Abstrak
Kekuatan Politik, dimana dalam prosesi demokrasi seperti Pemilukada langsung untuk memilih
bupati, walikota, gubernur atau anggota legislatif pada masa transisi demokrasi dewasa ini tidak
lepas dari keberadaan kekuatan pemodal politik dari kandidat calon selalu dipenuhi kepentingan
transaksional, bahkan dalam penyusunan anggaran atau kebijakan. Patronase politik dengan ciri
klientalisme dan patrimonialisme yang dijalankan pemodal politik tersebut menjadi tanda-tanda
kebangkitan otoritarianisme yang syah melalui pemilihan umum dan prosesi demokrasi.
Politik Transaksional seolah dilegitimasi oleh semua kalangan, dari mulai mayarakat awam, tokoh
masyarakat, sampai tokoh agama, buktinya banyak kalangan agamawan ikut memanfaatkan
kesempatan tersebut dengan jalan pengajuan proposal pembangunan tempat ibadah. Walaupun
politik transaksional (money politic) dilarang oleh undang-undang, tapi faktanya hampir semua
orang melakukan walaupun caranya berbeda-beda, ada yang berdalih shodaqoh, ada yang
berdalih “Ahsin ala mukhin” bahkan ada yang beranggapan memberi upah kerja, atau uang
trasport. Cara- cara seperti itu dihukumi halal asal bersifat kebaikan. Politik transaksional amat
dipahami bernuansa ”political trading” artinya politik sebagai wujud dagang; jual beli
kesempatan dan kepercayaan antara rakyat dengan politisi. Politik transaksional ini berlangsung
karena saling memahami dan “saling membutuhkan” akibat runtuhnya keyakinan bahwa politik
adalah entitas yang sejatinya syarat virtualisme, bahwa politik adalah sarana untuk
mensejahterakan masyarakat lewat produk aktivitas poltik.
Proses demokrasi yang memenuhi aspek tesis Hans Joergen tentang adanya kompetisi, partisipasi
dan kebebasan sipil untuk memilih ketika dalam framing “materialism dan hidonism politik”,
maka meruntuhkan aspek nurani dan kejujuran pribadi dan menggeser substansi politik atas dasar
kebajikan. Logika pasar biasanya penjual dan pembeli terdapat jarak di dalamnya. Politik
transaksional akan menjadi keharusan apabila mentransaksikan aspirasi, kepentingan dan
ekspektasi publik tentang kesejahteraan antara konstituen dengan aktor politik untuk
diaksentuasikan ke dalam produk politik yang populis yakni memihak masyarakat dan bukan
transaksi yang dipenuhi propaganda politik.
Kata Kunci : Transaksional; Politik; Pemilu.
Abstract
Political force, in which democratic processes such as local election to elect the regent, mayor,
governor, or legislative member during current transition, cannot be separated from the existence
of financial force of the candidates as well as transactional interests, even in the budget or policy
making. Political patronage characterized by clientalism and patrimonialism done by them is a
clear sign of the revival of legalized authoriter through general election and democracy processes.
It now seems that transactional politics is legitimated by all, common society or public figures,
even religious leaders. It is proven by the presence of worship places construction proposal put
forward by religious figures. Although constitutionally forbidden, transactional politics (money
politic) is in fact committed by almost everyone, in many different ways. Some call it charity, some
say “Ahsin ala mukhin,” some even argue that what they offer is wages, or transportation fee.
Those are ways considered halal so long as they are used for common good. Transactional politics
is largely understood as “political trading” in which politics is the object of trading; trade of
opportunity and trust between people and politician. This transactional politics come into
existence as a result of mutual understanding and dependence since the belief that politics is
essentially an entity full of virtues, that politics is a mean to bring prosperity to society, has
collapsed.
1
Dosen Tetap UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, Ketua Umum Orda ICMI Kabupaten Wonosobo, Pengamat
Politik Lokal
94
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ………
Democracy process fulfilling Hans Joergen’s thesis aspect such as public freedom and
participation in voting, when in the frame of “materialism and politic hedonism,” will destroy
conscience and personal honesty aspect, and put aside political substance based on merits.
Transactional politics becomes a must in transacting public aspiration, interest and expectation on
public prosperity. It is done by constituents and political actors and accentuated in popular
political products, the ones on public’s side instead of on political propaganda.
Key words: Transactional; Politics; General Election
A. Pendahuluan
Seorang filosof Yunani terkemuka Aristoteles 2 pernah mengatakan bahwa politik merupakan
ilmu yang paling tinggi kedudukannya karena tujuan dan target akhir politik adalah bagaimana
menyelenggarakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sehat, sehingga semua warga
negara merasa dilindungi dan dibela hak-haknya untuk tumbuh menjadi pribadi sehat sesuai minat
dan bakatnya. Selain itu para filosof juga pada umumnya memandang politik sebagai seni dan ilmu
yang sangat terhormat dan karenanya para politisi haruslah memiliki kualitas moral dan intelektual
yang tinggi.
Pencerahan intelektual para pelaku politik sangat dibutuhkan, tetapi tidak cukup dengan
kecerdasan akal dan keunggulan intelektual dalam proses politik, namun pencerahan moralitas
justru lebih penting, kata Aristoteles 3, Keunggulan moral yang harus diolaqh antara lain dengan
kesederhanaan politik, keberanian politik, keadilan politik, kebesaran jiwa dan kesetiakawanan.
Keunggulan moral berbeda-beda tiap-tiap orang, tergantung dari perannya masing-masing, apakah
dia sebagai presiden, buruh, wanita atau pria. Tugas dari seseorang adalah menentukan sampai
seberapa jauh keunggulan moral harus dipenuhi dan jenis tindakan apa yang harus dupenuhi.
