Anda di halaman 1dari 273

PROPOSAL

PERBEDAAN TERJADINYA SPASTISITAS PADA PENDERITA REHABILITASI


PASCA STROKE USIA 45-59 TAHUN DAN USIA 60 TAHUN KE ATAS YANG
TERCATAT MELAKUKAN THERAPI LATIHAN AKTIFITAS FISIK
DI RUANG FISIOTERAPI RUMAH SAKIT UMUM
MAYJEND H.A. THALIB KERINCI
TAHUN 2006

OLEH :

BUTERIA LESTARI
NPM. 0526010082.P

JURUSAN KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2007
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan suatu karunia yang patut kita syukuri, yang

diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena kesehatan adalah suatu keadaan

sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan orang hidup secara

produktif dan ekonomis (Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1992).

Stroke merupakan masalah neurologik primer di dunia. Meskipun upaya

pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden dalam beberapa tahun

terakhir, stroke merupakan peringkat ke-3 penyebab kematian, dengan laju

mortalitas 18%-37% untuk stroke pertama dan sebesar 62% untuk serangan

stroke selanjutnya, terdapat kira-kira 2 juta orang yang masih bertahan hidup dari

stroke, yang mempunyai beberapa kecacatan dari angka 40% memerlukan

bantuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (Brunner dan Suddarth,

2000:2129).

Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

neurologis yang utama di Indonesia. Kita ketahui awal terjadinya stroke yaitu

Hypertensi merupakan faktor utama yang memiliki angka prevalensi yang tinggi

dan akibat jangka panjang yang timbul gangguan pada sistem neurology.

Stroke adalah kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan

oleh gangguan suplay darah ke bagian otak, akibatnya kehilangan gerak, pikir,

1
2

memori, bicara atau sensasi baik sementara maupun permanen (Brunner dan

Suddarth, 2000:94) atau stroke adalah serangan otak yang timbul mendadak

akibat tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak.

Tanpa disadari trend perubahan gaya hidup yang memasyarakat

menyebabkan orang-orang menderita stroke, seperti rokok, stress mental,

alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, makanan berkolesterol,

hipertensi, diabetes mellitus dan sebagainya. Hal-hal yang seperti ini sangat

memerlukan sekali pengontrolan (Arief Mansjoer, 2000 : 18).

Pertambahan kasus stroke yang tidak diimbangi dengan perbaikan

penatalaksanaan di rumah sakit menyebabkan peningkatan penderita dalam

decade akhir Indonesia (Depkes RI tahun 1997).

Stroke merupakan masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan

modern saat ini. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000

penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal,

dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus

meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga

dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Secara ekonomi, dampak

dari insiden ini prevalensi dan akibat kecacatan karena stroke akan memberikan

pengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kemampuan ekonomi, mulai

dari ekonomi tingkat keluarga sampai pengaruhnya terhadap beban ekonomi

masyarakat dan bangsa.


3

Kerusakan otak pasien stroke yang survive meminta perhatian besar baik

bagi pasien sendiri maupun keluarganya, karena tiba-tiba merusak kemampuan

melihat, bicara, membaca, berkomunikasi, berjalan dan menggunakan anggota

gerak secara normal, tergantung belahan otak sebelah mana yang terkena

serangan. Untuk mengembalikan kemampuan-kemampuan yang hilang tersebut

diperlukan suatu penanganan terpadu oleh fisioterapis yang mempunyai peran

yang tidak bisa diabaikan.

Rehabilitasi umumnya di negara maju pemerintah mengambil semua

tanggung jawab untuk menjadikan orang sakit untuk pulih. Pemerintah

mengadakan fasilitas untuk membantu upaya rehabilitasi antara lain dengan

mendirikan rumah sakit rehabilitasi khusus stroke, pusat-pusat rehabilitasi yang

terjangkau, rumah-rumah dan panti jompo dan fasilitas untuk perawatan di

rumah.

Di tingkat propinsi Jambi penyakit stroke menduduki peringkat ke-4 pada

tahun 2003 dengan jumlah penderita 367 orang yang dirawat di ruang rawat inap

sedangkan pada tahun 2004 dari 9918 jiwa yang menderita hipertensi

berdasarkan kunjungan ke ruang rawat jalan di Rumah Sakit Umum Radden

Mataher Jambi terdapat 380 jiwa penderita stroke yang dirawat di ruang rawat

interne (Sumber Medical Record Rumah Sakit Umum Raden Mataher Jambi dan

Biro Pusat Statistik Jambi).

Penyakit stroke tidak memandang apakah penduduk kota atau desa yang

akan diserang seperti di Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib di Kabupaten
4

Kerinci yang letaknya sangat jauh dari propinsi. Cakupan jumlah penderita stroke

yang pernah di rawat di ruang interne pada tahun 2002 terdapat 31 jiwa, pada

tahun 2003 terdapat 33 jiwa dan pada tahun 2004 terdapat 36 jiwa dan pada tahun

2005 terdapat 38 jiwa atau sekitar 20%-23% dari jumlah penderita penyakit

lainnya yang dirawat di Ruang Interne Rumah Sakit Umum Mayjend H.A. Thalib

Kerinci. Jadi pada tiga tahun terakhir terdapat adanya peningkatan jumlah

penderita stroke. Penderita stroke yang mengalami kecacatan sebenarnya pernah

dirawat di ruang interne tetapi karena setelah selesai mereka mendapatkan

pengobatan dan perawatan beberapa hari mereka tidak lagi berkunjung untuk

memeriksakan kesehatannya ke Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib untuk

melakukan rehabilitasi lanjutan di ruang fisioterapi, kemudian setelah berbulan-

bulan penyakit yang diderita semakin kritis barulah mereka merasakan

membutuhkan tindakan fisioterapis.

Telah dilakukan penelitian pada tahun 2005 oleh Buteria Lestari dengan

judul penelitian Gambaran Tingkat Pengetahuan Penderita Rehabilitasi Stroke di

Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib Sungai Penuh

Kabupaten Kerinci. Dengan hasil didapatkan bahwa 58% responden

berpengetahuan rendah, cukup 22% dan baik hanya sebagian kecil 19,4%. Hal ini

bukan hanya dikarenakan latar belakang pendidikan yang rendah saja tetapi

penderita stroke mengalami gangguan fungsi otak pada cerebrum tepatnya pada

lobus frontal hingga mengalami gangguan kognitif. Ini merupakan salah satu

faktor penyebab gagalnya upaya rehabilitatif.


5

Maka oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan

tentang prevalensi terjadinya spastisitas pada penderita rehabilitasi pasca stroke

usia 45-59 tahun dan 60 tahun ke atas yang tercatat melakukan therapi latihan

aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib

Kerinci tahun 2006.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian yang

diangkat adalah apakah terdapat perbedaan prevalensi terjadinya spastisitas pada

usia 45-59 tahun dan 60 tahun ke atas yang tercatat melakukan therapi latihan

aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib

Kerinci selama tahun 2006.

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana perbedaan

prevalensi terjadi spastisitas pada usia 45-59 tahun dan 60 tahun ke atas

yang tercatat melakukan therapi latihan aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi

Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib Kerinci selama tahun 2006.
6

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi prevalensi terjadinya

spastisitas pada usia 45-59 tahun yang tercatat melakukan therapi

latihan aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum

Mayjend H.A Thalib Kerinci selama tahun 2006.

b. Untuk mengetahui gambaran frekuensi distribusi prevalensi terjadinya

spastisitas pada usia 60 tahun ke atas yang tercatat melakukan therapi

latihan aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum

Mayjend H.A Thalib Kerinci selama tahun 2006.

c. Untuk mengetahui perbedaan prevalensi terjadi spastisitas pada usia

45-59 tahun dan 60 tahun ke atas yang tercatat melakukan therapi

latihan aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum

Mayjend H.A Thalib Kerinci selama tahun 2006.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Institusi Rumah Sakit Umum Mayjend H.A. Thalib

Sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit Umum Mayjend H.A Thalib

untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Khususnya

penanganan masalah penyakit stroke agar tidak terjadi kecacatan akibat

spastisitas pasca stroke.


7

1.4.2. Bagi Responden dan Masyarakat

Hasil penelitian dapat meningkatkan pemahaman responden dan

masyarakat tentang bahaya stroke apabila terjadi spastisitas pasca stroke.

1.4.3. Bagi Peneliti

Dapat menerapkan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah ke tengah-

tengah masyarakat. Khususnya asuhan keperawatan pada penyakit stroke.

1.4.4. Bagi Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada peneliti yang akan

datang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke atau Cidera Serebrospinal

2.1.1. Defenisi Stroke

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,

progresif cepat berupa defisit neurologis fokal atau global, yang

berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan

semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non

traumatis. Bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung

sementara, beberapa detik hingga beberapa jam kebanyakan orang 10-20

menit, tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemia otak

sepintas transient ischemia attack (Arif Mansjoer, 2000: 7).

2.1.2. Etiologi

a. Trombosis serebral (penyebab paling banyak): Arterosklerosis

serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama

trombosis serebral, yang penyebab paling utama dari stroke.

Tanda-tanda Trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala adalah

awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,

perubahan kognitif, atau kejang-kejang, dan beberapa mengalami

awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi intraserebral atau

embolisme serebral. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi

8
9

dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau

parestesia pada setengah tubuh dapat melalui awitan paralisis berat

pada beberapa jam atau hari.

b. Emboli serebral : bekuan darah, tumor, lemak, udara berhubungan

dengan penyakit jantung. Abnormalitas patologik pada jantung kiri,

seperti endokarditis, infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark

miokard, serta infeksi pulmonal, adalah tempat-tempat di asal emboli.

Mungkin saja bahwa pemasangan katup jantung prostetik dapat

mencetuskan stroke, karena terdapat peningkatan insiden embolisme

setelah prosedur ini. Resiko stroke setelah pemasangan katub dapat

dikurangi dengan terapi antikoagulan pascaoperatif. Kegagalan pacu

jantung, fibrasi atrium, dan kardioversi untuk fibrilasi atrium adalah

kemungkinan penyebab lain dari emboli serebral dan stroke. Embolus

biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya,

yang merusak sirkulasi serebral.

c. Iskemia serebral: Kontriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah

ke otak. Iskemia serebral (insufiensi suplai darah ke otak) terutama

karena kontriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.

Manifestasi paling umum adalah SIS.

d. Hemoragi serebral: Dapat terjadi di luar durameter (Hemoragi ekstra

dural/epidural), dibawah durameter (Hemorogi subdural), diruang sub

arahhnoid atau di dalam substansi otot (Hemorogi Intra serebral).

(Brunner and Suddarth, 2002 : 2131 - 2132).


10

1. Hemoragi eksradural (hemoragi epidural) adalah kedaruratan bedah

neuro yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti,

fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges

lain. Pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera untuk,

mempertahankan hidup.

2. Hemoragi subdural (termasuk hemoragi subdural akut) pada

dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali bahwa hematoma

subdural biasanya jembatan venanya robek. Karenanya, periode

pembentukan hematoma lebih lama (interval jelas lebih lama) dan

menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mengalami

hemoragi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau gejala.

3. Hemoragi subarakhnoid (hemoragi yang terjadi di ruang

subarahnoid) dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi,

tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area

sikulus willisi dan malformasi arteri-vena congenital pada otak dapat

menjadi tempat aneurisme.

4. Hemoragi intraserebral. Hemoragi atau pendarahan substansi dalam

otak paling umum pada pasien dengan hipertensi dan arterosklerosis

serebral, karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya

menyebabkan reptur pembuluh darah. Stroke ini terjadi pada

kelompok usia 40 tahun sampai 70 tahun. Pada orang yang lebih

muda dari 40 tahun, hemoragi intraserebral biasanya disebabkan


11

oleh malformasi arteri-vena, hemangioblastoma, dan trauma. Juga

disebabkan oleh tipe patologi arteri tertentu, adanya tumor otak, dan

penggunaan medikasi (antikoagulan oral, amfetamin, dan berbagai

obat aditif). Perdarahan terjadi biasanya arterial dan terjadi terutama

sekitar basal ganglia. Gambaran klinis dan prognosis bergantung

terutama pada derajat hemoragi intraventrikuler, yang sering fatal.

Biasanya awitan tiba-tiba, dengan sakit kepala berat, bila hemoragi

membesar, makin jelas defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk

penurunan kesadaran dan abnormalitas pada tanda vital. Pasien dengan

perdarahan luas dan hemoragi mengalami penurunan nyata pada tingkat

kesadaran mereka dan dapat terjadi stupor atau tidak responsif sama sekali.

Bila perdarahan terbatas atau terjadi bertahap; mungkin tidak ada efek

tekanan yang beberapa jam. Penurunan nyata pada kesadaran (stupor/koma)

pada fase awal episode perdana hari biasanya mempunyai prognosis yang

tidak baik. Tindakan terhadap hemoragi intraserebral masih controversial.

Bila hemoragi kecil,; pasien diatasi secara konservatif dan simtomatis.

Tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan medikasi

anthihipertensif. Defisit neurologik pasien mungkin memburuk bila tekanan

darah berkurang terlalu rendah atau terlalu cepat. Bentuk tindakan paling

efektif adalah pencegahan penyakit vaskular hipertensif.


12

2.1.3. Faktor Resiko

a. Yang tidak dapat diubah: Usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga;

riwayat transient ischaemia attack atau stroke, penyakit jantung koroner,

fibrilasi atrium dan heterozigot atau homozigot untuk homosisturia.

b. Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok,

penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, hematokrit

meningkat, bruit karotis asimtomatis, hiperurisemia dan dispilidemia

(Arif Mansjoer, 2000: 18)

2.1.4. Patofisiologi

Penyebab (misalnya hemoragi/oklusi)



Penurunan perfusi vaskularisasi ke bagian distal

Iskemia

Hipoxia / anorexia

Metabolisme anaerob

Metabolisme asam

Asidosis

Pompa natrium gagal

Edema

Perubahan perfusi serebral
13

2.1.5. Manifestasi Klinis

a. Kehilangan Motorik

Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan

kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron

motor alias melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah

satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas

pada sisi yang fil, berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling

umum adalah :

1. Hemiplegia (paralysis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi

otak yang berlawanan.

2. Hemiparesis atau kelemahan dari salah satu sisi tubuh, adalah

tanda yang lain. Paralisis flaksid dan kehilangan atau penurunan

reflek tendon profunda (Gambaran klinis awal).

b. Kehilangan Komunikasi.

Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa

dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum.

Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal

berikut.:

1. Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang

sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang

bertanggung . jawab untuk menghasilkan bicara.


14

2. Disfagia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang

terutama ekpresif atau reseptif.

3. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang

dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil

sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

c. Gangguan Konseptual adalah ketidakmampuan untuk

menginterprestasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan disfungsi

persepsi visual-spasial :

1. Homonius hernia nopia (kehilangan setengah lapang pandang)

dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau

permanen.

2. Gangguan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih

objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan

hemiplagia kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian

tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan

pakaian ke bagian tubuh. Untuk membantu pasien ini, perawat

dapat mengambil langkah untuk mengatur lingkungan dan

menyingkirkan perabot karena pasien dengan masalah persepsi

mudah terdistraksi. Akan bermanfaat menganjurkan pasien

memperlambat dan memberikan pengingat lembut tentang dimana

objek ditempatkan.
15

3. Kehilangan sensori. Karena stroke dapat berupa kerusakan

sentuhan, ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan

propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan

bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpensikan stimuli

visual, taktil, dan audiotorius.

d. Kerusakan aktifitas mental dan efek psikologis. Bila kerusakan ini

telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau

fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi

ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan

dalam pemahaman, pelupa, kepintaran mundur, tidak dapat berhitung,

motivasli, menurun, labilitas emosional, depresi, menarik diri, rasa

takut, bermusuhan dan marah, serta kurang motivasi yang

menyebabkan pasieri ini menghadapi masalah frustasi dalam program

rehabilitasi responden. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat

oleh respon alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah

psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas

emosional, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerjasama.

Disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin

mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi,

ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan

ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan karena

kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang setelah


16

stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi

dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadang-kadang

kontrol spingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama

periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.

Ketika tonus otot meningkat dan refleks tendon kembali, tonus otot

kandung kemih meningkat dan spastisitas kandung kemih dapat

terjadi karena indera kesadaran pasien kabur :

1. Inkotinensia urinarius transien menetap atau retensi urinarius

mungkin simptomatik karena kerusakan otak bilateral.

2. Inkontinensia urinarius persisten. Inkontinensia ani dan urine

yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologik luas.

(Brunner dan Suddarth, 2000:95-96)

2.1.6. Komplikasi

Komplikasi stroke meliputi:

a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah

adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen

yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan

mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat

diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung

dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan


17

intravena) harus menjamin penurunan vikositas darah dan

memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem

perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral

dan potensi meluasnya area cedera.

c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah miokard atau fibrilasi atrium

atau dapat berasal dari katub jantung prostetik. Embolisme akan

menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran

darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak

konsisten dan penghentikan thrombus lokal. Selain itu disritmia dapat

menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

2.1.7. Penatalaksanaan

Penanganan Stroke akut di daerah maju yang ideal adalah

penatalaksanaan paripurna yang merupakan usaha dengan sisi ganda

(multifaceted). :

(Adam Vienna 2000) :

a. Usaha menghadapi keadaan iskemia. Terutama untuk stroke yang

disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah. Penatalaksanaan

yang sudah terbukti bermanfaat adalah dengan pemberian obat

trombosis dalam waktu < 3 jam onset. Pemberian dapat dilakukan

apabila tidak ada kontra indikasi medis yang ditunjang oleh hasil

pemeriksaan CT Scan. Semuanya harus selesai dalam waktu < 2 jam


18

untuk mencapai target "door to needle time" di bagian Emergensi.

Waktu yang tersedia untuk membawa pasien ke Rumah Sakit adalah

1 jam. Trombolisis yang diberi adalah r-TPA yang secara resmi

belum dapat diperoleh dengan harga kira-kira $2000,-/ pemakaian

(Code Stroke, San Diego 2000).

b. Usaha prevalensi dan kontrol terhadap komplikasi. Usaha ini

merupakan upaya suportif untuk membentuk pemulihan optimal.

Cara yang dilaksanakan dan sudah terbukti bermanfaat adalah dengan

merawat penderita dengan kerjasama multi disiplin terpadu antara

dokter, perawat, para terapi dan ahli gizi. Kerja sama ini dilaksanakan

secara intensif di Unit Stroke. Usaha ini terbukti dapat menurunkan

angka kematian penderita stroke sampai 28% dan secara bermakna

dapat menurunkan derajat kecacatan akibat stroke (Langhome, 1996).

c. Rehabilitasi. Umumnya di negara maju pemerintah mengambil semua

tanggung jawab untuk menjadikan orang sakit untuk pulih.

Pemerintah mengadakan fasilitas untuk membantu upaya rehabilitasi

antara lain dengan mendirikan rumah sakit rehabilitasi khusus stroke,

pusat-pusat rehabilitasi yang terjangkau, rumah-rumah dan panti

jompo dan fasilitas untuk perawatan di rumah seperti "meals an

wheels" dan lain-lain.

d. Usaha prevensi terhadap stroke ulang. Usaha ini lebih ditunjukkan

pada perubahan dalam gaya hidup serta usaha lebih terarah apabila
19

faktor resiko dan faktor penyebab stroke dapat ditemukan. Upaya

prevensi sekunder untuk mencegah stroke ulang dilaksanakan sejak

penderita masih dalam perawatan di Unit Stroke. Keluarga penderita

dilibatkan sedini mungkin dalam merawat dan meminta kesediaannya

untuk sementara mengorbankan waktunya untuk membantu

pemulihan penderita terutama setelah pulang rawat. Hal ini berhasil

diterapkan di Indonesia dengan tatanan keluarga yang diperluaskan

(extended family) (Airiza Ahmad, 1997). Keluarga belajar

menerapkan gaya hidup sehat pada penderita dan ikut melakukan tata

cara rehabilitasi sederhana.

e. Manajemen Stroke pada fase akut bertujuan untuk mencegah stroke

tak berlanjut, cacat dapat dibatasi, mencegah komplikasi (seperti

radang balder), dan mencegah kematian.

Tindakan:

1. Pertahankan kepatenan jalan nafas

2. Terapi oksigen,

3. Posisi : bagian kepala tempat tidur ditinggikan

4. ETT (Endotrakheal Tube) dan ventilator, pada massive

5. Monitor komplikasi pulmoner (aspirasi, atelaktatis pneumonia)

6. Pemeriksaan jantung

7. Pemberian obat : antikoagulen, anti hipertensi.


20

f. Terapi Medik Stroke Iskemik :

Cairan hiperosmolar, seperti Manitol 20 %, gliserol.

1. Deksametason yaitu anti steroid

2. Asetol, Tiklodipin (antiagresitrabarit)

3. Heparin, Kumarin

4. Hemodilusi : Ht>44-50 %, pemakaian dekstrose (250 cc)

g. Terapi Medik Stroke Hemoragik :

1. Bedrest 4 minggu

2. Antiedema, deksametason

3. Antifibrinolitik (asam troneksamat)

4. Obat hipertensi

5. Nomidipine 4x 30-60 mg selama 2 minggu.

2.1.8. Faktor Modifikasi Gaya Hidup Penderita Stroke

Ada beberapa faktor modifikasi gaya hidup penderita stroke yaitu,

rokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan,

obat-obatan golongan; amfetamin, kokain, kolesterol dan lemak dalam

makanan, penyakit hypertensi, penyakit-penyakit jantung. (Arif

Mansjoer, 2000:25).

Dari Teori di atas maka untuk mempermudah menganalisa data

hasil penelitian yang diperoleh, dengan bertitik tolak kepada teori green
21

(1980) yang menyebutkan bahwa masalah kesehatan dapat terjadi karena

perilaku dan non perilaku.

2.1.9. Macam-macam gerak

a. Gerak Aktif

Pada gerakan aktif ekstremitas atas dan bawah pasien belum mampu.

melakukan semua gerakan secara full ROM tanpa disertai dengan rasa

nyeri.

b. Gerak Pasif

Pada gerakan pasif ekstremitas atas dan bawah pasien mampu

melakukan semua gerakan dengan full ROM disertai nyeri gerak yang

dibantu oleh fisioterapi dan end feelnya lunak.

c. Gerakan Isometrik Melawan Tahanan

Pasien belum mampu untuk melakukan gerakan melawan tahanan

pada semua gerakan ekstremitas atas dan bawah.

2.1.10. Permasalahan Lain yang Terjadi pada Stadium Dini

Berikut ini adalah permasalahan-permasalahan lain yang terjadi

pada stadium dini

a. Kelemahan otot sehingga penderita tidak mampu menggerakkan

badannya, terutama pada satu sisi, kiri ataupun kanan.

b. Penurunan tonus otot, jika diraba terasa sangat lembek dan tidak

terasa adanya kekenyalan otot (hipotonus). Keadaan hipotonus


22

berangsur-angsur akan pulih. Diawali pada otot-otot fleksor jari

sehingga posisi tangan menggenggam. Selanjutnya, dalam waktu 18

bulan atau lebih, tonus otot akan meningkat, bahkan terjadi

hipertonus (spastik). Cirinya, pada otot-otot fleksor lengan ektensor

tungkai.

c. Gangguan persepsi, yaitu kesadaran penderita terhadap posisi bagian

tubuh menurun.

d. Gangguan sensasi, penderita tidak mampu bergerak dan

mempertahankan keseimbangan pada pola gerak normal.

e. Hilangnya gerak tunggal (isolated movement). Artinya, walaupun

penderita mampu menggerakkan semua bagian tubuh, tetapi dia tidak

mampu membuat gerak tunggal tanpa diikuti kontraksi otot bagian

lain. Misalnya, tangan menggenggam diikuti dengan siku ditekuk

(fleksi) dengan lengan merapat di badan (adduksi), bangkit berdiri

dari duduk diikuti lutut dan panggul lurus, serta kaki kebawah

(plantar fleksi). Selanjutnya, kaki keatas (dorsi fleksi) diikuti lutut

dan panggul ditekuk.

f. Hilangnya reaksi keseimbangan. Dalam keadaan normal, setiap

gerakan pasti diikuti reaksi keseimbangan untuk menyesuaikan sikap

tubuh pada penderita stroke, tonus otot rendah sehingga jika

melakukan gerakan tidak terjadi reaksi.

g. Gangguan bicara terjadi jika serangan stroke pada otak disisi kiri.
23

2.1.11. Metode Latihan pada Stadium Dini

Untuk menghadapi berbagai permasalahan yang muncul pada

stadium dini, perlu dilatih dengan metode yang benar. Berikut metode

latihan pada stadium dini.

a. Pendekatan Unilateral

Metode ini hanya diterima bagi penderita yang tidak menghendaki

perawatan terlalu lama di tempat tidur. Arah latihannya supaya cepat

mencapai mandiri. Pendekatan latihan ditujukan pada sisi yang sehat

supaya dapat mengkompensasi fungsi sisi yang sakit, sedangkan sisi

yang sakit dibiarkan karena dianggap sudah tidak berfungsi lagi.

Dengan cara ini banyak kerugiannya, otot-otot menjadi tegang lebih

tinggi (hipertonus) dan pola gerak semakin tidak normal.

b. Pendekatan bilateral

Prinsipnya, metode latihan ini diarahkan pada kedua sisi tubuh, baik

sisi yang sakit maupun yang sehat. Sasaran utama adalah kesadaran

melakukan gerakan dapat dikontrol dengan baik.

Berikut bentuk terapi latihan gerak yang diberikan pada stadium dini.

1. Gerak pasif (gerak yang digerakkan oleh orang lain) pada sisi

yang sakit

2. Gerak aktif (gerak yang dihasilkan oleh kontriksi otot sendiri)

pada sisi yang sehat.


24

3. Perubahan posisi terlentang kemiring, dari kiri kekanan, dan

sebaliknya.

4. Bergeser ke atas dan ke bawah

5. Bergeser ke kiri dan ke kanan

6. Bangkit duduk di tepi tempat tidur

7. Latihan keseimbangan duduk

8. Latihan pindah dari tempat tidur ke kursi dan sebaliknya

9. Latihan berdiri ditepi tempat tidur dilanjutkan latihan

keseimbangan berdiri.

Latihan di atas sangat berguna jika diberikan setiap hari, dua atau tiga

kali: Setiap latihan 10 menit dan progresivitas latihan selalu

disesuaikan dengan, kondisi penderita.

c. Terapi latihan pada stadium Lanjut (Stadium Kronis)

Pada stadium ini, kondisinya sudah lebih stabil, tekanan darah sudah

tidak naik-turun, serta otot-otot dan peningkatan tonus sudah mulai

tampak. Ada beberapa metode yang dapat diterapkan untuk latihan

pada stadium lanjut ini.

1. Metode Bobath

Metode ini berasumsi bahwa penderita stroke seolah-olah kembali

pada usia bayi sehingga pertumbuhan dan perkembangannya

sesuai dengan pertumbuhan bayi normal. Oleh karena itu, stroke

harus dilatih mulai dari posisi berbaring, miring, tengkurap,

merangkak, duduk, berdiri dan berjalan tidak boleh loncat. Jangan


25

mencoba untuk latihan duduk saja belum stabil. Disamping itu,

untuk mengatasi tonus otot yang berlebihan, berikan posisi

inhibisi (posisi yang dapat menghambat terjadinya hipertonus).

Setelah itu, baru latihan gerak pada normal.

2. Metode Brunnstrom

Metode ini dilandasi dengan gerak ososiasi dan refleks-refleks

primitif yang ada pada bayi. Misalnya, gerak ososiasi yang paling

sederhana pada lengan dan gerak fleksi lebih mudah dilakukan

bersama-sama dengan abduksi (mendekati tubuh). Sebaliknya,

gerak ekstensi lebih mudah dilakukan bersama-sama abduksi

(menjauhi tubuh). Contoh gerak refleks primitif, seperti saat

kepala merunduk diikuti kedua siku fleksi dan sebaliknya, pada

saat kepala keatas diikuti kedua siku lurus.

3. Metode Janet dan Roberta S.

Metode ini dilandasi dengan teori, bahwa otak mempunyai

kemampuan untuk mengungkapkan kembali kejadian yang pernah

dialami, jika diberikan latihan gerak yang berulang-ulang.

Dengan latihan akan timbul saluran-saluran baru didalam sel-sel

otak. Oleh karena itu, metode latihan dilakukan dengan cara

melakukan aktivitas tertentu. Selanjutnya, komponen yang salah

pada aktivitas itu dianalisis. Setelah diketahui harus dikoreksi

sampai hilang atau berkurang (Soeparman, 2004: 8-13)


26

2.2. Spastisitas

2.2.1. Pengertian

Spastisitas adalah suatu keadaan dimana tonus otot lebih tinggi

dari normal. Berbagai teori tentang spastisitas dikemukakan. Namun para

ahli saat ini cenderung menerima konsep spastisitas yang disebabkan

oleh hilangnya kontra supra spinal (sistem ekstra piramidalis) terhadap

aktifitas stretch reflex (Suyono, Agus, 1995 : 13).

2.2.2. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis spastisitas yang terkait dengan modalitas

fisioterapi adalah :

1. Meningkatnya respon stretch reflex.

Pada pemberian gerakan pasif otot yang spastis akan didapatkan

tahanan, yang mempunyai ciri khas sebagai berikut :

a. Tahanan tersebut meningkat secara progresif sepanjang gerakan.

b. Besarnya tahanan sebanding dengan kecepatan gerakan pasif.

Semakin tinggi kecepatannya, tahanan akan semakin besar.

c. Tahanan tersebut akan menurun dengan tiba-tiba sewaktu

mendekati akhir ROM. Fenomena ini dikenal sebagai Clasp

Knife.

2. Berkurangnya/hilangnya eksitasi terhadap sistem inhibisi.

Manifestasinya dapat dilihat dari hal-hal berikut :

a. Meningkatnya efek Tonic Vibration Reflex (TVR).


27

Vibrasi pada otot yang spastic akan menyebabkan terjadinya

kontraksi yang berlebihan pada otot tersebut. Pada orang normal

TVR tersebut dihambat oleh adanya mekanisme pre synaptic

inhibition.

b. Penyebaran respon refleks.

