Karsinoma Nasofairng
Karsinoma Nasofairng
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antara tumor ganas telingan hidung tenggorokan dan kepala leher (THT-
KL) di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.
Tumor berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
epidemiologi unik. Insiden bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi. Kurang dari 1
kasus per 100.000 penduduk setiap tahun angka insiden di Amerika Serikat. Namun, di
beberapa Negara di Asia (terutama di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara
Indonesia cukup tinggi, sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau
sekitar 7000-8000 kasus per tahun. Perbandingan laki-laki dan perempuan 3:1 (Adham
misalnya gen HLA(Human Leucocyt Antigen), gen onkogen, gen supresor dicurigai
sebagai faktor penyebab. Di Indonesia sendiri kebiasaan memakan ikan asin, merokok,
1
2
suatu masalah, karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini tidak khas serta letak
telinga terasa penuh, parese saraf craniali, jenis histologis yang paling sering adalah
memiliki kualitas hidup yang lebih baik pasca perawatan bila dibandingkan dengan
pasien stadium lanjut (Adham M., dkk., 2012). Penelitian ini dilakukan untuk
Kesehatan Telinga Hidung, Tenggorok, dan Kepala Leher (THT-KL) di Rumah Sakit
karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pada Periode 2014-
2017 ?
C. Tujuan Penelitian
3. Mengetahui keluhan utama dan gejala klinis pada penderita Ca Nasofaring tersebut.
D. Manfaat Penelitian
2
3
1. Manfaat masyarakat
2. Manfaat penelitian
c. Melengkapi data yang sudah ada pada Departemen Ilmu Kesehatan THT-
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker ganas yang timbul di rongga
daerah transisional yaitu epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamusa. Secara global
karsinoma nasofaring terjadi hanya 0.7% pada keselurahan kasus kanker, menempati
urutan ke-24 kanker yang paling sering terjadi (Tang, 2016). Di Indonesia, karsinoma
nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang menyerang seluruh
nasofaring di Indonesia pada pria dan wanita sebesar 4,9% setelah kanker payudara,
wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia produktif 30-60
tahun, dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Menurut England and Wales Cancer
Registry data. Setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun adalah
karsinoma. Seperti dikutip Globocan, menunjukkan 1-2 per sejuta karsinoma nasofaring
terjadi pada usia 15-19 tahun. Sejauh ini, penderita termuda ditemuka di India 6 tahun
B. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga berbentuk kubus yang terletak
di belakang hidung. Rongga nasofaring sangat sulit dilihat, sehingga dahulu disebut
depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah
basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal.
Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lain adalah dua sisi
5
6
Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping (Evan,dkk 2003).
6
7
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma
3. Torus Tubarius
Torus Tubarius adalah suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii
(ostium tuba)
4. Fosa Rosenmuller
Fosa Rosenmuller adalah suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus
tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang
atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat
Fossa Rosenmuller merupakan area yang menjadi asal dari sebagian besar sel
organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan persentasi
7
8
anterolateral.
space.
Gambar 2.3 Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus Morgagni (Hasselt, dkk.,
Medial, 3.Otot Tensor Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini, 5.Parapharyngeal Space,
lain di nasofaring (Evan, dkk., 2003). Moch. Zaman mengemukakan bahwa keganasan
1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring.
8
9
Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksternal, sedangkan
drainase vena melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Persarafan nasofaring
berasal dari cabang saraf craniali V2, IX, dan X, serta saraf simpatik ( Shah. JP., 2001)
Gambar 2.4 Vaskularisasi dan inservasi kepala dan leher (Standring S, 2008)
bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan retrofaring, dimana terdapat
kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan Rouviere node. Drainase ke
daerah jugular dapat melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran
langsung. Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang
mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang. Drainase lebih lanjut dapat
9
10
Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher (Standring S., 2008).
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-
macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel
kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun 1954,
Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada nasofaring ke
arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah
palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah
pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan
atau celah-celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya (Evan, 2003).
C. Faktor Risiko
Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang meningkatkan resiko
Afrika Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko lebih tinggi dari
10
11
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung, meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat
meningkatkan risiko.
5. Virus Epstein-Barr.
Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala ringan,
nasofaring.
6. Riwayat keluarga.
Riwayat memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring
dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya. Rokok mempunyai lebih dari 4000
karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok (Zhang,
dkk., 2011).
