Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KELOMPOK

“ TULI SENSORINEURAL “
BLOK SISTEM PERSEPSI SENSORI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4

Fiqry Prasetyo G1B116029


Rina Mariani G1B16030
Sri Tiyani G1B116031
Ria Ramadani Wansyaputri G1B116032
Robbi Mediansyah G1B116033
Rina Febrianti G1B116034
Fatimah Ariyanti Nasution G1B116035
Dara Mayori Siregar G1B116036
R. Dilha Pradifta G1B116037

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (S-1)


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Makalah ini disusun untuk melengkapi salah satu tugas Blok Sistem Persepsi
Sensori yang ditugaskan kepada kelompok kami. Didalam penyusunan ini, kami
banyak menghadapi kesulitan baik dalam penyusunan maupun pengumpulan data,
tetapi itu semua dapat kami atasi. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih
kepada orang tua yang telah membantu baik moral maupun spiritual, Dosen
pengampu blok system persepsi sensori serta teman-teman yang telah memberikan
semangat dalam penulisan makalah ini. Saya menyadari bahwa apa yang kami susun
masih jauh dari sempurna. Untuk itu saya mohon pada siapa saja yang sempat
membaca tulisan dalam makalah ini, mau memberikan kritik dan bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 25 februari 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................3
2.1 Definisi ..........................................................................................................3
2.2 Etiologi ...........................................................................................................3
2.3 Manifestasi Klinis ..........................................................................................5
2.4 Pemeriksaan Diagnostik .................................................................................5
2.5 Penatalaksanaan ............................................................................................10
2.6 Diagnosa Banding ..........................................................................................11
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN UMUM .......................................................12
BAB 4 PENUTUP.....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seseorang dapat mendengar karena adanya integrasi dari sistem
pendengaran yangmeliputi telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga
bagianluarberfungsiuntukmenagkap dan penghantaran getaran suara ke telinga te
ngah untuk diperbesar dandiperkuat dan selanjutnya diteruskan ke telinga dalam.
Telinga dalam merupakan tempat letak sel pengindra. Telinga dalam tersebut
mengubah energi mekanik (getaransuara) menjadi impuls listrik yang kemudian
dihantar melalui saraf ke otak untuk diinterpretasikan menjadi bunyi. Gangguan
proses mendengar dapat terjadi akibat terganggunya fungsi di bagian mana saja
di salah satu atau kedua telinga, sehingga seseorang tidak dapat mendengar
dengan baik atau tidak dapat mendengar sama sekali.
Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
Darisemua kasus kehilangan pendengaran, 90 % merupakan tuli sensorineural.
Tulisensorineural adalah tuli yang terjadi karena adanya gangguan pada telinga
dalam atau pada jalur saraf dari dalam telinga ke otak.
Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.
Tulisensorineural koklea disebabkan oleh kelainan kongenital, labirintitis
(oleh bakteri/virus), intoksikasi obat, selain itu juga dapat disebabkan oleh tuli m
endadak,trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.Sedangkan tuli
sensorineuralretrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons
serebelum, mielomamultipel, cedera otak, perdarahan otak dan kelainan otak
lainnya.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingi mengetahui definisi,
etiologi, manifestasi klinis, diagnosis banding, penatalaksanaan serta
pemeriksaan diagnostic.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara mendalam dan luas
mengenaituli sensorineural.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) didefinisikan sebagai bentuk
sensasi subjektif kehilangan pendengaran sensorineural pada satu atau kedua
telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria
audiometri berupa penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3
frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya abnormalitas pada koklea,
saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks auditorik
di otak.

2.2 Etiologi
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat
berasal dari genetik maupun didapat diantaranya:
a. Faktor Genetik.
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa
gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin
bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif,
berhubungan dengan kromosom kelainan mitokondria (contoh: Kearns-
Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa
organ telinga (contoh : stenosis atau atresia kanal telinga eksternal sering
dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan
tuli konduktif).
b. Faktor Didapat.
1) Infeksi
Rubela kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus herpes
simpleks (tabel 1), meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta,
mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis. Toksoplasma, Rubela,