Pada penderita spastic respon terhadap refleks misalnya TVR

tidak hanya meningkat, tetapi dapat pula menyebar ke otot-otot

lain, termasuk antagonisnya.

c. Terjadi respon spesifik (dalam pola spastisitas) terhadap respon

non spesifik. Misalnya pada waktu penderita berusaha

meluruskan sikunya, yang terjadi adalah fleksi.

d. Kontraksi volunter otot yang spastik yang dilakukan dengan

usaha yang keras akan menambah spastisitasnya.

e. Intensitas spastisitas berubah-ubah. Dalam masa satu atau satu

setengah tahun pertama, spastisitas ini meningkat dengan

perlahan-lahan; kadang-kadang cepat sampai pada suatu tingkat

tertentu dimana spastisitas akan konstan. Meskipun demikian, dia

tetap berubah-ubah oleh karena pengaruh luar, misalnya: rasa

takut, gelisah, rasa sakit, tidak nyaman, marah dan sebagainya.

f. Spastisitas akan memberikan masukan abnormal yang akan

menyebabkan keluarannya abnormal pula. Hal ini akan

menjadikan spastisitas meningkat, dan seterusnya.


28

g. Pemberian kompres dingin (ice therapy) pada penderita

hemiplegia akan memberikan efek yang tidak sama. Pada

beberapa kasus akan mengurangi spastisitasnya, tetapi pada kasus

lain justru akan menambah spastisitasnya.

2.2.3. Problema Spastisitas

Problema spastisitas pada stroke merupakan hambatan utama

dalam pemulihan gerakan fungsional. Spastisitas ini lebih dominan pada

otot tertentu, timbul secara bertahap, derajat serta distribusinya tidak

selalu sama. Spastisitas dipengaruhi dari posisi anggota badan lain yang

lebih proksimal.

Spastisitas pada leher dan badan lateral fleksor, anggota gerak atas

depressor bahu pada retractor dan fiksator scapula, adductor dan internal

rotator lengan, pronator lengan bawah, fleksor pergelangan tangan dan

jari-jari serta adductor jari-jari. Pada tungkai ekstensor panggul dan lutut

serta plantar fleksor pergelangan kaki.

Berbaring di atas punggung akan menambah tonus ekstensor,

berbaring di atas dada akan menambah tonus fleksor, posisi paling netral

tidur miring. Ini berarti bahwa kita harus tahu betul kapan mengurangi

atau menambah tonus otot.

Pada hemiplegia spastisitas merupakan fenomena sentral,

spastisitas tidak hanya terdapat pada satu atau kelompok otot, tetapi
29

spastisitas meliputi kelompok otot agonis, antagonis dan sinergis.

Kelompok otot antagonis yang seharusnya relaks pada saat kelompok

agonis berkontraksi bersama-sama disangatkan oleh kontraksi group

sinergis. Sebagai akibatnya sendi yang bersangkutan mengalami

penguncian. Adanya spastisitas nampak dari sikap badan dan pola

gerakan ekstremitas. Sikap badan yang kaku merupakan ciri umum

penderita hemiplegia, rotasi-rotasi badan yang merupakan keseimbangan

banyak berkurang. Pola gerakan pada ekstremitas nampak khas, tertentu

dan tidak bervariasi (stereotype) dalam pola abnormal (pola abnormal

adalah pola gerakan otomatis yang tidak ditemukan pada keadaan

normal). Dalam keadaan spastis sedang mengarah ke berat, gerakan-

gerakan hanya terjadi apabila ada usaha (effort) yang berlebihan.

Sayangnya effort yang berlebihan bisa meninggikan spastis.

2.2.4. Penerapan Teknik Terapi Pada Masa Spastis

Pada masa spastis mulai nampak perbaikan kondisi menjadi agak

terhambat. Spastis dengan pola fleksi banyak mengganggu aktifitas

ekstremitas atas, sedangkan pada ekstremitas bawah spastis dengan pola

ekstensi. Gerakan oleh penderita tidak jarang menambah hebat spastisitas

apalagi bila penderita memaksa diri untuk bisa melakukan aktifitas yang

sulit.

Banyak diantara penderita, tanpa adanya petunjuk yang jelas

menggunakan sling untuk menggendong lengan bawahnya. Hal ini


30

kurang menguntungkan sebab bisa merangsang fleksor spastisity yang

berlebihan yang pada akhirnya akan menyulitkan terapi.

Oleh karena penderita telah mulai aktif sendiri, bahkan telah

berjalan-jalan dengan pola hemiplegia maka kepadanya harus diberikan

penjelasan tentang hal-hal yang menunjang terapi begitu pula hal-hal

yang menghambat terapi.

Pada masa ini harus diajarkan, dimengerti dan dipatuhi cara-cara

sederhana untuk mengatasi peninggian tonus postural, kapan harus

berhenti beraktifitas dan jenis-jenis aktifitas mana yang baik, dengan cara

self inhibition dalam bentuk antara lain : rotasi badan, menyangga pada

tungkai dan lengan lumpuh.

1. Latihan mengontrol gerakan tungkai

Latihan fleksi-ekstensi tungkai lumpuh dengan bantuan

tungkai sehat dapat meningkatkan derajat spastisitas. Sebagai ganti

untuk mengajarkan kembali pola-pola fleksi-ekstensi, latihan dapat

berupa : posisikan lutut fleksi dengan derajat yang bervariasi sedang

ankle dalam posisi dorso fleksi. Penderita harus menahan posisi

tersebut untuk kemudian disuruh untuk mengekstensikan sambil

diberikan tahanan. Hentikan tahanan dan gerakan apabila spastis

timbul. Ekstensi tungkai untuk persiapan berdiri dapat dikembangkan

dengan cara posisikan lutut semi fleksi, ankle tetap dorso fleksi, tekan

lutut ke bawah seperti pada latihan static quadriceps.


31

Untuk mengembangkan fungsi kontrol gerakan tungkai,

Bobath tidak membiarkan tungkai bergerak dalam total pattern yang

umumnya patologis (hip ekstensi, knee abduksi fleksi dan ankle

plantar fleksi), tetapi selalu menggunakan pola kombinasi antara

fleksi, ekstensi disertai abduksi dan eksorotasi sesuai dengan normal

pattern of movement.

2. Mobilisasi shoulder girdle

Mobilisasi shoulder girdle bertujuan untuk menurunkan spastis

di daerah shoulder, sehingga sesudahnya dapat diperoleh jarak gerak

sendi yang lebih luas. Mobilisasi ini dilakukan secara pasif oleh

terapis dengan gerakan kombinasi tarikan dan rotasi. Mobilisasi ini

dilakukan apabila bahu mengalami kekakuan oleh karena spastis yang

tinggi sehingga bahu sulit digerakkan sepenuh jarak gerak sendi.

3. Latihan berjalan

Walking exercise dimulai setelah bisa menyangga pada dua

tungkai tanpa pegangan (balance standing sudah lebih baik). Tungkai

lumpuh telah mampu bergerak fleksi beberapa derajat dan

mengontrolnya ke ekstensi. Tangan penderita dapat berpegangan

pada leher atau pinggang terapis dengan demikian kedua tangan

terapis dapat membantu pergerakan tungkai. Rotasi trunk harus

dikembangkan semaksimal mungkin untuk memberi fasilitas gerakan

fleksi dan ekstensi tungkai.


32

2.2.5. Penerapan Teknik Terapi Fase Penyembuhan

Pada masa ini penderita telah mulai beraktifitas mendekati

sebelum serangan stroke. Mereka telah berjalan dengan stick/tongkat atau

tanpa bantuan sama sekali. Gerakan lengan sudah sampai pada wrist

bahkan jari-jari. Tetapi kemungkinan penderita masih merasa kurang

sempurna pergerakan fungsional dan fine motor function yang lainnya.

1. Memperbaiki fine motor function

Dalam memperbaiki fungsi motoris halus ini terapis bekerja

sama dengan occupational therapis. Hindarkan latihan gerakan yang

sukar sekali, untuk menghindarkan usaha yang merangsang

associated reaction. Perbaikan fungsi weight bearing pada lengan

dapat dilakukan ketika penderita pada posisi berdiri atau duduk.

Latihan ini akan sulit apabila wrist dalam keadaan spastis akibat

kurang persiapan gerakan sebelumnya.

2. Mengembangkan fungsi lengan tangan

Dalam upaya ini terapis bekerja sama dengan occupational

therapist memperbaiki fungsi ADL dan keterampilan lain yang

umumnya berupa fine motor function. Dalam memberikan latihan

gerak dan mengajarkan fungsi, harus diperhatikan tingkat usaha yang

dilakukan oleh penderita, usaha berlebihan menimbulkan associated

reaction dan pola patologis. Untuk itu lebih disarankan memperbaiki


33

automatic reaction, yang dalam latihan dapat berupa permainan

sambil berbicara, mendengarkan musik dan sebagainya.

Gerakan manipulasi pada tangan dan jari-jari hanya terjadi

apabila bagian tersebut telah bisa melakukan selective movement dan

fixation of movement yang cukup pada sendi-sendi yang lebih

proksimal. Seperti telah dibicarakan bahwa fiksasi sendiri banyak

dipengaruhi oleh rotasi pada trunk, mobilitas shoulder girdle ke

semua arah. Bentuk latihan dapat bermacam-macam, misalnya :

a. Latihan fungsi tangan dengan menggunakan bola.

b. Latihan menulis dengan tangan sehat, sedangkan tangan yang

sakit menyangga.

c. Latihan menyangga pada sisi lumpuh pada saat tangan sehat

mengangat benda berat.

d. Dan sebagainya.

3. Memperbaiki pola jalan

Dalam memperbaiki pola jalan perlu disiapkan gerakan lutut

yang lebih selektif, stabilitas dan isolated movement pada hip, ankle

dorsi fleksi > 90 derajat pada saat berdiri, keseimbangan berdiri pada

kedua tungkai, berdiri dengan tungkai lumpuh, berdiri dengan tungkai

sehat. Untuk memperbaiki stabilitas hip, dilakukan dengan cara

antara lain :
34

a. Berdiri, tungkai bersilangan dengan posisi eksorotasi, terapi

menjaga agar pada sisi lumpuh lebih baik. Pada waktu

menyangga berat badan, lutut tidak boleh hiperekstensi. Pada saat

memindahkan posisi tungkai harus dijaga agar tidak terjadi

sirkumduksi hip dengan cara bergerak pelan-pelan.

b. Duduk berdiri dengan dua stool, dua tangan penderita di depan

badan bertaut, kaki menapak sejajar. Penderita berdiri dari stool

satu dan duduk kembali ke stool lainnya tanpa memindahkan

posisi kaki. Pada waktu akan duduk dan berdiri awali gerakan

dengan membungkuk.

Faktor lain yang menyebabkan pola jalan abnormal pada hemiplegia

adalah sirkumduksi hip. Hal ini dapat dikurangi dengan latihan

berjalan mundur dengan posisi lutut fleksi.

Faktor rotasi badan juga mempengaruhi pola jalan. Rotasi

badan dapat memfasilitasi gerakan swing pada lengan. Pada

hemiplegia rotasi badan terhambat oleh spastisitas dalam pola fleksi

dan ekstensi. Rotasi badan dapat diperbaiki dengan fasilitasi berjalan

dari depan/belakang badan penderita. Fasilitasi dengan key point of

control hip dipakai apabila terapis ingin memperbaiki pola gerakan

tungkai terhadap trunk. Sedangkan key point of control shoulder


35

dipergunakan apabila ingin adanya perbaikan reaksi lengan tangan

terhadap badan.

Dalam masa penyembuhan ini kerja sama antara penderita

dengan terapi memegang peran yang penting. Penderita harus

memahami tujuan pengobatan, tahapan pengobatan kaitannya dengan

kehidupan yang akan dihadapi kemudian. Dengan demikian diharapkan

ia akan mampu menempatkan dirinya sebagai subyek yang aktif untuk

memperbaiki keadaan dirinya.

4. Alat-alat Bantu untuk penderita Hemiplegia

a. Wheel chair dilengkapi arm rest/bangku, dipakai untuk ambulasi

saat penderita belum bisa berjalan.

b. Back splint pada ankle untuk insertion sepatu, dipakai waktu

berjalan pada masa flaccid atau awal spastis. Berfungsi untuk

mencegah inverse ankle dan drop foot pada waktu weight bearing.

c. Finger spreadik untuk membuka jari-jari. Berfungsi untuk

mengurangi flexion spasticity yang sering meningkat saat

menggenggam tangan lumpuh.

d. Stick dipakai oleh penderita yang telah berjalan tanpa bantuan

apabila penderita ingin berjalan sendiri tanpa orang lain, untuk

maksud pengamanan saja (Suyono, Agus, dkk, 1995 : 13-62)


36

2.3. Lanjut Usia

2.3.1. Batasan-Batasan Lanjut Usia

Mengenai kapankah orang disebut lanjut usia, sulit dijawab secara

memuaskan. Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan

umur.

1. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia

Lanjut usia meliputi :

a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59

tahun.

b. Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun.

c. Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) = di atas 90 tahun.

2. Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad

Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohamad (alm), membagi

periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut :

a. 0-1 tahun = masa bayi

b. 1-6 tahun = masa pra sekolah

c. 6-10 tahun = masa sekolah

d. 10-20 tahun = masa pubertas

e. 40-65 tahun = masa setengah umur (Prasenium)

f. 65 tahun ke atas = masa lanjut usia (Senium)


37

3. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikologi UI)

Mengatakan : lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa.

Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian. Pertama = fase iuventus,

antara 25 dan 40 tahun, kedua = fase verilitas, antara 40 dan 50 tahun,

ketiga = fase prasenium, antara 55 dan 65 tahun, dan keempat = fase

senyum, antara 65 tahun hingga tutup usia.

4. Menurut Prof. Dr. Koesoemata Setyonegoro

Pengelompokkan lanjut usia sebagai berikut : usia dewasa muda

(elderly adulthood): 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa penuh (middle

years) atau maturitas : 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia (geriatric age)

lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 70-75 tahun (yound old),

75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old).

Kalau dilihat pembagian umur dari beberapa ahli tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah orang yang telah berumur

65 tahun ke atas.

2.3.2. Teori-Teori Proses Menua

Sebenarnya secara individual, tahap proses menua terjadi pada orang

dengan usia berbeda, masing-masing lanjut usia mempunyai kebiasaan yang

berbeda dan tidak ada satu faktor pun ditemukan untuk mencegah proses

menua.
38

1. Teori-teori Biologi

a. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk

spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan

biokimia yang deprogram oleh molekul-molekul/DNA dan setiap sel

pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai contoh yang khas

adalah mutasi dari sel-se kelamin (terjadi penurunan kemampuan

fungsional sel).

b. “Pemakaian dan Rusak” kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-

sel tubuh lelah (terpakai).

c. Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh, yang disebut teori

akumulasi dari produk sisa. Sebagai contoh adanya pigmen

Lipofuchine di sel otot jantung dan sel susunan syaraf pusat pada

orang lanjut usia yang mengakibatkan mengganggu fungsi sel itu

sendiri.

d. Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan.

e. Tidak ada perlindungan terhadap : radiasi, penyakit, dan kekurangan

gizi.

f. Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory). Di dalam proses

metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus. Ada

jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga

jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh ialah


39

tambahan kelenjar timur yang pada usia dewasa berinvolusi dan

semenjak itu terjadilah kelainan autoimun (Menurut Goldteris &

Brocklehurst, 1989).

g. Teori “Immunologi Slow Virus” (Immunology Slow Virus Theory).

Sistem immun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan

masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ

tubuh.

h. Teori Stres. Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa

digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan

kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres

menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

i. Teori Radikal Bebas. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas,

tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan

oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein.

Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi

j. Teori Rantai Silang. Sel-sel yang tua atau iseng, reaksi kimianya

menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan

ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi.

k. Teori Program. Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel

yang membelah setelah sel-sel tersebut mati.


40

2. Teori Kejiwaan Sosial

a. Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)

1) Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan

secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia

yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam

kegiatan sosial.

2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari

lanjut usia.

3) Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar

tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

b. Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut

usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori di atas. Pada teori ini

menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut

usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.

c. Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan

kemunduran individu dengan individu lainnya. Pada lanjut usia

pertama diajukan oleh Cumming dan Henry (1961). Teori ini

menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara

berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau

menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan


41

interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun

kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (Triple Loos),

yakni :

1) Kehilangan peran (Loss of Role)

2) Hambatan kontak sosial (Restraction of Contacts and

Relationships).

3) Berkurangnya komitmen (Reduced commitment to Social Mores

and Values).

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketuaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan meliputi :

1. Hereditas = keturunan/genetik

2. Nutrisi = makanan

3. Status kesehatan

4. Pengalaman hidup

5. Lingkungan

6. Stess

2.3.4. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia

1. Perubahan-perubahan fisik

a. Sel

1) Lebih sedikit jumlahnya.

2) Lebih besar ukurannya.


42

3) Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan

intraseluler.

4) Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati.

5) Jumlah sel otak menurun.

6) Terganggunya mekanisme perbaikan nsel.

7) Otak menjadi atrofis beratnya berkurang 5-10%.

b. Sistem Persarafan

1) Berat otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurang sel saraf

otaknya dalam setiap harinya).

2) Cepatnya menurun hubungan persarafan.

3) Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya

dengan stress.

4) Mengecilnya saraf panca indera. Berkurangnya penglihatan,

hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf pencium dan perasa,

lebih sensitive terhadap perubahan suhu dengan rendahnya

ketahanan terhadap dingin.

5) Kurang sensitif terhadap sentuhan.

c. Sistem Pendengaran

1) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran). Hilangnya

kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama

terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak
43

jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas umur

65 tahun.

2) Membrana timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.

3) Terjadinya pengumpulan cerumen dapat mengeras karena

meningkatnya keratin.

4) Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang

mengalami ketegangan jiwa/stress.

d. Sistem Penglihatan

1) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap

sinar.

2) Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

3) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, jelas

menyebabkan gangguan penglihatan.

4) Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat, dan susah melihat dalam cahaya gelap.

5) Hilangnya daya akomodasi.

6) Menurunnya lapangan pandang : berkurang luas pandangannya.

7) Menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau pada skala.

e. Sistem kardiovaskuler

1) Elastis, dinding aorta menurun

2) Katup jantung menebal dan menjadi kaku.


44

3) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya

kontraksi dan volumenya.

4) Kehilangan elastic pembuluh darah; kurangnya efektivitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, perubahan posisi dari

tidur ke duduk (duduk ke berdiri) bisa menyebabkan tekanan

darah menurun menjadi 65 mmHg (mengakibatkan pusing

mendadak).

5) Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi

dari pembuluh darah perifer; sistolis normal ± 170 mmHg.

Diastolis normal ± 90 mmHg.

f. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh

Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu

thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi

berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering ditemui, antara

lain :

1) Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik ± 35oC

ini akibat metabolisme yang menurun.

2) Keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi

panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.

g. Sistem Respirasi

1) Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.


45

2) Menurunnya aktivitas dari silia.

3) Paru-paru kehilangan elastisitas; kapasitas residu meningkat,

menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum

menurun, dan kedalaman bernafas menurun.

4) Alveoli ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang.

5) O2 pada arteri menurunnya menjadi 75 mmHg.

6) CO2 pada arteri tidak berganti.

7) Kemampuan untuk batuk berkurang.

8) Kemampuan pegas, dinding, dada, dan kekuatan otot pernapasan

akan menurun seiring dengan pertambahan usia.

h. Sistem Gastrointestinal

1) Kehilangan gigi; penyebab utama adanya periodontal disease

yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi

kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.

2) Indera pengecap menurun; adanya iritasi yang kronis dari selaput

lendir, atropi indera pengecap (± 80%), hilangnya sensitifitas dari

saraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya

sensitifitas dari saraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit.

3) Esofagus melebar.

4) Lambung : rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun), asam

lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.

5) Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.


46

6) Fungsi absorpsi melemah (daya absorpsi terganggu).

7) Liver (hati); makin mengecil dan menurunnya tempat

penyimpanan, berkurangnya aliran darah.

8) Sistem reproduksi

9) Menciutnya ovari dan uterus.

10) Atrofi payudara

11) Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa,

meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.

12) Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun (asal

kondisi kesehatan baik), yaitu :

a) Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia.

b) Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan

kemampuan seksual.

c) Tidak perlu cemas karena merupakan perubahan alami.

13) Selaput lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi

menjadi berkurang, reaksi sifatnya menjadi alkali, dan terjadi

perubahan-perubahan warna.

i. Sistem Genitourinaria

1) Ginjal

Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh,

melalui urine darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan

(unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tepatnya di


47

glomerulus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran

darah ke ginjal menurun sampai 50%, fungsi tubulus berkurang

akibatnya; kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat

jenis urin menurun proteinuria (biasanya +1); BUN (Blood Urea

Nitrogen) meningkat sampai 21 mg%; nilai ambang ginjal

terhadap glukosa meningkat.

2) Vesika urinaria (kandung kemih): otot-otot menjadi lemah,

kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan

frekuensi buang air seni meningkat, vesika urinaria susah

dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga mengakibatkan

meningkatnya retensi urin.

3) Pembesaran prostat ± 75% dialai oleh pria usia di atas 65 tahun.

4) Atrofi vulva.

5) Vagina

Orang-orang yang makin menua sexual intercourse masih juga

membutuhkannya; tidak ada batasan umur tertentu fungsi seksual

seseorang berhenti; frekuensi sexual intercourse cenderung

menurun secara bertahap tiap tahun tetapi kapasitas untuk

melakukan dan menikmati berjalan terus sampai tua.

j. Sistem Endokrin

1) Produksi dari hampir semua hormon menurun.

2) Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.


48

3) Pituitari :

Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya didalam

pembuluh darah; berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH

dan LH.

4) Menurunnya aktifitas tiroid, menurunnya BMR = Basal

Metaobolic Rate, dan menurunnya daya pertukaran zat.

5) Menurunnya produksi aldosteron.

6) Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya : progesteron,

estrogen dan testeron.

k. Sistem Kulit (Integumentary System)

1) Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak.

2) Permukaan kulit kasar dan bersisik (karena kehilangan proses

keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel

epidermis).

3) Menurunnya respon terhadap trauma.

4) Mekanisme proteksi kulit menurun.

a) Produksi serum menurun

b) Penurunan produksi VTD.

c) Gangguan pegmentasi kulit.

5) Kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu.

6) Rambut dalam hidung dan telinga menebal.


49

7) Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan

vaskularisasi.

8) Pertumbuhan kuku lebih lambat.

9) Kuku jari menjadi keras dan rapuh.

10) Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk.

11) Kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya.

12) Kuku menjadi pudar, kurang bercahaya.

l. Sistem Muskulosletal (Musculosceletal System)

1) Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh.

2) Kifosis

3) Pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas.

4) Discus intervertebralis menipis dan menjadi pendek (tingginya

berkurang).

5) Persendian membesar dan menjadi kaku.

6) Tendon mengerut dan mengalami skelerosis.

7) Atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil) : serabut-serabut

otot mengecil sehingga seseorang bergerak menjadi lamban, otot-

otot kram dan menjadi tremor.

8) Otot-otot polos tidak begitu berpengaruh.

2. Perubahan-perubahan Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental :

a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.


50

b. Kesehatan umum

c. Tingkat pendidikan

d. Keturunan (hereditas).

e. Lingkungan.

Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi.

Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang,

kekakuan mungkin karena faktor lain seperti penyakit-penyakit.

3. Kenangan

a. Kenangan jangka panjang

Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa

perubahan.

b. Kenangan jangka pendek atau seketika.

0-10 menit, kenangan buruk.

4. I.Q. (Intellgensia Quantion)

a. Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.

b. Berkurangnya penampilan, persepsi dan keterampilan psikomotor :

terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan

dari faktor waktu.

5. Perubahan-perubahan Psikososial

a. Pensiun :

Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun

(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :


51

1) Kehilangan finansial (income berkurang).

2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup

tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).

3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.

4) Kehilangan pekerjaan/kegiatan

b. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of

mortality).

c. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit.

d. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).

Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit,

bertambahnya biaya pengobatan.

e. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

f. Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.

g. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

h. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan

teman-teman dan family

i. Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik : perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri. .

6. Perkembangan Spiritual

a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya

(Maslow, 1970).
52

b. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat

dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner,

1970).

c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978),

Universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah

berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara

mencintai dan keadilan.

2.4. Perawatan Rehabilitasi Dasar Pada Lanjut Usia Yang Mengalami Kelumpuhan

2.4.1. Pengertian

Lumpuh atau kelumpuhan berarti hilangnya fungsi dari bagian

tubuh yang terkena.

2.4.2. Penyebab Kelumpuhan

1. Trauma, misalnya :

a. Karena kecelakaan, tabrakan kendaraan.

b. Jatuh tergelincir.

2. Non Trauma, misalnya :

a. Akibat radang

b. Gangguan pada pembuluh darah otak.

c. Stroke (adanya pemecahan daripada pembuluh darah).

d. Tekanan darah tinggi.


53

2.4.3. Macam-Macam Kelumpuhan

Lumpuh ada 3 macam, yakni :

1. Lumpuh sebelah badan, yang disebut Hemiplegia.

2. Lumpuh kedua tungkai kaki, yang disebut Paraplegia.

3. Lumpuh keempat anggota gerak (atas dan bawah), yang disebut

Quadriplegia.

Perawatan bagi klien lanjut usia yang mengalami kelumpuhan

memang memerlukan dan menghabiskan waktu yang lama dan sulit.

Kadang-kadang klien lanjut usia mengalami kematian bukan karena

kelumpuhannya. Akan tetapi, karena radang saluran kemih atau

dekubitus.

2.4.4. Perawatan Secara Umum

1. Tujuan perawatan kepada klien lanjut usia yang mengalami

kelumpuhan adalah mengurangi beban penderitaan yang dialaminya

serta bila mungkin memulihkan kembali fungsi bagian yang lumpuh.

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan pada klien lanjut

usia yang lumpuh adalah bagian-bagian badan yang tertekan. Posisi

tidur perlu diubah-ubah (Weseliging), untuk mencegah timbulnya

luka-luka lecet (dekubitus) pada kulit yang terus-menerus mengalami

penekanan.
54

3. Posisi tidur yang dianjurkan :

a. Posisi tidur telentang : (1) Letak kepala. Kepala diletakkan di

bagian yang tidak sakit dan diberi bantal sebagai penahan. (2)

Letak bahu. Bahu diberi bantal di bawahnya untuk menghindari

ketegangan otot. (3) Letak tangan dan pergelangan tangan,

diletakkan melebar keluar dan di bawahnya diberi bantal dengan

posisi bagian dalam arah keluar dan pada tangannya diberi

gulungan kain untuk menghindarkan terjadinya atropi. (4)

Panggul, bagian panggul kanan dan kiri diberi bantal dan di

bagian bawah lutut yang lumpuh diberi bantal agar kaki tidak

kaku atau jatuh (drop foot).

b. Posisi tidur miring, tubuh dibaringkan pada posisi yang tidak sakit

: (1) sebaiknya di kepala diberikan bantal yang lunak memberi

rasa nyaman. (2) Lengan atas ke depan dan diletakkan di atas

bantal dengan sudut 45o dan tangan diberi kain gulungan untuk

mencegah atropi. (3) Kaki juga diarahkan ke depan dan diberi

bantal dibawahnya serta lutut ditekuk kurang lebih 15o.

c. Posisi tidur telungkup : (1) Kepala diarahkan ke samping dalam

keadaan nyaman. (2) Bagian dada di bagian bawahnya diberi

bantal untuk menahan tubuh dan memberi kebebasan bergerak

bagi kepala dan leher. (3) Tangan, diletakkan lurus dengan


55

membentuk sudut 30oC dengan tubuh. (4), Kaki, diberi bantal

dibawahnya untuk memberi posisi lekuk (fleksi) pada lutut.

2.4.5. Perawatan Rehabilitasi Dasar

1. Perawatan saluran pernafasan, dapat dilakukan secara aktif dan pasif.

2. Latihan menggerakan sendi-sendi tiap hari secara penuh dan

meletakkan posisi fungsional yang sempurna.

3. Melatih otot-otot yang lemah sehingga dapat memperkuat otot-otot

yang terganggu (Nugroho, Wahjudi, 2000 : 131-134


56

2.5. Kerangka Konsep

Pasien pasca strok yang mendapat


latihan terapi aktifitas fisik

Terjadi spastisitas pada Terjadi spastisitas pada


penderita rehabilitasi pasca penderita rehabilitasi pasca
stroke usia 45-59 tahun stroke usia 60 tahun keatas

Kesimpulan

2.6. Definisi Operasional

Tabel 2.1. Definisi Operasional

Definisi Hasil Skala


No Variabel Cara Ukur Alat Ukur
Operasional Ukur Ukur
1 Terjadi Terjadi Melihat kartu Dokumentasi Ya : 0 Nominal
spastisitas pada hipertonus pada pengobatan (Check list) Tidak : 1
penderita otot-otot fleksor dan catatan
rehabilitasi pasca lengan dan jari register ruang
stroke usia 45-59 sehingga posisi fisioterapi
tahun tangan
menggenggam
dan terkunci serta
pada ekstensor
tungkai pada
penderita pasca
stroke usia 45-59
tahun walaupun
telah dilakukan
latihan aktifitas
fisik
57

Definisi Hasil Skala


No Variabel Cara Ukur Alat Ukur
Operasional Ukur Ukur
2 Terjadi Terjadi Melihat kartu Dokumentasi Ya : 0 Nominal
spastisitas pada hipertonus pada pengobatan (Check list) Tidak : 1
penderita otot-otot fleksor dan catatan
rehabilitasi pasca lengan dan jari register ruang
stroke usia 60 sehingga posisi fisioterapi
tahun ke atas tangan
menggenggam
dan terkunci serta
pada ekstensor
tungkai pada
penderita pasca
stroke usia 60
tahun ke atas
walaupun telah
dilakukan latihan
aktifitas fisik

2.7. Hipotesis

Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi terjadinya

spastisitas pada penderita rehabilitasi pasca stroke usia 45 tahun-59 tahun

dan 60 tahun ke atas yang tercatat melakukan latihan aktifitas fisik di

Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend. H.A Thalib Kabupaten

Kerinci Tahun 2006.

Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi terjadinya spastisitas

pada penderita rehabilitasi pasca stroke usia 45 tahun-59 tahun dan 60

tahun ke atas yang tercatat melakukan latihan aktifitas fisik di Ruang

Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend. H.A Thalib Kabupaten Kerinci

Tahun 2006.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti adalah Ruang Fisioterapi Rumah

Sakit Umum Mayjend. H.A Thalib Kabupaten Kerinci dan objek penelitian

adalah seluruh penderita rehabilitasi pasca stroke yang berusia 45-59 tahun dan

60 tahun ke atas yang melakukan latihan aktifitas fisik di Ruang Fisioterapi

Rumah Sakit Umum Mayjend. H.A Thalib Kabupaten Kerinci Tahun 2006.

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita rehabilitasi pasca stroke

usia 45-59 tahun dan di atas 60 tahun yang tercatat berobat dan

melakukan latihan di Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend.

H.A Thalib Kabupaten Kerinci Tahun 2006 dengan jumlah 42 orang.

3.2.2. Sampel

Sampel penelitian ini menggunakan total sampling atau sampel jenuh

yaitu seluruh populasi dijadikan sampel penelitian yang berjumlah 42

orang.

58
59

3.3. Desain Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan penelitian cross sectional dimana

peneliti mengukur variabel secara bersamaan dan hasil yang diperoleh

menggambarkan kondisi yang terjadi saat penelitian dilaksanakan.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari melihat kartu pengobatan

dan buku catatan register Ruang Fisioterapi Rumah Sakit Umum Mayjend. H.A

Thalib Kabupaten Kerinci.

3.5. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini dianalisa secara :

3.5.1. Analisa Univariat

Analisa yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan

gambaran distribusi frekuensi dari variabel independent dan variabel

dependent.

3.5.2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua

variabel yaitu variabel independent dan variabel dependent dengan

menggunakan program software SPSS for windows versi 11.00, uji

statistik adalah uji chi square (X2) (continuity correction).


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (1996). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta;


Jakarta.

-------------. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,


Jakarta.

Atkinson (1999). Pengantar Psikologi, Erlangga, Jakarta.

Aptis dan Kopertis, (2003). Jurnal Akademika, Kopertis Wilayah X. Padang.

Brunner dan Suddarth, (2001). Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit Buku


Kedokteran EGC. Jakarta.

---------------------------, (2002). Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

BPS Jambi, (1996). Jambi Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Jambi.

------------, (1996), Kerinci Dalam Angka. Badan Pusat Statistik, Jambi.

Doenges, EM, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Dianne C, Baughman, dkk. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Mansjoer, A, dkk (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI,


Jakarta.

Notoatmodjo, S, (1998). Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

-----------------, (2002), Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Nugroho, Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik, Penerbit Buku Kedokteran, EGC,


Jakarta.

Purwanto, H (1995). Pengantar Statistik Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran


EGC, Jakarta.
Soeparman, (2004). Panduan Senam Stroke, Puspa Swara, Jakarta.

Sugiono, (2001). Metodologi Administrasi, IKAPI, Jawa Barat.

Sulistia, G. (1995). Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta.

Suyono, Agus (1995). Workshop Fisioterapi, Jakarta.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan kegiatan dalam upaya pembangunan

yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Untuk melaksanakan pembangunan nasional yang bercita-cita membangun

Indonesia seluruhnya, maka sudah sepantasnya jika kita berusaha meningkatkan

taraf hidup masyarakat dengan jalan meningkatkan taraf kesehatan manusia

(Depkes RI, 1996).

Tujuan pembangunan nasional salah satunya diinvestasikan dalam

pembangunan bidang kesehatan melalui visi Indonesia Sehat 2010, dimana

masyarakat akan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat

sehingga akan terwujud kesehatan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia

yang ditandai penduduk yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan prilaku

yang sehat pula.

Hipertensi merupakan masalah kesehatan penting karena angka prevalensi

yang tinggi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkan. Hipertensi merupakan

penyebab utama dari kematian dan gangguan kardiovaskuler. Sekitar 50%

penderita hipertensi yang tidak menyadari adanya hipertensinya tersebut,

sehingga penderita yang dapat diobati dan hipertensinya terkendalikan dengan

baik hanya sekitar 10% - 12%. Masalah utama pada hipertensi adalah lebih dari
90% hipertensi temasuk golongan essensial yaitu yang tidak diketahui

penyebebnya, 75% termasuk hipertensi ringan (Lanny Gunawan, 2001).

Pada umumnya, komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu apabila

tekanan distolik sama atau > 130mmHg, atau kenaikan tekanan darah yang

mendadak tinggi.Alat tubuh yang sering terserang akibat hipertensi adalah mata,

ginjal, jantung dan otak. Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi

hipertensi lama maupun pada proses akut seperti pada hipertensi maligna

(Soeparman,1998).

Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk

menyatakan perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna

hipertensi esensial, ginjal dapat berukuran normal dengan sedikit granual dan

beberapa petekia akibat pecahnya arteriol, atau dapat mengisut dan membentuk

jaringan parut (Price, 2006).

Penelitian epidemiologi saat ini umumnya menyokong pendapat bahwa

hipertensi lebih banyak dijumpai pada diabetes mellitus dibanding non diabetes.

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-

pembuluh kecil (mikroangiapati) dan pembuluh-pembuluh besar

(makroangiapati). Mikroangiapati merupakan lesi spesifik diabetes yang

menyerang kapiler dan atreriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal

(nefropati diabetik) (Price, 2006).

Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien dibetes) merupakan salah

satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Telah

diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 40% pasien tipe 1 akan berkembang
menjadi gagal ginjal kronik. Terlebih jika pasien juga menderita hipertensi akan

mempercepat terjadinya gagal ginjal.

Angka kejadian hipertensi diperkirakan berkisar antara 15-25 populasi

penduduk dunia (WHO, 1999). Prevalensi hipertensi di beberapa negara maju

yakni ; Jepang 15-72 %, Cina 5-10 %, Australia 19,1 %, Jerman 19,3 %,

Amerika 10-15 %, Taipe 6,2 % dan di Indonesia 25,8 %. Dari uraian di atas

dapat dilihat bahwa prevalensi di Indonesia masih sangat tinggi dan menduduki

peringkat pertama dari 6 negara (Boedhi Darmojo,2001).

Angka prevalensi penyakit hipertensi di Propinsi Bengkulu yang didapat

dari profil kesehatan sebanyak 19.798 dari 100 ribu penduduk, yang rata-rata

penderita hipertensi terbanyak adalah di RSUD Dr. M. Yunus (Dinkes Propinsi

Bengkulu, 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik tahun 2005 RSUD Dr.

M. Yunus Propinsi Bengkulu didapat data : penderita hipertensi sebanyak 118

orang dan penderita diabetes mellitus sebanyak 127 orang sedangkan pada tahun

2006 diperoleh data : penderita hipertensi sebanyak 135 orang dan penderita

diabetes mellitus sebanyak 182 orang. Ini berarti terjadi peningkatan penderita

hipertensi dan diabetes mellitus dari tahun 2005 sampai 2006. Dari penderita

hipertensi dan diabetes mellitus itu, juga diperoleh bahwa sekitar 32% dari

penderita hipertensi menderita gagal ginjal dan sekitar 20% penderita diabetes

mellitus menderita gagal ginjal.


Baru-baru ini, diabetes dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi

ESRD (End Stage Renal Diseases) yang paling besar, terhitung secara berturut-

turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis adalah penyebab

ESRD tersering ketiga (17%), infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis

kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik (PKD) masing-

masing terhitung sebanyak 3,4% dari ESRD (Price, 2006).

Hipertensi merupakan penyakit yang apabila sudah berat akan

menyebabkan terjadi berbagai komplikasi, salah satunya adalah gagal ginjal

terlebih lagi jika penderita hipertensi juga mempunyai riwayat diabetes mellitus

akan mempercepat terjadinya gagal ginjal

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian guna mengetahui hubungan antara hipertensi dan diabetes mellitus

dengan kejadian gagal ginjal di Ruang rawat inap RSUD M. Yunus Propinsi

Bengkulu.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah

penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara kejadian

hipertensi dan diabetes mellitus dengan kejadian gagal ginjal di ruang rawat inap

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2006


1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mempelajari hubungan antara kejadian hipertensi dan

diabetes mellitus dengan kejadian gagal ginjal di ruang rawat inap RSUD

Dr. M. Yunus Bengkulu.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran hipertensi di ruang rawat inap RSUD Dr.

M. Yunus Bengkulu

2. Untuk mengetahui gambaran diabetes mellitus di ruang rawat inap

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

3. Untuk mengetahui gambaran kejadian gagal ginjal di ruang rawat inap

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

4. Untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara

hipertensi dan diabetes mellitus dengan kejadian gagal ginjal di ruang

rawat inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Institus RSUD dr. M. Yunus

Memberikan masukan bidang keperawatan umumnya dan para tenaga

perawat RSUD Dr. M. Yunus khususnya dalam memberikan asuhan

keperawatan pada klien hipertensi, gagal ginjal, dan diabetes mellitus.


1.4.2. Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang penyakit hipertensi,

diabetes mellitus dan penyakit gagal ginjal.

1.4.3. Bagi Institusi Pendidikan

Menambah bacaan ilmiah atau literatur tentang gagal ginjal, diabetes

mellitus, dan hipertensi bagi STIKES Tri Mandiri Sakti (TMS) Bengkulu

dan merupakan bahan dasar untuk penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Pengertian

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140

mmHg, atau tekanan diastol sedikitnya 90 mmHg (Price, 2006). Hipertensi

adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri (Alison

Hull, 1996). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah lebih tinggi dari

160/90 mmHg, yang merupakan penyakit yang banyak di derita masyarakat

(Sidabutar, 1996). Hipertensi adalah ketika tekanan darah atasnya (sistolik)

sama atau lebih dari 140 mmHg, dan/atau tekanan darah bawahnya (diastolik)

sama atau lebih dari 90 mmHg (Nadussel, 2002)

2.1.2. Jenis

Menurut Lany Gunawan (2001) berdasarkan penyebabnya hipertensi

dibedakan menjadi 2 :

1. Hipertensi essensial/primer

Adalah hipertensi yang secara pasti belum diketahui penyebabnya atau

idiopatoik

2. Hipertensi sekunder
Adalah hipertensi yang penyebabnya sudah pasti. Baik persoalan akibat

kehamilan, terganggunya fungsi tubuh dan pemakaian alat kontrasepsi.

2.1.3. Klasifikasi Hipertensi

Menurut WHO 1978 yang dikutip oleh Sidabutar (1996) hipertensi

diklasifikasikan menjadi :

1. Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan 140 dan

diastolic kurang atau sama dengan 90 mmHg.

2. Tekanan darah perbatasan yaitu bila sistolik 141-149 dan diastolic 91 - 94

mmHg.

3. Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau sama

dengan 160 mmHg dan diastolic lebih besar atau sama dengan 95 mmHg.

Di samping itu, hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan

sistolik dan diastolic

Tabel 2.2

Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan tekanan Sistolik dan Diastolik


Klasifikasi
Nilai Tekanan
Dias

t Tekanan darah

o normal

li Tekanan darah

k normal tinggi

< 85 Hipertensi ringan

85-90 Hipertensi sedang

90-104 Hipertensi berat

105-114

≥ 115 ke atas Tekanan darah

Sistolik normal
< 140
Batas hipertensi
140-159
Hipertensi positif
≥ 160 ke atas

Sumber : Sidabutar, 1996

2.1.4. Patofisiologi

Penyebab hipertensi essensial tidak diketahui, penyebab hipertensi

sekunder adalah penyakit ginjal, kelenjar endokrin dan faktor predisposisi


hipertensi meliputi faktor yang tidak dapat dikontrol yaitu; obesitas, stress,

aktivitas fisik, merokok, dan konsumsi garam berlebihan.(Depkes, 2003).

Pada tahap awal terjadi vasokonstriksi karena rangsangan saraf simpatis

menimbulkan impuls terjadi pelepasan asetilkolin dan menyebabkan

konstriksi pembuluh darah yang berlanjut pada penurunan aliran darah ke

ginjal dan merangsang reni yang berdampak pada sekresi aldosteron sehingga

terjadi peningkatan volume intravaskuler yang akhirnya terjadi peningkatan

tekanan darah (hipertensi) (Sidabutar, 1996).

2.1.5. Gejala Klinis

Menurut Lany Gunawan (2001) adapun gejala klinis yang dialami oleh

penderita hipertensi biasanya berupa ; pusing, mudah marah, sukar tidur, rasa

berat ditekuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang.

2.1.6. Komplikasi

Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu apabila

tekanan diastolik sama atau > 130 mmHg, atau kenaikan tekanan darah yang

mendadak tinggi. Alat tubuh yang sering terserang akibat hipertensi adalah

mata, ginjal, jantung dan otak. Gagal ginjal sering dijumpai sebagai

komplikasi hipertensi lama maupun pada proses akut seperti pada hipertensi

maligna (Soeparman, 1998).

Komplikasi akibat hipertensi adalah sebagai berikut : (Sidabutar, 1996)


1. Hipertensi maligna

2. Jantung : gagal jantung, hipertrofi, infark.

3. Pembuluh darah besar : aneurisma, robeknya pembuluh darah.

4. Serebral : iskemia, trombosis, perdarahan.

5. Ginjal : sklerosis, gagal ginjal.

2.2. Diabetes Mellitus

2.2.1. Pengertian

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis

dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi

karbohidrat (Price, 2006).

Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh

peningkatan glukosa darah (hiperglikemia).mungkin terdapat penurunan

dalam kemampuan tubuh untuk berespon terhadap insulin dan/atau penurunan

atau tidak terdapatnya pembentukan insulin oleh pankreas (Baughman, 2001).

Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan

hormon insulin secara absolut atau relatif (Sunita, 2004).

2.2.2. Klasifikasi

Baughman dan Hackley (2001) mengklasifikasikan diabetes mellitus,

yaitu :
1. Tipe I : Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM).sel-sel beta dari
pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses
auto imun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.
Awitan mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) kondisi ini
diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin)
atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Paling sering terjadi
pada mereka yang obesitas.
3. Sindrom atau kondisi lainnya seperti: diabetes mellitus gestasional (GDM) :
awitan selama kehamilan (pada trimester kedua dan ketiga)

WHO 1980 mengklasifikasikan diabetes mellitus (Ranakusuma, 1987) :

1. Golongan klinis :
a. Diabetes mellitus :
Tipe I Insulin-Dependent (IDDM).

Tipe II Non-Insulin Dependent (NIDDM)

1) Non obose
2) Obose
Tipe lain :

1) Penyakit pankreas
2) Sebab hormon
3) Sebab obat/zat kimia
4) Kelainan reseptor insulin
5) Sindroma genetik tertentu
b. Toleransi glukosa terganggu
1) Non obose
2) Obose
3) Toleransi glukosa terganggu yang berkaitan dengan kondisi dan
sindroma tertentu
c. Diabetes kehamilan
2. Golongan dengan risiko statistik
a. Pasien dengan toleransi glukosa normal tetapi resiko
b. Pernah abnormal dalam toleransi glukosa
c. Potensial abnormal dalam toleransi glukosa

Tabel 2.1.
Batasan Kadar Glukosa darah Dalam mg/dl

Sesuai klasifikasi 1980


G Kadar Glukosa Darah

o D D P

l a a l

o r r a

n a a s

g h h m

a a

n V K

e a V

K n p e

l a i n

i l a

n e

i r

i ≥ ≥ ≥

b 1 1 1
e 2 2 4

t 0 0 0

e ≥ ≥ ≥

1 2 2

m 8 0 0

e 0 0 0

l < < <

i 1 1 1

t 2 2 4

u 0 0 0

s > > >

1 1

: 2 1 4

P 0 4 0

u 0

a - -

s -

a ≤ ≤

2 <
j 1 2

a 8 2 0

m 0 0 0

T 0

r
g

Sumber : Rana Kusuma, 1987.

2.2.3. Etiologi

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda


akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik

biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes

mellitus (Price, 2006).

Insulin dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Mellitus

Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau langerhans

akibat proses auto imun.

Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau

Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan

relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan

perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh sel hati. Sel β tidak

mampu mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi

relatif insulin, ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin

pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan

perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitasi

terhadap glukosa (Mansjoer, 2001).

2.2.4. Patofisiologi

Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, maka asupan glukosa

(produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan sebagai

glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses ini disebut glikogenesis
yang dapat mencegah hiperglikemia (kadar glukosa dalam darah > 110

mg/dl).

Menurut Guyton (1987) jika kadar darah melebihi normal, maka timbul

glikosuria yang disebabkan karena tubuli-tubuli ginjal tidak sanggup lagi

untuk mereabsorbsi semua glukosa yang ada dalam tubuli, glikosuria ini akan

mengakibatkan peningkatan volume urin (poliuria), dan timbul rasa haus

(polidipsi). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami

keseimbangan kalori dan berat badan berkurang, dengan hilangnya kalori

selera makan menjadi meningkat dan penderita akan sering makan (polipagi).

Apabila terjadi defisit insulin, terjadi perubahan metabolik yang

menimbulkan hiperglikemia (FKUI,1996) :

1. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.

2. Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah

3. Glikolisis meningkat, sehingga cadangan gliukogen berkurang dan

glukosa hati dicurahkan kedalam darah secara terus-menerus melebihi

kebutuhan.

4. Glukoginesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati’ yang

tercurah ke dalam darah dari hasil pemecahan asam amino dan lemak.

Menurut Mardiati (2004) adanya Growth-hormone (GH) pada manusia

yang disekresi secara berkala dalam interval setiap 4 jam akan merangsang sel

lemak dari jaringan adipose, menstimulasi lipolisis (memecah lemak dari

penyimpangannya) dan memobilisasi asam lemak. Kortisol suatu hormon


adrenal, akan bekerjasama dengan GH. Asam lemak bebas dilepas kedalam

darah dan di konsumsi oleh jantung serta otot sebagai ganti glukosa. GH juga

langsung bekerja pada sel otot, mendorong pengambilan asam amino dan

menghambat pengambilan glikose dengan cara melawan kerja insulin (anti

insulin action) akibatnya terjadi peningkatan kadar gula darah.

2.2.5. Manifestasi klinis

1. Diabetes mellitus tipe I (Baughman, 2001)

a. Hiperglikemia berpuasa
b. Glukosuria, diuresis osmotic, poliuria, polidipsia, dan polifagia.
c. Gejala-gejala lain termasuk keletihan dan kelemahan.
d. Ketoasidosis diabetic (DAK) menyebabkan tanda-tanda dan gejala-
gejala nyeri abdomen, mual muntah, hiperventilasi, napas bau, jika
tidak ditangani perubahan tingkat kesadaran koma, kematian.

Octa (2002) menambahkan :

a. Berat badan menurun

b. Penglihatan kabur

c. Gejala muncul secara tiba-tiba.

2. Diabetes mellitus tipe II

a. Gejala lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif.

b. Gejala-gejala seringkali ringan dan dapat mencakup keletihan, mudah

tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya


lambat, infeksi vaginal, atau penglihatan kabur (jika kadar glukosa

sangat tinggi.

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada penderita diabetes mellitus dapat diketahui

dari hasil laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan

elektrolit, penurunan gula darah. Blood Urea Nitrogen (BUN), serum

kalasinin, dan test urin untuk menilai kadar glikosuria.

Menurut Mansjoer (2001) :

1. Pemeriksaan darah/true glukosa


a. Gula darah puasa (normal 70-110 mg/dl)
b. Gula darah puasa prandial diambil 2 jam setelah makan (normal kurang
dari 140 mg/dl) digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan.
c. Test toleransi glukosa oral / TTGO (normal kurang dari 115 mg/dl0
terutama pada pasien bebas diit dan beraktifitas fisik.
d. Lipid-lipid dalam darah sering meningkat, pada diabetes mellitus yang
tidak terkontrol, terutama dalam keadaan kerosit.
e. Jumlah eritrosit biasanya tidak berkurang, jumlah leukosit juga normal,
jika terdapat ketosis asidosis berat, maka jumlah leukosit bisa
meningkat sampai dengan 20.000/m3.

2. Pemeriksaan Urine
a. Pemeriksaan benedict (reduksi adanya glukosa dalam urine yang
merupakan karakteristik untuk diabetes mellitus.
b. Konsentrasi gula dalam urine bisa mencapai 10%, jika ada ketosis
menahan urine, urine dapat mengandung zat-zat keton dalam jumlah
besar.

2.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes digolongkan

sebagai berikut : (Baughman, 2001).

1. Komplikasi akut

Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka pendek

dalam glukosa darah.

a. Hipoglikemia

b. Ketoasidosis diabetic (DKA)

c. Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non ketotic (HHNK)

2. Komplikasi Kronis

Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan :

a. Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar) : mengenai sirkulasi

koroner, vaskuler, perifer, dan vaskuler serebral.

b. Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil); mengenai mata

(retinopati) dan ginjal (nefropati)

c. Penyakit neuropati ; mengenai sraf sensorik-motorik dan autonomi

serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.

2.2.8. Penatalaksanaan

Dalam jangka pendek penatalaksanaan diabetes melitus bertujuan

untuk menghilangkan keluhan/gejala diabetes mellitus, sedangkan tujuan

jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi (Mansjoer, 2001).


Terdapat lima komponen penatalaksanaan untuk diabetes : diit, latihan

(olahraga), pemantauan, obat-obatan (sesuai kebutuhan), dan penyuluhan.

1. Penatalaksanaan Diit

a. Kelompokkan semua unsur makanan yang penting (misal, vitamin,

mineral).

b. Pencapaian dan pemeliharaan berat badan ideal; pemenuhan kebutuhan

energi

c. Pencegahan fluktuasi kadar gula darah sehari-hari yang luas;

pertahankan sedekat dan seaman mungkin pada kadar gula darah

normal.

d. Kurangi kadar lemak darah, jika terjadi peningkatan.

e. Pasien yang membutuhkan insulin untuk membantu mengontrol kadar

gula darahnya harus mempertahankan konsistensi dalam jumlah kalori

dan karbohidrat yang dimakan pada waktu makan yang berbeda.

f. Untuk pasien obesitas (terutama diabetes tipe II) penurunan berat badan

merupakan kunci keberhasilan pengobatan dan faktor pencegahan

utama untuk perkembangan diabetes.

2. Latihan Jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ±

0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhythmical, Interval,


Progressive, Endurance Training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan

adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda dan mendayung.

3. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)`

a. Sulfonilurea

Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.

2) Menurunkan ambang sekresi insulin

3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

b. Binguanid

Binguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah

normal.

c. Inhibitor dan glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim dan

glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan

glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.

d. Insulin Sensitizing Agent

Thoozolidnediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek

farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa

mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat

resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.

4. Insulin

Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM :


a. Diabetes mellitus dengan berat badan menurun cepat/kurus.

b. Ketoasidosis, asidosis laktat dan koma hiperosmolar.

c. Diabetes mellitus yang mengalami stress berat (infeksi sistemik,

operasi berat, dan lain-lain)

d. Diabetes mellitus dengan kehamilan/diabetes mellitus gestasional yang

tidak terkendali dengan perencanaan makan.

e. Diabetes mellitus yang tidak berhasil dikelola dengan obat

hipoglikemik oral dosis maksimal atau ada kontra indikasi dengan obat

tersebut.

2.2.9. Prognosis

Sekitar 60% pasien diabetes mellitus tipe I yang mendapat insulin

dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat mengalami

kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat.

(Mansjoer, 2001)

2.3. Gagal Ginjal

2.3.1. Pengertian

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan

penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, dan berlangsung progresif

(Tjokronegoro, 2003). Gagal ginjal kronik (GGK) adalah penurunan faal

ginjal yang terjadi berangsur dan umumnya tidak dapat pulih (irreversible)

(Sidabutar, 1996). Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis kerusakan
ginjal yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab (Price, 2006).

Gagal ginjal kronik adalah penurunan faal ginjal yang menahun yang

umumnya tidak reversible atau tidak dapat kembali dalam keadaan semula

(Soeparman, 1990). Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir

merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan (Brunner & Suddarth, 2002)

Berdasarkan berbagai definisi di atas penulis mencoba menyimpulkan

pengertian gagal ginjal kronik yaitu suatu keadaan klinis kerusakan ginjal

yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan reversible.

2.3.2. Etiologi

Menurut Price (2006) penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat

dibagi menjadi delapan kelas.

Tabel 2.1

Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik


Klasifikasi

penya Penyakit

kit

Penyakit infeksi tubulo interstitial Pielonefritis kronik atau refluks nefrotik


Penyakit peradangan

Penyakit vascular hipertensif Glomerulonefritis

Nefroskelosis benigna

Gangguan jaringan ikat Nefroskelosis benigna

Stenosis arteria renalis

Lupus eritematosus sistemik

Gangguan congenital dan herediter Poliarteritis nodosa

Penyakit metabolic Sklerosis sistemik progresif

Penyakit ginjal polikistik

Asidosis tubulus ginjal

Diabetes mellitus

Nefropati toksik Gout

Hiperparatiroidisme

Nefropati obstruktif Amiloidosis

Penyalahgunaan analgesik

Nefropati timah

Traktus urinarius bagian atas : batu,

neoplasma, fibrosis retroperitoneal.

Traktus urinarius bagian bawah : hipertropi

prostate, striktur uretra, anomali

kongenital leher vesika urinaria dan uretra.


Sumber : Price, 2006

2.3.3. Patofisiologi

Perjalanan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium (Price,

2006) :

1. Stadium I (Penurunan cadangan ginjal)


Selama stadium ini kreatinin dan kadar nitrogen urea darah (BUN)

normal, dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin

hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih yang lama atau

dengan mengadakan tes laju filtrasi glomerulus (GFR)yang teliti. Yang

terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.

2. Stadium II (Insufisiensi ginjal)


Dimana 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. GFR turun

menjadi 20-35 % dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan

mengalami kerusakan sendiri karena bertanya beban yang mereka terima.

3. Stadium III (gagal ginjal stadium akhir)


Disebut gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal diseases) atau

uremia. Timbul apabila sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur, atau

hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh, nilai GFR hanya 10%

dari keadaan normal dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10

ml/menit.
2.3.4. Gejala klinik

Gejala klinik pada pasien gagal ginjal kronis baru terlihat bila filtrasi

glomerulus < 25 ml/menit. Pada keadaan ini kemampuan ginjal untuk

mengeluarkan sisa metabolisme terutama protein yang berupa urea dan

kreatinin telah terganggu sehingga menimbulkan gejala pada berbagai system

tubuh :

1. Sistem Gastrointestinal

a. Anoreksia, mual, dan muntah yang berhubungan dengan gangguan

metabolisme protein di dalam usus.

b. Ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di mulut

menjadi ammonia sehingga napas berbau ammonia.

c. Hiccup (cegukan), sebab yang pasti belum diketahui.

d. Dapat terbentuk tukak pada mukosa lambung dan usus besar / kecil,

dan dapat menyebabkan perdarahan yang cukup berat.

2. Sistem Kardiovaskuler

a. Hipertensi, akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan

aktivitas sistem rennin-angiotensin-aldosteron.

b. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi pericardial,

penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan

gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.

c. Gangguan irama jantung akibat arterosklerosis dini.


d. Edema akibat penimbunan cairan

3. Sistem Dermatologi

a. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat

penimbunan unokrom.

b. Gatal-gatal yang parah (Pruritus) akibat toksin uremik dan

pengendapan kalsium di pori-pori.

c. Ekimosis akibat gangguan haematologik serta kulit kering dan bersisik

akibat kristalisasi urea pada keringat.

d. Iritasi (bekas-bekas garukan karena gatal)

4. Sistem Haematologik

a. Anemia, dapat disebabkan oleh berbagai faktor :

1) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritroesis

pada sumsum tulang menurun.

2) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana

uremia toksik.

3) Defisiensi besi, asam folat dll, akibat nafsu makan berkurang.

4) Perdarahan pada saluran pencernaan dan kulit.

5) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.

b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia

1) Masa perdarahan memanjang

2) Perdarahan

c. Gangguan fungsi leukosit

1) Hipersegmentasi leukosit
2) Fagositosis dan kemotaksis berkurang, hingga memudahkan timbul

infeksi.

3) Fungsilimfosit menurun menyebabkan imunitas menurun.

5. Sistem Saraf dan Otot

a. Restless leg syndrome (Pasien merasa pegal di tungkai bawah dan

selalu menggerakan kakinya.

b. Burning feet syndrome (Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama dI

telapak kaki)

c. Ensefalopati metabolic

1) Lemah, tak bisa tidur, gangguan konsentrasi.

2) Tremor.

3) Kejang-kejang.

d. Miopati

Kelemahan otot dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas

proksimal.

6. Sistem Endokrin

a. Gangguan seksual ; libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki

akibat testosterone dan spermatogenesis yang menurun juga

dihubungkan dengan metabolik lainnya. Pada wanita timbul gangguan

menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorrhea.


b. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin.

c. Gangguan metabolisme lemak.

d. Gangguan metabolisme vitamin D.

7. Gangguan sistem lain

b. Tulang : osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, ostetis fibrosa,

osteosklerosis, dan klasifikasi metastatik

c. Asam basa : asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik

sebagai hasil metabolisme.

d. Elektrolit : hipokalsemia, hipofostatemia, heperkalemia. (Price, 2006)

2.3.5. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Soeparman (1998) pemeriksaan diagnostik pada pasien gagal

ginjal adalah :

a. Radiologi

Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi gagal ginjal

kronik.

1) Foto polos abdomen

Sebaiknya pasien tidak puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi

ginjal, foto polos abdomen bertujuan untuk menilai bentuk dan

besarnya ginjal serta apakah ada batu atau obstruksi lain.

2) Pyelografi Intra Vena (PIV)


Dapat dilakukan dengan cara infusion pyelografi, menilai sistem

pelvikalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan

faal ginjal pada keadaan tertentu, misal pada usia lanjut, DM dan

nefropasi asam urat.

3) USG (Ultasonografi)

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, anatomi sistem

pelviokalises dan ureter paroksimal, kandung kemih serta prostate.

4) Renogram

Menilai fungsi ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan serta fungsi ginjal.

5) Pemeriksaan radiologi jantung

Mencari kardiomegali, efusi pericardial.

6) Pemeriksaan radiologi paru.

Mencari uremik yang disebabkan bendungan.