11
12
gabungan dari beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab, yaitu
faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein Barr (EBV) sebagai berikut ini :
1. Faktor Genetik
didasarkan atas fakta banyaknya penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu
KNF juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia
terutama Asia Tenggara yang masih tergolong rumpun Melayu. Insiden karsinoma
nasofaring di China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar 10-50 kali
yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya sama-
sama menderita KNF dalam keluarganya (Dewi, 2010), (Ren, dkk., 2010).
(alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan menyebabkan kegagalan
interaksi HLA- peptide complex dengan limfosit T sitotoksik (CD8+) atau limfosit
Epstein Barr (EB) didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel
kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten. Adanya kelainan genetik ini
akan sangat merugikan karena sel yang terinfeksi virus maupun sel kanker dapat
pertumbuhan kanker yang terus berlangsung (Dewi, 2010), (Ren, dkk., 2010).
12
13
2. Faktor Lingkungan
antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup (life style related cancer), termasuk
nasofaring dengan konsumsi bahan makanan berupa ikan atau udang yang
diawetkan dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin (dry salted fish), pindang
asin dan udang asin, atau yang dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada
penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia ditemukan ikan asin terbukti
sebagai faktor risiko yang sangat kuat terhadap kejadian karsinoma nasofaring.
Bubur ikan asin yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina Selatan sejak
diketemukan dalam kadar yang tinggi pada ikan asin. Pro karsinogen merupakan
dengan konsumsi ikan asin dalam waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini
13
14
terjadi reaksi biokimiawi berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk
akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin dan beberapa volatile
Selain ikan asin, nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau makanan yang
diawetkan dengan nitrit atau nitrat sebagai bahan aditif, sayuran yang diawetkan
dengan cara fermentasi atau diasinkan dan taoco di Cina Kadar NDMA
diketemukan dalam jumlah yang lebih tinggi setelah ikan asin bereaksi dengan
asam lambung dan nitrit. Hal ini menunjukkan bahwa nitrosamin dapat dibuat
secara endogen pada proses pencernaan ikan asin di lambung. Selain nitrosamin,
diduga ada substrat atau bahan kimiawi lain yang terdapat di ikan asin yang dapat
menyebabkan replikasi dan aktivasi virus EBV yang secara laten berada dalam
serta kebersihan lingkungan yang buruk diduga dapat meningkatkan risiko terkena
(jamu) ataupun yang berasal dari Cina (Chinese herbal medicine) dan minyak
untuk hidung ternyata mengandung ester forbol dan N-butyric acid yang selain
dapat bertindak sebagai EBV inducer, juga mutagenik. Semacam teh dari Cina dan
14
15
menahun pada tenggorok (nasofaringitis kronik), makanan panas atau pedas dan
asap pembakaran hio diduga dapat mengaktifkan virus EB (Dewi, 2010), (Friborg,
dkk., 2007).
perokok yang merokok lebih dari 20 batang sehari ternyata dua kali lipat lebih
besar dari pada yang bukan perokok (Friborg, dkk., 2007). Bahan karsinogenik di
asap rokok yang diperkirakan berperan sebagai promotor terjadinya yaitu 3,4-
Bahan lainnya yang diduga dapat mengaktifkan virus EB antara lain debu yang
tembakau, candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah serta obat nyamuk.
Beberapa bumbu masak tertentu, makanan yang terlalu panas dan pedas juga
inhalasi, per-oral, subkutan dan intra vena. Kelembaban tinggi disertai asap
(polusi udara) dalam jangka waktu yang lama akan memperbesar kemungkinan
bahwa sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berasal dari golongan status
ekonomi yang lebih rendah. Selain kondisi lingkungan yang buruk, terdapat
15
16
a. Pengertian
merupakan penyebab mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada
1)Antibodi dengan titer yang tinggi terhadap antigen EBV dalam serum.
isolasi virus.
nasofaring.
nasofaring.
16
17
daerah kepala dan leher lainnya. Peningkatan titer antibodi terhadap EBV
hanya dijumpai pada karsinoma nasofaring dengan jenis WHO (World Health
diketemukan peningkatan titer atau meningkat dalam titer yang sangat rendah
(Munir, 2009).
intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan. Kebiasaan
hidangan makanan diduga berkaitan dengan tingginya infeksi EBV pada ras
Cina. Karena mudah dan cepatnya terjadi penularan maka hamper semua
gejala klinik ringan atau bahkan tanpa gejala. Di negara berkembang, hampir
semua (99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi EBV. Infeksi EBV
menunjukkan bahwa semua anak ras Cina sebelum umur 15 tahun telah
meskipun hanya memberikan gejala klinik ringan, EBV yang memasuki tubuh
manusia akan menetap seumur hidup (persisten). Hal ini mendukung pendapat
epitel faring yang kemudian di ikuti dengan replikasi virus. Proliferasi limfosit
translokasi gen c-myc dengan menghasilkan suatu klon sel-sel limfosit B yang
sel kanker yang seakan tanpa hambatan. EBV dalam siklus litik menghasilkan
protein yang disebut immediate early gene BZLF1 yang dapat menghilangkan
fungsi protein p53. Inaktivasi dari oncoprotein yang merupakan produk dari
atau seluruh DNA virus EB pada kromosom sel inang (hospes). Penggabungan
DNA ini dalam waktu yang lama menimbulkan mutasi gen p53 sehingga sel
18
19
tergantung pada siklus hidupnya dalam sel inang. Pada fase infeksi laten,
dibentuk protein inti (Epstein Barr nuclear antigen / EBNA) dan protein
terinfeksi menjadi imortal. Antigen pada fase replikasi dini disebut early
antigen (EA) yang dibentuk sebelum sintesa DNA virus. Pada fase lanjut
beberapa antibodi antara lain antibodi terhadap antigen kapsul (anti VCA)
Selanjutnya genom EBV yang berada dalam sel inang yaitu limfosit B dan /
atau sel epitel faring akan mengalami fusi (terminal repeat EBV genome)
pada genom (kromosom) sel inang. Nukleus sel inang yang mengandung DNA
baru. Perubahan fase laten ke bentuk litik dimulai dengan adanya aktivasi
protein ZEBRA yang di kode oleh immediate early gene BZLF-1 pada sel
19
20
Sebanyak sekitar 85 gen EBV di transkripsi selama fase litik. Fase litik
ditandai dengan berbagai ekspresi gen EBV antara lain protein transkripsi
dapat dikenali oleh sel NK dan limfosit T cytotoxic / suppressor melalui HLA
(MHC). Sel limfosit B yang terinfeksi virus EB dapat dihancurkan (lisis) oleh
sel NK ( dan limfosit T c/s melalui ikatan HLA - antigen restricted limfosit T
c/s. Adanya EBNA menimbulkan reaksi tubuh dengan membentuk anti EBNA
keganasan dan replikasi tanpa kontrol pada sel “host” (in vivo), virus EB harus
makanan yang di awetkan dengan cara di asinkan (misalnya ikan asin, sayur
20
21
asin, soy beans salted) maupun dengan pengasapan misalnya smoked salmon.
virus EB. Bahan yang di produksi oleh bakteri yang hidup di mukosa
sebagian jenis karsinoma sel skuamosa non keratinisasi (WHO tipe 2). Karena
tidak diketemukan DNA virus EB pada jaringan tumor, maka jenis karsinoma
sel skuamosa (WHO tipe 1) diperkirakan tidak berkaitan dengan infeksi virus
EB. Tidak adanya peningkatan titer antibodi atau peningkatan titer antibodi
terhadap virus EB yang sangat sedikit, maka karsinoma nasofaring jenis WHO
tipe 1 diduga disebabkan karena mutasi genetik yang terjadi spontan atau
KNF. Keadaan ini menunjukkan bahwa EBV secara tersendiri masih belum
Transformasi sel baru terjadi bila EBV mengalami aktivasi terlebih dahulu,
baru kemudian dapat mempengaruhi sel inang (host cell) sehingga menjadi
21
22
maligna dan mengadakan replikasi tanpa kontrol. Aktivasi EBV terjadi oleh
E. Patogenesis
faktor lingkungan, baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan
genetik dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap awal perkembangan
kanker. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh
pra-kanker tingkat rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya menunjukkan
bahwa infeksi laten virus EB berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke
tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB juga berperan penting dalam proses
Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-kanker
tingkat tinggi (NPIN III) berperan dalam menghambat proses apoptosis. Kemudian
p16/p15, delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam tahap awal perkembangan
kromosom 14q dan overekspresi dari gen c-myc, protein ras dan p53 berperan dalam
progresi karsinoma yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan genetik
lainnya juga berperan dalam proses metastasis (Hasselt, 1999). Pada gambar 2.5
22
23
F. Histopatologi
epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified squamous epitelium.
Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang merupakan tempat transisi
pertemuan kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk kuboid atau globular yang
jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal dari sel keganasan di
nasofaring. Sejak tahun 1991, WHO (World Health Organization) membagi karsinoma
ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring.
Sel-sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang, dan menghasilkan relatif
Tipe ini paling banyak variasinya, sebagian tumor dengan diferensiasi sedang dan
sebagian lainnya dengan sel-sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Seringkali
23
24
Gambar 2.7 Karsinoma Sel Skuamosa Tidak Berkeratin (Rosai, dkk., 2004).