3
Cytomegalovirus menyebabkan gangguan pendengaran pada 18% dari
seluruh kasus gangguan pendengaran dimana gangguan pendengaran sejak
lahir akibat infeksi Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela
kongenital 50%, dan Toksoplasma kongenital 10%-15%, sedangkan untuk
infeksi herpes simpleks sebesar 10%. Gangguan pendengaran yang terjadi
bersifat tuli sensorineural. Penelitian oleh Rivera menunjukkan bahwa
70% anak yang mengalami infeksi sitomegalovirus kongenital mengalami
gangguan pendengaran sejak lahir atau selama masa neonatus. Pada
meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa studi klinis
menunjukkan adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran,
sayangnya proses patologis yang terjadi sehingga menyebabkan gangguan
pendengaran masih belum dapat dipastikan.
2) Neonatal hiperbilirubinemia
3) Masalah perinatal
Prematuritas, anoksia berat, hiperbilirubinemia, obat ototoksik
4) Obat ototoksik
Obat- obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah:
Golongan antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin,
Netilmicin, Amikacin,Neomycin (pada pemakaian tetes telinga),
Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin. Golongan diuretika: furosemide.
5) Trauma
Fraktur tulang temporal, perdarahan pada telinga tengah atau koklea,
dislokasi osikular, trauma suara.
6) Neoplasma
Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis 2), cerebellopontine
tumor, tumor pada telinga tengah (contoh: rhabdomyosarcoma, glomus
tumor).

4
2.3 Manifestasi Klinis
Gangguan pendengaran mungkin timbul secara bertahap atau tiba-tiba.
Gangguan pendengaran yang ringan, mengakibatkan kesulitan kecil dalam
berkomunikasi atau gangguan pendengaran yang berat seperti ketulian.
Kehilangan pendengaran secara cepat dapat memberikan petunjuk untuk
penyebabnya. Jika gangguan pendengaran terjadi secara mendadak, mungkin
disebabkan oleh trauma atau adanya gangguan dari sirkulasi darah. Sebuah onset
yang tejadisecara bertahap bisa dapat disebabkan oleh penuaan atau tumor.
Gejala seperti tinitus (telinga berdenging) atau vertigo (berputar sensasi),
mungkin menunjukkan adanya masalah dengan saraf di telinga atau otak.
Gangguan pendengaran dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kehilangan
pendengaran unilateral yang paling sering dikaitkan dengan penyebab konduktif,
trauma, dan neuromasakustik. Nyeri ditelinga dikaitkan dengan infeksi telinga,
trauma, dan obstruksi pada kanal. Infeksi telinga juga dapat menyebabkan
demam.

2.4 Pemeriksaan Diagnostik


a. Pemeriksaan audiometri
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini
menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada
sestiap frekuensi ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah
grafik sebagai prsentasi dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan
pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada
yang paling terpengaruh.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara,
audiologis dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan
adalah :
1) Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang

5
dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-
500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan
(dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan
vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-
masing untuk menukur ketajaman pendengaran melalui hntaran udara dan
hantran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan
didapatkankurva hantaran tulang dan hantaran udara. Dengan membaca
audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan derajat kurang pendengaran
seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang
berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai
ambang baku pendengaran untuk nada murni.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran
frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling
penting untuk memahami percakapan sehari-hari.
Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran
Kehilangan Klasifikasi
dalam Desibel
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

2) Audiometri tutur
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan
kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang

6
telah dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan
pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri
nada murni, hanya disni sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar
kata terpuilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat
dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan
dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke
telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu
pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali
dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta untuk
menirukan dengan jelas setip kata yang didengar, dan apabila kata-kata
yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan,
pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa mencatata presentase
kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas.
Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah
intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah
presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur
dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu :
a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-
kata yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang
lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan
satuan de-sibel (dB).
b) Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap
satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan
dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu
adalah persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar,
sedangkan intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda
dengan audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas
pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT),
tetapi juga jauh diatasnya.

7
Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata
yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai
50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.

b. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara
hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2
macam tes rinne , yaitu :
1) Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus
eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala
kita pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne
positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif
jika pasien tidak dapat mendengarnya
2) Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan
tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera
pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita
menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan meatus
akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus
eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar
didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih
lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
a) Normal : tes rinne positif
b) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang
lebih lama)
c) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
 Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran

8
garpu tala.
 Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne:
+/-)
 Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi
pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal
sehingga mula-mula timbul.
c. Test Weber
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan
hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber
yaitu: membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak
lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar
atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar
lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika
kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka
berarti tidak ada lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak,
sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada
MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada telinga kanan.
Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala
ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan.
Interpretasi:
1) Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut
lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama
kerasnya.
2) Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
• Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah
kanan.
• Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga

9
kanan ebih hebat.
• Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu,
maka di dengar sebelah kanan.
• Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari
pada sebelah kanan.
• Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.
d. Test Swabach
Tujuan tes ini adalah membandingkan daya transport melalui tulang
mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus.
Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada
puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu
makin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala
lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan
segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang diketahui
normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua
kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak mendengar
suara.