7) EKG

Dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya hipertropi ventrikel kiri,

tanda-tanda perikardisis, dan aritmia

8) Biopsi Ginjal

Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik atau

mengetahui etiologi.

b. Pemeriksaan laboratorium

1) Tes kliren kreatinin


Untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus pada tes TKK memerlukan

pemeriksaan kreatinin serum

(140  umur ) X BB
TKK (laki  laki ) 
72 X kreatinin serum

TKK (wanita) = 0,85 X TKK laki-laki

NAB (Nilai Ambang Batas) normal adalah 70 ml plasma/menit

2) Pemeriksaan ureum darah

Berguna untuk mengetahui faal glomerulus dan untuk menilai faal ginjal

dengan diet yang diberikan pada pasien, pada gagal ginjal ureum

biasanya meningkat. Ureum normal 20 -40 mg/dl.

3) Asam urat

Pemeriksaan perlu dilakukan karena dapat meningkat, karena gagal ginjal

kronik sendiri dan juga karena nefropati serta batu saluran kemih. Nilai

atau kandungan asam urat normal adalah 2,4-5,7 mg/dl.

4) Pemeriksaan kadar kalium

Dapat terjadi peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan

perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel

darah merah)

5) Pemeriksaan hemoglobin

Hemoglobin dapat menunjukkan anemia, biasanya pada GGK Hb dapat

kurang dari 7 - 8 gr/dl

6) Pemeriksaan protein serum


Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui

urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan

sintesa karena kurang asam amino essensial. Pemeriksaan protein juga

diperlukan untuk menentukan diet yang diperlukan.

7) Pemeriksaan urine rutin

a) Volume : biasanya kurang dari 4000 ml/24 jam (oliguri) atau urine

tak ada (anuria)

b) Warna : secara abnormal urine keruh, mungkin disebabkan oleh pus,

bakteri, lemak, partikel koloid, dan fosfat. Sediment kotor,

kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin.

c) Berat jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,01 menunjukkan

kerusakan ginjal berat)

d) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan

kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan fragmen juga ada.

2.3.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dibagi menjadi 2 tahap. Tahap

pertama terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau

memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Tahap kedua

pengobatan dimulai ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam

mempertahankan kehidupan. Pada keadaan ini terjadi penyakit ginjal stadium

akhir (ESRD) atau gagal ginjal terminal (laju filtrasi glomerulus [GFR]
biasanya kurang dari 2 ml/menit), dan satu-satunya pengobatan yang efektif

adalah dialisis interminen atau transplantasi ginjal (Price, 2006)

2.3.7. Komplikasi

Menurut price (2006) komplikasi yang mungkin timbul dari penyakit

gagal ginjal kronik adalah :

a. Hipertensi
b. Hiperkalemia
c. Anemia
d. Asidosis
e. Osteoditrofi ginjal
f. Hiperurisemia
g. Neuropati perifer

2.4. Hubungan Hipertensi dan Diabetes Mellitus Dengan Gagal Ginjal

Gagal ginjal merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan

lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Gagal ginjal kronik terjadi

setelah berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Pada

awalnya, beberapa penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus

(glomerulonefritis), sedangkan jenis yang lain terutama menyerang tubulus ginjal

(pielonefritis atau penyakit polikistik ginjal) atau dapat juga mengganggu perfusi

darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis) (Price, 2006).


Beberapa penyebab gagal ginjal yang tersering dapat menjadi 8 kelas

seperti yang tercantum pada Tabel 2.1. Namun baru-baru ini, diabetes mellitus

dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi ESRD yang paling besar,

terhitung secara berturut-turut 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis

adalah penyebab ESRD tersering ketiga (17%), infeksi nefritis tubulointerstisial

(pielonefritis kronik atau nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik (PKD)

masing-masing terhitung sebanyak 3,4% dari ESRD (Price,2006).

Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan

nefrosklerosis benigna. Gangguan ini merupakan akibat iskemia karena

penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Nefrosklerosis maligna

merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan struktural ginjal

yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi essensial (Price, 2006).

Selain itu, penyakit diabetes mellitus yang telah berlangsung selama

bertahun-tahun akan menimbulkan kemunduran faal ginjal, yaitu suatu keadaan

yang dikenal sebagai nefropati diabetik (Sidabutar, 1996). Nefropati diabetik

adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes

mellitus. Glomerulosklerosis adalah lesi yang sangat khas dan dapat terjadi

secara difus atau nodular (Price, 2006)


2.5. Kerangka Konseptual

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang

progresif dan irreversible dari berbagai macam penyakit yang merusak massa

nefron ginjal. Dari beberapa penyakit yang dapat mengakibatkan gagal ginjal

kronik, diantaranya adalah hipertensi dan diabetes mellitus.

Berdasarkan uraian singkat di atas penulis merumuskan kerangka

konseptual penelitian :

Variabel Independent Variabel Dependent

 Hipertensi
G
 Diabetes Mellitus
a

g
2.6. Definisi Operasional
a
H
l
a

s
G
i
i
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala l
n

j
U
a k

l u
r

1 Variabel Suatu keadaan klinis


Melihat kartu
Dokumentasi Ya : 0 Nominal

dependent kerusakan ginjal pengobatan (Chek list) Tidak : 1

Gagal Ginjal yang bersifat dan buku

menahun, catatan

berlangsung register ruang

progresif dan rawat inap

reversible

2 Variabel

independent

2.1 Hipertensi Peningkatan tekanan


Melihat kartu
Dokumentasi 1. Hipertensi Ordinal
ringan 140/90-
darah sistolik pengobatan (Chek list) 104 mmHg
2. Hipertensi
sedikitnya 140 dan buku sedang > 140-
159/105-114
mmHg dan diastolik catatan mmHg
3. Hipertensi berat
sedikitnya 90 register ruang ≥ 160/≥115
mmHg
mmHg. rawat inap 1. Tipe I (IDDM)
2. Tipe II
(NIDDM)

2.2 Diabetes Mellitus


Sekelompok kelainan
Melihat kartu
Dokumentasi Nominal

yang ditandai pengobatan (Chek list)


dengan peningkatan dan buku

glukosa darah catatan

(hiperglikemia) register ruang

rawat inap

2.7. Hipotesis

Ho1 : Tidak Ada hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan kejadian

gagal ginjal di ruang rawat inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Ha1 : Ada hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan kejadian gagal

ginjal di ruang rawat inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Ho2 : Tidak Ada hubungan yang signifikan antara diabetes mellitus dengan

kejadian gagal ginjal di ruang rawat inap RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu.

Ha2 : Ada hubungan yang signifikan antara diabetes mellitus dengan kejadian

gagal ginjal di ruang rawat inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.


BAB III

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di ruang rawat inap Rumah Sakit M. Yunus

Propinsi Bengkulu. Objek penelitian adalah seluruh penderita hipertensi dan

diabetes mellitus periode tahun 2006 yang dirawat di ruang rawat inap bangsal

intene (C2) Rumah Sakit Dr. M. Yunus Propinsi Bengkulu.

Populasi dan Sampel

Populasi

Target populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat

di ruang rawat inap bangsal intene (C2) RSUD Dr. M. Yunus Propinsi

Bengkulu, khususnya yang menderita hipertensi dan diabetes mellitus pada

tahun 2006 sejumlah 298 orang.

Sampel

Sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yaitu seluruh

populasi dijadikan sampel yang berjumlah 298 orang penderita hipertensi dan

diabetes mellitus.

1
2

Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan rancangan penelitian cross sectional dimana penelitian mengukur

variabel secara bersamaan dan hasil yang diperoleh menggambarkan kondisi

yang terjadi saat penelitian dilaksanakan.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini penulis menggunakan

teknik pengumpulan data sekunder yaitu dengan melihat status pasien untuk

mengetahui identitas pasien dan diagnosis medis dari pasien yang diteliti.

Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan melalui beberapa tahap :

1. Editing

Kegiatan editing maksudnya untuk meneliti kembali apakah lembaran kuesioner

sudah cukup baik dan dapat diproses lebih lanjut.

2. Coding

Coding adalah usaha untuk mengklarifikasi hasil yang sudah ada menurut

macam-macam ke bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.

3. Entry Data

Maksudnya disini data dimasukkan ke dalam tabulasi atau ke file komputer.


3

4. Tabulating Data

Tabulasi adalah membuat tabel yang berisikan data yang telah diberi kode sesuai

analisis yang dibutuhkan.

5. Clearing Data

Data yang telah masuk diperiksa kembali sesuai dengan kriteria dan clearing

bertujuan untuk membersihkan data dari kesalahan.

Teknik Analisa Data

Analisa Univariat

Adalah untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari variabel

independent dan variabel dependent.

Analisa Bivariat

Adalah untuk melihat adanya hubungan antara variabel independent dan

variabel dependent. Dalam penelitian ini digunakan uji analisa data dengan

menggunakan Chi-Square untuk melihat keeratan hubungan digunakan uji

Contigency Coefficient dan Odds Ratio (OR).


4

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama.

Baughman, Diane C : Jo Ann C, Hackley. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.

Jakarta : EGC.

Boedi, Darmojo. 2001. Survey Prevalensi diIndonesia. www.tempo.

co.id.Merdeka/Arsip

Donges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Guyton, Arthur C. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi.

Jakarta : EGC.

Gunawan, Lanny. 2001. Hipertensi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta :Kanisius.

Gray Huon. 2002. Kardiologi Edisi 4. Jakarta : Erlangga.

Hull, Alison.1996. Penyakit Jantung Hipertensi dan Nutrisi. Jakarta : Bumi Aksara.
5

Mansjoer, Arief, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta :

Media Aesculapius.

Mardiati, Ratna. 2004. Buku Kuliah Faal Endokrin. Jakarta : Sagung seto.

Nadesul, Handrawan. 2002. Penyakit Manajer. Jakarta : PT Buku Kompas.

Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Ketiga.

Jakarta : FKUI.

Notoadmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Nugroho, Adi. 1996. Mewaspadai Hipertensi Penyebab Tekanan Darah Tinggi dan

Cara Meredakan. Solo : CV. Aneka.

Octa. 2002. Artikel Diabetes Melitus. www.promosi kesehatan.com.

Price, Silvia A : Lorraine M.Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Edisi VI. Jakarta : EGC.

Ranakusuma. 1982. Diabetes Melitus. Universitas Indonesia. Jakarta


6

Ranakusuma, A. Boedi Santoso. 1987. Diabetes Mellitus Tipe Sirosis Hepatis.

Jakarta : Universitas Indonesia.

Soeparman. 1998. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Gaya Baru.

Sidabutar dkk. 1996. Penyakit Ginjal dan Hipertensi Berkaitan Dengan Perawatan

Gigi & Mulut. Jakarta : EGC.

Tjokronegoro A, Utama H. 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Jakarta

: FKUI.
7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini di seluruh dunia jumlah usia lanjut diperkirakan ada 500 juta

dengan usia rata-rata enam puluh tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan

mencapai 1,2 miliar. Pada tahun 2000 jumlah usia lanjut meningkat menjadi

9,99% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan

hidup 65 sampai 70 tahun dan pada tahun 2010 akan meningkat menjadi 11,09%

(29.120.000 jiwa) dengan umur harapan hidup 70 sampai 75 tahun.

Survey rumah tangga tahun 1980, angka kesakitan penduduk usia lanjut

lebih dari 55 tahun sebesar 25,70% diharapkan pada tahun 2010 nanti angka

tersebut akan menurun menjadi 12,30% (Depkes, 1992).

Masalah lanjut usia sepertinya merupakan masalah sepele, tapi kalau

tidak diantisipasi sejak dini maka dampaknya bisa merepotkan. Seiring dengan

meningkatnya tingkat sosial ekonomi, maka usia harapan hidup juga meningkat

sehingga jumlah lanjut usia pun semakin banyak. Usia rata-rata manusia

Indonesia hanya mencapai 45 tahun, jadi saat itu yang namanya lanjut usia masih

langka.

Tidak hanya Indonesia saja tapi di seluruh dunia setiap tahunnya manusia

lanjut usia terus bertambah. Di negeri Belanda gangguan ini juga disebut

bejaarden. Sedangkan negara-negara lain menyebutnya the elderly/the senior


8

chizen. WHO mematok batas usia termasuk golongan lanjut usia ialah 60 tahun

ke atas (Margartan, 1996).

Proses penuaan yang juga dipengaruhi oleh keturunan, gizi, mental dan

pekerjaan sehari-hari masing-masing individu tersebut bukan merupakan gejala

suatu penyakit, namun merupakan sinyal berkurangnya kemampuan tubuh dalam

proses-proses adaptasi dalam mempertahankan kestabilan fungsi organ-organnya

terhadap rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh itu sendiri (Margatan,

1996).

Bila dilihat angka statistik pada saat sekarang masalah usia lanjut belum

menduduki hal yang sangat penting, tetapi berhasilnya pembangunan selama

beberapa pelita ini menunjukkan angka harapan hidup bangsa Indonesia pada

masa mendatang akan meningkat terus sehingga pembinaan lanjut usia ini

semakin menonjol perannya. Hal ini tentu perlunya kerjasama lintas program dan

lintas sektoral untuk pelayanan kesehatan lansia yang mantap menuju lansia

bahagia, berguna dan berkualitas.

Penglihatan adalah salah satu indra yang sangat penting yang dapat

mengenalkan dunia sekitar kita ini menunjukkan betapa pentingnya memelihara

keamanan mata agar bisa berinteraksi dengan lingkungan secara efektif (Barbara

C. Long, 1996 : 241).

Pada mata yang sangat berperan pada penglihatan adalah lensa yaitu

merupakan organ fokus utama, yang membiaskan berkas-berkas cahaya yang

terpantul dari benda-benda yang dilihat, menjadi bayangan yang jelas pada retina.
9

Kekeruhan pada lensa yang berangsur-angsur dan akhirnya tidak dapat menerima

cahaya dapat mempengaruhi penglihatan, hal ini dikenal dengan katarak.

Angka kejadian katarak cukup tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari hasil

sistem pencatatan dan pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP) tahun 2006 dan

diperoleh gambaran tentang pola penyakit rawat jalan terbanyak di Puskesmas

pada semua golongan umur di Bengkulu. Dari 20 penyakit terbanyak yang ada di

puskesmas, penyakit katarak berjumlah 213 penderita, dengan persentase 0,50%.

Sedangkan di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu berdasarkan data sekunder yang

didapat dari medical record pada periode Januari sampai Desember 2006 pada

rawat jalan jumlah penderita katarak pada lansia sebanyak 231 penderita.

Salah satu penyebab dari katarak adalah kelainan metabolik, yaitu

diabetes melitus. Diabetes melitus adalah suatu keadaan hiperglikemia menahun

yang akan mengenai seluruh sistem tubuh, dan merupakan hasil interaksi antara

lingkungan dan benih keadaan ini, disebabkan oleh karena adanya faktor yang

menghambat kerja insulin atau jumlah menurut (Ranakusuma, 1987).

Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif yang banyak diderita

oleh orang usia lanjut. Di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu jumlah pasien lansia

yang terkena diabetes melitus sebanyak 62 penderita. Diabetes melitus yang

terdapat pada usia lanjut gambaran klinisnya bervariasi luas dari tanpa gejala

sampai dengan komplikasi nyata dan kadang-kadang menyerupai penyakit atau

perubahan yang biasa ditemui pada usia lanjut. Berbeda dengan kelompok usia
10

muda, pada kelompok usia lanjut diperlukan penatalaksanaan secara khusus baik

kuratif, preventif, rehabilitatif maupun promotif.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui

Hubungan Lanjut Usia dengan Kejadian Katarak dan Diabetes Mellitus yang

Berobat di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menetapkan rumusan

masalah penelitian yaitu apakah terdapat hubungan antara lanjut usia dengan

kejadian katarak dan diabetes mellitus yang berobat di RSUD dr. M. Yunus

Bengkulu.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara lanjut usia dengan kejadian

katarak dan diabetes mellitus yang berobat di RSUD dr. M. Yunus

Bengkulu tahun 2006.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran katarak pada pasien lanjut usia di RSUD

dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.

2. Untuk mengetahui gambaran kejadian katarak di RSUD dr. M. Yunus

Bengkulu tahun 2006.


11

3. Untuk mengetahui hubungan lanjut usia dengan kejadian katarak dan

diabetes mellitus yang berobat di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.

4. Untuk mengetahui hubungan lanjut usia dengan kejadian katarak dan

diabetes mellitus di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.

5. Untuk mengetahui gambaran diabetes mellitus pada pasien lanjut usia di

RSUD dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Rumah Sakit

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dalam hal

promotif dan preventif kepada masyarakat tentang lanjut usia dengan

kejadian katarak dan diabetes mellitus.

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan sumbangan pemikiran bagi lingkungan akademik

dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan tentang hubungan usia

lanjut dengan kejadian katarak dan diabetes melitus.

1.4.3. Bagi Peneliti

1. Menambah wawasan peneliti tentang penyakit katarak dan diabetes

melitus.

2. Sebagai masukan dan data dasar bagi peneliti lain untuk pengembangan

penelitian lebih lanjut.


12

BAB II

TINJAUAN KASUS

Lanjut Usia

Definisi

Menua adalah proses-proses menghilangkan secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap

infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides (1994)

dalam Wahyudi Nugoro, 2000).

Lanjut usia adalah proses yang terus-menerus/berlanjut secara

alamiah, dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk

hidup (Wahyudi Nugroho, 2000).

Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa yang pada masa

ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi

sedikit sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi, sehingga bagi

kebanyakan orang, masa lanjut usia merupakan masa yang kurang

menyenangkan (Jos Madani, 2000 dalam Wahyudi Nugroho, 2000).

Usia yang dikatakan lanjut usia menurut WHO dalam Wahyudi

Nugroho (2000) meliputi :

1. Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59

tahun.

2. Lanjut usia (elderly) ialah usia antara 60 sampai 74 tahun


13

3. Lanjut usia tua (old) ialah usia antara 75 sampai 90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) ialah usia di atas 90 tahun.

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 Bab 1 Pasal 1 ayat

2, berbunyi lanjut usia pada seseorang yang mencapai usia 60 (enam

puluh) tahun ke atas.

Teori-Teori Proses Menua

1. Teori kewajiban sosial, menurut Wahjudi Nugroho (2000) meliputi :

a. Aktivitas/kegiatan (activity theory)

1) Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan

secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia

yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam

kegiatan sosial.

2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari

lanjut usia.

3) Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar

tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

b. Teori pembebasan (Disengagement theory)

Putusnya pergaulan/hubungan dengan masyarakat dan kemunduran

individu dengan individu lainnya. Teori ini menyatakan bahwa

dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur

mulai melepaskan dari pergaulan sekitarnya.


14

2. Teori biologi menurut Lumbantobing (1997)

a. Teori genetik

Asumsi bahwa lama hidup ditentukan oleh informasi yang ada

pada molekul DNA pada gen dan sel pada saatnya akan mengalami

penurunan kemampuan fungsional sel. Faktor lain yang menentukan

batas usia, nutrisi, lingkungan, stress, sosio-ekonomi.

b. Kerusakan pada DNA

Terjadi kerusakan pada rantai molekul/DNA

c. Teori Oto-imun

Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan

masuknya virus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ

tubuh.

d. Pemakaian dan rusak

Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel-sel tubuh lelah.

Sistem Penglihatan Pada Lansia

Menurut Wahjudi Nugroho (1995), sistem penglihatan pada lansia

mengalami perubahan yaitu :

1. Sfingter pupil timbul sclerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.

2. Kornea lebih berbentuk sferis (bola)

3. Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).


15

4. Merupakan ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya gelap.

5. Hilangnya daya akomodasi.

6. Menurunnya lapangan pandang : berkurang luas pandangan.

7. Menurunnya daya membedakan warna biru/hijau pada skala.

Katarak

Pengertian Katarak

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat

terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa,

atau akibat kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan

progresif (Arif Mansjoer, 2001).

Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih.

Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat

kelahiran (katarak kongenital). Dapat juga berhubungan dengan trauma

mata tajam maupun tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka panjang,

penyakit sistemis, seperti diabetes melitus atau hipoparatiroidisme,

pemajanan radiasi, pemajanan yang lama sinar matahari (sinar ultraviolet),

atau kelainan mata lain seperti uveitis anterior (Suzanne C. Smeltzer,

2001).
16

Etiologi Katarak

Penyebabnya bermacam-macam, umumnya adalah usia lanjut (senil),

tapi dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa

pertumbuhan jenih, genetik, dan gangguan perkembangan; kelainan

sistemik atau metabolik, seperti diabetes melitus, galaktosemi, dan distrofi

miotonik, traumatic terapi kortikosteroid sistemik, dan sebagainya (Arif

Mansjoer, 2001).

Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,

transparan, berbentuk seperti kancing baju; mempunyai kekuatan refraksi

yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona

sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi

keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia,

nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Di

sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior

nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang

paling bermakna nampak seperti kristal salju pada jendela.

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya

transparansi. Perubahan pada serabut halus multiple (Zunula) yang

memanjang dari badan silies ke sekitar daerah di luar, lensa, misalnya


17

dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan kimia

dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan

pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori

menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air

ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan

mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim

mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim

akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan

pasien yang menderita katarak (Suzanne C. Smeltzer, 2001).

Manifestasi Klinis

Keluhan yang timbul adalah penurunan tajam penglihatan secara

progresif dan penglihatan seperti berasap. Sejak awal, katarak dapat

terlihat melalui pupil yang telah berdilatasi dengan oftalmoskop, slit lamp,

atau shadow test. Setelah katarak bertambah matang maka retina menjadi

semakin sulit dilihat sampai akhirnya refleks fundus tidak ada dan pupil

berwarna putih (Arief Mansjoer, 2001).

Pada katarak senil dikenal 4 stadium, yaitu insipien, imatur, matur

dan hipermatur. Pada stadium insipien dapat terjadi perbaikan penglihatan

dekat akibat peningkatan indeks refraksi lensa.

Ketika lensa sudah menjadi opak (berkabut), cahaya akan

dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan


18

terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup,

menyilaukan yang menjengkelkan dengan distorsi bayangan dan susah

melihat di malam hari. Pupil, yang normalnya hitam, akan tampak

kekuningan, abu-abu atau putih. Katarak biasanya terjadi bertahap selama

bertahun-tahun, dan ketika katarak sudah sangat memburuk, lensa koreksi

yang lebih kuatpun tak akan mampu memperbaiki penglihatan (Suzanne C.

Smeltzer, 2001).

Orang dengan katarak secara khas selalu mengembangkan strategi

untuk menghindari silau yang menjengkelkan yang disebabkan oleh

cahaya yang salah arah. Misalnya, ada yang mengatur ulang perabot

rumahnya, sehingga sinar tidak akan langsung menyinari mata mereka.

Ada yang mengenakan topi berkelepak lebar atau kaca mata hitam dan

menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari

(Suzanne C. Smeltzer, 2001).

Penatalaksanaan

Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun

sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila

telah menimbulkan penyulit seperti glaucoma dan uveitis. Tingkat

keberhasilan pada katarak senil 90%, sedangkan komplikasi yang mungkin

timbul akibat operasi adalah glaucoma, oblasi retina, perdarahan vitreus,

infeksi, atau pertumbuhan epitel ke kamera okuli anterior. Katarak


19

kongenital harus dideteksi dini karena bila menutupi aksis visual harus

segera dioperasi untuk mencegah ambliopia (Arif Mansjoer, 2001).

Diabetes Melitus

Pengertian Diabetes Melitus/Defenisi

Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.

Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin yaitu

suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa

dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (Suzanne C.

Smeltzer, 2001).

Diabetes melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai

berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang

menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan

pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan

dengan mikroskop elektron (Arif Mansjoer, 2001).

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic

dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya

toleransi karbohidrat (Price, 2006).


20

Klasifikasi Diabetes Melitus

Ada beberapa tipe diabetes melitus yang berbeda; penyakit ini

dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya.

Klasifikasi diabetes melitus yang utama adalah :

1. Tipe I : diabetes melitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes

mellitus/ IDDM).

2. Tipe II : diabetes melitus tidak tergantung insulin (non-insulin

dependent diabetes mellitus / NIDDM).

3. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom

lainnya.

4. Diabetes melitus gestasional (gestational diabetes mellitus / GDM)

(Suzanne C. Smeltzer, 2001).

Etiologi

Suzanne dan Brenda menguraikan etiologi pada diabetes tipe I dan

tipe II, yaitu :

1. Diabetes tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.

Kombinasi fase genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan

(misalnya infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel

beta.
21

2. Diabetes tipe II belum diketahui, tapi diperkirakan faktor genetik

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu

terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan

proses terjadinya diabetes melitus tipe II, yaitu :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65

tahun)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga

d. Kelompok etnik (di Amerika Serikat, hispanik penduduk asli Amerika

tertentu naik kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes

melitus dibandingkan dengan golongan non Afro-Amerika).

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes melitus

tergantung insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel beta pulau

langerhans akibat proses auto imun.

Sedangkan Non Insulin Dependent Mellitus (NIDDM) atau diabetes

melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel

beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan

perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak

mampu mengimbangi resistensi insulin-insulin ini sepenuhnya, artinya

terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari

berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada


22

rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti

sel beta pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer,

2001).

Patofisiologi

Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, maka asupan glukosa

(produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan sebagai

glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses ini disebut glikogenesis

yang dapat mencegah hiperglikemia/kadar glukosa dalam darah > 110

mg/dl).

Menurut Guyton (1987) jika kadar glukosa darah melebihi normal,

maka timbul glikosuria yang disebabkan karena tubuli-tubuli ginjal tidak

sanggup lagi untuk mereabsorbsi semua glukosa yang ada dalam tubuli,

glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang dapat

menimbulkan peningkatan jumlah urin (polidipsi), karena glukosa hilang

bersama urine. Dengan hilangnya kalori dan starvasi selluler selera makan

menjadi meningkat dan penderita akan sering makan (polifagia).

Apabila terjadi defisit insulin, terjadi perubahan metabolic yang

menimbulkan hiperglikemia (FKUI, 1996) :

1. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.

2. Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam

darah.
23

3. Glikolisis meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang dan

glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi

kebutuhan.

4. Glukonegenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang

tercurah ke dalam darah dari hasil pemecahan asam amino dan lemak.

Manifestasi Klinis

Diagnosis diabetes melitus awalnya dipikirkan dengan adanya gejala

khas berupa polifagia, poliuria, polidipsi, lemas dan berat badan turun.

Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata

kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritas vulva pada wanita (Arif

Mansjoer, 2001).

1. Diabetes melitus tipe I (Baughman, 2001)

a. Hiperglikemia berpuasa

b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsi, dan polifagia.

c. Gejala-gejala lain termasuk keletihan dan kelemahan.

d. Ketoasidosis diabetic (DAK) menyebabkan tanda-tanda dan gejala-

gejala nyeri abdomen, mual muntah, hiperventilasi, nafas bau buah,

jika tidak ditangani, perubahan tingkat kesadaran koma, kematian.

Octa (2002) menambahkan :

e. Berat badan menurun

f. Penglihatan kabur
24

g. Gejala muncul secara tiba-tiba.

2. Diabetes melitus tipe II

a. Gejala lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif.

b. Gejala-gejala seringkali ringan dan dapat mencakup keletihan,

mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang

sembuhnya lambat, infeksi vaginal, atau penglihatan kabur (jika

kadar glukosa sangat tinggi).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan

resiko tinggi untuk DM, yaitu kelompok dewasa tua (>40 tahun), obesitas,

tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan

berat badan lahir > 4000 gram, riwayat DM pada kehamilan, dan

displidemia.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa

darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan

Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk kelompok resiko

tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, perlu pemeriksaan

penyaring ulangan tiap tahun. Bagi pasien berusia > 45 tahun tanpa faktor

resiko pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Komplikasi
25

Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes digolongkan

sebagai berikut (Mansjoer Arif, 2001) :

1. Akut

a. Koma hipoglikemia

b. Ketoasidosis

c. Koma hiperosmolar nonketotik

2. Kronik

a. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah

jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.

b. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetik,

nefropati diabetik.

c. Neuropati diabetik

d. Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru, gingivitis dan infeksi

saluran kemih.

Penatalaksanaan

Dalam jangka pendek penatalaksanaan diabetes melitus bertujuan

untuk menghilangkan keluhan/gejala diabetes melitus, sedangkan tujuan

jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi (Arif Mansjoer,

2001). Terdapat lima komponen penatalaksanaan untuk diabetes : diit,

latihan (olahraga), pemantauan, obat-obatan (sesuai kebutuhan) dan

penyuluhan.
26

1. Penatalaksanaan Diit

a. Kelompokkan semua unsur makanan yang penting (misal vitamin,

mineral)

b. Pencapaian dan pemeliharaan berat badan ideal : pemenuhan

kebutuhan energi.

c. Pencegahan fluktuasi kadar gula darah sehari-hari yang luas :

pertahankan sedekat dan seaman mungkin pada kadar gula darah

normal.

d. Kurang kadar lemak darah, jika terjadi peningkatan.

e. Pasien yang membutuhkan insulin untuk membantu mengontrol

kadar gula darahnya harus mempertahankan konsistensi dalam

jumlah kalori dan karbohidrat yang dimakan pada waktu makan yang

berbeda.

f. Untuk pasien obesitas (terutama diabetes tipe II) penurunan berat

badan merupakan kunci keberhasilan pengobatan dan faktor

pencegahan utama untuk perkembangan diabetes.

2. Latihan Jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ±

0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,

Progressive, Endurance Training), latihan yang dapat dijadikan pilihan

adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda dan mendayung.

3. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


27

a. Sulfonilurea

Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.

2) Menurunkan ambang sekresi insulin.

3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

b. Binguanid

Binguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah

normal.

c. Inhibior dan glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim dan

glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan

penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.

d. Insulin sensitizing agent

Thoozolidnediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek

farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa

mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat

resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.

4. Insulin

Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM adalah :

a. Diabetes melitus dengan berat badan menurun cepat/kurus

b. Ketoasidosis, asidosis laktat dan koma hiperosmolar


28

c. Diabetes melitus yang mengalami stress berat (infeksi sistemik,

operasi berat, dan lain-lain)

d. Diabetes melitus dengan kehamilan/diabetes melitus gestasional yang

tidak terkendali dengan perencanaan makan.

e. Diabetes melitus yang tidak berhasil dikelola dengan obat

hipoglikemik oral dosisi maksimal atau ada kontra indikasi dengan

obat tersebut.