24
25
histopatologi WHO tipe 1 sekitar 25%, WHO tipe 2 12%, dan WHO tipe 3 63%.
Sedangkan di Cina Selatan ditemukan sekitar 3% WHO tipe 1, 2% WHO tipe 2, dan
95% WHO tipe 3 (Bailey, dkk., 2006). WHO tipe 3 pada karsinoma nasofaring
merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan endemik, terutama di Asia
G. Diagnosis
1. Gejala Klinis
di daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga
tumor ke kelenjar getah bening regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul
adalah keluhan pada telinga atau hidung yang bersifat unilateral. Keluhan di
telinga dapat berupa gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media serosa dan
perforasi membran timpani. Gejala pada hidung dapat berupa sumbatan hidung
dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah atau berupa epistaksis. Gangguan
penciuman dan obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa
tumor yang menutupi koana. Gejala lanjut yang paling sering dijumpai dan
25
26
mendorong pasien untuk datang berobat adalah pembesaran kelenjar getah bening
Tumor dapat meluas kearah superior menuju ke intra kranial dan menjalar
pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi
gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal
dan parestesi wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf kranial yang tersering
mengalami gangguan adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua saraf grup
anterior terkena gangguan maka timbul kumpulan gejala yang disebut sebagai
amaurosis dan nyeri kepala hebat Karena penekanan tumor pada duramater.
muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae inferior
dan obliqus.
bolamata. Lesi saraf N.IV jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi
lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang sering kali hebat.
26
27
Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal, fosa
pterigopalatina dan dapat sampai apeks orbita. Tumor besar dapat mendesak
palatum mole, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan
makanan.
retroparotidian). Saraf yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N.
VII sampai dengan N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan
menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut
dan miosis yang dikenal sebagai sindroma Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang
terkena karena letaknya tinggi dan berada dalam kanal tulang. Kelainan
internus yang berakibat trismus. Perluasan tumor kearah inferior menuju rongga
mulut atau regio retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan makan dan
Gejala lain KNF adalah trismus yang disebabkan oleh infiltrasi tumor
Apabila tumor telah menginvasi otot levator velli palatini maka akan
mengakibatkan paralisis palatum. Keadaan ini jarang terjadi, dan biasanya akibat
gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot tersebut (Hasselt, dkk., 1999).
Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan yang paling sering adalah
akibat perluasan langsung dari tumor primer. Metastasis KNF ke epidural medula
2. Pemeriksaan Nasofaring
rinoskopi posterior (tidak langsung) dengan menggunakan kaca laring yang kecil,
alat ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut (trans-oral). Alat-alat
massa yang eksofitik atau berupa penonjolan submucosa (Dewi, 2010) pada
dilihat hanya berupa gambaran atau bayangan di kaca. Pada kasus yang sulit,
anestesi lokal. Flexible fibrescope atau endoskop Hopkins kaku 00 dan 300 cukup
baik dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih rinci. Dapat dideteksi
3. Pemeriksaan Radiologi
karsinoma nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak, CT scan, dan MRI
dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat struktur tulang dan foramen
29
30
pada proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi tumor ke hidung dan sinus
Nasofaring.
CT scan karena dapat membedakan antara jaringan lunak dan cairan misalnya
30
31
3. Pemeriksaan Serologi
Barr yang diketahui sebagai etiologi KNF mengandung antigen virus, antara lain
EBV- VCA, EA, LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan serologi dilakukan untuk
mendeteksi antibodi yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA,
antibodi terhadap antigen membran, antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr
cellular cytotoxicity (ADCC). Titer antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan
dan radio-immuno assay. Dapat juga menggunakan teknik PCR pada material
yang diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah
carcinoma dan nonkeratinizing squamous cell carcinoma. Pada pasien KNF dapat
dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus dan antibodi IgA
yang ditemukan pada kapsid antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi yang
paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat dipakai sebagai tumor marker.