2.5 Penatalaksanaan
a. Kortikosteroid sistemik
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli sensoriural
telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya
cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang dimodifikasi
oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid
sintetik oral, intravena, dan atau intratimpani, meliputi prednison,
metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan memiliki
efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea.
b. Kortikosteroid Intratimpani
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani

10
sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada
pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik.
Terapi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif untuk pasien
diabetes yang tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik. Steroid
diberikan dengan sebuah jarum melalui membran timpani atau ditempatkan di
telinga tengah melalui tabung timpanostomi atau miringotomi yang kemudian
diserap dan menyebar melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam.
c. Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi Oksigen Hiperbaik telah diterapkan sebagai terapi tambahan dalam
kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan
lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehigga diharapkan dapat
menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan,
terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik. Terapi oksigen
hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh,
transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatan respons normal pejamu
terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema.

2.6 Diagnosa Banding


Beberapa penyakit yang dapat dijadikan sebagai diagnosis banding tuli
sensorineural,antara lain barotrauma, serebrovaskularhiperlipidemia, efek akibat
terapi radiasi, traumakepala, lupus eritematosus, campak,multiplesclerosis,
penyakit gondok, neoplasma kanaltelinga, neuroma, otitisexterna, otitis media
dengan pembentukan kolesteatoma, ototoxicity,poliartritis, gagal ginjal, dan
sipilis.

11
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
- Nama
- Umur
- Pekerjaan
- Alamat
2. Riwayat
- Riwayat adanya kelainan nyeri
- Infeksi saluran nafas atas yang berulang
- Riwayat infeksi
- Nyeri telinga
- Rasa penuh dan penurunan pendengaran
- Suhu meningkat
- Malaise
- Vertigo
- Aktifitas terbatas
- Takut mengahadapi tindakan pembedahan
3. Pemeriksaan fisik
- B1 (breathing) : infeksi saluran pernafasan atas yang berulang
- B2(blood) : tidak ada kelainan pada system kardiovaskuler
- B3(brain) : pusing, vertigo,nyeri, rasa penuh pada telinga
- B4(bladder) : tidak ada kelainan
- B5(bowel) : tidak ada kelainan
- B6( bone) : malaise, aktivitas terbatas, suhu meningkat

12
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
2. Gangguan sensori / presepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga
tengah
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri
4. Isolasi sosial berhubungan dengan nyeri, otore
5. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
6. Ansietas berhubungan dengan prosedur perubahan status kesehatan dan
pengobatan
7. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan berkurangnya pendengaran.

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Nyeri Pasien - Kaji nyeri, - Untuk
berhubungan mengambarkan lokasi, mengukur
dengan proses nyeri dalam karasteristik, tingkat/kualitas
peradang keadan minimal mulai timbul, nyeri guna
atau tidak ada frekuensi dan intervensi
nyeri intensitas, selanjutnya
gunakan tingkat - Pengali
ukuran nyeri han focus nyeri
- Ajarkan klien
dan bantu dengan - Posisi
alternative teknik yang nyaman
pengurangan dapat
nyeri (misalnya membantu
imajinasi, musik, mengurangi
relaksasi) tingkat nyeri.

13
- Ubah - Analges
posisi setiap 2 ic dapat
sampai 4 jam mengurangi
- Berikan nyeri.
analgesik jika -
dipesankan

2. Gangguan Klien - Kaji - Untuk


sensori / memperlihatkan tingkat gangguan mengukur
persepsi persepsi persepsi tingkat
berhubungan pendengaran pendengaran klien pendengaran
dengan yang baik - Berbicara pasien guna
kerusakan pada bagian sisi intervensi
pada telinga telinga yang baik selanjutnya
tengah dapat membatu - Berbica
klien dalam ra pada bagian
proses sisi telinga
komunikasi yang baik dapat
- Bersihkan membatu klien
bagian telinga dalam proses
yang kotor komunikasi
- Kolaborasi - Telinga
dengan dokter yang bersih
dengan tindakan dapat
pembedahan membantu
dalam proses
pendengaran