Menurut para pemikir bahwasanya prasyarat politik adalah kualitas moral yang harus dimiliki
oleh pelaku politik di samping kompetensi dan profesionalitas. Hal ini tentu melahirkan argumen
lanjutan seperti yang disampaikan Komaruddin Hidayat: “Bila para politisi tidak bermoral dan
tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka bisa mendidik dan mendesain
masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang beradab?” 4
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di
padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan
kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya.
Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini,
bagaimana etika politik bisa berbicara?5
Nilai moral6 bagi manusia menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu. Mengapa?
Karana etika, moralitas, dan hati nurani akan terus mengawasi tindakan dan prilaku manusia. Nafsu
kebinatangan manusia cendrung mendominasi jika nilai dan hati nurani berjalan tidak berimbang,
sehingga nilai baik buruk sulit dipilah secara terinci. Di sinilah etika dan kejernihan hati nurani itu
diperlukan.
2
Dari sederetan nama-nama filsuf, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir yang memberi kontribusi besar pada
perkembangan ilmu politik. Karyanya yang berjudul La Politica memiliki peran besar dalam perkembangan dasar-
dasar ilmu politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung pun terpana dengan pandangan-pandangan
politiknya tentang negara. Selain La Politica, guru dari Alexander Agung ini juga menulis Ethica. La Politica
mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan yang sederhana hingga
memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih
relevan dengan kondisi saat ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran yang kritis,
mendalam, holistik, dan visioner. Wajar saja karena beginilah salah satu ciri dari para pemikir di masa lampau. Nah,
hasil pemikirannya yang kontemplatif itu masih awet untuk dibaca kapanpun dan di manapun.
3
William K. Frankena, Three Hostorical Philosopheis of Educatioan,Chapter two : Aristotle’s Philosophy of
Education, Hal 41.
4
Komaruddin Hidayat, Moralitas Politik, (Mizan Bandung, 2008), hal 112.
5
Dialog di TVOne pada tanggal 15 April 2012, tema "membangun Negara yang bebas dari korupsi" dengan analisis
kasus Wisma Atlet.
6
Moral berkaitan dengan akhlak. Nilai moral secara normatif bisa dikatakan moralnya baik atau moralnya tidak baik.
Seseorang yang memiliki karakter dan kepribadian yang menggambarkan sebagai suatu moral yang baik kalau
dalam kesehariannya menunjukkan sikap yang sopan, jujur, toleran, bertanggungjawab .
95
Tokoh Spritual Hindu Mahatma Gandhi pernah berucap: “Bumi ini cukup untuk melayani
keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.” Indonesia termasuk
salah satu negara kaya-raya. Sayangnya negara kaya-raya itu salah urus. Kesalahan dalam mengurus
sebagai salah satu akibat keserakahan yang telah dilembagakan dan disahkan greeded has been
institutionalized and legitimised. Korupsi kian menggurita, membudaya, dan seolah tak bertepi lagi.
Dari bangun tidur, sampai tidur kembali, seolah tiada ruang hampa tanpa korupsi. Hal ini, tentu
terkait dengan budaya bangsa ini. 7
Sejak Indonesia memasuki era reformasi, banyak perubahan fundamental telah mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang paling signifikan terjadi pada sistem tata
kelola pemerintahan dengan diterapkannya sistem check and balances (pengawasan dan kesamaan
kedudukan) dalam menjalankan fungsi dan wewenang di antara lembaga eksekutif, legislatif dan
judisial. Namun sayang pelaksanaan reformasi yang sejatinya bertujuan mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan transparan masih dihadang oleh kendala lemahnya moral oknum pejabat negara
yang mudah tergoda oleh faktor uang untuk kepentingan memperkaya diri sendiri.
Faktor uang menjadi dominan dan mengalahkan kepentingan lainnya karena pejabat publik
yang sedang berkuasa memerlukan investasi politik yang cukup besar guna memenuhi ambisi
melanggengkan kekuasaannya bagi masa depan suksesi agar tetap berada di lingkungan
keluarganya. Di beberapa daerah sudah terjadi alih-kepemimpinan pucuk pimpinan yang
berlangsung mulus hanya di antara satu lingkaran keluarga.
Ternyata rakyat di daerah cukup permisif menyikapi fenomena dinasti kekuasaan ini terlepas
dari faktor nonteknis yang memudahkan pengajuan calon-calon kepala daerah yang masih ada
ikatan keluarga dekat dengan pejabat yang akan digantikannya. Fenomena jabatan kepala daerah
memang termasuk paling banyak mendapat sorotan, bukan semata-mata karena berpeluang
melahirkan dinasti politik, tetapi juga diakibatkan oleh disharmonisasi hubungan kepala daerah dan
wakilnya di tengah masa jabatan akibat seringkali orang nomor dua (wakil) berambisi merebut kursi
nomor satu pada pilkada berikutnya.
Guna mengeliminasi aspek peluang lahirnya kepala daerah yang berasal dari satu keluarga dan
persaingan antara kepala daerah dan wakilnya, diperlukan amandemen konstitusi tentang susunan
dan kedudukan (susduk) melalui niat yang tulus dalam pembahasan di lembaga legislatif tanpa
ditunggangi kepentingan politik dan uang. Carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
terlepas dari manuver para politisi yang memiliki hak membuat undang-undang, baik atas inisiatif
dewan sendiri maupun membahas rancangan konstitusi yang diajukan oleh pemerintah (eksekutif).
7
Jurnal Muqaddimah, Nopember 2006-Mei 2007.
8
Analisis Hirarchi kebutuhan manusia menurut Abraham H. Maslow, terjadi 5(lima) tingkatan, yakni kebutuhan
dasar/ fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai dan kebutuhan esteem/rasa social dan
tingkat kelima kebutuhan puncak manusia yakni aktualisasi diri.