Antibodi ini dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang titernya meninggi
sebelum gejala KNF timbul. Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen EBV
ternyata lebih spesifik dibandingkan dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBV-
VCA terjadi setelah sintesis DNA virus, dengan demikian antibodi ini berkaitan
dengan fase lanjut dari infeksi virus EB. Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap
31
32
ada seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai dengan stadium penyakitnya.
marker) yang spesifik untuk deteksi KNF terutama pada stadium dini (nilai
virus yaitu pada fase dini siklus replikasi virus. Kenaikan titer IgG anti EBV-EA
sudah ditemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA
EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbatas (EA-restricted) dan
tipe menyebar (EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBV-EA (D) didapatkan
pada semua penderita KNF yang telah mendapatkan pengobatan dengan radiasi
dan tidak pada penderita dengan kanker kepala dan leher lainnya. Bila titernya
IgG anti EBV-EA lebih berguna untuk menentukan perjalanan penyakit dan
tumor di nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang diperoleh dari jaringan hasil
positif, tetapi hasil biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap menderita KNF. Ada
beberapa cara melakukan biopsi, yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi buta
H. Stadium Tumor
T : Tumor primer
I. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif pada kasus yang sudah metastasis
terapi kuratif utama yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal
mempercepat proses apoptosis sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi
sekitarnya. Disamping itu juga berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan
besarnya tumor. Untuk KNF yang masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi dengan
dosis sebesar 1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat selama sekitar 6–
7,5 minggu sampai mencapai dosis total 60-70 Gy. Sedangkan untuk KNF dengan
ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor
primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 70–75 Gy. Bila tidak didapatkan
metastasis di KGB leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik dengan dosis
34
35
sekitar 40-50 Gy dalam empat atau empat setengah minggu, sedangkan bila ada
sama dengan tumor primernya. Bila masih didapatkan residu tumor, diberikan
radiasi tambahan (booster) dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja
sebesar 10-15 Gy sehingga mencapai dosis total sebesar 75-80 Gy. Selain radiasi
eksterna, radiasi tambahan dapat diberikan dengan cara radiasi interna yaitu
dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer KNF dapat
dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi tersebut adalah tumor persisten lokal
diberikan pada penderita yang akan menjalani diseksi leher (Munir, 2009).
awalnya brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2 yang rekuren
setalah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang hanya
2. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang rekuren atau yang
35
36
sehingga dapat mengubah struktur DNA dan menahan replikasi sel (Munir, 2009),
siklus sel (Cell Cycle non Specific) baik dalam siklus pertumbuhan sel maupun
dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin, doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu
ada juga obat kemoterapi yang hanya bekerja menghambat pembelahan sel pada
siklus pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase specific), yaitu metrotrexate dan 5-
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat
kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang
radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi (Munir, 2009), (Hasselt, dkk.,
3. Deteksi Dini
disebabkan oleh multifaktor yaitu infeksi virus EB, pengaruh faktor lingkungan,
Salah satu hambatan utama dalam pencegahan adalah belum diketahuinya dengan
36
37
pasti bagaimana, dalam keadaan apa dan sejauh mana faktor-faktor tersebut
asin, pemakaian kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak, dan asap obat
nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk, baik di rumah maupun di tempat kerja
dengan ventilasi yang kurang akan menambah besarnya faktor risiko (Dewi,
2010).
penanggulangan kanker. Usaha yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang
peranan yang penting dalam patogenesis karsinoma nasofaring maka saat ini
telah mulai dilakukan berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap virus
EB. Apabila vaksin yang efektif telah ditemukan, maka vaksinasi dapat segera
dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium
mortalitas (Hasselt, dkk., 1999). Untuk mencapai tujuan ini perlu kerjasama dari
Pendidikan Dokter/Perawat, IDI dan profesi (Perhati-KL, IAPI). Selain itu dokter
mengenai karsinoma nasofaring (Dewi, 2010), (Fles R, dkk., 2010). Pada gambar
Scan pada siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap
tumor.
38
39
BAB III
A. Kerangka Konsep
Kurang nya
Faktor Genetik, Faktor
pengetahuan
Faktor Lingkungan kurangnya
masyarakat,
(Makanan yang pengetahuan
takut berobat ke
diawetkan, Ikan tenaga
dokter dan lebih
asing, rokok dll) kesehatan pada
sering berobat ke
lini pertama
Keterlambatan deteksi dukun
dini
Peningkatan insidensi
Ca Nasofaring
Informasi:
Umur
Jenis Kelamin
Keterangan :
Keluhan Utama
: Variabel Bebas
Stadium
Tipe: Variabel
HistoPATerikat
: Hubungan
(Makanan yang diawetkan, Ikan asing, rokok dll), Faktor kurangnya pengetahuan tenaga
kesehatan pada lini pertama, dan Kurang nya pengetahuan masyarakat, takut berobat ke
dokter dan lebih sering berobat ke dukun mengakibatkan keterlambatan deteksi dini sehingga
39
40
meningkatkan insiden Ca Nasofaring yang di dapatkan dari umur, jenis kelamin, factor risiko,
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara studi deskriptif dengan rancangan cross
sectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medik atau data
sekunder penderita karsinoma nasofaring yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
1. Kriteria inklusi : Seluruh pasien yang datang dan terdiagnosis pertama kali
40
41
Nomor urut pasien datang ke poliklinik atau rawat inap di Bagian/SMF Ilmu
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Pendidikan
5. Keluhan utama
nasofaring.