Prognosis

Sekitar 60% pasien diabetes melitus tergantung insulin yang

mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya dapat

mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk

meninggal lebih cepat.

Hubungan Lanjut Usia dengan Kejadian Katarak dan Diabetes Melitus

Salah satu penyebab terjadinya katarak dan diabetes melitus yaitu

dikarenakan faktor usia lansia yang mana di atas usia 65 tahun.

Pada usia lansia yang di atas 65 tahun cenderung terjadinya peningkatan

resistensi insulin. Di mana cenderung terjadinya peningkatan resistensi insulin

adalah merupakan salah satu penyebab dari terjadinya diabetes melitus (Suzane

C. Smeltzer, 2001).
29

Pada diabetes melitus lanjut usia, terdapat perubahan patofisiologi akibat

proses menjadi tua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala

sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang mengganggu sehingga

menyebabkan ia datang berobat adalah gangguan penglihatan karena katarak, rasa

kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada

tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim (Sjaifoellah Noer, 1996).

Sedangkan pada katarak, dengan bertambahnya usia dapat memperburuk

keadaan mata yang mana nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat

kekuningan, sehingga di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan

posterior nukleus, yang mana opasitas ini merupakan bentuk katarak yang paling

bermakna nampak seperti kristal salju pada jendela (Suzanne C. Smeltzer, 2001).

Kerangka Konseptual

Dari studi literatur kasus penurunan daya penglihatan pada katarak yang

disebabkan oleh banyak faktor tetapi karena keterbatasan penulis, maka penulis

hanya mengambil pada permasalahan hubungan antara kejadian katarak dan

diabetes melitus dengan usia lansia.

Gambar 1. Kerangka Konseptual Variabel Independent dan Dependent

Variabel Independent Variabel Dependent

K
L a
a D
t
n i
a
s a
r
i b
a
30

Definisi Operasional
Tabel 2.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1 Independent

Lansia Dimulai dari usia 45 tahun


Pedoman 0 = Lansia awalNominal

disebut lansia awal. dokumentasi

Usia 75 tahun ke atas 1 = Lansia lanjut

disebut lansia tua

Usia di atas 90 tahun

disebut usia sangat tua

2 Dependent

Katarak Kekeruhan pada lensa


Pedoman 0 = katarak Nominal

mata dokumentasi
1 = tidak katarak

Diabetes melitus
Hiperglikemia kronik Pedoman 0 = diabetes
Nominal

dokumentasi melitus
31

1 = tidak diabetes

melitus

Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara lanjut usia dengan kejadian

katarak dan diabetes mellitus di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara lanjut usia dengan kejadian katarak

dan diabetes mellitus di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.


32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian akan dilaksanakan di ruang OKA Mata RSUD dr. M.

Yunus Bengkulu dan waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli 2007.

3.2. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia dengan katarak yang

berobat di ruang OKA Mata RSUD dr. M. Yunus Bengkulu selama tahun

2006 dari bulan Januari sampai Desember 2006.

2. Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana

seluruh populasi dijadikan sampel penelitian untuk mencukupi total sampel

tersebut.

3.3. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.


33

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah data sekunder yaitu

dengan melihat status pasien untuk mengetahui identitas pasien dengan diagnosis

medis dari pasien yang diteliti.

3.5. Analisis Data

Analisis data terdiri dari analisis univariat dan bivariat yang dilakukan

dengan bantuan melalui paket program komputer.

1. Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran karakteristik dari

masing-masing variabel yang diteliti melalui distribusi frekwensi.

2. Sedangkan analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk melihat

adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.


34

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C : Jo Ann. C, Hackley. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.

Jakarta : EGC.

Guyton, Arthur C. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Edisi Revisi.

Jakarta : EGC.

Long Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses

Keperawatan). Bandung : Universitas Padjajaran Bandung.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid I, Jakarta : Media

Aesculapius, FKUI.

Noer, Sjaifoellah, 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ketiga.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Nugroho, Wahyudi. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : EGC.

_______________. 2000. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : EGC.


35

Octa. 2002. Artikel Diabetes Mellitus. www.promosi-kesehatan.com.

Price, Silvia A : Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis. Proses-

Proses Penyakit, Edisi VI. Jakarta : EGC.

Ranakusuma. A. Boedi Santoso. 1987. Diabetes Melitus Tipe Sirosis Hepatis.

Jakarta : Universitas Indonesia.

Smeltzer. C.S. dan Brenda G.B. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi

8. Volume 2. Jakarta : EGC.

Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC.


36
37

2.1 Nefrologi Pada Lansia

Setelah umur 30 tahun terjadi penurunan kemampuan ginjal dan pada usia

60 tahun kemampuan ginjal menurun menjadi 50%. Ini disebabkan karena proses

fisiologik berupa berkurangnya populasi nefron dan tidak adanya kemampuan

regenerasi. Fungsi ginjal terdiri dari :

1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun

2. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan.

3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam-basa dari cairan tubuh.

4. Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat lain dalam tubuh.

5. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum, kreatinin

dan amoniak. (Syaifuddin, 1997).

Beberapa hal yang diperlukan berkaitan dengan faal ginjal pada usia lanjut

antara lain :

1. Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.

2. Keseimbangan elektrolit dan asam-basa lebih mudah terganggu.

3. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum

menurun. Kreatinin darah normal karena produksi darah menurun serta masa

otot mengurang. Maka paling tepat untuk menilai faal ginjal pada usia lanjut

adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.


38

4. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) / bersihan

kreatinin menurun secara linier sejak usia 30 tahun.

(Darmojo, 2004).

2.2 Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Tes fungsi ginjal dilakukan untuk mengevaluasi beratnya penyakit ginjal

dan mengikuti perjalanan klinik pasien. Pemeriksaan ini juga akan memberikan

informasi tentang efektivitas ginjal dalam melaksanakan fungsi sekresinya. Hasil-

hasil pemeriksaan fungsi ginjal dapat berada dalam batas-batas normal sampai

terjadi penurunan fungsi ginjal hingga dibawah 50 % dari nilai normal. Fungsi

ginjal dapat dikaji lebih akurat jika dilakukan beberapa pemeriksaan dan

kemudian hasil-hasilnya dianalisis bersama. Pemeriksaan fungsi ginjal yang

umum dilakukan adalah kemampuan pemekatan ginjal, klirens kreatinin, kadar

kreatinin serum dan Blood Urea Nitrogen (BUN) (Brunner & Suddarth, 2002).

Pasien yang mengalami kondisi cukup serius sehingga memerlukan

pengamatan dalam unit perawatan kritis, sering kali akan memperlihatkan

abnormalitas fungsi ginjal. Abnormalitas termasuk :

1. Kerusakan kemampuan untuk mengekskresi sisa produk nitrogen, toksin dan

obat-obat.

2. Ketidakmampuan untuk menangani beban air dan elektrolit dengan efisien .

3. ketidakmampuan mengatur keseimbangan asam-basa.


39

4. Tidak adekuatnya pembentukan eritripoietin.

Oleh karenanya, aspek-aspek tertentu dari fungsi ginjal akan dipantau

berdasarkan pemantauan berlanjut untuk mendeteksi komplikasi dan menjalani

terapi yang sesuai (Hudak & Gallo, 1996).

2.2.1 Klirens Kreatinin dan Kreatinin

Kreatinin dibentuk sebagai hasil sampingan dari metabolisme otot

normal dan diekskresi kedalam urin terutama sebagai hasil filtrasi

glomerulus, dengan persentase kecil diekskresi ke dalam urin oleh tubulus

ginjal (Hudak & Gallo, 1996).

Kreatinin merupakan suatu zat sisa metabolisme yang terbentuk dari

hasil pemecahan keratin dalam rangkaian proses perubahan makanan

menjadi energi. Kreatinin dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal,

kadar yang meninggi di dalam darah dapat menjadi indikasi berkurangnya

fungsi ginjal. Kreatinin adalah hasil akhir metabolisme otot yang

dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan

diekskresikan dalam kemih dengan kecepatan yang sama (Price, 1995).

Kadar kreatinin serum pada wanita berkisar antara 0,3 sampai 1,3 mg/dl

dan pada pria 0,7 sampai 1,5 mg/dl. Sedangkan kadar kreatinin di

laboratorium RSUD. M Yunus Bengkulu yaitu 0,5 – 1,2 mg/dl.


40

Peningkatan kreatinin serum dari 1,0 menjadi 2,0 mg/dl menunjukkan

penurunan fungsi ginjal (Suyono, 2001).

Tes bersihan kreatinin (Klirens Kreatinin) merupakan suatu tes yang

cukup memuaskan untuk memperkirakan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

dalam klinik. Untuk mengukur bersihan kreatinin, urin pasien harus

dikumpulkan selama 24 jam. Konsentrasi plasma kreatinin dan konsentrasi

kreatinin urin juga diperiksa. Nilai normal bersihan kreatinin bervariasi

antara 80 dan 120 ml/menit tergantung dari usia dan luas permukaan tubuh

(Suyono, 2001). Perhitungan untuk menentukan bersihan kreatinin yaitu :

Kreatinin urin (mg/dl)  Volume urin (ml/24 jam)


Bersihan Kreatinin =
Kreatinin serum (mg/dl)  1440 menit

Laju filtrasi Glomerulus (LFG) memberi informasi tentang jumlah jaringan

ginjal yang masih berfungsi. Penentuan perhitungan LFG dengan formula

Cockcrof-Gault yaitu :

(140 - umur)  (BB/Kg)


Untuk laki-laki : LFG =  72
Kreatinin serum (mg/dl)

Untuk wanita : LFG = nilai pada laki-laki x 0,85


41

Atau normalnya LFG pada laki-laki 95-137 ml/menit dan wanita 88-128

ml/menit, dimana sesudah usia 30 tahun nilai LFG menurun dengan

kecepatan sekitar 1 ml/menit/tahun (Price, 1995).

Interpretasi kreatinin. Bila ginjal mengalami kerusakan oleh suatu proses

penyakit, klirens kreatinin akan menurun dan konsentrasi kreatinin serum

akan meningkat. Ekskresi kreatinin urin mula-mula akan menurun sampai

kadar dalam darah meningkat pada titik dimana jumlah kreatinin yang

terdapat dalam urin mencapai seimbang dengan jumlah yang dibentuk oleh

tubuh (Hudak & Gallo, 1996).

2.2.2 Blood Urea Nitrogen (BUN)

Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan

melalui ginjal yang berasal dari diet dan protein endogen yang telah

difiltrasi oleh glomeruli dan sebagian direasorbsi oleh tubulus. Ureum akan

lebih banyak lagi direasorbsi pada keadaan di mana urin terganggu / lambat

(dehidrasi). Pengaruh yang penting dari diet dan reasorbsi tubulus

menjadikan pemeriksaan bersihan ureum menjadi tidak tepat. Namun

demikian pemeriksaan kadar ureum plasma tetap penting dan diperlukan

pada pasien-pasien penyakit ginjal terutama untuk mengevaluasi pengaruh

diet retriksi protein (Suyono, 2001). Bila ginjal tidak cukup mengeluarkan
42

ureum, maka ureum darah naik di atas kadar normal yaitu 20-40 mg/dl

(Syaifuddin, 1997).

BUN akan meningkat dengan peningkatan masukan protein,

peningkatan penghancuran jaringan, dehidrasi, syok, gagal jantung

kongestif. Sehingga BUN kurang berguna sebagai pedoman terhadap

perubahan-perubahan dalam fungsi ginjal dibandingkan kreatinin serum.

(Hudak & Gallo, 1996).

2.2.3 Tes Kemampuan Pemekatan Ginjal

Berat jenis urin adalah pemeriksaan sederhana dari kemampuan

ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin. Pengukuran berat jenis

urin sesudah pembatasan air merupakan cara pengukuran yang sensitif

untuk mengetahui kemampuan tubulus ginjal untuk mengabsorpsi air dan

menghasilkan kemih yang pekat. Metode yang digunakan untuk melakukan

pengukuran dengan hidrometer dan refraktometer (Hudak & Gallo, 1996).

Untuk menjamin hasil tes yang lebih tepat maka diharuskan

menjalani diet normal (asupan garam normal, protein dan cairan) dan tidak

boleh mendapat diuretic sebelum menjalani tes. Penderita diinstruksikan

untuk makan malam normal jam 6 dan tidak makan atau minum lagi

sebelum tes selesai keesokan harinya (Price, 1995).


43

Tes pemekatan ginjal bertujuan untuk memeriksa kemampuan

memekatkan cairan dalam urin. Kemampuan pemekatan mengalami

gangguan dini pada penyakit ginjal, sehingga akan memperlihatkan

gangguan dini fungsi ginjal (Bruner & Sudarth, 2000). Ginjal normal

mempunyai kapasitas untuk memekatkan urin sedikitnya 1,022 dan untuk

mengencerkan urin sampai pada berta jenis 1,001. Dengan urin yang encer

menjadi indikator dari kelebihan cairan dan urin yang pekat adalah

indikator kekurangan cairan. Berat jenis tidak selalu menjadi indikator

paling akurat dari kemampuan ginjal untuk memekatkan urin (Hudak &

Gallo, 1996).

2.2.4 Penyakit Ginjal

Penyakit ginjal dapat dikenali dengan cepat berdasarkan pada

kumpulan gejala (sindrom) yang ditimbulkannya. Pasien dapat segera

diobati dengan tujuan meringankan keluhan, mengatasi hal yang

membahayakan jiwa pasien selama proses penegakan diagnosa. Langkah

awal pendekatan diagnostik penyakit ginjal dimulai dengan

menggolongkan gejala dan tanda atau kelainan pasien kedalam salah satu

atau lebih sindrom tertentu. Pendekatan melalui sindrom ini dapat

mempermudah diagnosa sehingga pengobatan atau tindakan awal dapat

dilakukan. Sindrom Klinis Pada Penyakit Ginjal :


44

1. Sindrom urin asimtomatik

2. Sindrom nefrotik

3. Sindrom nefritik akut

4. Kelainan glomerulo-vaskular

5. Hipertensi

6. Gagal ginjal akut

7. Gagal ginjal kronik

8. Batu ginjal / saluran kemih

9. Infeksi saluran kemih

10.Kelainan tubulo interstisial

11.Kelainan elektrolit

(Suyono, 2001).

2.3 Kriteria Pemulangan Penderita

Penderita dipulangkan apabila dia telah mampu melakukan sendiri

keperluan pribadinya, atas semua kebutuhan-kebutuhannya dapat diatur di luar

Rumah Sakit (Yunus & Yusuf, 1989).

2.4 Lama Perawatan Dilihat Dari Hasil Tes Fungsi Ginjal

Pemeriksaan fungsi ginjal yang paling umum digunakan adalah kreatinin

serum dan Blood Urea Nitrogen (BUN). Apabila pada pasien ditemukan kadar
45

kreatinin normal, sedangkan ureum dalam darahnya tinggi, harus dicari sebab

non-renal dari uremia (Frances, 1994).

Kadar kreatinin dalam darah yang meninggi dapat menjadi indikasi

berkurangnya fungsi ginjal disamping peningkatan kadar BUN. Pada Gagal ginjal

akut (GGA) ditandai dengan peningkatan BUN lebih dari 40 mg/dl dan

peningkatan kreatinin dari 1 sampai 2 mg/dl pada pasien yang sebelumnya

mempunyai fungsi ginjal normal (Hudak & Gallo, 1996). Sedangkan penderita

dengan Gagal ginjal kronik (GGK) kadar kreatinin serum yaitu 2 mg/dl sampai 10

mg/dl. Pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal memerlukan perawatan

yang serius, dimana lama perawatan rata-rata yaitu 6,4 hari (Doenges, 2001).
46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sistem kesehatan nasional (SKN) dikatakan bahwa segala upaya

dalam pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai derajat

kesehatan yang lebih tinggi, yang memungkinkan orang hidup lebih produktif,

baik sosial maupun ekonomi. SKN pada hakekatnya merupakan tatanan yang

mencerminkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu perwujudan

kesejahteraan umum seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah

dalam 5 Pelita yang lalu, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang

cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, tetapi di

lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif,

diantaranya diabetes meningkat dengan tajam. perubahan pola penyakit itu diduga

ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah sesuai dengan bertambahnya

kemakmuran. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional

yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, ke pola makan ke

barat-baratan, dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein,

lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini

terutama terdapat pada makanan siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari

terutama oleh anak-anak muda (Slamet Suyono, 1996).


47

Penyakit Diabetes Melitus (diabetes melitus) merupakan penyakit

degeneratif yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan serius. Karena

jika tidak, dampak dari penyakit tersebut akan membawa berbagai komplikasi

penyakit serius lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal

ginjal dan kerusakan sistem syaraf.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati

urutan ke enam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita Diabetes

melitusnya terbanyak setelah India, China, Uni Sovyet, Jepang dan Brasil.

Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5

juta, dengan peningkatan sebanyak 230.000 pasien diabetes per tahunnya,

sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita.

Fakta lain yang tidak kalah mencengangkan adalah data Departemen

Kesehatan yang menyebutkan bahwa jumlah pasien rawat inap maupun rawat

jalan di rumah sakit menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin.

Organisasi yang peduli terhadap permasalahan diabetes melitus, Diabetic

Federation mengestimasikan bahwa jumlah penderita diabetes melitus yang pada

tahun 2001 terdapat 5,6 juta penderita diabetes untuk usia di atas 20 tahun, akan

meningkat menjadi 8,2 juta pada tahun 2020, bila tidak dilakukan upaya

perubahan pola hidup sehat pada penderita (Octa, 2002).

Di Propinsi Bengkulu jumlah penderita diabetes yang berobat di Poliklinik

Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2003 sebanyak 1.398

orang, tahun 2004 sebanyak 2.996 dan tahun 2005 sebanyak 1.202 orang.
48

Diabetes melitus menduduki urutan ke-2 penyakit terbesar di Poli Dalam dan

penyebab kematian terbanyak penyakit endokrin pada tahun 2005 yaitu sebanyak

11 orang (1,91%). Pada triwulan pertama tahun 2006 penderita diabetes melitus

yang berobat ke Poli Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu sebanyak 611 orang

dan dengan kasus baru sebanyak 31 orang (RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu,

2006).

Penyebab utama diabetes melitus di era globalisasi ini diantaranya adalah

adanya perubahan gaya hidup (pola makan yang tidak seimbang, kurang aktivitas

fisik) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegemukan (Octa, 2002). Obesitas

merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia.

Masyarakat sendiri sering tidak menganggapnya sebagai suatu penyakit, tetapi

justru merupakan suatu yang wajar, bahkan karena ketidaktahuan, mereka

menganggap obesitas sebagai pertanda kemakmuran, walaupun orang gemuk

dalam masyarakat banyak merasakan dan mengalami bahwa kegemukan

merupakan suatu hal yang kurang baik bahkan tidak disenangi, tetapi hanya

sedikit diantara mereka yang menyadari bahwa obesitas mempunyai kaitan

dengan berbagai penyakit yang serius seperti diabetes melitus. Bahkan juga ada

hubungan yang bermakna antara berat badan dan lama hidup manusia.

Penyebarluasan akibat buruk kegemukan harus sudah mulai dilakukan terhadap

masyarakat umum, agar perilaku mereka menjadi lebih menguntungkan untuk

pencegahan kegemukan (Utojo Sukaton, 1996).


49

Selain itu penurunan sekresi insulin dari sel-sel pulau langerhans, reaksi

imunologik terhadap insulin dengan perkembangan anti-insulin, aktivitas insulin

berkurang karena suatu antagonis dan beberapa faktor lain sebagai penyebab

timbulnya diabetes melitus, diantaranya stress, ras dan hereditas, dimana riwayat

keluarga ditemukan pada 35 persen dari anak-anak diabetik (Thomson, 1997).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui

hubungan antara obesitas dan keturunan dengan kejadian diabetes melitus pada

pasien yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menetapkan rumusan

masalah penelitian yaitu apakah terdapat hubungan antara obesitas dan keturunan

dengan kejadian diabetes melitus pada pasien yang berobat di Poliklinik Penyakit

Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan keturunan dengan

kejadian diabetes melitus pada pasien di Poliklinik Penyakit Dalam

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006.


50

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran jenis kelamin pada pasien di Poliklinik

Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006

2. Untuk mengetahui gambaran obesitas pada pasien di Poliklinik

Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006

3. Untuk mengetahui gambaran riwayat keturunan pasien diabetes

melitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

tahun 2006.

4. Untuk mengetahui gambaran kejadian diabetes melitus di Poliklinik

Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2006

5. Untuk mengetahui hubungan obesitas dengan kejadian diabetes

melitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

tahun 2006.

6. Untuk mengetahui hubungan keturunan dengan kejadian diabetes

melitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu

tahun 2006.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Rumah Sakit

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dalam hal

promotif dan preventif kepada masyarakat tentang penyakit diabetes

melitus.
51

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan sumbangan pemikiran bagi lingkungan akademik

dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan tentang diabetes melitus.

1.4.3 Bagi Peneliti

1. Menambah wawasan peneliti tentang penyakit diabetes melitus.

2. Sebagai masukan dan data dasar bagi peneliti lain untuk

pengembangan penelitian lebih lanjut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara

genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa

hilangnya toleransi karbohidrat (Price, 1995).

Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai oleh

peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Mungkin terdapat

penurunan dalam kemampuan tubuh untuk berespons terhadap insulin

dan/atau penurunan atau tidak terdapatnya pembentukan insulin oleh

pankreas (Baughman, 2001).

Diabetes melitus adalah suatu keadaan hiperglikemia menahun

yang akan mengenai seluruh sistem tubuh, dan merupakan hasil interaksi

antara lingkungan dan benih keadaan ini, disebabkan oleh karena adanya

faktor yang menghambat kerja insulin atau jumlah menurun

(Ranakusuma, 1987).

Diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat

kekurangan hormon insulin secara absolut atau relatif (Sunita, 2004).

1
2

2.1.2 Klasifikasi

Baughman dan Hackley (2001) mengklasifikasikan diabetes

melitus, yaitu :

1. Tipe I : Insulin-Dependent Diabetes Melitus (IDDM). Sel-sel beta

dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh

proses auto imun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol

kadar gula darah. Awitan mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30

tahun.

2. Tipe II : Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) kondisi

ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten

insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Paling

sering terjadi pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada

mereka yang obesitas.

3. Sindroma atau kondisi lainnya seperti : diabetes melitus gestasional

(GDM) : awitan selama kehamilan (pada trimester kedua atau ketiga).

WHO 1980 mengklasifikasikan diabetes melitus (Ranakusuma, 1987) :

1. Golongan klinis :

a. Diabetes melitus :

Tipe 1. Insulin Independent (IDDM)

Tipe 2. Non Insulin Dependent (NIDDM)

1) Non obese

2) Obese
3

Tipe lain :

1) Penyakit pankreas

2) Sebab hormon

3) Sebab obat/zat kimia

4) Kelainan reseptor insulin

5) Sindroma genetik tertentu

b. Toleransi glukosa terganggu (TGT)

1) Non obese

2) Obese

3) Toleransi glukosa terganggu yang berkaitan dengan kondisi

dan sindroma tertentu.

c. Diabetes kehamilan

2. Golongan dengan risiko statistik

a. Pasien dengan toleransi glukosa normal tetapi risiko.

b. Pernah abnormal dalam toleransi glukosa.

c. Potensial abnormal dalam toleransi glukosa.

Tabel 2.1.

Batasan Kadar Glukosa Darah Dalam mg/dl

sesuai klasifikasi WHO 1980

Golongan Kadar

Klini Glukosa
4

k Darah

Darah Vena Darah KapilerPlasma Vena

Diabetes

melit > 120 > 120 > 140

us : > 180 > 200 > 200

Puasa

2 jam < 120 < 120 < 140

Toleransi >120 - <180 >140-<200 >140-< 200

gula

tergan

ggu

Puasa

2 jam

Sumber : Rana Kusuma, 1987.

2.1.3 Etiologi

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda

akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan

genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita

diabetes melitus (Price, 1995).


5

Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) atau Diabetes Melitus

Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau

langerhans akibat proses auto imun.

Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau

Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan

kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan

turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa

oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin insulin ini

sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini

terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,

maupun pada ransangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi

insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap

glukosa (Mansjoer, 1999).

2.1.4 Patofisiologi

Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, maka asupan glukosa

(produksi glukosa) yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan

sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses ini disebut

glikogenesis yang dapat mencegah hiperglikemia (kadar glukosa dalam

darah > 110 mg/dl).


6

Menurut Guyton (1987) jika kadar glukosa darah melebihi normal,

maka timbul glikosuria yang disebabkan karena tubuli-tubuli ginjal tidak

sanggup lagi untuk mereabsorbsi semua glukosa yang ada dalam tubuli,

glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang dapat

menimbulkan peningkatan jumlah urin (poliuri), karena glukosa hilang

bersama urine. Dengan hilangnya kalori dan starvasi selluler selera makan

menjadi meningkat dan penderita akan sering makan (polifagia).

Apabila terjadi defisit insulin, terjadi perubahan metabolic yang

menimbulkan hiperglikemia (FKUI, 1996) :

1. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.

2. Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam

darah.

3. Glikolisis meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang dan

glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus-menerus

melebihi kebutuhan.

4. Glukonegenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang

tercurah ke dalam darah dari hasil pemecahan asam amino dan lemak.

Menurut Mardiati (2004) adanya Growth-hormone (GH) pada

manusia yang disekresi secara berkala dalam interval setiap 4 jam, akan

merangsang sel lemak dari jaringan adipose, menstimulasi lipolisis

(memecah lemak dari penyimpanannya) dan memobilisasi asam lemak.

Kortisol suatu hormon adrenal, akan bekerjasama dengan GH. Asam


7

lemak bebas dilepas ke dalam darah dan di konsumsi oleh jantung serta

otot sebagai ganti glukosa. GH juga langsung bekerja pada sel otot,

mendorong pengambilan asam amino dan menghambat pengambilan

glukose dengan cara melawan kerja insulin (anti insulin action).

Akibatnya terjadi peningkatan kadar gula darah.

2.1.5 Manifestasi Klinis

1. Diabetes melitus tipe I (Baughman, 2001)

a. Hiperglikemia berpuasa

b. Glukosuria, diuresis osmotic, poliuria, polidipsia, dan polifagia.

c. Gejala-gejala lain termasuk keletihan dan kelemahan.

d. Ketoasidosis diabetic (DAK) menyebabkan tanda-tanda dan

gejala-gejala nyeri abdomen, mual muntah, hiperventilasi, nafas

bau buah; jika tidak ditangani, perubahan tingkat kesadaran koma,

kematian.

Octa (2002) menambahkan :

e. Berat badan menurun

f. Penglihatan kabur

g. Gejala muncul secara tiba-tiba.

2. Diabetes melitus tipe II

a. Gejala lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif.

b. Gejala-gejala seringkali ringan dan dapat mencakup keletihan,

mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang


8

sembuhnya lambat, infeksi vaginal, atau penglihatan kabur (jika

kadar glukosa sangat tinggi).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada penderita diabetes melitus dapat

diketahui dari hasil laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi

pemeriksaan elektrolit, penurunan gula darah, Blood Urea Nitrogen

(BUN), serum kalasinin, dan test urin untuk menilai kadar glikosuria.

1. Pemeriksaan darah/true glukosa

a. Gula darah puasa (normal 70-110 mg/dl)

b. Gula darah puasa prandial diambil 2 jam setelah makan (normal

kurang dari 140 mg/dl) digunakan untuk skrining atau evaluasi

pengobatan.

c. Test toleransi glukosa oral / TTGO (normal kurang dari 115

mg/dl) terutama pada pasien bebas diit dan beraktifitas fisik.

d. Lipid-lipid dalam darah sering meningkat, pada diabetes melitus

yang tidak terkontrol, terutama dalam keadaan kerosit.

e. Jumlah eritrosit biasanya tidak berkurang, jumlah leukosit juga

normal, jika terdapat ketosis asidosis berat, maka jumlah leukosit

bisa meningkat sampai dengan 20.000/m3.

2. Pemeriksaan Urine

a. Pemeriksaan Benedict (reduksi) adanya glukosa dalam urine yang

merupakan karakteristik untuk diabetes melitus.


9

b. Konsentrasi gula dalam urine bisa mencapai 10%, jika ada ketosis

menahan urine, urine dapat mengandung zat-zat keton dalam

jumlah besar.

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes

digolongkan sebagai berikut : (Baughman, 2001).

1. Komplikasi Akut

Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka

pendek dalam glukosa darah.

a. Hipoglikemia

b. Ketoasidosis diabetic (DKA)

c. Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non ketotic (HHNK)

2. Komplikasi Kronis

Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan :

a. Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar) : mengenai

sirkulasi koroner, vaskuler, perifer, dan vaskuler serebral.

b. Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil); mengenai mata

(retino pati) dan ginjal (nefropati)

c. Penyakit neuropati : mengenai saraf sensorik-motorik dan

autonomi serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus

pada kaki.

2.1.8 Penatalaksanaan
10

Dalam jangka pendek penatalaksanaan diabetes melitus bertujuan

untuk menghilangkan keluhan/gejala diabetes melitus, sedangkan tujuan

jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi (Mansjoer, 2001).

Terdapat lima komponen penatalaksanaan untuk diabetes : diit, latihan

(olahraga), pemantauan, obat-obatan (sesuai kebutuhan), dan penyuluhan.

1. Penatalaksanaan Diit

a. Kelompokkan semua unsur makanan yang penting (misal,

vitamin, mineral).

b. Pencapaian dan pemeliharaan berat badan ideal; pemenuhan

kebutuhan energi.

c. Pencegahan fluktuasi kadar gula darah sehari-hari yang luas;

pertahankan sedekat dan seaman mungkin pada kadar gula darah

normal.

d. Kurangi kadar lemak darah, jika terjadi peningkatan.

e. Pasien yang membutuhkan insulin untuk membantu mengontrol

kadar gula darahnya harus mempertahankan konsistensi dalam

jumlah kalori dan karbohidrat yang dimakan pada waktu makan

yang berbeda.

f. Untuk pasien obesitas (terutama diabetes tipe II) penurunan berat

badan merupakan kunci keberhasilan pengobatan dan faktor

pencegahan utama untuk perkembangan diabetes.

2. Latihan Jasmani
11

Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama

± 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhythmical,

Interval, Progressive, Endurance Training). Latihan yang dapat

dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda

dan mendayung.

3. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

a. Sulfonilurea

Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.

2) Menurunkan ambang sekresi insulin

3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan

glukosa.

b. Binguanid

Binguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di

bawah normal.

c. Inhibitor dan glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim dan

glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan

penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca

prandial.

d. Insulin Sensitizing Agent


12

Thoozolidnediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek

farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa

mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat

resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia

4. Insulin

Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM adalah :

a. Diabetes melitus dengan berat badan menurun cepat/kurus

b. Ketoasidosis, asidosis laktat dan koma hiperosmolar

c. Diabetes melitus yang mengalami stress berat (infeksi sistemik,

operasi berat, dan lain-lain).

d. Diabetes melitus dengan kehamilan/diabetes melitus gestasional

yang tidak terkendali dengan perencanaan makan.

e. Diabetes melitus yang tidak berhasil dikelola dengan obat

hipoglikemik oral dosis maksimal atau ada kontra indikasi dengan

obat tersebut.

2.1.9 Prognosis

Sekitar 60% pasien diabetes melitus tergantung insulin yang

mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal. Sisanya

dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk

meninggal lebih cepat.


13

2.2 Obesitas

2.2.1 Definisi

Menurut Douglas Wetherill (2001) obesitas adalah tidak

seimbangnya antara tinggi dan berat badan, biasanya berat badan di atas

berat badan normal dengan rumus BB ideal : TB-100 x (10% BB).

Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan

skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh

(Dorland, 1994).

Obesitas dikaitkan dengan genetik (alami) dan gaya hidup (buatan).

Secara umum, obesitas muncul ketika kalori yang dikonsumsi melebihi

kalori yang dibakar melalui aktivitas kehidupan sehari-hari atau olah raga

(Patel, 1998). Kelebihan kalori disimpan menjadi lemak di bawah kulit.

Ketebalan kulit menentukan ukuran kegemukan (Nadesul, 2002).

2.2.2 Klasifikasi

Obesitas dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu obesitas

ringan (kelebihan berat badan 20-40%), obesitas sedang (kelebihan berat

badan 41-100%) dan obesitas berat (kelebihan berat badan > 100%).

Tabel 2.2

Klasifikasi Obesitas Menurut WHO (1998)


Indeks

Masa Kategori

Tubuh
14

< 18,5 Berat

18,5 – 24,9 Badan

25 – 29,9 Kurang

30 – 34,9 Berat

35 – 39,9 Badan

> 39,9 Normal

Berat

Badan

Lebih

Obesitas I

Obesitas II

Sangat

Obesita

Sumber : Yayasan Jantung Indonesia, 2005.

Cara menentukan obesitas :


Berat Badan (kg)
Indeks masa tubuh =
Tinggi Badan (m 2 )

2.2.3 Cara Mengatasi Obesitas

1. Tanpa obat (non farmakologis)

Modifikasi gaya hidup :


15

a. Diet :

1) Rendah kalori : 1000-1500 kal

2) Sangat rendah kalori : 400-500 kal

3) Rendah lemak : 1200-2300 kal, 20-30% lemak.

b. Aktivitas fisik-aerobik

c. Kombinasi aktivitas fisik dan diet

d. Terapi perilaku.

2. Dengan obat (farmakoterapi)

Dilakukan bila :

a. Indeks masa tubuh > 30

b. Indeks masa tubuh > 27 disertai faktor resiko = hipertensi,

diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung koroner.

c. Terdapat penyakit lain seperti : sleep apnea, osteoarthritis.

2.2.4 Hubungan antara obesitas dengan diabetes melitus

Utojo Sukaton, dkk (1996) mengatakan bahwa kematian karena

diabetes hampir 4 kali lebih sering pada orang gemuk dari pada populasi

umum. Penelitian laboratories dan epidemiologis membuktikan bahwa

peningkatan masukan makanan berlemak jenuh, rendah karbohidrat serta

penurunan masukan makanan berserat dapat berakibat menurunnya

kesensitifan insulin dan ketidaknormalan toleransi glukosa (WHO, 1999).

Pada suatu penyelidikan di Jakarta (1982), ditemukan bahwa

kegemukan merupakan salah satu resiko penting bagi timbulnya diabetes


16

mellitus. Prevalensi diabetes melitus pada kelompok gemuk pada

penyelidikan ini ialah 6,7%, sedang pada kelompok overweight 3,7%,

normal 0,9%, dan underweight 0,4% (Utojo Sukaton, 1996).

2.3 Keturunan

Beberapa istilah yang sering digunakan dalam penyakit genetik :

a. Herediter, biasanya diturunkan melalui salah satu orang tua, sehingga sifat

familial.

b. Familial

c. Kongenital terjadi saat kelahiran.

Berdasarkan saat terjadinya, kelainan genetik dapat :

a. Diturunkan (penyakit metabolik)

b. Timbul saat konsepsi atau embryogenesis (infeksi sifilis)

c. Timbul setelah dilahirkan (tumor/neoplasma)

Secara klinis, penyakit genetik terbagi atas 2 kelompok yaitu yang

berhubungan dengan kelainan kromosom, dan tidak dapat dilihat pada analisis

kromosom, tapi dapat dianalisis dari family free atau dengan pemeriksaan

biokimia dan tes biologi molecular. Golongan ini dikenal sebagai penyakit akibat

defek gen tunggal yang digolongkan sebagai mutasi baru atau penyakit keturunan

yang diturunkan (Pringgoutomo, 2002).

Suatu predisposisi genetik telah umum dikenal dengan baik pada diabetes

tipe 1 tergantung insulin maupun diabetes tipe 11 tidak tergantung insulin.

Diabetes onset maturitas pada orang muda merupakan bentuk khusus dari
17

diabetes tidak tergantung insulin yang mengikuti pewarisan dominan autosom

(Kingston, 1997).

Tabel 2.3.

Resiko empiris untuk diabetes menurut terkenanya

anggota keluarganya

Resiko

(Per

sen)

Diabetes tergantung

insulin : 3-10

Kakak-beradik 3

Satu orang tua 20

Kedua orang tua 50

Kembar monozigot

Diabetes tidak 10-40

tergantung insulin 100

Keluarga derajat satu 50

Kembar monozigot

Diabetes onset
18

maturitas pada

umur muda :

Keluarga derajat satu

Sumber : Kingston, 1997

2.3.1 Kelompok Penyakit Genetik Berdasarkan Penyebab

1. Penyakit karena mutasi tunggal gen

Penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi tunggal

mengikuti pola penurunan sebagai berikut :

a. Penyakit autosomal resesif

Penyakit ini muncul bila kedua allel pada lokus tertentu

adalah mutan. Berbagai penyakit yang tergolong dalam kategori

ini misalnya kelainan autosomal resesif yang mengenai berbagai

sistem. Pada kelompok penyakit ini kelainan biasanya tidak

mengenai orang tuanya, tapi keturunannya dapat terkena, 25%

keturunan mendapat kemungkinan terkena penyakit, bila gen yang

termutasi hanya muncul dalam frekuensi yang rendah, maka

kemungkinannya, proband adalah hasil dari perkawinan sedarah.

Beberapa penyakit yang tergolong dalam kategori ini

diantaranya pada sistem metabolic yaitu penyakit glikogen.

b. Penyakit autosomal dominan


19

Biasanya bermanifestasi dalam tingkat heterogen, jadi

biasanya, salah satu orang tua terkena, dan keduanya dapat

menurunkan penyakit. Bila seseorang yang membawa penyakit

menikah, 50% keturunan mempunyai kemungkinan mendapatkan

penyakit.

c. Penyakit X-linked

Hampir semua penyakit kelompok ini x-linked recessive

dan ditandai dengan berbagai gambaran :

1) Diturunkan oleh karier wanita (heterozigot), biasanya hanya

pada anak laki-laki, yang hanya mempunyai hemizygous x.

2) Wanita heterizigot jarang sekali mengekspresikan perubahan

fenotipe lengkap karena adanya pasangan allel yang normal.

3) Laki-laki yang terkena tidak menurunkan ke anak laki-lakinya,

tapi semua anak perempuan adalah karier.

4) Anak laki-laki dan wanita heterozigot mempunyai

kemungkinan 50% untuk menerima gen mutan.

Penyakit x-linked mengenai berbagai sistem, diantaranya sistem

metabolik diabetes insipidus.

2. Penyakit multifaktorial

Penyakit multifaktorial dipengaruhi oleh lebih dari satu gen

(polygenic). Terjadinya penyakit multifaktorial dipengaruhi oleh


20

berbagai sifat fisiologik manusia misalnya umur, kelamin, ras, tinggi,

berat, tekanan darah, faktor sosial dan lingkungan. Berbagai penyakit

multifaktorial yang mengenai berbagai sistem organ tubuh

diantaranya hipertensi dan diabetes (non-insulin dependent).

3. Penyakit Sitogenetik

Kelainan sitogenetik dapat merupakan hasil dari perubahan

jumlah atau perubahan struktur kromosom dan dapat mengenai

autosom atau kromosom seks.

2.3.2 Hubungan Antara Keturunan Dengan Diabetes Melitus

Faktor keturunan memegang peranan untuk timbulnya diabetes

melitus, yang berarti anggota keluarga dari penderita diabetes melitus

lebih besar kemungkinannya untuk memperoleh penyakit ini

dibandingkan yang tidak (Margatan, 1995).

Perbandingan keluarga diabetes melitus dengan keluarga yang

sehat, ternyata angka kejangkitan keluarga diabetes melitus mencapai

8,33% dan 5,33% bila dibandingkan dengan keluarga sehat, yang

memperlihatkan angka hanya 1,96% dan 0,61% secara statistik.


21

Penyelidikan lain mengatakan apabila penyakit ini disebabkan

oleh gen resesif (d) dan seorang penderita (dd) mempunyai dua orang

tua yang tidak sakit, maka kedua orang tuanya tadi harus mempunyai

genotype Dd dan akan diharapkan bahwa 25 persen (rata-rata) dari

anak-anaknya akan menderita diabetes. Apabila salah satu orang tua

penderita juga menderita diabetes, maka perkawinan tadi tentunya

ddx, Dd dan 50 persen dari anak-anaknya akan menderita penyakit.

Akhirnya apabila kedua orang tua menderita penyakit, maka semua

anaknya akan menderita penyakit (Emery, 1992).

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN UMUR PENDERITA DM DENGAN LAMA HARI

PERAWATAN ULKUS DIABETIKUM DI RUANG BANGSAL

BEDAH (B2) RUMAH SAKIT M. YUNUS

BENGKULU TAHUN 2007


22

OLEH :

PUTRI RENO SARI

NPM. 0426010009

JURUSAN KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

TRI MANDIRI SAKTI


23

BENGKULU

2008
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Segala upaya dalam pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk

mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi, yang memungkinkan orang hidup

lebih produktif, baik sosial maupun ekonomi. Hal ini tercantum dalam sistem

kesehatan nasional (SKN) yang merupakan perwujudan kesehatan umum seperti

yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Seiring dengan berhasilnya pemerintah dalam pembangunan nasional telah

menunjukkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan

ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

terutama di bidang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan

penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia.

Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah,

pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseran yang cukup meyakinkan,

penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, tetapi di lain pihak penyakit

menahun yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, diantaranya diabetes mellitus

meningkat dengan tajam. Hal ini diduga berhubungan dengan gaya hidup masa

kini yang modern yang membuat kita terlena seperti bekerja seharian duduk di

belakang komputer dan jarang bergerak, pola makan yang berlebihan dan

berlemak, serta stress (Vitahealth, 2004).

1
2

Diabetes mellitus (DM), penyakit gula atau penyakit kencing manis,

diketahui sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun

terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam

tubuh. Gangguan metabolisme tersebut disebabkan kurangnya produksi hormon

insulin, yang diperlukan dalam proses pengubahan gula menjadi tenaga serta

sintesis lemak. Kondisi yang demikian itu mengakibatkan terjadinya hiperglikemia

yaitu meningkatkan kadar gula dalam darah atau terdapatnya kandungan gula

dalam air kencing (Endang, 2001).

Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1996 di

dunia terdapat 120 juta penderita DM yang diperkirakan naik dua kali lipat pada

tahun 2025. Kenaikan ini disebabkan oleh pertambahan umur, kelebihan berat

badan dan gaya hidup (Harnawatiaj, 2008). Setiap tahun tren jumlah penderita DM

kian meningkat. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia

kini menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah penderita DM di dunia

(Sidartawan, 2008)

Penyakit DM merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya

penanganan yang tepat dan serius, karena jika tidak, dampak dari penyakit tersebut

akan membawa berbagai komplikasi penyakit serius lainnya, seperti penyakit

jantung, stroke, ISK, tuberkulosis paru, lemah syahwat, ginjal terganggu, bisul,

ulkus diabetikum (Waspadji, 2005).

Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis DM yang paling

ditakuti. Kaki diabetik merupakan penyebab utama kesakitan (morbiditas),


3

ketidakmampuan (diasbilitas) dan kematian (Mortalitas) pada seseorang dengan

DM.

Menurut dr. Sapto Adji, H.SpOT dari bagian bedah ortopedi Rumah Sakit

Internasional Bintaro (RSIB) yang paling sering dialami pengidap DM adalah pada

kaki (15%) yang kini disebut kaki DM. Komplikasi ini merupakan penyebab

utama penderita harus dirawat dengan waktu perawatan yang lama.

Kaki diabetik pada penderita DM memerlukan waktu yang lama untuk

penyembuhan, jika tidak ditangani dengan baik hal ini sangat membebani biaya

perawatan di rumah sakit. Setidaknya pasien disulitkan dengan lama waktu

perawatan yang berkepanjangan di rumah sakit. Sehingga dapat menimbulkan

kesulitan ekonomi dan sosial bagi seluruh keluarga.

Kaki diabetik dapat bermanifestasi sebagai ulkus diabetikum. Sekitar 15%

penderita DM dalam perjalanan penyakitnya akan mengalami komplikasi ulkus

diabetikum (Brunner dan Suddarth, 2002).

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan peneliti di ruang

bangsal bedah RS. M. Yunus Bengkulu, didapat bahwa 50 kasus ulkus diabetikum

dari 1857 pasien di bangsal bedah yang dirawat selama periode Agustus 2006

sampai Juni 2007, dan didapat persentase penderita ulkus diabetikum berdasarkan

penggolongan umur yaitu < 40 tahun sebanyak 4%, 41-60 tahun sebanyak 12,5%

dan 61-80 tahun sebanyak 10%. Dan dari data tersebut di atas didapat bahwa
4

lamanya hari perawatan pada ulkus diabetikum terdapat waktu lebih dari 7 hari

pada pasien dengan umur di atas 40 tahun.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan umur penderita DM dengan lama hari perawatan

ulkus diabetikum pada pasien di ruang bangsal bedah (B2) RS. M. Yunus

Bengkulu.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mempelajari hubungan umur pada penderita DM dengan

lama penyembuhan pada ulkus diabetikum pada pasien di ruang bangsal

bedah (B2) RS. M. Yunus Bengkulu periode Agustus 2006 sampai dengan

Desember 2007.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kejadian DM pada pasien di ruang bangsal bedah

(B2) RS. M. Yunus Bengkulu.

2. Untuk mengetahui kejadian ulkus diabetikum pada pasien diabetes

mellitus di ruang bangsal bedah (B2) RS. M. Yunus Bengkulu.

3. Untuk mengetahui lama hari perawatan pasien dengan ulkus

diabetikum di ruang bangsal bedah (B2) RS. M. Yunus bengkulu.


5

4. Untuk mengetahui hubungan umur penderita DM dengan lama hari

perawatan ulkus diabetikum pada pasien di ruang bangsal bedah (B2)

RS. M. Yunus Bengkulu.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberi informasi dan meningkatkan pengetahuan mahasiswa/i STIKES Tri

Mandiri Sakti tentang DM dan ulkus diabetikum.

2. Memberi masukan bagi instansi terkait di Rumah Sakit M. Yunus Bengkulu

dalam penanganan masalah ulkus diabetikum pada penderita DM berdasarkan

umur.

3. Dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca dan peneliti sendiri tentang

DM dan ulkus diabetikum.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Konsep Dasar Diabetes Mellitus (DM)

2.1.1. Pengertian

Diabetes mellitus (DM) ialah suatu penyakit metabolik yang

menyebabkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

sebagai akibat kekurangan insulin yang efektif (Hassan, dkk, 1985).

Waspadji (2005) mengatakan DM adalah suatu kumpulan gejala yang

ditandai oleh adanya kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang

disebabkan oleh kekurangan hormon pengaturan kadar glukosa darah

(insulin), baik secara mutlak yaitu memang kadarnya berkurang atau dapat

juga jumlah insulinnya sendiri mencukupi tetapi kerja insulin yang kurang

baik dalam mengatur kadar glukosa darah agar terjadi selalu normal seperti

pada orang normal yang tidak menyandang DM. Sedangkan menurut

Misnadiarly (2006) DM adalah keadaan dimana glukosa darah waktu

puasa lebih dari 120 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan lebih

dari 200 mg/dl.

Jadi dapat disimpulkan bahwa DM adalah suatu penyakit dimana

tubuh penderitanya tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula

dalam darahnya.
2.1.2. Etiologi

1. DM Tipe I

Faktor yang menyebabkan terjadinya tipe I adalah :

a. Faktor genetik

DM dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap DM.

b. Faktor imunologi

Adanya suatu respon autoimun, merupakan respon abnormal dimana

antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi

terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai

jaringan asing.

c. Faktor lingkungan

Misalnya : infeksi virus.

2. DM tipe II

Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya DM tipe II

a. Faktor usia

Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara drastis

menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun.

b. Gaya hidup stress

Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang

manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar

serotonin otak.
c. Obesitas

Cadangan gula darah yang disimpan dalam tubuh sangat berlebihan

sehingga mengakibatkan gangguan kerja insulin.

d. Mal nutrisi

Dapat merusak pankreas

e. Faktor genetik

(Misnadiarly, 2006, Brunner & Suddarth, 2002).

2.1.3. Tipe-Tipe DM

DM menurut American Diabetes Association (ADA) (1997) :

1. DM Tipe I

Adalah bila tubuh perlu pasukan insulin dari luar, karena sel-sel

beta dari pulau-pulau langerhans telah mengalami kerusakan, sehingga

pankreas berhenti memproduksi insulin (Hiswanie, 2007).

DM tipe I sering disebut juga sebagai Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM yang tergantung pada insulin

untuk mengatur metabolisme gula dalam darah.

DM tipe I ini biasanya ditemukan pada penderita yang mulai

mengalami DM sejak anak-anak/remaja, sehingga pada zaman dahulu

para dokter menyebutnya sebagai DM anak muda. Separuh dari

penderita DM yang mengidapnya adalah usia dewasa/DM juvenilis,

tetapi tidak berbadan gemuk seperti umumnya penderita DM tipe II.


2. DM Tipe II

Adalah terjadi jika hasil produksi pankreas tidak cukup atau sel

lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin, sehingga

terjadilah gangguan pengiriman gula ke sel tubuh (Vitahealrth, 2004).

Individu yang mengidap DM tipe II tetap menghasilkan insulin.

Namun sering terjadi kelambatan dalam sekresi setelah makan dan

berkurangnya jumlah total insulin yang dikeluarkan (Corwin, 2001).

DM tipe II sering disebut sebagai Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM yang tidak tergantung pada

insulin.

DM tipe II ini mewakili sekitar 90% dari seluruh kasus DM,

karena umumnya 4-5 orang penderita DM tipe II ini memiliki

kelebihan berat badan, maka obesitas sering dijadikan sebagai indikator

bagi penderita DM. DM tipe II ini dapat menurun dari orang tua yang

menderita DM. Tetapi risiko penyakit ini akan semakin tinggi jika

memiliki kelebihan berat badan dan memiliki gaya hidup yang

membuat anda kurang bergerak. Jadi pada DM tipe II ini yang menjadi

pencetus utama adalah faktor obesitas, faktor penyebab lain adalah pola

makan yang salah, proses penuaan, dan stress yang mengakibatkan

terjadinya resistensi insulin.


3. DM tipe lain

Seperti diabetes gestasional (diabetes kehamilan), intoleransi

glukosa selama kehamilan (pada trimester II dan III).

(Alwia, 2007).

2.1.4. Manifestasi Klinis

1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)

Pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan

kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan.

Konsentrasi glukosa darah yang melebihi akan timbul glikosuria karena

tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.

Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang

menyebabkan poliuria.

2. Polidipsia (peningkatan rasa haus)

Akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air menyebabkan

dehidrasi ektrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstra sel

karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan

gradient konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat).

Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan

rasa haus.
3. Polifagia (peningkatan rasa lapar)

Akibat keadaan pascaabsorbtif yang kronis, katabolisme protein dan lemak

dan kelaparan relatif sel-sel.

4. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan

ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa

sebagai energi.

5. Mudah sakit berkepanjangan.

6. Infeksi kulit yang berulang.

7. Meningkatnya kadar gula dalam darah dalam air seni.

Gejala-gejala di atas sering terabaikan karena dianggap sebagai

keletihan akibat kerja. Gejala lain yang biasanya muncul adalah

penglihatan kabur, luka yang lama sembuh, kaki terasa kebal, geli atau

terasa terbakar, infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita, impoten pada

pria (Brunner & Suddarth, 2002, Harnawatiaj, 2008, Ismail, 2007).

2.1.5. Patofisiologi DM

Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, maka asupan glukosa

(produksi glukosa yang melebihi kebutuhan kalori) akan disimpan sebagai

glikogen dalam sel-sel hati dan sel otot. Proses ini disebut glikogenesis

yang dapat mencegah hiperglikemia (kadar glukosa dalam darah > 110

mg/dl).
Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi

sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang

ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160/180 mg/100 ml),

akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat menyerap

kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis

osmotik yang menyebabkan poliuria disertai kehilangan sodium, klorida,

potassium, dan pospat. Adanya poliuria menyebabkan dehidrasi dan timbul

polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine, maka pasien akan

mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta

cenderung menjadi polifagia. Akibat yang lain adalah asthenia atau

kekurangan energi, sehingga pasien menjadi cepat lelah dan mengantuk

yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga

berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.

Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis,

penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan

memudahkan terjadinya ulkus diabetikum (Ismail, 2007).

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis DM umumnya dipikirkan dengan adanya gejala khas

DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemas dan berat badan menurun.

Jika keluhan dan gejala khas ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu yang lebih dari > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan

diagnosa DM.

Pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan dengan pemeriksaan

glukosa darah sewaktu (tabel 2.1.) dan puasa, kemudian dapat diikuti Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar.

Menurut Mansjoer (2001) :

1. Pemeriksaan darah

a. Gula darah puasa (normal 70-110 mg/dl)

b. Gula darah puasa, diambil setelah 2 jam makan (normal >190

mg/dl).

c. Tes toleransi glukosa oral/TTGO (normal < 115 mg/dl), terutama

pada pasien bebas diit dan beraktivitas fisik.

d. Lipid-lipid dalam darah sering meningkat, pada DM yang tidak

terkontrol, terutama dalam keadaan kerosit.

e. Jumlah eritrosit biasanya tidak berkurang, jumlah leukosit juga

normal, jika terdapat ketosis asidosis berat, maka jumlah leukosit

bisa meningkat sampai dengan 20.000 mm3.

2. Pemeriksaan urin

a. Pemeriksaan benedict (reduksi adanya glukosa dalam urine yang

merupakan karakteristik untuk DM)


b. Konsentrasi gula dalam urine bisa mencapai 10% jika ada ketosis

menahan urine, urine dapat mengandung zat-zat keton dalam

jumlah besar.

2.1.7. Komplikasi DM

DM jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan

komplikasi pada seluruh organ tubuh, dari kepala sampai ke kaki, kesemua

tempat dimana yang kadar glukosa tinggi tersebut mengalir. Komplikasi

DM dapat berupa :

1. Komplikasi Akut

Keto asidosis diabetikum, hipoglikemia, infeksi

2. Komplikasi Kronis

Penyakit jantung dan pembuluh darah, kerusakan pada ginjal (nefropati),

kerusakan syaraf (neuropati), kerusakan pada mata (retinopati)

(Misnadiarly, 2006)

2.1.8. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan DM adalah untuk

mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi akut dan

kronis. Jika klien berhasil mengatasi DM yang dideritanya, ia akan

terhindar dari hiperglikemia atau hipoglikemia.

Penatalaksanaan DM tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga

faktor yaitu aktifitas fisik/latihan, diit dan obat-obatan (Harnawatiaj, 2008).


1. Latihan Jasmani

Latihan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan DM

karena latihan jasmani akan menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot, sirkulasi darah dan tonus

otot juga diperbaiki dengan berolahraga, kegiatan yang dapat dilakukan

adalah jogging, berenang, jalan kaki dan lain-lain (Misnadiarly, 2006).

2. Diit

Pola diit DM : kurangi kalori, kurangi lemak, makanlah

karbohidrat kompleks, menghindari makanan yang manis, mengemil

diantara waktu makan, lengkapi dengan serat (Brunner dan Suddarth,

2002)

3. Obat-obatan

Apabila pengendalian DM tidak berhasil dengan pengaturan

diet dan gerak badan barulah diberikan obat hipoglikemia oral (OHO)

dan terapi insulin.

a. Obat hipoglikemia oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibedakan menjadi 3 golongan :

1) Pemicu sekresi insulin : sulfonylurea dan glinid.

2) Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin,

tiozolidindion.

3) Penghambat absorbsi glukosa : penghambat alfa glukosidase.

b. Terapi Insulin
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau

langerhans kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi pemasukan

glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan

membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.

Insulin ada 2 macam :

Insulin endogen : insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas.

Insulin eksogen : insulin yang disuntikan dan merupakan suatu produk

farmasi.

Indikasi terapi dengan insulin :

1) Semua Penyandang DM tipe I memerlukan insulin eksogen

karena produksi insulin oleh sel beta tidak atau hampir tidak ada.

2) Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan

insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar

glukosa darah.

3) Keadaan stress berat seperti pada infeksi berat, tindakan

pembedahan, infark miokard akut atau stroke.

4) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.

5) Kontraindikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemia oral

(Misnadiarly, 2006).
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan keberhasilan Pemerintah dalam Pembangunan


Nasional, telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu
adanya kemajuan dibidang ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dibidang medis atau ilmu
kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk dan
meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk
yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung lebih cepat.
Saat ini, diseluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada 500
juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2000).
Jumlah penduduk Lanjut Usia di Indonesia meningkat dengan cepat,
dari 7,99 juta atau 5% dari jumlah penduduk pada tahun 1980 menjadi 15,8
juta penduduk atau 7,5% dari jumlah penduduk pada tahun 2000
(Setiabudhi, 1999). Pertumbuhan jumlah penduduk lansia di Indonesia
tercatat sebagai paling pesat di dunia dan berada pada peringkat empat dunia
dibawah Cina, India dan Amerika Serikat. Jumlah lansia yang kini sekitar
16 juta orang, akan menjadi 25,5 juta pada tahun 2020, atau sebesar 11,37%
dari jumlah penduduk (www. Kompas.com).
Sementara jumlah penduduk usia lanjut di Rejang Lebong menurut
sensus penduduk tahun 2000, sebanyak 21.055 jiwa dari 238.471 jiwa
penduduk kabupaten Rejang Lebong (BPS, 2000), sedangkan pada tahun
2005 jumlahnya meningkat menjadi 21.860 jiwa dari 247.451 jiwa
penduduk kabupaten Rejang Lebong (BPS, 2005). Sedangkan di kecamatan
Curup jumlah penduduk usia lanjut pada tahun 2000 sebesar 10.092 jiwa
dari 114.283 jumlah penduduk di kecamatan Curup (BPS, 2000). Jumlah
lansia meningkat menjadi 10.249 jiwa dari 115.995 jiwa penduduk pada
tahun 2005 (BPS, 2005). Dari jumlah tersebut 8607 lansia berada di wilayah
puskesmas Curup.
Umur harapan hidup penduduk Indonesiapun meningkat dari 55,30
tahun pada tahun 1980, menjadi 65-70 tahun pada tahun 2000 dan
diperkirakan pada tahun 2020 umur harapan hidup penduduk Indonesia
menjadi 70-75 tahun. Meningkatnya umur harapan hidup dipengaruhi oleh
majunya pelayanan kesehatan, menurunnya angka kematian bayi dan anak,
perbaikan gizi dan sanitasi, dan meningkatnya pengawasan terhadap
penyakit infeksi (Nugroho, 2000).
Dalam sistem sosial budaya bangsa Indonesia, kelompok usia lanjut

merupakan golongan yang dihormati. Menurut tradisi, orang tua yang

berusia lanjut menjadi tanggungan anak dan tinggal dirumah anaknya. Hal

ini merupakan tanda bakti anak kepada orang tua yang telah mengasuh dan

membesarkannya. Dengan meningkatnya kehidupan masyarakat, bertambah

banyaknya suami istri yang bekerja dan makin sulitnya perumahan

diperkotaan, maka tradisi tersebut tidak mudah untuk dipertahankan. Namun

untuk menitipkan lansia di panti, selain tidak sesuai adat kebiasaan, juga

menuntut biaya yang tidak sedikit untuk itulah perlunya peran dan

dukungan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang lanjut usia

(Depkes,1994).
Perbaikan dibidang kesejahteraan sosial, arus globalisasi dibidang

komunikasi, informasi dan pendidikan niscaya menimbulkan pengaruh luar

yang mengikis budaya masyarakat terhadap hubungan antar anggota

keluarga termasuk lansia. Nilai kekerabatan semakin melemah, anggota

keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan dan terpaksa hidup sendiri

dalam kesepian dan terlantar. Pada tahun 2000, sekitar 15 juta lansia,

21,75% dan 33,89% dapat dikategorikan sebagai lansia terlantar dan rawan

terlantar (BPS dan Depkesos, 2001:36).

Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang

menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status

kesehatan maupun pelayanan kesehatan. Pelaku dapat dari pasangan hidup,

anak lelaki atau perempuan, atau dari keluarga yang lain. Faktor lain yang

terdapat dalam keluarga adalah ketidaksiapan keluarga merawat lansia,

konflik yang lama dengan keluarganya, prilaku psikopat dari lansia atau

keluarganya tidak adanya dukungan keluarga dan adanya riwayat kekerasan

dalam keluarga (Setiabudhi, 1999).