9
Analisis 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia menurut David MC. Clelland, yakni need for echievement (kebutuhan
berprestasi), kedua, need for power (kebutuhan berkuasa), dan ketiga, need for affiliation (kebutuhan berteman).
96
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ………
diingini. Seseorang yang membutuhkan kekuasan lembaga mau mengorganisir usaha orang lain
untuk tujuan lebih lanjut dari organisasi. Manejer dengan kebutuhan kekuasaan lembaga yang tinggi
cenderung lebih efektif dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan kekuasaan personel
tinggi.
Dalam teeori Abraham H. Maslow yang sangat terkenal dengan Hirarchi Kebutuhan 10, budaya
kita masih berada dalam kategori motivasi rendahan, papan bawah, alias level muruhan, karena
hampir semuanya berada dalam kebutuhan fisiologis atau kebutuhan fa’ali, fisik dan kebendaan.
Motivasi prilaku politik individu, elit, kelompok masih berkutat pada kebutuhan perut, seks,
keamanan diri dan kelompoknya dengan maraknya money politic dikalangan politisi.
Etika apalagi, moralitas dan bahkan nurani sudah tak berarti apa-apa. Yang penting adalah
uang11. Kekuasaan dan kehormatan dapat dibeli dengan uang. Untuk memeroleh jabatan bahkan
untuk menjadi Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, DPR. Bahkan, Presiden sekalipun,
diperlukan uang, sisanya tidak peduli. Kalau sudah begini mungkin uang akan memelancar segala
macam bentuk kamaksiatan dan kejahatan di negara ini.
Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan,
kehancuran sistem politik, moralitas, dan ditambah dengan bencana alam, seperti tsunami, tanah
longsong, banjir dan sebagainya. Selain itu, Indonesia tidak hanya menyandang predikat sebagai
negara koruptor harta terbesar di dunia, tatapi juga negara koruptor, sejarah paling sadis di muka
bumi ini.
Dimana-mana sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa uang bisa berbicara atau money
talks. Uang telah mengatur kehidupan manusia. Uang bukan lagi menjadi alat, maens, untuk
kebahagiaan kehidupan kelompok, tetapi sudah menjadi end tujuan hidup individu dan masyarakat.
Padahal kritik para penyair uang pada hakekatnya tidak bisa membeli substansi tetapi simbol dan
kulit luar. Profesor Abdurrahman Mas’ud menyitir sebuah sya’ir sebagai berikut : 12 “ What money
well buy (Uang bisa membeli apa?), A bed but not sleep (Tempat tidur, bukan tidur), Book but not
Brains (Buku bukan otak), Foot but not appetite (Makanan bukan selara), Finery but not beauty
(Perhiasan bukan kecantikan), A house but not a home (Rumah bukan tempat tinggal), Medicine but
not health (Obat bukan kesehatan), Luxuries but not culture (Kemewahan bukan peradaban),
Amusements but not happiness ( Hiburan bukan kebahagiaan), Religion but not salvation (Agama
bukan keselamatan).
Merujuk pada syair diatas, sesungguhnya money politic yang marak dimana-mana, terutama
pada proses pileg, pilpres, pemilukada dan akhir masa jabatan politik mestipun susah dibuktikan
dan dijerat hukum, menandakan budaya haus hiburan, amusment, hidonisme dikalangan politisi.
Para wakil rakyat kita, barangkali merasa selama ini doa mereka untuk hidup bahagia dunia akhirat
tidak kunjung tiba. Maka mereka lebih memilih uang yang dipersepsikan akan mendatangkan
kebahagiaan. Kata orang bijak, memang manusia memiliki beberapa tipologi yakni; mereka yang
tahu bahwa mereka tidak tahu, mereka yang tidak tahu bahwa mereka tahu, mereka yang tahu
bahwa mereka tahu. Belum termasuk dalam tiga klasifikasi ini adalah mereka yang pura-pura tidak
tahu, serta mereka yang tidak tahu tetapi kalau diberitahu marah. Klasifikasi yang keempat dan
kelima inilah dalam bahasa Al Qur’an “Asfala safilin” yakni manausia yang tadinya mulai “Ahsani
10
Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan.
Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling
tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :Kebutuhan fisiologis atau dasar,
Kebutuhan akan rasa aman, Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, Kebutuhan untuk dihargai, Kebutuhan untuk
aktualisasi diri;
11
Uang memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari karena dengan uang kita dapat
memenuhi kebutuhan hidup kita. Sehingga tidak heran bila ada statement bahwa uang merupakan darah dari
perekonomian. Dikatakan uang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya butuh uang. Walaupun orang bijak
mengatakan bahwa uang bukanlah segala-galanya, namun hidup tanpa uang adalah sebuah derita. Berikut ini adalah
pengertian dan definisi uang: Uang merupakan alat tukar yang diterima pleh masyarakat sebagai alat pembayaran
yang sah atas kesatuan hitungnya Uang adalah suatu media yang diterima dan digunakan oleh para pelaku ekonomi
untuk memudahkan dalam bertransaksi. Uang dimaknai substansi, padalah uang adalah simbol.
12
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta, Gama Media, 2003, hal 141.
97
takwin” kemudian berubah menjadi makluk yang paling rendah statusnya (asfala safilin) dalam
pandangan agama.
Seperti diketahui bersama politik transaksional sangatlah berbahaya dan berpotensi melahirkan
pemimpin dan politisi korup. Senada dengan hal tersebut Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
( SBY ) berharap partai politik tidak terjebak pada politik transaksional. Menurutnya, politik dagang
sapi semacam itu sangat membahayakan demokrasi Indonesia. Dalam sebuah wawancara dengan
Michello Loebuis SBY pada 5 Mei 2014 lalu, mengatakan bahwa gaya politik transaksonal itu
ibarat racun yang sangat mematikan bagi Demokrasi Indonesia. Selain mematikan demokrasi,
politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut terlihat
dari beberapa kasus-kasus pejabat dan politisi yang terjebak dalam kasus yang menghianati amanah
rakyat tersebut.