6. Stadium
karsinoma nasofaring.
7. Histopatologi
41
42
D. Bahan Penelitian
karsinoma nasofaring yang berobat di poliklinik onkologi dan rawat inap di Departemen
Ilmu Kesehatan THT – KL RSUD Nganjuk, selama periode Januari 2014 sampai
Desember 2017.
E. Prosedur Penelitian
1. Permohonan izin
Membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Direktur RSUD
Nganjuk, Ka. Instalasi Rekam medis, dan Ka. Instalasi Patologi Anatomi atas nama
Kepala SMF THT-KL RSUD Nganjuk untuk menggunakan data berupa rekam
2. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan di Poli THT, Instalasi Rekam medis dan
F. Analisa Data
42
43
BAB V
HASIL PENELITIAN
dilakukan di rekam medis poliklinik dan rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah
Tahun Jumlah %
2014 15 34
2015 11 25
2016 9 20,5
2017 9 20,5
Total 44 100
penderita KNF pada tahun 2014 sebanyak 15 orang (34%), kemudian terjadi
43
44
penurunan pada tahun 2015 yaitu 11 orang (25%). Pada tahun 2016 jumlah
pasien penderita KNF turun menjadi 9 orang (20,5%). Pada tahun 2017
bahwa kelompok umur tertinggi penderita KNF adalah 50–59 tahun yaitu
sebanyak 12 orang (27,3%), dan kelompok umur terendah yaitu >79 dengan 0
4.2.
pada umur 50-60 tahun (Evans dkk, 2003). Kemudian penelitian di Medan
44
45
dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun (Munir, 2009). Selain itu
meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar (plateau) di antara umur 45-54
tahun kemudian menurun, dan KNF ditemukan pada usia produktif yaitu
umur 30-59 tahun (sekitar 80%) dengan puncak antara 40-49 tahun (Dewi,
2010).
Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa jumlah penderita
KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada peningkatan setelah
umur 60 tahun. Hal tersebut terjadi karena faktor risiko seperti kebiasaan
merokok dan konsumsi ikan asin sejak usia dini, sehingga KNF dapat muncul
ketika seseorang telah mencapai usia produktif, karena mulai dari paparan
lama.
Kelamin
KNF pada orang Cina sebesar 17,3 per 100.000 penduduk laki-laki dan 7,3
per 100.000 penduduk perempuan. Insidensi KNF yang relatif tinggi juga
didapatkan pada orang Eskimo di Alaska yaitu 13,5 per 100.000 penduduk
laki-laki dan 3,7 per 100.000 penduduk perempuan (Dewi,2014). Hal tersebut
Pendidikan
Pendidikan Jumlah %
SD 11 25
46
47
SMP 2 4,5
SMA/SMK 3 6,8
S1 0 0
D3 0 0
Total 44 100
sosial ekonomi yang rendah. Pada pasien dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah biasanya tinggal atau bekerja pada lingkungan yang kurang baik, yaitu
Barr seperti debu yang mengandung kromium, nikel, arsen, asap dari
tanah, serta obat nyamuk. Selain itu juga pasien dengan tingkat pendidikan
Utama
benjolan pada leher yaitu sebanyak 15 orang (34,1%). Kemudian diikuti oleh
epistaksis, suara parau, hidung tersumbat sesak napas, disfagia, keadaan umum
lemah, dan keluhan utama terendah yaitu ptosis, penglihatan ganda, dan sakit
47
48
kepala. Distribusi pasien KNF berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada
tabel 4.5.
Epistaksis 8 18,2
Disfagia 4 9,1
Sesak napas 1 2,27
Keadaan umum lemah 1 2,27
Penglihatan ganda 1 2,27
Suara Parau 7 15,9
Sakit kepala 1 2,27
Total 44 100
keluhan utama paling banyak adalah benjolan pada leher, karena leher
dokter yaitu sebanyak 70-90%. Kemudian keluhan lain yang sering terjadi
adalah keluhan pada hidung yaitu sebanyak 56-79%. Keluhan tersebut terjadi
karena tumor meluas ke arah anterior menuju rongga hidung dan menimbulkan
gejala seperti pilek yang lama (kronis), ingus kental dan berbau busuk, serta
48
49
epistaksis yang makin sering dan banyak disertai hidung tersumbat dan suara
sengau.
