,N1,N2 – M0
Stadium IVA : T4 – N0,N1,N2 – M0
Stadium IVB : Semua T – N3 – M0
Stadium IVC : Semua T – semua N – M1
33
34

I. Penatalaksanaan

1. Radioterapi

Radioterapi merupakan pengobatan utama pada karsinoma nasofaring.

Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif pada kasus yang sudah metastasis

jauh. Radioterapi pada penderita karsinoma nasofaring tanpa metastasis merupakan

terapi kuratif utama yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal

dan brakhiterapi (Munir, 2009).

Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA dan mengakibatkan

destruksi sel tumor. Disamping itu radioterapi memiliki kemampuan untuk

mempercepat proses apoptosis sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi

dapat mematikan sel tumor. Radioterapi memiliki kemampuan mengurangi rasa

sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area

sekitarnya. Disamping itu juga berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan

perdarahan dari massa tumor (Munir, 2009).

Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung dari

besarnya tumor. Untuk KNF yang masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi dengan

dosis sebesar 1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat selama sekitar 6–

7,5 minggu sampai mencapai dosis total 60-70 Gy. Sedangkan untuk KNF dengan

ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor

primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 70–75 Gy. Bila tidak didapatkan

metastasis di KGB leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik dengan dosis

34
35

sekitar 40-50 Gy dalam empat atau empat setengah minggu, sedangkan bila ada

pembesaran KGB di leher (metastasis regional) diberikan radiasi yang dosisnya

sama dengan tumor primernya. Bila masih didapatkan residu tumor, diberikan

radiasi tambahan (booster) dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja

sebesar 10-15 Gy sehingga mencapai dosis total sebesar 75-80 Gy. Selain radiasi

eksterna, radiasi tambahan dapat diberikan dengan cara radiasi interna yaitu

brakhitherapi (Dewi, 2010), (Hasselt, dkk., 1999).

Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan

dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer KNF dapat

dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi tersebut adalah tumor persisten lokal

setelah 4 bulan pemberian radioterapi primer sebagai terapi tambahan setelah

radioterapi eksternal dan untuk tumor persisten regional dimana brakhiterapi

diberikan pada penderita yang akan menjalani diseksi leher (Munir, 2009).

Brakhiterapi dilakukan dengan menggunakan endotracheal tube. Pada

awalnya brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2 yang rekuren

setalah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang hanya

melibatkan nasofaring, para-nasofaring, dan atau fosa posterior nasal. Diberikan

dosis 45–50 Gy kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20 Gy (Munir, 2009).

2. Kemoterapi

Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang rekuren atau yang

telah mengalami metastasis. Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai

antimetabolit, mengganggu struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis.

35
36

Antimetabolit bekerja dengan menghambat biosintesis purin atau pirimidin,

sehingga dapat mengubah struktur DNA dan menahan replikasi sel (Munir, 2009),

(Hasselt, dkk., 1999).

Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat pembelahan sel pada semua

siklus sel (Cell Cycle non Specific) baik dalam siklus pertumbuhan sel maupun

dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin, doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu

ada juga obat kemoterapi yang hanya bekerja menghambat pembelahan sel pada

siklus pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase specific), yaitu metrotrexate dan 5-

fluorouracil (5-FU). (Munir, 2009), (Hasselt, dkk., 1999).

Kemoterapi dapat diberikan secara bersamaan dengan radioterapi

(kemoradioterapi) yang dimaksudkan untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Kemoradioterapi dapat mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan

survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat

mikrosirkulasi. Kemoradioterapi juga dapat mengontrol metatasis jauh dan

mengontrol mikrometastasis. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel

kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang

radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi (Munir, 2009), (Hasselt, dkk.,

1999), (Xu T, dkk., 2011).

3. Deteksi Dini

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, karsinoma nasofaring

disebabkan oleh multifaktor yaitu infeksi virus EB, pengaruh faktor lingkungan,

ras (genetik), dan sebagainya. Pencegahan karsinoma nasofaring harus ditujukan

untuk menghindarkan, mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor tersebut.

Salah satu hambatan utama dalam pencegahan adalah belum diketahuinya dengan
36
37

pasti bagaimana, dalam keadaan apa dan sejauh mana faktor-faktor tersebut

berpengaruh dalam patogenesis karsinoma nasofaring (Dewi, 2010).

Di Indonesia, beberapa faktor yang dapat diidentifikasi terutama

berhubungan dengan faktor kebiasaan dan lingkungan terutama pada penduduk

golongan sosial ekonomi rendah. Faktor-faktor tersebut misalnya makan ikan

asin, pemakaian kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak, dan asap obat

nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk, baik di rumah maupun di tempat kerja

dengan ventilasi yang kurang akan menambah besarnya faktor risiko (Dewi,

2010).