Menurut Friedman (1998) keluarga adalah orang-orang yang disatukan


dalam ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. Para keluarga biasanya
hidup bersama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup terpisah
mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut rumah tangga mereka.
Keluarga mempunyai lima fungsi dasar yaitu fungsi afektif, fungsi
sosialisasi dan penempatan sosial, fungsi reproduktif, fungsi ekonomis dan
fungsi perawatan kesehatan.
Dari latar belakang tersebut diatas perlunya dukungan keluarga
terhadap perawatan lansia dalam pengobatan dan perawatan lansia terutama
perawatan di dalam rumah. Serta mengupayakan sumber dana untuk
pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan pemenuhan kebutuhan lansia.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka dengan penelitian ini ingin diketahui


seberapa besar mana peran dan dukungan keluarga dalam perawatan
kesehatan pada lansia?

1.3. Tujuan Penelitian

3.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini adalah untuk mempelajari seberapa besar

peran dan dukungan keluarga dalam perawatan kesehatan lansia.

3.2. Tujuan Khusus

3.2.1. Melihat peran keluarga dalam aktifitas lansia dalam keluarga

baik dalam Activities of daily dan Instrumental activities of

daily

3.2.2. Melihat peran keluarga dalam perawatan kesehatan dasar pada

lansia
3.2.3. Melihat dukungan keluarga dalam menerapkan fungsi dasar

keluarga yaitu fungsi afektif, sosialisasi, reproduktif, ekonomis

dan terutama fungsi perawatan kesehatan.

1.4. Manfaat Penelitian

4.1. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah terutama

puskesmas dalam meningkatkan kegiatan pelayan kesehatan bagi

lansia

4.2. Dapat memberikan informasi atau gambaran bagi peneliti selanjutnya

tentang pentingnya peran dan dukungan keluarga tentang perawatan

kesehatan pada lansia

4.3. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat terutama pada

keluarga tentang sejauh mana peran dan dukungan keluarga pada

perawatan kesehatan pada lansia.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian deskriptif

menggunakan metode survey. Populasinya adalah seluruh lansia yang

berada diwilayah puskesmas Curup yang berjumlah 8607 orang.

Pengambilan sampel dilakukan dengan probality sampling menggunakan

tehnik clusters random sampling. Besar sampel ditentukan dengan estimasi

proporsi sebesar 654 orang. Dengan keterbatasan waktu dan biaya yang ada
maka penelitian ini hanya meneliti perawatan kesehatan pada lansianya saja.

Analisa data dilakukan dengan analisis univariant menggunakan rumus

proporsi dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dari masing-masing

variabel yang diteliti.

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang peran dan dukungan keluarga dalam perawatan

kesehatan pada lansia di puskesmas curup belum pernah dilakukan oleh

peneliti sebelumnya.
2.2. Lansia

2.2.1. Defenisi

Lanjut usia adalah adalah seseorang yang telah mencapai usia

60 tahun keatas (Setiabudhi, 1999).

2.2.2. Proses Menua (Ageing Process)

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempeertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita

(Nugroho, 2000).

Penurunan fungsi tubuh mengikuti beberapa pola. Fungsi tubuh

dapat hilang seluruhnya seperti seperti fungsi reproduktif pada

wanita, atau fungsi tubuh dapat menurun sampai beberapa tingkatan

seperti yang terjadi pada fungsi muskuloskeletal atau ginjal. Terkait

dengan penurunan fungsi tersebut, lansia menjadi lebih rentan

terkena penyakit dan masalah kesehatan (Rice, 1993).

Proses menua (aging) berdampak pada penurunan kondisi

fisik, biologis, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu

sama lain. Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah

kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada

lansia. Perjalan penyakit pada lansia mempunyai ciri sendiri, yaitu


bersifat menahun, semakin berat dan sering kambuh. Penyakit

degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit

gangguan metabolik, dan penyakit keganasan merupakan penyakit

yang banyak ditemui pada lansia.

Karena pola penyakit pada orang tua yang cenderung

menjadi kronik dan kompleks. Pemberian perawatan kesehatan akan

lebih menyeluruh dengan melihat berbagai aspek yang terkait,

misalnya aspek sosiobudaya, psikologi, ekonomi dan medis.

Perawatan kesehatan sangat penting dalam menjaga kesehatan lansia.

Lansia yang tinggal bersama keluarga sangat membutuhkan dukungan

terhadap perawatan kesehatan, kebutuhan sehari-hari.

2.2.3. Karakteristik Proses Penuaan

Menurut H.P von Hahn ( 1975), proses penuaan merupakan

suatu proses biologis yang kompleks:

a. Adanya perubahan dalam tubuh yang terprogram oleh jam

biologis (biological clock).

b. Terjadinya aksi dari zat metabolic akibat mutasi spontan, radikal

bebas dan adanya kesalahan di molekul DNA (Strehler,1962).


c. Perubahan yang terjadi di dalam sel dapat primer akibat

gangguan system pengaturan pertumbuhan, atau secar sekunder

akibat pengaruh dari luar sel.

Menurut Vincent J. Cristofalo (1990), beberapa karakteristik

tentang proses penuaan yang terjdi pada hewan dan manusia adalah

sebagai berikut :

a. Peningkatan kematian sejalan dengan peningkatan usia.

b. Terjadi perubahan kimiawi dalam sel dan jaringan tubuh

mengakibatkan masa tubuh berkurang, peningkatan lemak dan

lipofuscin yang dikenal sebagai age pigmen, serta perubahan di

serat kolagen yang dikenal dengan cross lingking.

c. Terjadinya perubahan yang progresif dan merusak.

d. Menurunnya kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan di

lingkungannya.

e. Meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit tertentu

(Setiabudhi, 1999).

2.2.4. Teori Proses Menua

2.2.4.1. Teori Biologi

a. Teori genetic dan mutasi (Somatic Mutatic Theory).

Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia

yang diprogram oleh molekul DNA dan setiap pada

saatnya akan mengalami mutasi.


b. “Pemakaian dan Rusak”. Kelebihan usaha dan stress

menyebabkan sel tubuh lelah.

c. Teori akumulasi dari produk sisa. Pengumpulan dari

pigmen dan lemak tubuh.

d. Reaksi dari kekebalan tubuh sendiri (Auto Immune

Theory). Didalam proses metabolisme tubuh, suatu saat

diproduksi suatu zat khusus dimana ada jaringan tubuh

tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga

jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.

e. Teori “ Immunologi Slow virus”(Immunology Slow

Virus Theory). Sistim imun menjadi efektif dengan

bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh

dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

f. Teori Stres. Regenerasi jaringan tidak dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal,

kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh lelah

terpakai.

g. Teori Radikal Bebas. Radikal bebas menyebabkan sel

tidak dapat regenerasi.

h. Teori Rantai Silang. Sel yang tua dan usang, reaksi

kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya


jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan kurangnya

elastisitas, kekacauan, dan hilangnya fungsi.

i. Teori Program. Kemampuan organisme untuk

menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel

tersebut mati.

2.2.4.2. Teori Sosial

a. Aktivitas dan kegiatan (Activity Theory)

b. Kepribadian berlanjut (Continiuty Theory)

c. Teori pembebasan (Dasengagement Theory)

2.2.5 Tipologi Lansia.

Menurat kemampuannya dalam berdiri sendiri lansia

dikelompokkan menjadi

a. Lanjut usia mandiri sepenuhnya

b. Lanjut usia mendiri dengan bantuan langsung keluarganya.

c. Lanjut usia mandiri dengan bantuan yang tidak langsung.

d. Lanjut usia dibantu badan sosial.

e. Lanjut usia panti sosial tresna werda.

f. Lanjut usia yang dirawat dirumah sakit.

g. Lanjut usia yang menderita gangguan mental (Nugroho,2000).

2.2.6. Penilaian Status Fungsional dan Status Sosial Lansia


Penilaian status fungsional lansia adalah pengukuran

kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-

hari secara mandiri. Penilaian status fungsional lansia terbagi

menjadi :

2.2.6.1. Activities of daily living (ADLs) yaitu kemampuan aktivitas

personal yaitu :

a. Eating (Makan)

b. Toileting (Ke Kamar Mandi)

c. Dressing ( Berpakaian)

d. Bathing (Mandi)

e. Transferring (Berpindah)

f. Walking (Berjalan)

g. Getting outside ( Keluar rumah)

2.2.6.2. Instrumental activities of daily (IADLs) yaitu: kemampuan

dalam aktivitas rumah tangga yaitu

a. Meal preparation ( menyiapkan makanan)

b. Money management (pengaturan keuangan)

c. Shopping (berbelanja)

d. Telephone use (menggunakan telepon)

e. Light housework (pekerjaan rumah yang ringan)

f. Heavy housework (pekerjan yang berat)(Stanhope,

1993).
Indeks Katz dari AKS

Indeks kemandirian pada aktivitas kehidupan sehari hari

a. A kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar

kecil, berpakaian dan mandi

b. B kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi tersebut

c. C kemandirian dalam semua hal kecuali mandi dan satu fungsi

tambahan

d. D kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian dan

satu fungsi tambahan

e. E kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke

kamar kecil dan satu fungsi tambahan

f. F kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian, ke

kamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan

g. G ketergantungan pada keenam fungsi

h. Lain lain, tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak

dapat diklasifikasikan sebagai C, D E atau F

Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau

bantuan dari pribadi aktif kecuali seperti secara spesifik

diperlihatkan dibawah ini. Ini berdasarkan status aktual dan bukan

pada kemampuan. Seorang lansia yang menolak untuk melakukan

suatu fungsi dianggap sebagai tidak melakukan fungsi, meskipun ia

dianggap mampu.
a. Mandi (Spon, Pancuran atau Bak)

Mandiri : bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung

atau ekstremitas yang tidak mampu).

Tergantung : bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan

masuk dan keluar dari bak mandi, tidak mandi sendiri.

b. Berpakaian
Mandiri : mengambil baju dari laci, berpakaian, melepaskan

pakaian, mengikat, mengatur pengikat, melepaskan tali sepatu

Tergantung : tidak memakai baju sendiri atau sebagian masih tidak

mengunakan pakaian.

c. Ke Kamar Kecil
Mandiri : ke kamar keil masuk dan keluar, merapikan baju,

membersihkan organ ekskresi (dapat mengatur bedpen sendiri

yang digunakan hanya malam hari dan dapat atau tidak dapat

menggunakan bantuan mekanis)

Tergantung : menggunakan bedpan atau pispot atau menerima

bantuan dalam masuk dan menggunakan toilet

d. Berpindah
Mandiri ; berpindah ke dan dari tempat tidur secara mandiri

berpindah duduk dan bangkit dari kursi secara mandiri (dapat

atau tidak dapat menggunakan dukungan mekanis).


Tergantung ; bantuan dalam berpindah naik atau turun dari tempat

tidur atau kursi tidak melakukan satu atau lebih perpindahan.

e. Kontinen
Mandiri : berkemih dan defekasi seluruhnya dikontrol sendiri

Tergantung : inkontinensia parsial atau total pada perkemihan dan

defekasi, kontrol total atau parsial dengan enema, kateter atau

penggunaan urinal dan bedpan teratur

f. Makan
Mandiri : mengambil makanan dari piring atau keseksamaan

memasukkannya ke mulut (memotong daging dan menyiapkan

makanan seperti mengoles roti dengan mentega, tidak

dimasukkan dalam evaluasi)

Tergantung : bantuan dalam hal makan, tidak makan sama sekali

atau makan perenteral (Lueckenotte, 1998).

Penilaian Status Sosial Lansia :

Apgar keluarga aspek aspek fungsi keluarga yaitu adaptasi (Adaption),

hubungan (Partnership), pertumbuhan (Growth), afeksi (Affection)

dan pemecahan (Resolve). Alat yang dapat dengan mudah

disesuaikan untuk digunakan pada lansia yang mempunyai hubungan

sosial lebih intim dengan teman-temannya daripada keluarga yang

dengan sederhana menggantikan istilah teman teman untuk keluarga

dalam pernyataan (Lueckenotte, 1998).


2.2.7. Masalah Fisik Yang Sering Ditemui Pada Lansia

a. Mudah jatuh

b. Mudah lelah

c. Kekacauan mental akut

d. Nyeri dada

e. Sesak nafas pada waktu melakukan kerja fisik

f. Berdebar-debar (palpitasi)

g. Pembengkakan kaki bagian bawah

h. Nyeri pnggang atau punggung

i. Nyeri pada sendi pinggul

j. Berat badan menurun

k. Sukar menahan buang air besar

l. Gangguan ketajaman penglihatan

m. Gangguan pada pendengaran (preqbiakusis)

n. Gangguan tidur

o. Keluhan pusing pusing

p. Keluhan perasasn dingin dan kesemutan pada anggota badan

q. Mudah gatal-gatal

2.2.8. Penyakit Yang Sering Dijumpai Pada Lansia

Atritis /Rheumatisme 49,0 %


Hipertensi+ CVD 15,2 %

Bronkitis/ Dispnea 7,4 %

Dibetes mellitus 3,3 %

Jatuh 2,5 %

Stroke / Paralisis 2,1 %

TBC 1,8 %

Fraktur tulang 1,0 %

Kanker 0,7 %

Masalah kesehatan lain 29,3 % (Nugroho, 2000).

2.2.9. Perawatan Dasar Bagi Lansia

Perawatan dasar adalah bantuan, bimbingan, penyuluhan,

pengawasan atau perlindungan yang diberikan oleh keluarga untuk

memenuhi kebutuhan dasar lansia (Depkes, 1991).

Tujuan perawatan pada lansia :

a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi

b. Peningkatan keamanan dan keselamatan

c. Pemeliharaan kesehatan diri, memelihara keseimbangan istirahat

dan tidur

d. Meningkatkan hubungan interpersonal melalui komunikasi

efektif.
Perawatan dasar pada lansia ditujukan pada :

Lansia yang masih aktif yaitu mereka yang keadaan fisiknya masih

mampu bergerak tanpa bantuan orang lain, sehingga untuk

kebutuhan sehari-hari dapat dilaksanakan sendiri :

a. Kebersihan perorangan

1. Kebersihan gigi dan mulut

Untuk yang masih mempunyai gigi, menyikt gigi sekurang-

kurangnya 2 kali sehari. Bila ada gigi berlubang, sebaiknya

pergi ke puskesmas. Bagi yng menggunakan gigi palsu,

bersihkan gigi dengan sikat dibawah air mengalir. Bila perlu

gunakan pasta gigi. Pada waktu tidur gigi palsu dilepas dan

direndam air bersih. Bagi yang tidak mempunyai gigi, setelah

makan bersihkan lidah dan gusi secara teratur.

2. Kebersihan kepala, rambut dan kuku

Cuci rambut secara teratur paling sedikit 2 kali seminggu dan

potong kuku secara teratur.

Kebersihan badan dan pakaian

Mandi dan mengganti pakaian 2 kali sehari untuk memberi

kesegaran dan kenyamanan.

3. Kebersihan mata
Dibersihkan bila ada kotoran dan cairan dengan kapas bersih.

Bila terdapat gejala tidak normal seperti, penglihatan menjadi

ganda, mata merah, nyeri dan penglihatan menurun, segera

ke puskesmas atau rumah sakit.

4. Kebersihan telinga

Jangan gunakan benda tajam untuk mengorek telinga, gunakan

lidi kapas untuk membersihkannya.

b. Kebersihan lingkungan

Kebersihan tempat tidur. Bersihkan dan rapikan setiap hari jemur

kasur seminggu sekali dan tinggi tempat tidur tidak lebih dari 70

cm, untuk menghindari kecelakaan.

Kebersihan lantai. Jaga lantai kamar tidur, kamar mandi tetap kering,

bersih dan rata. Gunakan alas kaki yang datar bila berjalan.

Ventilasi . Ruang tidur harus cukup ventilasi dan tidak gelap

c. Makanan

Pada dasarnya makanan pada lansia diberikan dengan cara sebagai

berikut :

Hidangan dalam porsi yang kecil, hangat, bersih dan rapi. Berikan

lauk pauk, sayur dan buah yang masih segar. Bervariasi dan
menarik. Rasa makanan disesuaikan selagi tidak bertentangan

dengan pantangan. Mudah dicerna.

d. Kesegaran jasmani

Olah raga ringan dibutuhkan bagi usila untuk melatih pernafasan dan

menghindari kekakuan otot.

Lansia yang pasif yaitu lansia yang keadaan fisiknya memerlukan

banyak pertolongan orang lain misalnya karena sakit dan

lumpuh.

a. Kebersihan perorangan

Bantuan yang diberikan adalah :

Memandikan

Memasang pispot pada waktu BAB dan BAK

Menyikat gigi

Membersihkan kepala, rambut dan kuku

Membersihkan mata dan telinga

Memberikan rasa nyaman dengan cara merubah posisi tidur.

b. Kebersihan lingkungan

Bersihkan tempat tidur secara teratur. Ganti alat tenun seminggu

sekali kecuali bila kotor dan basah ganti segera. Jaga agar

lantai tetap bersih dan kering. Peralatan yang diperlukan

tersedia didekatnya.Berikan ventilasi dan penerangan yang

cukup.
c.. Makanan

Sesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lansia.

d. mencegah dekubitus

Bagi lansia yang terus beristirahat di tempat tidur perlu tetap

diperhatikan yaitu

Usahakan agar bantal tidak terlalu keras atau terlalu lembek

Latihan bangun dan tidur dengan usaha sendiri agar otot tetap

aktif dan menghindarkan pegal serta atrofi otot.

Posisi tidur diatur antara lain dengan meletakkan guling dibawah

lutut, memberi bantal angin berbentuk cincin untuk

mencegah lecet, posisi tidur miring kiri dan kanan bergantian

dan beri bantal atau sandaran bila posisi setengah duduk.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan metode

survey yaitu penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap sekumpulan

objek yang cukup banyak dalam jangka waktu tertentu untuk melihat sejauh

mana peran dan dukungan keluarga dalam perawatan kesehatan pada lansia

(Notoatmodjo, 2002).

3.2 Defenisi Operasional

Penelitian ini untuk meneliti bagaimana peran dan dukungan keluarga

dalam perawatan kesehatan lansia.

3.2.1. Peran keluarga adalah prilaku keluarga yang dilakukan dalam

perawatan kesehatan lansia untuk memenuhi kebutuhan dan harapan

lansia. Peran keluarga diukur dengan pertanyaan kuisioner dengan

jawaban ya (skor 1) dan tidak (skor 0) dengan skala ukur ordinal.

Kemudian diteli satu persatu lalu dipersentasekan menjadi :

76%-100% sangat baik

51%-75% baik

26%-50% cukup

1%-25% kurang
3.2.2. Dukungan keluarga adalah aspek dari fungsi keluarga yang

digunakan untuk menilai hubungan lansia dengan keluarganya.

Diukur dengan suatu alat skrining singkat untuk menentukan tingkat

fungsional lansia dalam keluarga yaitu APGAR keluarga ;

Pernyataan yang dijawab dengan selalu mendapat poin 2, kadang-

kadang mendapat poin 1, hampir tidak pernah mendapat poin 0.

Nilai untuk setiap pertanyaan kemudian jumlahkan. Nilai 7-10

menandakan dukungan keluarga yang baik, nilai 4-6 menandakan

dukungan sedang dan nilai 0-3 menandakan tidak ada dukungan

(Stanhope, 1998).

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi adalah keseluruhan dari variabel yang menyangkut masalah

yang akan diteliti (Nursalam, 2001). Populasi penelitian ini adalah

seluruh lansia yang berada di wilayah puskesmas Curup berjumlah

8607 orang.

3.3.2. Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling

tertentu untuk bisa memenuhi/mewakili populasi. Pengambilan

sampel dilakukan dengan probability sampling atau pengambilan

berdasarkan peluang, dimana setiap subyek dalam populasi

mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai

sampel (Nursalam, 2001), menggunakan tehnik clusters random


sampling yaitu pengambilan sample secara acak berdasarkan area

atau cluster (Singarimbun, 1989). Besar sample ditentukan dengan

estimasi proporsi menggunakan rumus :

2
Z 1-/2P(1-P)N

n = ------------------------------ x df
2 2
d (N-1) + Z 1-/2P(1-P)

N : jumlah populasi = 8607

n : besar sample

d : simpangan dari proporsi pada populasi = 0,05

df : desain efek = 2

Z1-/2 : derajat kepercayaan yang diinginkan = 1,96

P : proporsi pada populasi = 0,33 (Leamshow, 1997).

Dari hasil perhitungan diatas besar sampel pada penelitian ini adalah

654 orang dengan kriteria berusia 60 tahun keatas dan dapat diajak

berkomunikasi.

3.4. Tempat dan Waktu Penelitian

3.4.1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian adalah di puskesmas Curup dengan alasan


Distribusi penduduk usia lanjut banyak terdapat di wilayah

puskesmas Curup

Mudah dijangkau karena berada dipusat kota

3.4.2. Waktu penelitian dilakukan selama 3 bulan dari bulan mei 2006

sampai bulan juli 2006.

3.5. Etika Penelitian

Sebelum pengumpulan data dan melakukan penelitian peneliti meminta izin dari

pimpinan puskesmas Curup dengan membawa surat pengantar dari

pendidikan untuk mendapat persetujuan. Kemudian meminta responden

untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden jika bersedia,

dengan menjelaskan tujuan dari dan manfaat dari penelitian. Jika responden

menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati haknya. Kerahasiaan informasi yang diberikan responden

dijamin oleh peneliti.

3.6. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

3.6.1 Data primer


yaitu data yang diperoleh dari responden dengan menggunakan

kuisioner.

3.6.2 Data sekunder

yaitu data yang diperolah dari studi kepustakaan, intansi pemerintah dan

lain lain.

3.7. Pengolahan dan Analisa Data

3.7.1 Pengolahan Data :

Setelah kuisioner disebarkan dan dikumpulkan kembali kemudian

dilakukan

a. Editing, yaitu pengecekan isian formulir/kuisioner apakah

jawaban yang ada dikuisioner lengkap, jelas, relevan dan

konsisten

b. Coding, yaitu merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk bilangan

c. Recoding, melakukan kode ulang pada jawaban yang belum

dikelompokkan menjadi katagori tertentu untuk memudahkan

analisa lebih lanjut

d. Processing, yaitu memasukkan data dari kuisioner ke paket

program komputer

e. Cleaning yaitu pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan

apakah ada kesalahan atau tidak (Nazir, 1999).


3.7.2. Analisa data

Analisa data dilakukan dengan analisa deskriptif univariant yang

bertujuan untuk mengambarkan proporsi distribusi frekuensi dari

masing-masing variabel. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi.
Lembar Kuisioner

Identitas Responden

1) Nomor urut lansia :


2) Umur :
3) Jenis kelamin :  Laki-laki  Perempuan
4) Agama :  Islam  Kristen Katolik  Budha 
……..
5) Pekerjaan sebelumnya :
6) Pendidikan terakhir :  Tidak Tamat SD  SD  SMP  SMA 
PT
7) Status perkawinan :  Kawin  Tidak Kawin  Cerai Hidup  Cerai
Mati
8) Alamat :
9) Tinggal dengan siapa ? : SendiriAnak kandungMenantuKeluarga
lain
10) Jumlah anggota keluarga :
11) Jumlah anak :

Petunjuk pengisian
1) Berilah tanda ceklist () pada salah satu jawaban yang anda anggap benar
2) Jika salah mengisi, coret jawaban dengan tanda sama dengan (=) .
Contoh () kemudian ganti dengan ().
3) Isilah kuisioner ini dengan jawaban yang sebenarnya. Jawaban anda yang jujur
dan benar sangat membantu dalam menyelesaikan penelitian ini.
Peran Keluarga

1. Apakah bapak/ibu dalam kondisi sehat saat ini?


ya  tidak 
Jika ya lanjut ke soal no 5.
2. Jika tidak apakah bapak/ibu menderita sakit tertentu? Sebutkan……………………
3. Sudah berapa lama bapak/ibu menderita sakit tersebut? Sebutkan …………………
4. Apakah selama bapak/ibu sakit mendapat perawatan dari anggota keluarga
yang lain ? ya  tidak 
5. Apakah bapak/ibu dapat melakukan aktivitas dibawah ini sendiri dan tanpa
bantuan dari siapapun:
makan ya  tidak 
buang air besar ya  tidak 
buang air kecil ya  tidak 
bergerak dari satu tempat ke tempat lain ya  tidak 
memakai pakaian ya  tidak 
mandi ya  tidak 
6. Jika tidak apakah ada yang membantu ya  tidak 
7. Apakah bapak/ibu dapat melakukan aktivitas dibawah ini sendiri dan tanpa
bantuan dari siapapun :
memasak dan menyiapkan makanan ya  tidak 
mengatur keuangan dalam rumah ya  tidak 
berbelanja ya  tidak 
menggunakan telepon ya  tidak 
melakukan pekerjaan rumah yang ringan
seperti menyapu atau pekerjaan yang lain ya  tidak 
8. Jika tidak apakah ada yang membantu ya  tidak 
9. Apakah bapak/ibu memerlukan bantuan melakukan perawatan kesehatan
pribadi seperti dibawah ini
menyikat gigi dua kali sehari ya  tidak 
mandi dan berganti pakaian dua kali sehari ya  tidak 
mencuci rambut minimal 2 kali seminggu ya  tidak 
membersihkan mata dan telinga ya  tidak 
10. Bila ya apakah keluarga ikut membantu?…………………………………….
11. Apakah bapak /ibu memerlukan bantuan untuk melakukan kegiatan seperti
dibawah ini ;
membersihkan tempat tidur setiap hari ya  tidak 
membersihkan kamar tidur, lantai dan kamar mandi ya  tidak 
12. Jika ya apakah keluarga ikut membantu ya  tidak 
13. Apakah bapak/ibu melakukan olahraga ringan ya  tidak 
14. Apakah keluarga bapak/ibu membantu dalam melakukan perawatan
kesehatan bapak/ibu sehari-hari ya 
tidak 

Dukungan keluarga

1. Saya merasa puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya untuk meminta
bantuan jika sesuatu mengganggu saya.
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
2. Saya merasa puas bahwa keluarga saya membicarakan hal-hal dengan saya
dan meceritakan masalah pada saya.
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
3. Saya merasa puas bahwa keluarga saya menerima dan memberikan dukungan
atas keinginan saya untuk melakukan aktivitas fisik baru atau rekreasi.
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
4. Saya merasa puas bahwa keluarga saya mengekspresikan rasa kasih sayang
dan memberikan respon terhadap emosi saya seperti kemarahan, kesedihan
dan cinta.
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
5. Saya merasa puas dengan cara keluarga saya membagi waktu bersama saya
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
6. Apakah keluarga bapak/ibu datang mengunjungi secara rutin?
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
7. Apakah bila bapak/ibu sakit keluarga memberikan uang untuk biaya
pengobatan bapak/ibu ?
Selalu  kadang kadang  tidak pernah 

8. Apakah bila bapak/ibu sakit keluarga ikut merawat ?


Selalu  kadang kadang  tidak pernah 
9. Berikut ini adalah daftar anggota keluarga yang tinggal serumah dengan
bapak/ ibu. Urutkan orang orang tersebut berdasarkan hubungannya dengan
bapak/ibu. Pada kolom hubungan kekerabatan, tuliskan dengan jelas nama,
umur dan jenis kelamin. Pada kolom hubungan dengan anda beri tanda ceklist
() pada kolom yang anda inginkan :

Hubungan kekerabatan

Nama Umur Jenis

kela

min
Daftar Pustaka

BPS (2000). Rejang Rejang Lebong Dalam Angka. Curup

BPS (2005). Rejang Rejang Lebong Dalam Angka. Curup

Depkes (1991). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta.

Depkes (1994). Manajemen Upaya Kesehatan Usia Lanjut di Puskesmas. Jakarta.

Friedman, Marilyn M (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik. Edisi

3.EGC.Jakarta.

Lemeshow, Stanley dkk(1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lueckenotte, Annette Giesler (1998). Pengkajian Gerontologi (Pocket Guide to

Gerontologic Assessment). Edisi 2. EGC. Jakarta.

Nazir Ph.D , Mohamad (1999). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.


Notoatmodjo, Soekidjo (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.

Rivalen Cipta. Jakarta.

Nugroho,SKM,Wahjudi (2000). Keperawatan Gerontik. EGC. Jakarta.

Nursalam (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Infomedia

Jakarta.

Rice, Robyn (1993). Home Health Nursing Practice Concepts & Applications.

Mosby Year Book. Inc. St Louis Baltimore.

Singarimbun, Masri & Efendi, Sofian (1989). Metode Penelitian Survay. LP3ES.

Jakarta.

Setiabudhi Ph.D, Tony & Hardywinoto (1999). Panduan Gerontologi Tinjauan

Dari Beberapa Aspek. Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Bagi Para

Lanjut Usia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Stanhope, Marcia (1993). Community Health Nursing. Mosby Year Book.

Stanhope, Marcia (1998). Buku Saku Keperawatan Komunitas dan Kesehatan

Rumah. EGC. Jakarta.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Upaya besar bangsa Indonesia dalam meluruskan kembali arah pembangunan

nasional yang telah di laksanakan dalam tiga dasawarsa terakhir ini menurut

refomasi total kebijakan pembangunan dalam segala bidang,salah satu

diantaranya adalah pembangunan untuk lebih meningkatkan kesehatan bangsa

yang bersifat proaktif (Depkes RI, 1999). Pembangunan kesehatan secara

nasional ditujukan untuk mewujudkan tercapainya masyarakat bangsa dan negara

yang hidup dalam lingkungan dan prilaku hidup sehat memiliki kemampuan

untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata,

serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh indonesia

(Dinkes Propinsi Bengkulu, 2000).

Kesehatan merupakan salah satu bagian pokok dan esensial dari kualitas hidup

yang tercermin pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yang menjadi

tanggung jawab bersama. Sehat adalah suatu kondisi yang tidak saja bebas dari

penyakit, namun juga sehat secara mental dan sosial. Sehat juga merupakan salah

satu unsur hak azasi manusia (Yastroki, 2008). Salah satu penyebab

meningkatnya kasus penyakit pembuluh darah, seperti stroke adalah kurangnya

kesadaran masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat (Siswono, 2004).