Kemudian gejala lain seperti sakit kepala, gejala pada mata, dan
laserum, dan menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak
yaitu N. III-VI, serta pada grup posterior saraf otak yaitu N. VII-XII.
Gangguan N.III dapat menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi
muskulus rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan ganda dan
salivasi.
49
50
unilateral.
yang ditemukan paling banyak adalah benjolan pada leher 43%, keluhan pada
hidung sebanyak 30%, dan keluhan pada telinga sebanyak 13% (Munir, 2009).
Histopatologi
ini adalah WHO tipe 3 yaitu karsinoma tidak berdiferensiasi sebanyak 17 orang
rekam medis sebanyak 23 orang (52,3%) karena pasien tidak datang lagi untuk
Hasil PA Jumlah %
Karsinoma tidak berdiferensiasi 17 38,6
Karsinoma skuamosa berkeratin 4 9,1
Karsinoma skuamosa Tidak
0 0
berkeratin
Adenoskuamosa 0 0
Tidak ada data 23 52,3
Total 44 100
50
51
Surabaya tahun 1992 didapatkan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 masing-
menemukan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 sebesar 5,59%, 8,04%, dan
53%, WHO tipe 1 sebanyak 29%, dan WHO tipe 2 sebanyak 29% dari
jenis histopatologi masih belum dapat diketahui, dan untuk hal tersebut
51
4.7 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium
Adapun data stadium yang tidak dicantumkan pada rekam medis sebanyak 24
kontrol. Distribusi penderita KNF berdasarkan stadium dapat dilihat pada tabel
4.7.
tersebut dapat disebabkan oleh gejala dini yang tidak khas dan kurangnya
kanker terutama KNF, lebih percaya berobat ke dukun atau non medis, takut
pada lini pertama terhadap gejala dan tanda KNF (Dewi, 2010).
BAB VI
PEMBAHASAN
merupakan daerah transisional yaitu epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamusa.
Secara global karsinoma nasofaring terjadi hanya 0.7% pada keselurahan kasus
kanker, menempati urutan ke-24 kanker yang paling sering terjadi (Tang, 2016). Di
Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas
yang menyerang seluruh tubuh. Sedangkan di bagian telinga, hidung, dan tenggorok,
wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia produktif 30-
60 tahun, dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Menurut England and Wales
Cancer Registry data. Setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun adalah
nasofaring terjadi pada usia 15-19 tahun. Sejauh ini, penderita termuda ditemuka di
tahun, sedangkan umur tertua adalah 73 tahun. Kemudian dapat diketahui bahwa
kelompok umur tertinggi penderita KNF adalah 50–59 tahun yaitu sebanyak 12
orang (27,3%), dan kelompok umur terendah yaitu >79 dengan 0 penderita .
Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan di
tempat lain. Pada penelitian di Amerika dan Eropa, di daerah endemik ditemukan
peningkatan insidensi KNF pada umur 20 tahun dan puncaknya pada 40-50 tahun,
pada umur 15 tahun dan puncaknya pada umur 50-60 tahun (Evans dkk, 2003).
berumur di atas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun (Munir,
2009). Selain itu penelitian di Bandung juga melaporkan bahwa insidensi KNF mulai
meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar (plateau) di antara umur 45-54 tahun
kemudian menurun, dan KNF ditemukan pada usia produktif yaitu umur 30-59 tahun
Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa jumlah penderita KNF
meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada peningkatan setelah umur 60 tahun.
Hal tersebut terjadi karena faktor risiko seperti kebiasaan merokok dan konsumsi
ikan asin sejak usia dini, sehingga KNF dapat muncul ketika seseorang telah
mencapai usia produktif, karena mulai dari paparan pertama bahan karsinogen
sampai timbulnya kanker memerlukan waktu yang lama. Proporsi tertinggi penderita
KNF pada penelitian ini terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 28 orang (63,7%),
laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur, bahwa
secara umum ditemukan kasus KNF lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
Di Afrika Utara ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-
(Munir, 2009).
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penderita KNF
yang terbanyak adalah tingkat pendidikan rendah yaitu SD sebanyak orang (25%).
Kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan SMA/SMK ,D3 ,dan S1. Hubungan antara
tingkat pendidikan dan kejadian kanker secara tidak langsung juga berhubungan
Pada pasien dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah biasanya tinggal
atau bekerja pada lingkungan yang kurang baik, yaitu tempat yang terpapar bahan-
bahan yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr seperti debu yang mengandung
kromium, nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu,
kemenyan, kayu atau minyak tanah, serta obat nyamuk. Selain itu juga pasien dengan
tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah tidak mengetahui bagaimana
cara pencegahan dan deteksi dini pada suatu penyakit (Dewi, 2010).