Untuk menghindari, mengurangi, atau menghilangkan faktor-faktor

risiko tersebut perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik oleh

pemerintah maupun badan-badan swasta (LSM) yang bergerak dalam usaha

penanggulangan kanker. Usaha yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang

untuk meningkatkan status sosial ekonomi penduduk terutama penduduk

pedesaan (Dewi, 2010).

Dengan ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa virus EB memegang

peranan yang penting dalam patogenesis karsinoma nasofaring maka saat ini

telah mulai dilakukan berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap virus

EB. Apabila vaksin yang efektif telah ditemukan, maka vaksinasi dapat segera

diberikan terutama pada golongan penduduk dengan risiko tinggi terkena

karsinoma nasofaring (Dewi, 2010).

Selain itu, mengingat letak nasofaring tidak mudah diperiksa, gejala

dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium

lanjut, perlu dilakukan skrining karsinoma nasofaring untuk deteksi dini,


37
38

sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal dan menurunkan tingkat

mortalitas (Hasselt, dkk., 1999). Untuk mencapai tujuan ini perlu kerjasama dari

berbagai sektor terkait seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi

Pendidikan Dokter/Perawat, IDI dan profesi (Perhati-KL, IAPI). Selain itu dokter

atau tenaga kesehatan pada lini pertama perlu meningkatkan pengetahuan

mengenai karsinoma nasofaring (Dewi, 2010), (Fles R, dkk., 2010). Pada gambar

2. 12 Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring.

Gambar 2.12 Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring (Evans, dkk., 2003).


4. Follow Up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi & pemeriksaan fisik :
1) Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
2) Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
3) Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
4) > 5 tahun : setiap 12 bulan
5) Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca terapi :
a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC
b. Bone Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang.
6) Follow Up Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi) ; follow-up dengan CT

Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap

tumor.

38
39

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Kurang nya
Faktor Genetik, Faktor
pengetahuan
Faktor Lingkungan kurangnya
masyarakat,
(Makanan yang pengetahuan
takut berobat ke
diawetkan, Ikan tenaga
dokter dan lebih
asing, rokok dll) kesehatan pada
sering berobat ke
lini pertama
Keterlambatan deteksi dukun
dini
Peningkatan insidensi
Ca Nasofaring
Informasi:

Umur
Jenis Kelamin
Keterangan :
Keluhan Utama
: Variabel Bebas
Stadium
Tipe: Variabel
HistoPATerikat

: Hubungan

: Variabel tidak diteliti

Penjelasan kerangka konsep :


Kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa Faktor Genetik, Faktor Lingkungan

(Makanan yang diawetkan, Ikan asing, rokok dll), Faktor kurangnya pengetahuan tenaga

kesehatan pada lini pertama, dan Kurang nya pengetahuan masyarakat, takut berobat ke

dokter dan lebih sering berobat ke dukun mengakibatkan keterlambatan deteksi dini sehingga

39
40

meningkatkan insiden Ca Nasofaring yang di dapatkan dari umur, jenis kelamin, factor risiko,

keluhan utama, stadium, tipe HistoPA dan terapi.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara studi deskriptif dengan rancangan cross

sectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medik atau data

sekunder penderita karsinoma nasofaring yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

eksklusi sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi : Seluruh pasien yang datang dan terdiagnosis pertama kali

menderita karsinoma nasofaring di poliklinik THT-KL dan rawat inap di

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Nganjuk periode tahun 2014-2017.

2. Kriteria eksklusi : Seluruh pasien yang telah terdiagnosis menderita karsinoma

nasofaring dan datang kembali untuk kontrol atau pengobatan.

B. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Nganjuk

,tanggal 8 September 2017 Sampai 7 Oktober 2017

40
41

C. Definisi Operasional Variabel

Dari catatan rekam medik dilakukan pendataan sebagai berikut :

1. Nomor urut rekam medic

Nomor urut pasien datang ke poliklinik atau rawat inap di Bagian/SMF Ilmu

Kesehatan THT-KL RSUD Nganjuk

2. Umur

Umur pasien ketika terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring

3. Jenis kelamin

Perempuan atau laki-laki

4. Pendidikan

Pendidikan terakhir pasien ketika terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring.

5. Keluhan utama

Keluhan utama pasien ketika pertama kali terdiagnosis menderita karsinoma

nasofaring.