14
yang baik
- Tindaka
n pembedahan
dapat membatu
klien
memperoleh
pendengaran
yang baik

-
3. Intoleransi Klien dapat - Kaji - Untuk
aktifitas melakukan tingkat intoleransi mengetahui
berhubungan aktivitas dengan klien tingkat
dengan nyeri baik - Bantu aktivitas klien
klien untuk guna intervensi
melakukan selanjutnya
aktifitas sehari- - Bantuan
hari terhadap
- Anjurkan aktifitas klien
klien untuk dapat
melakukan mempermudah
aktivitas yang pemenuhan
ringan kebutuhan
- Libatkan klien
keluarga untuk - Aktivita
proses perawatan s yang ringan
dan aktivitas klien dapat
- Ajurkan membantu

15
klien untuk mengurangi
istirahat yang energy yang
cukup keluar
- Keluarg
a memiliki
peranan
penting dalam
aktifitas sehari-
hari klien
selama
perawatan
- Istirahat
yang cukup
dapat mebantu
meminimalkan
pengeluaran
energy.
4. Isolasi sosial Pola koping - Kaji - Untuk
berhubungan klien adekuat tingkat koping mengetahui
dengan nyeri, klien terhadap tingkat koping
otorrhea. penyakit yang pasien terhadap
dialaminya penyakitnya
- Kaji guna intervensi
tingkat pola selanjutnya.
koping keluarga - Pola
terhadap penyakit koping
yang dialami keluarga
klien mempengaruhi

16
- Berikan koping pasien
informasi yang terhadap
adekuat mengenai penykitnya
penyakit yang - Informa
dialami klien. si adekuat
- Berikan dapat
motivasi kepada memperbaiki
klien dalam koping pasien
menghadapi terhadap
penyakitnya penyakitnya
- Anjurkan - Motivas
keluarga untuk i dapat
selalu memotivasi membantu
klien. pasien dalam
menghadapi
penyakitnya
dan menjalani
pengobatan
sehingga klien
tidak merasa
sendirian.
- Motivas
i dari keluarga
sangat
membantu
proses koping
pasien.
-

17
-
5. Kurangnyape kliendapatmenge - Kajitingkatpendid - Untukmengetahuitin
ngetahuanmen rtimengenaipeny ikanklien gkatpendidikanklien
genaipengobat akitnya. - Kajitingkatpenget gunaintervensiselanj
andanpencega ahuankliententang utnya
hankekambuh prognosis - untukmengukursejau
an penyakitnya hmanaklienmengeta
- Berikaninformasi huitentangpenyakitn
yang ya
lengkapmengenai - informasi yang
penyakitklien. lengkapdapatmenam
- Berikaninformasi bahpengetahuanklie
yang nsekaligusmenguran
akuratjikaklienme gitingkatkecemasan
mbutuhkaninform - pemberianinformasi
asitentangpenyaki yang
tnya. akuratdapatmenamb
ahinformasitentangp
enyakit yang
dialamiklien

6. Ansietasberhu klienmemperliha - Kajitingkatansieta - untukmengukurtinga


bungandengan tkanekspresiwaja sklienterhadappen ktkecemasanklienter
prosedurperub h yang ceria. yakitnya hadappenyakitnyagu
ahan status - Kajitingkatpenget naimplementasiselan
kesehatandan ahuankliententang jutnya.
pengobatan penyakitnya - sebagaitolakukurunt
- Berikaninformasi ukmemberikaninfor
kliententangpenya masiselanjutnyamen

18
kitnya. genaipenyakit yang
- Berikandorongan di alaminya.
padakliendalamm - Informasi yang
enghadapipenyaki adekuatdapatmengur
tnya. angikecemassanklie
- Libatkankeluarga nterhadappenyakitny
kliendalam proses a
pengobatan - Dorongan yang
adekuatdapatmenuru
nkantingkatkecemas
ankliensekaligusme
mberikanperhatiank
epadaklien.
- Keluargaklienmemil
ikiperananpentingda
lam proses
penyembuhandanme
nurunkantingkatkece
masanklien.