Keluhan utama yang paling banyak pada penelitian ini adalah benjolan pada
leher yaitu sebanyak 15 orang (34,1%). Kemudian diikuti oleh epistaksis, suara
parau, hidung tersumbat sesak napas, disfagia, keadaan umum lemah, dan keluhan
Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa keluhan
utama paling banyak adalah benjolan pada leher, karena leher merupakan penyebaran
terdekat secara limfogen dari sel kanker di nasofaring. Gejala pada leher inilah yang
Kemudian keluhan lain yang sering terjadi adalah keluhan pada hidung yaitu
sebanyak 56-79%. Keluhan tersebut terjadi karena tumor meluas ke arah anterior
menuju rongga hidung dan menimbulkan gejala seperti pilek yang lama (kronis),
ingus kental dan berbau busuk, serta epistaksis yang makin sering dan banyak
disertai hidung tersumbat dan suara sengau. Jenis histopatologi yang paling banyak
ditemukan pada penelitian ini adalah WHO tipe 3 yaitu karsinoma tidak
(karsinoma sel skuamosa berkeratin) . Kemudian data jenis histopatologi yang tidak
dicantumkan pada rekam medis sebanyak 23 orang (52,3%) karena pasien tidak
datang lagi untuk kontrol atau pemeriksaan biopsi. Hasil penelitian ini tersebut
Dr. Soetomo Surabaya tahun 1992 didapatkan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 masing-
terdiagnosis KNF pada stadium IV, kemudian diikuti oleh stadium II sebanyak 4,54%,
stadium I sebanyak 2,27%. Adapun data stadium yang tidak dicantumkan pada rekam
medis sebanyak 24 orang (54,54%), dikarenakan pasien-pasien tersebut tidak datang lagi
untuk kontrol.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di tempat
stadium IV sebanyak 26% dari 55 kasusnya, stadium III sebanyak 67% dan stadium
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian terhadap kasus KNF selama periode tahun 2014-2017
dengan data yang didapatkan di bagian rekam medik poliklinik dan rawat inap
1. Jumlah penderita KNF yang berobat ke poliklinik dan rawat inap di Bagian Ilmu
44 orang.
orang (25%).
4. Keluhan utama yang sering dialami oleh pasien KNF adalah keluhan pada leher,
keluhan pada hidung, disfagia, keluhan pada mata, sakit kepala, dan keadaan
umum yang lemah. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah
orang (38,63%).
B. Saran
1. Diharapkan untuk rumah sakit, puskesmas, serta institusi kesehatan yang terkait
tanda KNF.
Pemda, LSM, Institusi Pendidikan Dokter atau Perawat, dan IDI untuk
3. Diharapkan dokter atau tenaga kesehatan pada lini pertama untuk meningkatkan
DAFTAR PUSTAKA
Adam M, Kurnawan AN et all, 2012. Nasopharyngeal Carcinoma In Indonesia
Epidemiology, Incidence, Sign and symptom at presentation cancer :31(4):
185-96.
Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Texas, Pennsylvania:
Lippincott Williams and Wilkins; 2006.
Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ. Principles and Practice of Head and Neck
Oncology. London and New York: Martin Dunitz; 2003.
Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB. Knowledge of General
Practitioners About Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas in Yogyakarta,
Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10(1):1-6.
Hasselt CAV, Gibb AG. Nasopharyngeal Carcinoma. Hong Kong and London: The
Chinesse University Press, Greenwich Medical Media LTD.; 1999.
Jia W, Luo X, Feng B, Ruan H, Bei J, Liu W, et al. Traditional Cantonese Diet and
Nasopharyngeal Carcinoma Risk: a Large-Scale Case-Control Study in
Guangdong, China. Pubmed. 2010;10:446.
Lee KJ, editor. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9 ed. Connecticut:
McGraw-Hill; 2008.
Ren ZF, Liua WS, Qina HD, Xua YF, Yua DD, Fenga QS, et al. Effect of Family
History of Cancers and Environmental Factors on Risk of Nasopharyngeal
Carcinoma in Guangdong, China. ScienceDirect - Cancer Epidemiology.
2010;34(4):419-24.
Surarso B. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring. Surabaya: THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo2009.
Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. Hamilton, London:
BC Decker Inc; 2001.
Thompson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus and Cancer. American Association for
Cancer Research. 2004 February 1;10:803-21.