6. Stadium

Stadium berdasarkan AJCC 2002 ketika pertama kali terdiagnosis menderita

karsinoma nasofaring.

7. Histopatologi

41
42

Jenis histopatologi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO 1991 ketika pertama

kali dilakukan pemeriksaan biopsi.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah catatan rekam medis penderita

karsinoma nasofaring yang berobat di poliklinik onkologi dan rawat inap di Departemen

Ilmu Kesehatan THT – KL RSUD Nganjuk, selama periode Januari 2014 sampai

Desember 2017.

E. Prosedur Penelitian

1. Permohonan izin
Membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Direktur RSUD

Nganjuk, Ka. Instalasi Rekam medis, dan Ka. Instalasi Patologi Anatomi atas nama

Kepala SMF THT-KL RSUD Nganjuk untuk menggunakan data berupa rekam

medis yang akan digunakan sebagai data dasar penelitian.

2. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan di Poli THT, Instalasi Rekam medis dan

Instalasi Patologi Anatomi pada tanggal 8 September 2017 - 7 Oktober 2017.

F. Analisa Data

Data yang diperoleh dikumpulkan dan dikelompokkan dalam tabel, kemudian

dihitung frekuensi dan persentasi masing-masing karakteristik berdasarkan umur, jenis

kelamin, pendidikan, keluhan utama, faktor risiko, stadium, gambaran histopatologi,

dan jenis terapinya.

42
43

BAB V

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini diperoleh dari 53 pasien Karsinoma nasofaring

yang memenuhi kriteria inklusi. Adapun proses pengambilan data tersebut

dilakukan di rekam medis poliklinik dan rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah

Nganjuk pada periode tahun 2014-2017.

4.1 Jumlah Penderita Karsinoma Nasofaring Tahun 2014-2017

Berikut ini dapat diketahui jumlah penderita karsinoma nasofaring

di poliklinik onkologi dan rawat inap Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL

Rumah Sakit Umum Daerah periode tahun 2014-2017.

Tabel 4.1 Jumlah penderita karsinoma nasofaring per-tahun (2014-2017)

Tahun Jumlah %

2014 15 34
2015 11 25
2016 9 20,5
2017 9 20,5

Total 44 100

Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah penderita Karsinoma

nasofaring (KNF) antara tahun 2014-2017 yaitu sebanyak 50 orang. Jumlah

penderita KNF pada tahun 2014 sebanyak 15 orang (34%), kemudian terjadi

43
44

penurunan pada tahun 2015 yaitu 11 orang (25%). Pada tahun 2016 jumlah

pasien penderita KNF turun menjadi 9 orang (20,5%). Pada tahun 2017

jumlah penderita KNF tetap 9 orang (26%).

4.2 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur

Pada penelitian ini ditemukan umur termuda penderita KNF adalah

19 tahun, sedangkan umur tertua adalah 73 tahun. Kemudian dapat diketahui

bahwa kelompok umur tertinggi penderita KNF adalah 50–59 tahun yaitu

sebanyak 12 orang (27,3%), dan kelompok umur terendah yaitu >79 dengan 0

penderita . Distribusi pasien KNF berdasarkan umur ditampilkan pada tabel

4.2.

Tabel 4.2 Distribusi pasien karsinoma nasofaring menurut umur


Umur Jumlah %
< 20 1` 2,3
20 – 29 1 2,3
30 – 39 8 18,2
40 – 49 11 25
50 – 59 12 27,3
60 – 69 6 13,6
70 – 79 5 11,3
>79 0 0
Tidak ada data 0 0
Total 44 100

Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang

dilakukan di tempat lain. Pada penelitian di Amerika dan Eropa, di daerah

endemik ditemukan peningkatan insidensi KNF pada umur 20 tahun dan

puncaknya pada 40-50 tahun, sedangkan di daerah yang beresiko rendah

ditemukan peningkatan insidensi KNF pada umur 15 tahun dan puncaknya

pada umur 50-60 tahun (Evans dkk, 2003). Kemudian penelitian di Medan
44
45

melaporkan bahwa sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun,

dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun (Munir, 2009). Selain itu

penelitian di Bandung juga melaporkan bahwa insidensi KNF mulai

meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar (plateau) di antara umur 45-54

tahun kemudian menurun, dan KNF ditemukan pada usia produktif yaitu

umur 30-59 tahun (sekitar 80%) dengan puncak antara 40-49 tahun (Dewi,

2010).

Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa jumlah penderita

KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada peningkatan setelah

umur 60 tahun. Hal tersebut terjadi karena faktor risiko seperti kebiasaan

merokok dan konsumsi ikan asin sejak usia dini, sehingga KNF dapat muncul

ketika seseorang telah mencapai usia produktif, karena mulai dari paparan

pertama bahan karsinogen sampai timbulnya kanker memerlukan waktu yang

lama.

4.3 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis

Kelamin

Proporsi tertinggi penderita KNF pada penelitian ini terjadi pada

laki-laki yaitu sebanyak 28 orang (63,7%), sedangkan pada perempuan

sebanyak 16 orang (36,3%), dengan perbandingan laki-laki dan perempuan

yaitu 2 : 1. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis kelamin ditampilkan

pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin Jumlah %
Laki-laki 28 63,7
Perempuan 16 36,3
Total 44 100
45
46

Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur, bahwa secara umum

ditemukan kasus KNF lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Di

Afrika Utara ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada

laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1, sedangkan

penelitian di Medan didapatkan perbandingan penderita laki-laki dan

perempuan yaitu 2-4 : 1 (Munir, 2009).

Selain itu penelitian di Selangor Malaysia mendapatkan insidensi

KNF pada orang Cina sebesar 17,3 per 100.000 penduduk laki-laki dan 7,3

per 100.000 penduduk perempuan. Insidensi KNF yang relatif tinggi juga

didapatkan pada orang Eskimo di Alaska yaitu 13,5 per 100.000 penduduk

laki-laki dan 3,7 per 100.000 penduduk perempuan (Dewi,2014). Hal tersebut

terjadi karena gaya hidup laki-laki berbeda dengan perempuan seperti

kebiasaan merokok dimana jumlah perokok pada laki-laki lebih tinggi

daripada perempuan (Shah, 2001).

4.4 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tingkat

Pendidikan

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan

penderita KNF yang terbanyak adalah tingkat pendidikan rendah yaitu SD

sebanyak orang (25%). Kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan

SMA/SMK D3, dan S1. Distribusi pasien KNF berdasarkan tingkat

pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi pasien karsinoma nasofaring menurut pendidikan

Pendidikan Jumlah %

SD 11 25
46
47

SMP 2 4,5

SMA/SMK 3 6,8

S1 0 0
D3 0 0

Tidak ada data 28 63,7

Total 44 100

Hubungan antara tingkat pendidikan dan kejadian kanker secara

tidak langsung juga berhubungan dengan tingkat intelektualitas dan status

sosial ekonomi yang rendah. Pada pasien dengan tingkat sosial ekonomi yang

rendah biasanya tinggal atau bekerja pada lingkungan yang kurang baik, yaitu

tempat yang terpapar bahan-bahan yang dapat mengaktifkan virus Epstein-

Barr seperti debu yang mengandung kromium, nikel, arsen, asap dari

pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu, kemenyan, kayu atau minyak

tanah, serta obat nyamuk. Selain itu juga pasien dengan tingkat pendidikan

dan sosial ekonomi yang rendah tidak mengetahui bagaimana cara

pencegahan dan deteksi dini pada suatu penyakit (Dewi, 2010).

4.5 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan

Utama

Keluhan utama yang paling banyak pada penelitian ini adalah

benjolan pada leher yaitu sebanyak 15 orang (34,1%). Kemudian diikuti oleh

epistaksis, suara parau, hidung tersumbat sesak napas, disfagia, keadaan umum

lemah, dan keluhan utama terendah yaitu ptosis, penglihatan ganda, dan sakit

47
48

kepala. Distribusi pasien KNF berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada

tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring


berdasarkan keluhan utama

Keluhan Utama Jumlah %

Benjolan leher 15 34,1


Hidung tersumbat 6 13,6

Epistaksis 8 18,2
Disfagia 4 9,1
Sesak napas 1 2,27
Keadaan umum lemah 1 2,27
Penglihatan ganda 1 2,27
Suara Parau 7 15,9
Sakit kepala 1 2,27

Total 44 100

Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa

keluhan utama paling banyak adalah benjolan pada leher, karena leher

merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari sel kanker di nasofaring.

Gejala pada leher inilah yang seringkali mendorong penderita berobat ke

dokter yaitu sebanyak 70-90%. Kemudian keluhan lain yang sering terjadi

adalah keluhan pada hidung yaitu sebanyak 56-79%. Keluhan tersebut terjadi

karena tumor meluas ke arah anterior menuju rongga hidung dan menimbulkan

gejala seperti pilek yang lama (kronis), ingus kental dan berbau busuk, serta

48
49

epistaksis yang makin sering dan banyak disertai hidung tersumbat dan suara

sengau.