Politik transaksional dikatakan dapat melahirkan pemimpin dan politisi korup karena sifat dan
gaya yang berpedoman pada nilai-nilai ekonomi dan transaksi yang berujung pada keuntungan
pribadi. Realitas tersebutlah yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik itu sarat
dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan (transaksional). Artinya, ada tukar-
menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun
dengan partai politik. Dengan demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam
skandal korupsi, menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut.
Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene
berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah
panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa
puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi
ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.
Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak
kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan
untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya
dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan. Logika politik
transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik di
Indonesia.
Meski demikian, mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga
negara Indonesia yang mempunyai otoritas hak suara dalam pesta demokrasi. Sehingga naluri dan
kewaspadaan dalam memilih calon wakil rakyat harus benar-benar dikuatkan dalam setian pribadi
calon pemilih, untuk mencegah pemimpin-pemimpin yang korup.
13
Tim menurut Erving Goffman, satu kelompok individu yang bekerja sama dalam pementasan rutinitas tunggal dapat
disebut sebagai sebuah tim pertunjukan atau, singkatnya, sebuah tim, hal. 48. Erving Goffman, The Presentation of
Self in Everyday Life,Edinburgh: University of Edinburgh, 1956, hal. 47-65
98
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ………
Sementara dalam melihat politik uang, dalam kajian dramaturgi, lebih melihat pada panggung
depan, dimana uang itu hadir dan menjadi alat bagi aktor dalam memainkan peran-peran politiknya
sebagai calon kontestan. Sementara pada panggung belakang, yang tidak banyak diketahui, seperti
motif dan sumber uang. Uang dalam konteks ini dimaknai sebagai salah satu personal depan (front
personal) untuk menguatkan peran dalam memainkan peran di panggung depan yang diharapkan
oleh audien dapat dimiliki oleh aktor. Sementara pada panggung belakang, audien tidak banyak
mengetahui motivasi uang diberikan, sumbernya dan cara memperolehnya.
Secara geneologis, pendekatan ini berasal dari perdebatan tindakan sosial, sebagaimana
digambarkan oleh Antony Giddens, tentang satu dilema yang memfokuskan pada tindakan manusia
yang dikembangkan oleh Max Weber dan interaksionisme simbolik dengan struktur sosial yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim. 14 Menurut Max Weber tindakan “sosial” sejauh yang berarti
subjektif mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada jalurnya. 15 Ada dua makna
tindakan sosial menurut Max Weber, “pertama pada makna yang ada sebenarnya dalam kasus
konkret yang diberikan seorang aktor tertentu, atau untuk arti rata-rata (umum) atau perkiraan yang
disebabkan oleh sejumlah pelaku tertentu, atau kedua secara teoritis dapat dipahami sebagai pure
type dari makna subjektif dikaitkan dengan hipotesis aktor atau aktor dalam jenis tindakan tertentu.”
16
Dalam pandangan Max Weber, subyektifitas individu sangat berperan dalam tindakan sosial.
Dengan kata lain, tindakan sosial melekat pada subyektifitas individu dimana individu memberikan
makna secara subyektif dalam mempertimbangkan perilaku orang lain. Alfred Schutz memberikan
penjelasan tindakan sosial yang dimaksud oleh Max Weber, sebagai berikut, “tindakan adalah
berarti bagi dia yang bertindak, ini adalah apa yang membedakan tindakan dari perilaku belaka,
..kami sekarang dapat membawa lebih dari konsep awal makna terhadap lingkungan sosial dan
menerapkannya pada tindakan sosial, yang, seperti telah kita lihat, adalah tindakan didasarkan pada
perilaku orang lain.” Menurut Alfred Schutz terdapat dua kategori tindakan sosial: (1) tindakan
sosial biasa yang bermakna, (2) tindakan sosial yang didasarkan pada perilaku manusia lain.
17
Namun, menurut Alfred Schutz, tanpa keterlibatan sosial-pun, individu sudah dapat bertindak
penuh arti atau makna.18
Berdasarkan pemikiran teoritis tersebut, Erving Goffman memperkenalkan kerangka analisis
(frame analysis), studi frame atau skema sebagai dasar penafsiran, dimana orang dalam situasi
sosial memahami koheren dari apa yang terjadi dalam situasi itu. Kerangka analisis mengasumsikan
bahwa peristiwa sosial dan pengalaman pribadi dapat dipahami oleh para pelaku sosial dalam
berbagai cara tetapi pemahaman seperti memiliki struktur sendiri dan koherensi, yang dapat secara
sistematis dijelaskan.19
Dalam pemikirannya, Erving Goffman berangkat dari pemikiran terdahulunya seperti Edmund
Husserl and Alfred Schutz. Khususnya tentang Alfred Schutz, dimana individu mengalami realitas
jamak (multiple reality).20
Dari gagasan ini, Erving Goffman meminjam dan memperluas gagasan ini untuk mencakup
realitas yang berbeda dari lelucon, latihan, parodi, drama, dan sejumlah interpretasi lainnya situasi
yang kurang “kerangka utama” dari sederhana, kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Erving
Goffman juga melanjutkan minat sosiologis dalam “definisi situasi” sebuah konsep yang mengakui
14
Anthony Giddens, Sociology, Cambridge: Politiy Press, 2006, hal. 105.
15
Max Weber, Economy and Society, An Out Line an Interpretative Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich (ed),
California:University of California, 1978, hal. 4. Dalam pembahasan yang lain tentang pemikiran Max Weber lihat,
Bryan S. Turner, Classical Sociology, California: SAGE Publications, 1999, hal. 72.
16
Ibid., hal.4.