7. Gangguan Pendengaran - Menggunakan - Menggunakan alat


harga diri menjadi normal, alat bantu bantu pendengaran
rendah sehingga pendengaran, meningkatkan
berhubungan meningkatkan seperti koklear respon pendengaran
dengan rasa percaya diri implant. klien, sehingga klien
berkurangnya klien - Ajari klien dapat mendengar
pendengaran. menggunakan suara dengan
bahasa isyarat, normal, sehingga

19
atau body komunikasi klien
language dan dengan orang lain
media tulisan. tetap lancar.
- Ajari keluarga - Klien dapat
dan kolega klien berkomunikasi
untuk berbicara dengan orang lain
lebih keras atau dengan
cenderung menggunakan
mendekat ke bahasa tubuh atau
telinga yang bahasa isyarat
sehat. lainnya dan bisa
- juga dengan ditulis,
sehingga
komunikasi klien
tetap lancar.
- Memudahkan klien
untuk mendengar,
sehingga
komunikasi klien
tetap lancar, harga
diri klien meningkat.

D. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat dengan
menyesuaikan terhadap kondisi klien.

20
E. Evaluasi
1. Pasien mengambarkan nyeri dalam keadan minimal atau tidak ada nyeri
2. Klien memperlihatkan persepsi pendengaran yang baik
3. Klien dapat melakukan aktivitas dengan baik
4. Pola koping klien adekuat
5. Klien dapat mengeti dengan penyakitnya
6. Klien memperlihatkan ekspresi wajah yang ceria

21
BAB IV
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Tuli sensorineural merupakan sensasi subjektif kehilangan pendengaran
sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung selama 72 jam. Tuli
sensorineural disebabkan oleh faktor genetik yang dibawa oleh kromosom x serta
malformasi pada satu atau beberapa organ telinga. Faktor-faktor penyebab
lainnya yaitu adanya infeksi neonatal hiperbilirubinemia, masalah perinatal, obat
ototoksik, trauma dan neoplasma. Tuli sensorineural dapat dideteksi melalui
beberapa pemeriksaan seperti : audiometri, tes weber, tes rinne, dan tes swabach.
Gejala yang tampak pada tuli sensorineural diantaranya gangguan pendengaran
yang timbul secara bertahap atau tiba-tiba, tinnitus serta nyeri pada telinga.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita tuli sensorineural yaitu
dengan pemberian kortikosteroid sistemik, kortikosteroid intratimpani, dan
pemberian terapi oksigen hiperbarik.
4. 2 Saran
Saran penulis kepada para pembaca yaitu agar lebih memperhatikan
berbagai gejala yang berhubungan dengan gangguan pendengaran, serta berupaya
untuk mencegah timbulnya gangguan pendengaran ini dengan cara menjaga
kondisi tubuh agar tetap optimal, serta dapat menghindari berbagai faktor
pencetus dari tuli sensorineural ini. Untuk tenaga keperawatan diharapkan dapat
melaksanakan asuhan keperawatan dengan tepat sehingga dapat mendukung
program penyembuhan pasien secara efisien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Rapin I. Hearing impairment. In: Swaiman K.F, Ashwal S, editors. Pediatric


Neurology Principles and Practice. 3rd ed. New York. Mosby Inc; 1999. p.77-
95
2. Cunningham M, Cox E O. Hearing assessment in infants and children:
recommendations beyond neonatal screening. Pediatrics 2003; 111:436-40.
3. Mason JA, Herrmann KR. Universal infant hearing screening by automated
auditory brainstem response measurement. Pediatrics 1998;101:221- 8.
4. Sharma P, Chhangani N.P, Meena K.R, Jora R, Sharma N, Gupta B.D.
Brainstem evoked response audiometry (BAER) in neonates with
hyperbilirubinemia. Indian J Pediatr 2006;73(5):413-6.
5. Amin SB, Ahlfors C, Orlando MS, Dalzell LE, Merle KS, Guillet R. Bilirubin
and serial auditory brainstem response in premature infants. Indian J Pediatr
2006;73 (5):413-6.
6. Ahlfors CE, Parker AE. Unbound bilirubin concentration is associated with
abnormal automated auditory brainstem response for jaundiced newborns.
Pediatrics 2008; 121: 976-8.
7. MedlinePlus medical encyclopedia: Hearing loss. Diakses 28 Agustus 2008.
Diambil dari URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003044.html
8. Schrijver I. Hereditary non-syndromic sensorineural hearing loss. J Mol Diagn
2004;6(4):275-84.
9. Suwento R. Deteksi dini gangguan pendengaran pada anak. Dalam: Simposium
Sehari Anakku Tidak Bisa Mendengar. 18 Februari 2006; di Semarang.
Semarang; FK Undip;2006. h.15- 27

23

Anda mungkin juga menyukai