Kemudian gejala lain seperti sakit kepala, gejala pada mata, dan

disfagia terjadi akibat perluasan tumor ke arah intrakranial melalui foramen

laserum, dan menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak

yaitu N. III-VI, serta pada grup posterior saraf otak yaitu N. VII-XII.

Gangguan N.III dapat menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi

bola mata (oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena

kelumpuhan muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus

palpebrae inferior dan obliqus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan

muskulus rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan ganda dan

mata tampak juling (strabismus konvergen). Kemudian apabila terjadi

kelumpuhan pada N. IX-XII dapat menimbulkan gejala-gejala yang disebut

sebagai sindroma retroparotidean atau sindroma Jackson. Manifestasi

kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut (Dewi, 2010).

a) N.IX : Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor

superior dan gangguan pengecapa pada sepertiga belakang lidah.

b) N.X : Hiper/hipo anastesi mukosa palatum mole, faring dan

laring (gejala regurgitasi, sengau) disertai gangguan menelan, respirasi dan

salivasi.

c) N.XI : Hemiperesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu

karena kelumpuhan atau atrofi otot trapezius dan sternokledomastoid.

49
50

d) N.XII : Gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah

unilateral.

Selain itu penelitia di Medan juga ditemukan bahwa gejala utama

yang ditemukan paling banyak adalah benjolan pada leher 43%, keluhan pada

hidung sebanyak 30%, dan keluhan pada telinga sebanyak 13% (Munir, 2009).

4.6 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis

Histopatologi

Jenis histopatologi yang paling banyak ditemukan pada penelitian

ini adalah WHO tipe 3 yaitu karsinoma tidak berdiferensiasi sebanyak 17 orang

(38,6%), kemudian diikuti oleh WHO tipe 1 (karsinoma sel skuamosa

berkeratin) . Kemudian data jenis histopatologi yang tidak dicantumkan pada

rekam medis sebanyak 23 orang (52,3%) karena pasien tidak datang lagi untuk

kontrol atau pemeriksaan biopsi. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis

histopatologi dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan


tipe histopatologi

Hasil PA Jumlah %
Karsinoma tidak berdiferensiasi 17 38,6
Karsinoma skuamosa berkeratin 4 9,1
Karsinoma skuamosa Tidak
0 0
berkeratin
Adenoskuamosa 0 0
Tidak ada data 23 52,3
Total 44 100

50
51

Hasil penelitian ini tersebut sesuai dengan beberapa penelitian

di Indonesia. Di Instalasi Patologi Anatomi RSUD Dr. Soetomo

Surabaya tahun 1992 didapatkan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 masing-

masing sebanyak 17,91%, 10,45%, dan 71,64%. Penelitian pasien KNF

di Poliklinik THT-KL RSUD Dr Soetomo Surabaya tahun 2000

menemukan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 sebesar 5,59%, 8,04%, dan

85,66% (Dewi, 2010). Selain itu penelitian di Universitas Sumatera

Utara mendapatkan sebagian besar penderita KNF mempunyai jenis

histopatologi WHO tipe 3 sebanyak 47,8%, diikuti WHO tipe 2

sebanyak 41,6% dan WHO tipe 1 sebanyak 10,6%. Kemudian

penelitian lain di Medan mendapatkan WHO tipe 3 paling banyak yaitu

53%, WHO tipe 1 sebanyak 29%, dan WHO tipe 2 sebanyak 29% dari

55 kasusnya (Dharishini, 2011). Faktor yang mempengaruhi dominasi

jenis histopatologi masih belum dapat diketahui, dan untuk hal tersebut

dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

51
4.7 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium

Sebanyak 17 orang (38,63%) terdiagnosis KNF pada stadium IV,

kemudian diikuti oleh stadium II sebanyak 4,54%, stadium I sebanyak 2,27%.

Adapun data stadium yang tidak dicantumkan pada rekam medis sebanyak 24

orang (54,54%), dikarenakan pasien-pasien tersebut tidak datang lagi untuk

kontrol. Distribusi penderita KNF berdasarkan stadium dapat dilihat pada tabel

4.7.