17
Alfred Schutz merupakan salah satu pendiri dari fenomenologi yang berpengaruh terhadap para sosiolog setelahnya.
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World,Boston: Northwestern University Press, 1967, hal. 15.
18
Ibid., hal. 15-16.
19
George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory,California: Sage Publications, 2005 hal. 289.
20
Erving Goffman, On Essay on the Organization of Experience: Frame Analysis, Boston: Northeastern University
Press, 1986, hal. 3
99
problem koherensi dan makna adegan sosial, dan dramaturgi sosial sendiri, yang secara aktif
mengeksplorasi metafora kehidupan seperti teater.21 Dalam karyanya yang lain, Erving Goffman
memberikan gambaran awal tentang dramaturgi yang melekat pada seseorang dalam melakukan
tindakan sosial.
Dalam pernyataannya, Erving Goffman menyebutkan, “ketika seorang individu memasuki
kehadiran orang lain, mereka umumnya berusaha untuk memperoleh informasi tentang dirinya atau
untuk membawa ke dalam informasi yang bermain tentang dia yang sebelumnya dimiliki. Mereka
akan tertarik secara umum status sosio-ekonomi, konsepsi tentang diri, sikapnya terhadap mereka,
kompetensi-nya, kepercayaan-kelayakan, dan lain-lain. Meskipun beberapa informasi ini
tampaknya harus dicari hampir sebagai tujuan itu sendiri, biasanya cukup praktis alasan untuk
mendapatkannya. Informasi tentang individu membantu mendefinisikan situasi, memungkinkan
orang lain untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang akan ia harapkan dari mereka dan apa yang
mereka harapkan dari dirinya. Informasi dalam cara ini, orang lain akan tahu bagaimana cara
terbaik untuk bertindak dalam rangka untuk memberi respon balik yang diinginkan darinya.”
Penekanan dalam dramaturgi, yang menekankan pada seseorang yang melakukan respon tentang
individu yang lain dengan cara mengorek informasi secara lebih jelas dan detail yang dijadikan
sebagai bahan dalam memberikan respon tersebut.
Dengan demikian persentasi diri seseorang dapat berbeda dalam setiap waktunya sesuai dengan
peran yang dimainkan. Dalam dramaturgi, yang menjadi pusat kajian bukan hanya tindakan saja
melainkan interaksinya. Sebagaimana disampaikan oleh George Ritzer, “para teoritisi intrasionisme
simbolik memusatkan perhatian terutama pada dampak dari makna dan simbol terhadap tindakan
dan interaksi manusia”.22 Sementara konsep “diri” yang dimaksud oleh Erving Goffman, menurut
George Ritzer dan Douglas J Goodman, diri bukan milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi
dramatis antara aktor dan audie. Karena hasil dari interaksi dilematis, menurut Misztal yang dikutip
oleh George Ritzer dan Douglas J Goodman, maka mudah terganggu selama penampilannya.
Tergangunya penampilan aktor seperti yang dimaksud Misztal sangat mungkin terjadi dalam suatu
pertunjukan dimana peran aktor memerankan peran yang berbeda yang terkadang asing dengan
peran aslinya. Namun ini kemudian disiasati dalam teater dengan mempersiapkan secara matang
dan penjiwaan secara utuh tentang peran yang akan dimainkan sehingga dapat meminimalisir
kesalahan yang kemungkinan akan terjadi di atas panggung.
Dari sana kemudian membawa pada kajian panggung depan dimana aktor memainkan perannya
di hadapan audien. Sementara, pada panggung belakang, dalam kajian ini tidak banyak ditampilkan
karena sengaja tidak ditampilkan karena di panggung belakang, pengelolaan kesan dan persiapan-
persiapan tehnis dalam memastikan peran yang nantinya dimainkan di panggung depan sesuai
dengan harapan. Namun tidak menutup kemungkinan satu tempat mempunyai peran yang berbeda
sebagai panggung depan dan panggung belakang dalam waktu yang berbeda. 23 .
Disamping itu, teori perilaku politik transaksional dapat kita jelaskan sebagai bereikut; (1),
Teori Interaksionisme Simbolik : yaitu suatu proses interaksi individu dengan menggunakan
symbol, baik yang berupa bahasa, isyarat dan symbol-simbol lainnya dalam memberikan makna
tindakan sosial tertentu. Teori interaksi simbolik, dimana manusia atau individu hidup dalam suatu
lingkungan yang dipenuhi oleh simbol-simbol. Tiap individu yang hidup akan memberikan
tanggapan terhadap simbol-simbol yang ada, seperti penilaian individu menanggapi suatu
rangsangan (stimulus) dari suatu yang bersifat fisik. Pemahaman individu terhadap simbol-simbol
merupakan suatu hasil pembelajaran dalam berinteraksi di tengah masyarakat, dengan cara
21
Ibid,, hal. 289.
22
George Ritzer mengklasifikasikan bahwa dramaturgi merupakan salah satu kajian teoritik dari interasionisme
simbolik selain George Herbert Mead, Herbert Blumer, and Everett Hughes. George Ritzer dan Douglas J
Goodman, Modern Sociological Theory, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 hal. 293
23
George Ritzer mencontohkan ruang professor yang pada saat bertemu dengan mahasiswa menjadi panggung depan
dan menjadi panggung belakang saat mahasiswa itu meninggalkannya.
100
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ………
mengkomunikasikan simbol-simbol yang ada disekitar mereka, baik secara verbal maupun perilaku
non verbal.
Pada akhirnya, proses kemampuan berkomunikasi, belajar, serta memahami suatu makna di
balik simbol-simbol yang ada, menjadi keistimewaan tersendiri bagi manusia dibandingkan mahluk
hidup lainnya (binatang). Kemampuan manusia inilah yang menjadi pokok perhatian dari analisis
sosiologi dari teori interaksi simbolik. Ciri khas dari teori interaksi simbolik terletak pada
penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya,
tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang
diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada
akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masing-
masing, untuk mencapai kesepakatan bersama. Teori ini digunakan untuk mengkaji perilaku politik
Anggota DPRD, yang mempengaruhi tokoh agama dan tokoh masyarakat. (2), Teori Pertukaran
Sosial (Social Exchange Theory) adalah teori yang termasuk dalam paradigma perilaku sosial, yaitu
paradigma yang mempelajari perilaku manusia secara terus-menerus di dalam hidupnya. Teori
pertukaran sosial merupakan satu teori yang telah dikembangkan oleh pakar psikologi John Thibaut
dan Harlod Kelley (1959),ahli sosiologi seperti George Homans (1961), Richard Emerson (1962),
dan Peter Blau (1964).
Berdasarkan teori ini, kita memasuki dalam hubungan pertukaran dengan orang lain kerana
daripadanya kita dapat memperolehi sesuatu ganjaran Dengan kata lain hubungan pertukaran
dengan orang lain akan menghasilkan sesuatu ganjaran.Bagi kita teori pertukaran sosial melihat
antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Pada
umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat
mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut,yang terdapat unsur
ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).
Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi
dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki
dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan
orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan.
Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan
bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan
yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang
lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan
keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan,
pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi
oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka
perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lngkungan terdapat hubungan yang
saling mempengaruhi ( reciprocal), karena lingkungan kita umumnya erdiri atas orang-orang lain,
maka kita dan orang –orang lain tersebut dipandang mempnyai perilaku yang saling mempengaruhi.
Hubungan pertukara dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan kepada kita.
Jadi Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) yaitu tindakan sosial manusia
dipengaruhi oleh pertukaran sosial yang seimbang, hubungan pribadi bersifat timbal balik,
walaupun proses pertukaran sosial tersebut tidak selalu dapat diukur dengan uang atau barang,
tetapi dapat berupa jasa.
101
Praktek politik uang dalam pemilu merupakan salah satu permasalahan yang cukup
merumitkan pelbagai kalangan. Laporan Pemantauan Transparancy International Indonesia (TII)
dan Indonesian Corruption Watch (ICW) Pemilu 20014 merupakan salah satu bukti arikulatifnya.
Dalam laparan ini, TII dan ICW menyimpulkan modus operandi politik uang dengan pola-pola
tertentu dan beragam. Prakteknya: (1) ada yang dilakukan dengan cara yang sangat halus, sehingga
para penerima uang tidak menyadari telah menerima uang sogokan, (2) ada juga dengan cara
sangat mencolok (terang-terangan) di depan ribuan orang. Kondisi ini menurut laporan pemantauan
TII dan ICW, seolah negara ini berdiri tanpa aturan hukum yang harus ditaati oleh setiap
warganya.24
Dalam studi yang dilakukan Gary Goodpaster menyebutkan bahwa politik uang adalah istilah
yang digunakan untuk menjelaskan pembelian keuntungan atau pengaruh politik. Dalam studi ini
menghubungkan politik uang sebagai bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses-proses pemilu,
yang meliputi pemilihan presiden, kepala daerah, dan pemilu legislatif. Gary Goodpaster,
kemudian menyimpulkan bahwa politik uang merupakan transaksi .
Suap-menyuap yang dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara
dalam pemilihan. Studi lain dilakukan oleh Johny Lomulus menyebutkan bahwa politik uang
sebagai kebijaksanaan dan atau tindakan memberikan sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan
partai agar masuk sebagai calon kepala daerah yang definitif dan atau masyarakat pemilih
memberikan suaranya kepada calon tersebut yang memberikan bayaran atau bantuan tersebut.25
(Dalam website Wikipedia), politik uang disebutkan sebagai suatu bentuk pemberian atau janji
menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya
menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilu. Sedangkan menurut Adnan Topan
Husodo, kajian saat ini, tindakan politik uang tidak hanya terbatas pada transaksi pembelian suara
pemilih tetapi juga tindakan aktor dengan menyogok penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan.
Tujuannya: (1) rekayasa hasil pemilihan, (2) mengikat antara calon dan penyelenggara pemilu tetapi
tidak ikatannya longgar dengan pemilih. 26
Dari definisi-konseptual di atas, politik uang diartikan sebagai proses transaksional antara aktor
yang berkontestasi dalam pemilu dengan pemilih untuk mendapatkan keuntungan langsung berupa
mendapatkan suara dari pemilih yang bersangkutan. Pengertian ini secara faktual banyak terjadi
saat diselenggarakan pemilu. Tidak berbeda dengan studi politik uang, studi tentang pemilu sudah
banyak dilakukan kalangan akademisi. Menurut Didik Sukriono, pemilu terdiri dari: sistem, aktor,
tahapan, manajemen, pembiayaan, etika, penegakan hukum dan lain-lain. Pemilu biasanya adalah
masalah teknis bagaimana mengkonversi suara rakyat menjadi kursi. Namun demikian, dalam
melihat persoalan pemilu, tidak boleh terjebak pada masalah teknis semata. Bagaimanapun pemilu
sesungguhnya adalah instrumen demokrasi.27
Menurut Larry Diamond dan Marc F. Plattner kajian tentang pemilu sebagai instrumen
demokrasi para ilmuwan politik mengistilahkan dengan demokrasi pemilihan (electoral democracy)
yang mana dalam setiap negara, sistem pemilu mempunyai perbedaan-perbedaan sesuai dengan
pilihan negara yang bersangkutan dalam memilih sistem pemilu yang diberlakukan di negara
tersebut.28 Dalam kajian tersebut mencoba mengaitkan pemilu sebagai instrumen demokrasi atau
24
Ahsan Jamet Hamidi et al.,Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang,Jakarta: Transparancy International Indonesia,
2008, hal. 49.) Gary Goodpaster, reflesi tentang Korupsi di Indonesia, Jakarta: USAID, 2001, hal. 13 Lomulus,
Johny, “Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Menjelang PILKADA Langsung di Kota Bitung,”dalam Demokrasi
Mati Suri,Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 2007, LIPI. hal. 35.