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring


berdasarkan stadium
Stadium Jumlah %
I 1 2,27
II 2 4,54
III 0 0
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
IV 17 38,63
di tempat lain.
Tidak ada data 24 54,54
Total 493 100

Penelitian di India menemukan penderita stadium IV sebanyak 58,9% dari 29

kasusnya. Kemudian penelitian di Jakarta mendapatkan stadium KNF paling

banyak adalah stadium IV yaitu sebanyak 60%. Penelitian di Universitas

Sumatera Utara ditemukan stadium KNF paling banyak adalah stadium IV

yaitu 56 penderita (49,6%), stadium III ditemukan 39 penderita (34,5%), dan

stadium I hanya ditemukan pada 1 penderita. Selain itu penelitian lain di

Medan mendapatkan stadium IV sebanyak 26% dari 55 kasusnya, stadium III

sebanyak 67% dan stadium II sebanyak 7% (Munir, 2009).

Banyaknya penderita yang ditemukan pada stadium lanjut

menunjukkan keterlambatan deteksi dini adanya tumor pada nasofaring. Hal

tersebut dapat disebabkan oleh gejala dini yang tidak khas dan kurangnya

kesadaran masyarakat untuk datang ke dokter sampai keluhannya memburuk.


Selain itu masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang penyakit

kanker terutama KNF, lebih percaya berobat ke dukun atau non medis, takut

berobat ke dokter, dan kurangnya pengetahuan dokter dan tenaga kesehatan

pada lini pertama terhadap gejala dan tanda KNF (Dewi, 2010).

BAB VI

PEMBAHASAN

Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker ganas yang timbul di rongga

belakang hidung (nasofaring) dengan predileksi di fossa Rossenmuller yang

merupakan daerah transisional yaitu epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamusa.

Secara global karsinoma nasofaring terjadi hanya 0.7% pada keselurahan kasus

kanker, menempati urutan ke-24 kanker yang paling sering terjadi (Tang, 2016). Di

Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas
yang menyerang seluruh tubuh. Sedangkan di bagian telinga, hidung, dan tenggorok,

karsinoma nasofaring merupakan peringkat pertama.

Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria daripada

wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia produktif 30-

60 tahun, dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Menurut England and Wales

Cancer Registry data. Setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun adalah

karsinoma. Seperti dikutip Globocan, menunjukkan 1-2 per sejuta karsinoma

nasofaring terjadi pada usia 15-19 tahun. Sejauh ini, penderita termuda ditemuka di

India 6 tahun dan Inggris 7 tahun (Globocan, 2012).

Pada penelitian ini ditemukan umur termuda penderita KNF adalah 19

tahun, sedangkan umur tertua adalah 73 tahun. Kemudian dapat diketahui bahwa

kelompok umur tertinggi penderita KNF adalah 50–59 tahun yaitu sebanyak 12

orang (27,3%), dan kelompok umur terendah yaitu >79 dengan 0 penderita .

Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan di

tempat lain. Pada penelitian di Amerika dan Eropa, di daerah endemik ditemukan

peningkatan insidensi KNF pada umur 20 tahun dan puncaknya pada 40-50 tahun,

sedangkan di daerah yang beresiko rendah ditemukan peningkatan insidensi KNF

pada umur 15 tahun dan puncaknya pada umur 50-60 tahun (Evans dkk, 2003).

Kemudian penelitian di Medan melaporkan bahwa sebagian besar penderita KNF

berumur di atas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun (Munir,

2009). Selain itu penelitian di Bandung juga melaporkan bahwa insidensi KNF mulai

meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar (plateau) di antara umur 45-54 tahun

kemudian menurun, dan KNF ditemukan pada usia produktif yaitu umur 30-59 tahun

(sekitar 80%) dengan puncak antara 40-49 tahun (Dewi, 2010).

Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa jumlah penderita KNF

meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada peningkatan setelah umur 60 tahun.
Hal tersebut terjadi karena faktor risiko seperti kebiasaan merokok dan konsumsi

ikan asin sejak usia dini, sehingga KNF dapat muncul ketika seseorang telah

mencapai usia produktif, karena mulai dari paparan pertama bahan karsinogen

sampai timbulnya kanker memerlukan waktu yang lama. Proporsi tertinggi penderita

KNF pada penelitian ini terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 28 orang (63,7%),

sedangkan pada perempuan sebanyak 16 orang (36,3%), dengan perbandingan laki-

laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur, bahwa

secara umum ditemukan kasus KNF lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.

Di Afrika Utara ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-

laki daripada perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1, sedangkan penelitian di

Medan didapatkan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan yaitu 2-4 : 1

(Munir, 2009).

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penderita KNF

yang terbanyak adalah tingkat pendidikan rendah yaitu SD sebanyak orang (25%).

Kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan SMA/SMK ,D3 ,dan S1. Hubungan antara

tingkat pendidikan dan kejadian kanker secara tidak langsung juga berhubungan

dengan tingkat intelektualitas dan status sosial ekonomi yang rendah.