25
Wikipedia, Politik Uang,http://id.wikipedia.org(diakses 12 November 2011)
26
Adnan Topan Husodo, Pergeseran Praktek Politik Uang, Koran Tempo, Rabu, 03 Juni 2009.
27
Didik Sukriono, “Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia,” dalam Jurnal Konstitusi, Volume II Nomor 1
Juni 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. 11.
28
Pembahasan sistem pemilu dan demokrasi dapat dilihat dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (eds.), Electoral
Sistems and Democracy, Baltiomore Maryland:The Johns HopkinsUniversity Press and the National Endowment for
Democracy, 2006.
102
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ………
pemilu merupakan salah satu kajian dalam demokrasi khususnya demokrasi prosedural yang
mencoba untuk melakukan pelembagaan demokrasi melalui pemilihan pemimpin-pemimpin politik.
Namun, dalam pembahasannya tidak secara spesifik menyebutkan masalah-masalah uang yang
hadir dalam proses penyelenggaraannya yang mana uang selalu menjadi masalah yang serius dan
perlu dikelola dan diatur secara lebih tehnis pula. Dalam pemilu, khususnya di Indonesia,
penggunaan politik uang yang berorientasi pada pemenangan calon kontestan dalam pemilihan
pemimpin politik.
Politik Uang dan dalam konteks berdemokrasi menjadi fenomena politik yang kerapkali
merisaukan banyak kalangan pro demokrasi. Cara penggunaan politik uang dalam pemilu dianggap
oleh para kalangan sebagai cara yang tidak lazim dilakukan karena dalam proses pemilu dilakukan
dengan cara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Ketidaklaziman dalam berkontestasi
dimaksudkan karena pemilu yang dimaksudkan untuk melakukan kontestasi dan partisipasi ini tidak
dilakukan secara jujur dan adil yang mempengaruhi pilihan para pemilih. Dalam memberikan
pilihan pemilih bukan berangkat dari kepercayaan terhadap yang dipilih melainkan karena
pemberian uang atau yang lainnya yang dapat dinilai dengan uang oleh calon yang punya
kepentingan untuk dipilih sehingga dapat menjadi pemimpin politik. Peran aktor politik dalam
melakukan kontestasi dalam pemilu sangat besar dalam merubah mainsetpilihan para pemilih.
Namun dari temuan di atas sama sekali tidak mendiagnosa secara tepat akademis tentag politik
uang. Hal ini karena melakukan generalisasi dan mereduksi pendefinisian politik uang dan
menyamakannya dengan pembelian suara. Sementara fungsi uang dalam politik mempunyai fungsi
yang sangat beragam tergantung pada peruntukan dan pendistribusian uang ketika calon
berkontestasi. Terkait uang dalam pemilu tersebut Andi K. Yuwono et al., menyebutkan :
“Hingga saat ini, transisi demokrasi yang sudah berusia lebih dari satu dekade masih
mengisyaratkan terpuruknya rakyat. Ruang demokrasi khususnya yang prosedural telah
dibajak, dikooptasi dan dijarah oleh kepentingan pemodal dan berbagai faksi politik elit
dan reformis gadungan yang duduk di parlemen, pemerintahan dan berbagai partai
politik utama, baik di pusat maupun daerah. Dominasi kekuatan ekonomi, politik dan
budaya pro pasar bebas ini, mendorong lahirnya produk-produk kebijakan yang
mengabdi kepada kepentingan pribadi, kelompok dan modal.”29
29
Andi K. Yuwono et al (eds.,), Bersatu Membangun Kuasa Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat PascaPolitik
Elektoral 2009, Jombang: Perkumpulan Praxis Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, Desember 2010, hal. iii
30
Antonio Pradjasto, Belajar dari Batman,Materi Pendidikan Politik, Panduan untuk Fasilitator Pendidikan Politik di
Aceh, Majalah TEMPO, 23 Januari 2004, hal. 47.
103
Dilihat dari beberapa pengertian di atas, politik uang dapat dikonseptualisasikan sebagai
tindakan memberikan uang, barang dan jasa untuk tujuan mempengaruhi pilihan pemilih agar
memilih calon tertentu dalam pemilihan. Politik uang ini, dengan demikian, sangat erat kaitannya
dengan tujuan pemenangan seorang calon dalam pemilu. Ada beberapa komponen yang hadir
terkait praktek politik uang dalam pemilu.
Komponen-komponen tersebut antara lain: (1) pemberi dan penerima politik uang, (2) modus
dan bentuk praktek politik uang, (3) pola penyaluran politik uang. Penjelasan komponen-komponen
tersebut sebagai berikut: 1) Pemberi dan Penerima Politik Uang. Politik uang dapat dilakukan oleh
calon legislatif kepada para pemilih selama tahapan-tahapan pemilu berlangsung dengan harapan
pemilih dan mengubah pilihannya sesuai dengan harapan yang bersangkutan baik dengan cara
menggunakan hak pilihnya yang sesuai dengan harapan calon tersebut.
Dalam kondisi sosial ekonomi, budaya dan politik yang terdapat di tingkat lokal, politik uang
tidak hanya diperuntukkan untuk para pemilih saja melainkan pihak-pihak tertentu yang dapat
menguntungkan calon yang bersangkutan dalam memenangkan pemilu. Politik uang juga dapat
dilakukan oleh kelompok kepentingan (interest group) yang mempunyai kepentingan dengan
kekuasaan baik itu investor atau kelompok kepentingan ekonomi politik kepada calon legislatif
dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui oleh keduanya. 2) Modus dan Bentuk Praktek
Politik Uang.