Pada pasien dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah biasanya tinggal

atau bekerja pada lingkungan yang kurang baik, yaitu tempat yang terpapar bahan-

bahan yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr seperti debu yang mengandung

kromium, nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu,

kemenyan, kayu atau minyak tanah, serta obat nyamuk. Selain itu juga pasien dengan

tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah tidak mengetahui bagaimana

cara pencegahan dan deteksi dini pada suatu penyakit (Dewi, 2010).

Keluhan utama yang paling banyak pada penelitian ini adalah benjolan pada

leher yaitu sebanyak 15 orang (34,1%). Kemudian diikuti oleh epistaksis, suara
parau, hidung tersumbat sesak napas, disfagia, keadaan umum lemah, dan keluhan

utama terendah yaitu ptosis, penglihatan ganda, dan sakit kepala.

Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa keluhan

utama paling banyak adalah benjolan pada leher, karena leher merupakan penyebaran

terdekat secara limfogen dari sel kanker di nasofaring. Gejala pada leher inilah yang

seringkali mendorong penderita berobat ke dokter yaitu sebanyak 70-90%.

Kemudian keluhan lain yang sering terjadi adalah keluhan pada hidung yaitu

sebanyak 56-79%. Keluhan tersebut terjadi karena tumor meluas ke arah anterior

menuju rongga hidung dan menimbulkan gejala seperti pilek yang lama (kronis),

ingus kental dan berbau busuk, serta epistaksis yang makin sering dan banyak

disertai hidung tersumbat dan suara sengau. Jenis histopatologi yang paling banyak

ditemukan pada penelitian ini adalah WHO tipe 3 yaitu karsinoma tidak

berdiferensiasi sebanyak 17 orang (38,6%), kemudian diikuti oleh WHO tipe 1

(karsinoma sel skuamosa berkeratin) . Kemudian data jenis histopatologi yang tidak

dicantumkan pada rekam medis sebanyak 23 orang (52,3%) karena pasien tidak

datang lagi untuk kontrol atau pemeriksaan biopsi. Hasil penelitian ini tersebut

sesuai dengan beberapa penelitian di Indonesia. Di Instalasi Patologi Anatomi RSUD

Dr. Soetomo Surabaya tahun 1992 didapatkan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 masing-

masing sebanyak 17,91%, 10,45%, dan 71,64%. Sebanyak 17 orang (38,63%)

terdiagnosis KNF pada stadium IV, kemudian diikuti oleh stadium II sebanyak 4,54%,

stadium I sebanyak 2,27%. Adapun data stadium yang tidak dicantumkan pada rekam

medis sebanyak 24 orang (54,54%), dikarenakan pasien-pasien tersebut tidak datang lagi

untuk kontrol.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di tempat

lain. Penelitian di India menemukan penderita stadium IV sebanyak 58,9% dari 29

kasusnya. Kemudian penelitian di Jakarta mendapatkan stadium KNF paling banyak


adalah stadium IV yaitu sebanyak 60%. Penelitian di Universitas Sumatera Utara

ditemukan stadium KNF paling banyak adalah stadium IV yaitu 56 penderita

(49,6%), stadium III ditemukan 39 penderita (34,5%), dan stadium I hanya

ditemukan pada 1 penderita. Selain itu penelitian lain di Medan mendapatkan

stadium IV sebanyak 26% dari 55 kasusnya, stadium III sebanyak 67% dan stadium

II sebanyak 7% (Munir, 2009).


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap kasus KNF selama periode tahun 2014-2017

dengan data yang didapatkan di bagian rekam medik poliklinik dan rawat inap

RSUD Nganjuk maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Jumlah penderita KNF yang berobat ke poliklinik dan rawat inap di Bagian Ilmu

Kesehatan THT-KL RSUD Nganjuk periode tahun 2014-2017 adalah sebanyak

44 orang.

2. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan laki-laki lebih banyak daripada

perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 28 orang (63,7%), sedangkan pada

perempuan sebanyak 16 orang (36,3%), dengan angka kejadian tertinggi pada

kelompok umur 50–59 tahun yaitu sebanyak 12 orang (27,27%).

3. Tingkat pendidikan terbanyak pada penderita KNF adalah SD yaitu sebanyak 11

orang (25%).

4. Keluhan utama yang sering dialami oleh pasien KNF adalah keluhan pada leher,

keluhan pada hidung, disfagia, keluhan pada mata, sakit kepala, dan keadaan

umum yang lemah. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah

benjolan pada leher yaitu sebanyak 14 orang (34,1%).

5. Proporsi stadium tertinggi penderita KNF adalah stadium IV yaitu sebanyak 17

orang (38,63%).

6. Jenis histopatologi tertinggi penderita KNF adalah WHO tipe 3 (karsinoma

tidak berdiferensiasi) yaitu sebanyak 17 orang (38,63%).

B. Saran
1. Diharapkan untuk rumah sakit, puskesmas, serta institusi kesehatan yang terkait

bekerjasama untuk memberikan penyuluhan tentang informasi yang berkaitan

dengan karsinoma nasofaring sehingga masyarakat dapat mengenal gejala dan

tanda KNF.

2. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai sektor terkait seperti Dinas Kesehatan,

Pemda, LSM, Institusi Pendidikan Dokter atau Perawat, dan IDI untuk

melakukan deteksi dini pada karsinoma nasofaring.

3. Diharapkan dokter atau tenaga kesehatan pada lini pertama untuk meningkatkan

pengetahuan mengenai karsinoma nasofaring, melakukan deteksi dini, melakukan

pemeriksaan nasofaring dengan teknik sederhana, mengetahui prinsip terapi, dan

upaya pencegahan KNF.

4. Untuk menunjang penelitian, diharapkan pengisian status rekam medis pasien

yang lebih lengkap dari sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adam M, Kurnawan AN et all, 2012. Nasopharyngeal Carcinoma In Indonesia
Epidemiology, Incidence, Sign and symptom at presentation cancer :31(4):
185-96.

Ariwibowo H. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Cermin Dunia Kesehatan


2013;40(5) : 348-351.

Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Texas, Pennsylvania:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.

Data Pasien di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Nganjuk. 2014-2017.


Nganjuk.

Dewi YA. Karsinoma Nasofaring. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran, THT-KL; 2010.

Dharishini P. Gambaran Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Rumah Sakit


Umum Haji Adam Malik Dari Januari Sampai Desember 2009. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2011.

Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ. Principles and Practice of Head and Neck
Oncology. London and New York: Martin Dunitz; 2003.

Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB. Knowledge of General
Practitioners About Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas in Yogyakarta,
Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10(1):1-6.

Friborg J, Yuan J, Wang R, Koh W, Lee H, Yu M. A Prospective Study of Tobacco and


Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore
Chinese. Pubmed. 2007;109(6):1183-91.

Guidelines on Cancer Prevention, Early Detection & Screening Nasopharyngeal


carcinoma (NPC). The Hong Kong Anti-Cancer Society. 2008

Hasselt CAV, Gibb AG. Nasopharyngeal Carcinoma. Hong Kong and London: The
Chinesse University Press, Greenwich Medical Media LTD.; 1999.
Jia W, Luo X, Feng B, Ruan H, Bei J, Liu W, et al. Traditional Cantonese Diet and
Nasopharyngeal Carcinoma Risk: a Large-Scale Case-Control Study in
Guangdong, China. Pubmed. 2010;10:446.

King AD, Bhatia KSS. Magnetic Resonance Imaging Staging of Nasopharyngeal


Carcinoma in the Head and Neck. World Journal of Radiology.
2010;2(5):159-65.

Lee KJ, editor. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9 ed. Connecticut:
McGraw-Hill; 2008.

Munir D. Karsinoma Nasofaring. Medan: USU press; 2009.

Ren ZF, Liua WS, Qina HD, Xua YF, Yua DD, Fenga QS, et al. Effect of Family
History of Cancers and Environmental Factors on Risk of Nasopharyngeal
Carcinoma in Guangdong, China. ScienceDirect - Cancer Epidemiology.
2010;34(4):419-24.

Surarso B. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring. Surabaya: THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo2009.

Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. Hamilton, London:
BC Decker Inc; 2001.

Standring S. Gray's Anatomy - The Anatomical Basis of Clinical Practice. London:


Elsevier; 2008.

Thompson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus and Cancer. American Association for
Cancer Research. 2004 February 1;10:803-21.

Wee J, Ha T, Loong S, Qian C. Is Nasopharyngeal Cancer Really a "Cantonese


Cancer"? Pubmed. 2010;29(5):517-26.

Xu T, Hu C, Wang X, Shen C. Role of Chemoradiotherapy in Intermediate Prognosis


Nasopharyngeal Carcinoma. European Journal of Cancer. 2011;47(5):408-
13.

Zhong W. Nasopharyngeal Carcinoma Rish by histology type in central china : Impect


of , alcohol and family history. Int J. Cancer 2011 : 129(3): 729-32.

Anda mungkin juga menyukai