Berdasarkan dari praktek, modus dan bentuknya politik uang bervariasi. Calon mempunyai
cara-cara sendiri dalam melakukan modusnya dan bentuknya secara umum dalam bentuk pemberian
uang, barang dan jasa. Modus politik uang dilakukan dengan melalui: (1) membagi uang langsung
pada saat kampanye/rapat akbar, (2) membagi uang lewat forum keagamaan, (3) mengadakan acara
bakti sosial, (4) memberikan sembako gratis, (5) membantu biaya pembangunan infrastruktur, (6)
membagikan hadiah lewat undian atau door prizedan pemberian tropi, (7) memberikan beasiswa,
(8) menyumbang kelembagaan keagamaan, (9) pembagian barang-barang mewah, (10) sumbangan
untuk usaha tani, bantuan bibit, pupuk dan lain sebagainya.” 31
Praktek politik uang dapat dilakukan secara: (1) sembunyi-sembunyi, (2) terang-terangan.
Bentuknya seperti: (1) membagikan uang pada proses dan tahapan pemilu, (2) membagikan barang
dan jasa. Modus dan bentuk praktek politik uang ini bisa bervariasi lagi, dimana antara daerah yang
satu dengan daerah lainnya bisa berbeda tergantung pada kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan
politik daerah dan penerima politik uang. 3) Pola Penyaluran Politik Uang Pola penyaluran politik
uang, khususnya dalam pemilu: (1) dilakukan calon sendiri, (2) dilakukan tim sukses. Pada pemilu
untuk calon pemilihan tingkat kabupaten/kota, praktek politik uang biasanya dilakukan calon
sendiri.
Sedangkan untuk pemilu calon tingkat provinsi dan nasional, praktek politik uang dilakukan
tim sukses. Namun kondisi ini tidak selalu demikian linier, karena kenyataannya, dalam pemilu,
politik uang bisa saja dilakukan oleh calon yang bersangkutan secara langsung maupun melalui tim
suksesnya yang tidak terdaftar dan dikenal dengan “tim siluman”. 32 Pilihan tersebut tidak terlepas
dari Tim Siluman adalah tim sukses dari calon tertentu yang dibentuk untuk kepentingan-
kepentingan khusus dan tidak terdaftar sehingga tim siluman lebih bebas bergerak dan tidak dapat
diidentifikasi sebagai tim dari calon yang bersangkutan. pertimbangan-pertimbangan khusus yang
dianalisis berdasarkan efektifitas dan efisiensi tujuan politik yang diharapkan. Semoga.
31
Ahsan Jamet Hamidi et al Pemilu 2004 Tidak bebas Politik Uang: Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Jakarta:
Transparancy International Indonesia, 2008, hal. 49.
32
Tim Siluman adalah tim sukses dari calon tertentu yang dibentuk untuk kepentingan-kepentingan khusus dan tidak
terdaftar sehingga tim siluman lebih bebas bergerak dan tidak dapat diidentifikasi sebagai tim dari calon yang
bersangkutan.
104
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ………
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta, Gama Media, 2003, hal
141.
Adnan Topan Husodo, Pergeseran Praktek Politik Uang, Koran Tempo, Rabu, 03 Juni 2009.
Ahsan Jamet Hamidi et al Pemilu 2004 Tidak bebas Politik Uang: Laporan Pemantauan Dana
Kampanye, Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008, hal. 49.
Ahsan Jamet Hamidi et al.,Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang,Jakarta: Transparancy
International Indonesia, 2008, hal. 49.)
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World,Boston: Northwestern University Press,
1967, hal. 15.
Andi K. Yuwono et al (eds.,), Bersatu Membangun Kuasa Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat
PascaPolitik Elektoral 2009, Jombang: Perkumpulan Praxis Forum Belajar Bersama Prakarsa
Rakyat, Desember 2010, hal. iii
Anthony Giddens, Sociology, Cambridge: Politiy Press, 2006, hal. 105.
Antonio Pradjasto, Belajar dari Batman,Materi Pendidikan Politik, Panduan untuk Fasilitator
Pendidikan Politik di Aceh, Majalah TEMPO, 23 Januari 2004, hal. 47.
Bryan S. Turner, Classical Sociology, California: SAGE Publications, 1999, hal. 72.
Didik Sukriono, “Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia,” dalam Jurnal Konstitusi,
Volume II Nomor 1 Juni 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. 11.
Erving Goffman, On Essay on the Organization of Experience: Frame Analysis, Boston:
Northeastern University Press, 1986, hal. 3
Gary Goodpaster, reflesi tentang Korupsi di Indonesia, Jakarta: USAID, 2001, hal. 13
George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory,California: Sage Publications, 2005 hal. 289.
George Ritzer dan Douglas J Goodman, Modern Sociological Theory, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007 hal. 293
Jurnal Muqaddimah, Nopember 2006-Mei 2007.
Komaruddin Hidayat, Moralitas Politik, (Mizan Bandung, 2008), hal 112.
Lomulus, Johny, “Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Menjelang PILKADA Langsung di Kota
Bitung,”dalam Demokrasi Mati Suri,Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 2007, LIPI. hal. 35.
Max Weber, Economy and Society, An Out Line an Interpretative Sociology, Guenther Roth and
Claus Wittich (ed), California:University of California, 1978, hal. 4.
Pembahasan sistem pemilu dan demokrasi dapat dilihat dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner
(eds.), Electoral Sistems and Democracy, Baltiomore Maryland:The Johns HopkinsUniversity
Press and the National Endowment for Democracy, 2006.
Wikipedia, Politik Uang,http://id.wikipedia.org(diakses 12 November 2011)
William K. Frankena, Three Hostorical Philosopheis of Educatioan,Chapter two : Aristotle’s
Philosophy of Education, Hal 41.
105