1
Stroke adalah salah satu penyakit degeneratif yang menyerang otak. Stroke

merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa

defisit neurologi fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih, bisa juga

langsung menimbulkan kecacatan dan kematian yang disebabkan oleh gangguan

peredaraan darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000). Gejala yang ditimbulkan

oleh stroke terjadi akibat sel-sel otak kekurangan oksigen maka sel-sel otak akan

berhenti untuk menjalankan tugas-tugas biasa. Gejala-gejala yang mengikuti

stroke tergantung di area otak yang telah terpengaruh dan jumlah kerusakan

jaringan otak. Stroke ringan mungkin tidak menimbulkan gejala apapun, tetapi

masih dapat merusak jaringan otak. Stroke ini yang tidak menimbulkan gejala

yang disebut sebagai Stroke diam. Menurut The US National Institute of

Neurological (2008, dalam Wordpress,2008), tanda-tanda utama dari stroke

adalah : Mendadak mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan atau kaki,

terutama pada satu sisi tubuh; hilangnya sukarela bergerak dan / atau sensasi

dapat lengkap atau sebagian, dan berkaitan dengan sensasi geli di daerah yang

terkena dampak; mendadak kebingungan atau kesulitan berbicara atau

memahami. Kadang-kadang kelemahan pada otot wajah yang dapat

menyebabkan drooling; tiba-tiba kesulitan dalam melihat dengan satu atau kedua

mata; Tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau

koordinasi; dan sakit kepala mendadak hilang tanpa diketahui penyebabnya.

Selain itu, stroke merupakan penyakit yang menimbulkan dampak sosial

ekonomi sangat besar dan luas. Selain memerlukan biaya tinggi untuk
pengobatan dan rehabilitasi, penyakit itu menimbulkan kerugian berupa

hilangnya waktu produktif. Kerugian sosial yang terjadi karena stroke adalah

hilangnya masa hidup penduduk (Ascobat, 2005). Menurut Maryono (2008,

dalam Wordpress, 2008), meskipun begitu ganasnya stroke, namun stroke

berpenampilan low profile di antara pembunuh-pembunuh utama lainnya (seperti

jantung, dan kanker), sehingga sering terabaikan. Hal ini disebabkan stroke

bergerak perlahan karena tidak menimbulkan gejala yang jelas (kadang cuma

kesemutan) atau mirip gejala penyakit lain, sampai terjadi serangan yang benar-

benar fatal.

Stroke merupakan penyebab kematian tersering ketiga di negara Amerika.

Empat juta orang Amerika mengalami defisit neurologis stroke, dua petiga defisit

ini bersifat sedang sampai parah. Di Amerika, setiap tahun terjadi 700.000 kasus

stroke baru, setiap 45 detik akan ada seorang yang terkena serangan stroke baru

atau stroke berulang dan setiap 3,1 menit ada seorang meninggal karena stroke

(Wordpress, 2008). Kasus stroke tersebut meningkat karena kegemukan dan junk

food telah mewabah (HIMAPID, 2007).

Di Indonesia, belum ada data epidemiologis stroke yang lengkap, tetapi

proporsi penderita stroke dari tahun ketahun cenderung meningkat, hal ini terlihat

dari laporan Depkes RI (2005) di berbagai rumah sakit di 33 propinsi di

indonesia. Hasil survei menunjukkan terjadinya peningkatan dari 0,72 per 100

penderita pada tahun 2002 menjadi 0,89 per 100 penderita 2004.
Di Propinsi Bengkulu tepatnya di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu juga

menunjukkan peningkatan penderita stroke dari tahun ke tahun. Berdasarkan

survey awal didapatkan data bahwa pada tahun 2005 terdapat 86 penderita.

Tahun 2006 terdapat 241 orang penderita, tahun 2007 terdapat 292 orang

penderita. Pada Tahun 2007 tersebut penyakit stroke merupakan peringkat ke dua

penyebab kematian untuk golongan semua umur di Rumah sakit Dr. M Yunus

Bengkulu dengan jumlah 47 orang. Sedangkan pada tahun 2008 didapatkan

bahwa rata-rata kunjungan pasien stroke 44 pasien setiap bulan dengan jumlah

pasien stroke selama setahun 334 orang (11,87%) dari seluruh pasien 2814.

(Medical record RSUD Dr. M. Yunus, 2009).

Menurut ANTARA News (2008) faktor resiko penyebab penyakit stroke

adalah yang tidak dapat diubah (riwayat keluarga, umur, jenis kelamin dan ras)

serta yang dapat diubah (seperti darah tinggi, kencing manis, jantung, kolesterol,

asam urat, kegemukan, merokok, kurang olah raga, narkoba dan lain-lain). Salah

satu dari faktor resiko yang bisa diubah atau dimodifikasi adalah riwayat diabetes

melitus. Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hipeglikemia (Brunner

dan Suddarth, 2002). Tampilan klinis diabetes melitus dapat berupa gangguan

komponen metabolik dan/atau komponen vaskuler atau angiopati. Akibat dari

hiperglikemia kronik, para pengidap diabetes melitus mempunyai kecenderungan

mengalami komplikasi akut maupun kronik (Asdie & Asdie, 1999).


Penderita diabetes melitus mempunyai kecenderungan penyulit vaskuler yang

meliputi penyakit jantung koroner, serebral, dan penyakit pembuluh darah

perifer. Tergantung pada jenis dan keparahannya, pasien diabetes melitus

mempunyai resiko relatif mendapat serangan stroke 1,5-3 kali lebih sering jika

dibandingkan dengan populasi normal (Asdie & Asdie, 1999). Menurut

Lasmudin (1996, dalam Asdie & Asdie, 1999) bahwa pasien diabetes melitus

dengan hiperglikemia mempunyai resiko 11,29 kali untuk terjadinya stroke (OR :

1129, 95% CI : 2,54-50,19).

Faktor resiko lain yang dapat diubah adalah jarang berolah raga. Olahraga

adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang

melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan

kebugaran jasmani. Olah raga merupakan sebagian kebutuhan pokok dalam

kehidupan sehari-hari karena dapat meningkatkan kebugaran yang diperlukan

dalam melakukan tugas sehari-hari (Depkes RI, 2002).

Olah raga atau latihan jasmani yang teratur sudah terbukti menurunkan resiko

untuk terjadi kematian premature dan penyakit kardiovaskuler, serta

serebrovaskuler. Efek proteksi dari olah raga untuk mencegah terjadinya stroke

melalui pengendalian berbagai faktor resiko stroke, seperti hipertensi, diabetes

mellitus, dan kegemukan, yang disertai dengan penurunan kadar fibrinogen

dalam plasma dan aktifitas platelet, dan kenaikan konsentrasi HDL/High

Densitity Lipoprotein (Lamsudin, 1999). Hasil penelitian Kusmana (2002, dalam

Depkes RI, 2002) memperlihatkan bahwa orang yang mempunyai gaya hidup :
tidak merokok, berolahraga secara teratur, dan melakukan kerja fisik, ternyata

berpeluang lima kali lebih tinggi terhidar dari penyakit jantung dan stroke dari

pada yang bergaya hidup sebaliknya.

Mencegah stroke dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan berbagai

faktor resiko yang telah disebutkan di atas, berolahraga secara teratur, dan

melakukan diet. Pencegahan harus dilakukan sepanjang masa. Semakin usia

bertambah, semakin besar kemungkinan stroke (Susan, 2008). Di samping, itu

Sebenarnya serangan stroke dapat dicegah apabila klien yang mempunyai faktor

resiko mengetahui cara-cara pencegahannya. Masih banyak masyarakat yang

belum mengerti tanda dan gejala stroke sehingga terlambat untuk mencari

pertolongan. Akibatnya hasil terapi yang didapat tidak dapat optimum, hari rawat

menjadi panjang dan biaya yang dikeluarkan untuk penyembuhan menjadi relatif

lebih besar. Pengetahuan yang baik tentang pencegahan stroke dapat mencegah

serangan dan meminimalkan efek samping apabila terjadi serangan (Anna, 2006).

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka peneliti tertarik untuk

mengadakan penelitian mengenai hubungan riwayat diabetes melitus, kebiasaan

olah raga, dan pengetahuan tentang pencegahan dengan kejadian stroke di Poli

Syaraf RSUD Dr. M Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah tingginya angka kejadian stroke di poli

Stroke RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, dengan rumusan masalah : ”Apakah


terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat diabetes melitus, kebiasaan

olah raga, dan pengetahuan tentang pencegahan dengan kejadian stroke di Poli

Syaraf RSUD Dr. M Yunus Bengkulu tahun 2009”.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan riwayat diabetes melitus, kebiasaan olah raga,

dan pengetahuan tentang pencegahan dengan kejadian stroke di Poliklinik

Syaraf RSUD Dr. M Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Untuk mengetahui gambaran kejadian stroke pada pasien di Poliklinik Saraf

RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu tahun 2009

1.3.2.2. Untuk mengetahui gambaran riwayat diabetes melitus pada pasien di

Poliklinik saraf RSUD dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.3.2.3. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan olah raga pada pasien di Poliklinik

saraf RSUD dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.3.2.4. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang pencegahan stroke pada

pasien di Poliklinik saraf RSUD dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2009.


1.3.2.5. Untuk mengetahui hubungan riwayat diabetes melitus dengan kejadian

stroke di Poliklinik saraf RSUD dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.3.2.6. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan dengan kejadian stroke di Poliklinik

saraf RSUD dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.3.2.7. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang pencegahan dengan

kejadian stroke di Poliklinik saraf RSUD dr.M.Yunus Bengkulu tahun 2009.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Syaraf RSUD Dr. M Yunus Bengkulu.

Penelitian ini melihat hubungan riwayat diabetes melitus, kebiasaan olah raga,

dan pengetahuan tentang pencegahan dengan kejadian stroke pada bulan Mei

tahun 2009. Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif analitik dengan

desain cross sectional.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Rumah Sakit.

Sebagai salah satu sumber informasi dan masukan

dalam upaya pencegahan dan penurunan angka kejadian

stroke di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

1.5.2. Bagi Institusi Pendidikan.


Sebagai sumber kepustakaan dan kontribusi

pemikiran yang dapat di jadikan sebagai bahan untuk

penyuluhan dan pencegahan penyakit stroke.

1.5.3. Bagi Peneliti Lain.

Hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai data

dasar pada penelitian-penelitian selanjutnya tentang

penyakit stroke dan pencegahannya.

1.5.4 Bagi Masyarakat.

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat untuk

meningkatkan pengetahuan tentang penyakit stroke dan di

harapkan dengan semakin meningkatnya pengetahuan

masyarakat tentang hal tersebut, masyarakat lebih proaktif

untuk mencegah dan menjauhi faktor resiko penyakit

stroke serta dapat mengambil tindakan sedini mungkin

jika hal itu terjadi.

1.6.Keaslian Penelitian

Penelitian sejenis telah dilakukan oleh : Fazri (2008)

dengan judul penelitian Hubungan Riwayat Hipertensi

Dengan Penyakit stroke di Poliklinik saraf RSUD dr.

M.Yunus Bengkulu tahun 2008.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Stroke

2.1.1. Pengertian Stroke

2.1.1.1. Stroke adalah salah satu penyakit degeneratif yang menyerang otak. Stroke

merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresif cepat,

berupa defisit neurologi fokal atau global yang berlangsung 24 jam atau

lebih, bisa juga langsung menimbulkan kecacatan dan kematian yang

disebabkan oleh gangguan peredaraan darah otak non traumatik (Mansjoer,

2005).

2.1.1.2. Stroke atau cidera serebrovaskular (CVA = Cerebro Vascular Accident)

adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai

darah kebagian otak ( Brunner & Sudart, 2002).

2.1.1.3. Istilah stroke atau penyakit serebrovaskuler mengacu kepada setiap

gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau

terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak (Price, 2003).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa stroke adalah kehilangan fungsi otak

yang terjadi secara mendadak akibat berhentinya suplai

darah ke otak.
2.1.2. Etiologi 1

2.1.2.1. Trombosis Serebral 0

Arterosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab

utama trombosis serebral yang merupakan penyebab utama dari stroke. Tanda-tanda

trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan yang tidak umum, beberapa

pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa

pengalaman awitan yang tidak dapat dibedakan dari haemoragi intraserebral dan

embolisme serebral. Secara umum embolisme serebral tidak terjadi secara tiba-tiba

dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah tubuh

dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari (Brunner &

Sudart, 2002).

2.1.2.2. Embolisme Serebral

Abormalitas patoligik pada jantung kiri, seperti endokarditis infektif, penyakit

jantung rematik, dan infark miokard, serta infeksi pulmonal, adalah tempat asal

emboli. Embulus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya,

yang merusak sirkulasi serebral (Brunner & Sudart, 2002).

Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik

mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi

saat pasien beraktivitas (Price, 2003). Awiatan hemiparesis atau hemiplegia tiba-tiba

dengan atau tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit
jantung atau pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral (Brunner &

Sudart, 2002).

2.1.2.3. Iskemia Serebral

Iskemia Serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena kontriksi

ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak (Brunner & Sudart, 2002).

2.1.2.4. Hemoragi Serebral

Hemoragi dapat terjadi di luar durameter (hemoragi ekstradural atau epidural)

kedaruratan bedah neuro yang memerlukan perawatan segera, di bawah durameter

(hemoragi subdural) periode pembentukan hematoma lebih lama dan menyebabkan

tekanan pada otak, diruang subarakhnoid (haemoragi subarakhnoid) dapat terjadi

akibat trauma atau hipertensi, atau di dalam substansi otak (hemoragi intaraserebral)

haemoragi atau perdarahan disubstansi dalam otak paling umum pada pasien dengan

hipertensi dan aterosklerosis serebral, karena perubahan degeneratif karena penyakit

ini biasanya menyebabkan ruptur pembuluh darah (Brunner & Sudart, 2002).

2.1.3. Klasifikasi Stroke

2.1.3.1. Stroke Non Haemoragic

Jenis stroke ini pada dasarnya disebabkan oleh okulasi pembuluh darah otak

yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak.

Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat flak aterosklerosis arteri otak atau

yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar

otak yang tersangkut di arteri otak. Stroke jenis ini merupakan stroke yang sering
didapatkan, sekitar 80% dari semua stroke. Stroke jenis ini juga bisa disebabkan

berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok atau

hipovolemia dan berbagai penyakit lain (Sudoyo, 2006).

2.1.3.2. Stroke Haemoragic

Stroke jenis ini merupakan sekitar 20 % dari semua stroke (Sudoyo, 2006).

Mekanisme dasar dari terjadinya stroke haemoragic adalah karena adanya perdarahan

otak. Perdarahan ini dapat disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah arteri otak

(Karena hipertensi yang kronik pembuluh darah menjadi tipis (terbentuk aneurisma)

dan mudah terjadi ruptur atau pembuluh darah lain diotak karena adanya proses

atherosklerosis (Abdillah, 2008).

Bagan 2. 1 Pembagian Stroke

Gagal
G
p
l
o
I
o A Penebal
m
s
F b r an
p
k
ao t din
s a
e V T
l
k e din
t j
m e r
a S r g
r a R
i n o
l i pe
o u n u
k a m
H mb
k b t p
a b
ulu
e I a u Ru t
e u
h
rn n u
p
m s
dar
at g rt
o ah
k
e Hipot u
r Obstruk
n
r e ar
a si
o
s n n
g
(Ebrahim and Lammie, 2003)

2.1.4. Patofisiologi Stroke

Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus atau embulus,

maka mulai terjadi kekurangan oksigen kejaringan otak. Kekurangan selama satu

menit dapat mengarah pada gejala yang dapat pulih, seperti kehilangan kesadaran.

Kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis

mikroskopis neuron-neuron area nekrotik kemudian disebut infark. Kekurangan

oksigen pada awalnya mungkin akibat iskemia umum (karena henti jantung atau

hipotensi) atau hipoksia karena proses anemia atau kesukaran bernafas. Jika neuron

hanya mengalami iskemik, dan belum terjadi nekrosis, masih ada peluang untuk

menyelamatkannya.

Stroke karena embolus dapat merupakan akibat dari bekuan darah, plak

ateromatosa fragmen, lemak, atau udara. Jika etiologi stroke adalah haemoragi, maka

faktor pencetusnya biasanya adalah hipertensi. Abnormalitas vaskular seperti

anuerisma serebral lebih rentan terhadap ruptur dan menyebabkan hemoragi pada

keadaan hipertensi. Sindrom neurovaskuler yang lebih sering terjadi pada stroke

trombolitik dan embolitik adalah karena keterlibatan arteri serebral mediana. Arteri

ini terutama mensuplai aspek lateral hemisfer serebri infark pada bagian tersebut

dapat menyebabkan defisit kolateral motorik dan sensorik. Jika infark hemisper

adalah dominan maka akan terjadi masalah bicara dan timbul disfasia (Hudak &

Gallo, 2002).
2.1.5. Manifestasi Klinis Stroke

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area perfusinya tidak adekuat, dan

jumlah aliran darah kolateral (Sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak

dapat membaik sepenuhnya (Brunner & Sudart, 2002)

Tabel 2.1 Defisit Neurologik Stroke & Manifestasi

Defisit Neurologik Manifestasi


Defisit Lapangan
Penglihatan Tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilangan
Homonimus penglihatan.
hemianopsia Mengabaikan salah satu sisi tubuh.
(kehilangan setengah Penglihatan ganda.
lapangan penglihatan)
Kehilangan Kesulitan melihat malam hari
penglihatan perifer Tidak menyadari objek atau batas objek
Diplopia Penglihatan ganda
Defisit Motorik
Hemiparesis Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama
(karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)
Hemoplegia Paralisis wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama
(karena lesi pada hemisfer yang berlawanan
Ataksia Berjalan tidak mantap, tegak
Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang
luas
Disatria Kesulitan dalam membentuk kata
Disfagia Kesulitan dalam menelan
Defisit Sensorik
Parestesia Kebas dan kesemutan pada bagian kaki
Defisit Verbal
Afasia ekspresif Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami;
mungkin mampu bicara dalam respon kata tunggal
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan
Afasia reseptif Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif
Afasia global
Defisit Kognitif Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
Penurunan lapangan perhatian
Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
Alasan abstrak buruk
Perubahan penilaian
Defisit emosional Kehilangan kontrol diri
Labilitas emosional
Penurunan toleransi pasa situasi yang menimbulkan stres
Rasa takut, bermusuhan, dan marah
Perasaan isolasi

(Brunner & Suddart,2002)

2.1.6. Diagnosis Stroke

2.1.6.1. Klinis anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis (Mansjoer, 2005)

2.1.6.1.1. Sistem skor untuk membedakan jenis stroke

Skor Stroke Siriraj : (2,5 x derajad kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri

kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) –(3 x petanda ateroma) – 12


Keterangan :

Skor>1 : perdarahan supratentorial

Skor-1 s.d 1 : perlu CT Scan

Skor < -12 : infark serebri

Derajat kesadaran : 0=compos mentis;1=samnolen;2=sopor/koma

Vomitus : 0=tidak ada; 1=ada

Nyeri kepala : 0=tidak ada; 1=ada

Ateroma : 0=tidak ada; 1= salah satu atau lebih: diabetes, angina,

Penyakit pembuluh darah.

(Mansjoer, 2005)

2.1.6.2. CT Scan

Merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan infark dengan

perdarahan (Mansjoer, 2000). Walaupun pada beberapa keadaan antara lain stroke

dibatang otak pada hari-hari pertama tidak didapatkan abnormalitas, sehingga harus

diulang setelah 24 jam kemudian (Sudoyo, 2006).

2.1.6.3. MRI (Magneric resonance Imaging)

Sken resonansi magnetik ( MRI ) lebih sensitif dari CT Scan dalam mendeteksi

infark cerebri dini dan infark batang otak (Mansjoer, 2000).


2.1.7. Faktor Resiko Stroke

2.1.7.1. Faktor resiko yang tidak terkendali

2.1.7.1.1. Usia

Semakin bertambah tua usia semakin besar resikonya. Setelah berusia 55 tahun,

resikonya berlipat ganda setiap kurun waktu sepuluh tahun (Thesecretalert, 2008).

2.1.7.1.2. Jenis kelamin

Pria lebih beresiko terkena stroke dari wanita.

Kejadian stroke pada pria lebih sering daripada wanita.

Mungkin faktor-faktor resiko pada pria lebih banyak,

misalnya faktor yang terkait dengan gaya hidup :

merokok, minum-muniman keras, aktifitas fisik dan stress

mental (wordpress, 2008).

2.1.7.1.3. Keturunan

Kelainan turunan sangat jarang menjadi penyebab langsung stroke. Namun, gen

memang berperan besar dalam beberapa faktor resiko (Feigin, 2004).

2.1.7.1.4. Ras

Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa ras kulit putih memiliki peluang

lebih besar terserang stroke dibanding dengan ras kulit putih.

2.1.7.2. Faktor resiko yang terkendali

2.1.7.2.1. Tekanan Darah Tinggi / Hipertensi


Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan

faktor risiko yang kuat untuk mendapat stroke. Baik

tekanan sistolik yang tinggi, maupun tekanan diastolik

yang tinggi, merupakan faktor risiko untuk stroke. Sejak

tahun 1970 sudah banyak dilakukan penelitian yang

berkaitan dengan hipertensi dan stroke. Carter melaporkan

hasil penelitiannya pada 97 orang yang pernah mengalami

stroke dan menderita hipertensi dengan tekanan diastolik

110 mmHg atau lebih. Mereka dibagi dalam dua

kelompok, 50 orang diobati dengan antihipertensi dan 47

orang tidak diobati (kelompok kontrol), lalu di follow up

selama 2 – 5 tahun. Pada kelompok yang diobati,

didapatkan 26% meninggal dan14% mengalami stroke

yang tidak fatal. Pada kelompok kontrol, didapatkan 46%

meninggal dan 23% mengalami stroke yang tidak fatal.

Dari hasil penelitian tersebut terlihat perbedaan yang

sangat bermakna antara yang mendapat antihipertensi dan

yang tidak diobati (Anna, 2006).

2.1.7.2.2. Penyakit Jantung

Beberapa jenis penyakit jantung dapat

meningkatkan kemungkinan mendapatkan stroke. Gagal

jantung kongestif dan penyakit jantung koroner


mempunyai peranan penting dalam terjadinya stroke.

Penyakit jantung, baik miokardial (otot), maupun valvular

(katup), meningkatkan risiko mendapatkan stroke.

Fibrilasi atrium, hipertrofi ventrikel kiri dan disritmia

mempertinggi risiko terjadinya stroke. Risiko

mendapatkan stroke menjadi 3 kali lebih besar pada klien

dengan kelainan gelombang R (pada EKG) dan 2 kali

lebih besar dengan kelainan gelombang ST-T. Klien

dengan fibrilasi atrium mempunyai risiko stroke 8.5 kali

lebih besar (Anna, 2006).

2.1.7.2.3. Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan faktor risiko

stroke namun tidak sekuat hipertensi. Klien berusia 60

tahun dengan tekanan sistolik 135 mmHg, probabilitas

mendapat ischemic stroke dalam jangka waktu 8 tahun

adalah 8/1000. Bila disamping itu ia menderita DM,

probabilitas meningkat menjadi 17/1000. Bila tekanan

sistoliknya 180 mmHg, probabilitasnya menjadi 30/1000,

dengan DM probabilitas meningkat menjadi 59/1000.

Frekuensi DM cukup tingi pada klien stroke (Anna, 2006).

2.1.7.2.4. Pola Diet


Pola makan dapat mempengaruhi risiko stroke

melalui efeknya pada tekanan darah, kadar kolesterol

serum, gula darah, dan berat badan, yang mana semua itu

merupakan prekursor terbentuknya aterosklerosis.

Aterosklerosis disebut juga hiperlipidemia atau

hiperlipoproteinemia. Hal itu karena kejadian

aterosklerosis bertalian erat dengan penyimpangan

metabolisme trigliserida dan kolesterol dalam tubuh.

Kolesterol merupakan suatu senyawa yang kompleks yang

dihasilkan oleh tubuh untuk bermacam fungsi, antara lain

membuat hormon seksual, adrenal, membentuk dinding

sel dan lain-lain. Demikian pentingnya fungsi kolesterol

sehingga tubuh membuat sendiri di dalam hati. Kolesterol

yang ada dalam zat makanan yang kita makan, dapat

meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Bila

pemasukan seimbang dengan kebutuhan, tubuh akan tetap

sehat. Tetapi bila pemasukan lebih banyak dari yang

dibutuhkan oleh tubuh, maka kadar kolesterol dalam darah

akan menjadi lebih tinggi dan risiko untuk menjadi

terbentuknya aterosklerosis juga semakin tinggi.

Tubuh manusia memperoleh energi dari tiga macam

zat gizi, yaitu hidrat arang/karbohidrat, zat lemak / lipid


dan protein. Protein merupakan zat gizi esensial karena

tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain. Berbeda dengan

karbohidrat dan lipid, dalam keadaan tertentu bisa saling

menggantikan. Bila terjadi kelebihan karbohidrat, sesudah

diubah menjadi glikogen akan disimpan dalam hati.

Sebaliknya, dalam keadaan tubuh kekurangan energi dan

persediaan karbohidrat dalam tubuh habis, maka glikogen

dalam hati, yang merupakan cadangan energi dalam

tubuh, akan diubah menjadi glukosa dan dimobilisasikan

untuk menghasilkan energi. Bila pemasukan karbohidrat

berlebih, maka kadar glukosa / gula dalam darah akan

meningkat, lama kelamaan apabila berlangsung lama,

terjadinya Diabetes Melitus yang merupakan salah satu

faktor penyebab stroke (Anna, 2006).

2.1.7.2.5. Merokok

Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan

merokok menjadi faktor risiko untuk penyakit arteri

koroer dan penyakit vaskuler perifer. Saat ini diduga

merokok dapat menimbulkan / meningkatkan risiko stroke

dengan meningkatkan kadar fibrinogen dalam darah,

meningkatkan agregasi trombosit, meningkatkan


hematokrit dan viskositas darah. Jumlah dan lamanya

merokok merupakan faktor penting.

Terdapat 4000 bahan kimia (termasuk 200 yang

telah diketahui sebagai racun) dalam asap rokok, tetapi

yang utama terdapat tiga komponen dari asap rokok yaitu

nikotin, gas CO dan tar (Danusantoso, 1995, dalam Anna,

2006). Nikotin pada prinsipnya akan mengakibatkan

pembuluh darah menyempit dengan cepat karena memacu

pengeluaran zat-zat adrenalin. Zat ini merangsang jantung

dan tekanan darah, sehingga organ-organ tubuh akan

kekurangan oksigen, diantaranya otak dan otot jantung.

Pada pemakaian jangka lama, nikotin juga akan

mengakibatkan dinding pembuluh darah menjadi sklerotis

(aterosklerotis). Proses aterosklerotis akan timbul secara

fisiologis dengan bertambahnya usia, namun dengan

kebiasaan merokok, proses aterosklerotis akan lebih cepat

terjadi (Danusantoso, 1995 ; Gallo, 1998, dalam Anna,

2006).

Karbonmonoksida (CO) diyakini sebagai penyebab

utama kerusakan vaskuler, terbentuknya aneurisma

penyebab perdarahan subarakhnoid, dan iskemik yang

terjadi karena perubahan pada arteri karotis. Inhibisi CO


sebanding dengan peningkatan konsentrasi

karbondioksihemoglobin (CoHb) dalam darah si perokok,

bersama dengan nikotin dan substansi racun lain dalam

rokok. CoHb bertanggung jawab atas peningkatan kadar

kolesterol, lesi pada endothelial dan peningkatan agregasi

platelet, yang dapat meningkatkan risiko stroke 2 – 3 kali.

Efek rokok bias bertahan selama 5-10 tahun.

Tar sebenarnya adalah konsentrat semua zat-zat

yang terdapat dalam asap rokok. Karena ada tar, pipa

perokok acapkali harus dibersihkan agar tidak macet. Tar

mempunyai sifat merangsang secara kimiawi, sehingga

dapat menimbulkan kerusakan selaput lendir (Anna,

2006).

2.1.7.2.6. Aktivitas (olah raga) dan Istirahat

Aktivitas fisik yang cukup dapat menurunkan proses

aterosklerosis, kolesterol dalam darah selain dapat

dikontrol dalam diet, dapat juga melalui olah raga.

Aktivitas fisik secara teratur dapat menurunkan tekanan

darah dan gula darah, meningkatkan kadar kolesterol HDL

dan menurunkan LDL, menurunkan berat badan, dan

mendorong berhenti merokok. Disamping itu akan timbul

kolateral atau pembuluh darah baru bila sudah terjadi


penyempitan atau penyumbatan. Berolahraga dan aktivitas

teratur akan menyebabkan aliran darah lebih banyak dan

lebih cepat, sehingga akan mencegah terjadi trombus atau

penggumpalan yang dapat menyumbat pembuluh darah di

jantung maupun di otak. Tidak perlu olah raga yang sulit

dan mahal, jalan kaki enam kilometer perjam, senam

aerobik beban sedang dan menari sudah menjaga

kesehatan jantung. Demikian pula kegiatan setara seperti

menaiki tangga dua tingkat, membawa beban 10 kg,

mencangkul atau berkebun. Aktivitas apapun asal mampu

meningkatkan denyut jantung antara 110 – 130 kali /

menit, berkeringat dan disertai peningkatan frekuensi

nafas namun tidak sampai terengah-engah sudah cukup

untuk mencegah stroke (Dede, 2004, dalam Anna, 2006).

Istirahat tidak hanya mencakup tidur, tetapi juga

bersantai, ada perubahan dalam aktivitas, atau

menghilangkan segala tekanan-tekanan kerja atau

masalah-masalah lainnya. Namun tidur merupakan faktor

penting dalam istirahat, yang mana setelah bangun dari

tidur yang cukup, otak akan kembali berfungsi dengan

sangat baik. Pertumbuhan hormon penting untuk

meningkatkan kualitas, ukuran dan efisiensi otak, juga


meningkatkan pengangkutan asam amino dari darah ke

otak, yang memungkinkan sel saraf melakukan

metabolisme dengan tenang saat tidur. Salah satu hormon

yang penting lainnya adalah kortisol, yang mana waktu

produksi tertingginya adalah dari tengah malam hingga

pagi hari. Kortisol memainkan peranan yang sangat besar

dalam membantu menghadapi stres dan peradangan.

2.1.7.2.7. Stres

Stres didefinisikan sebagai ketidakmampuan

seseorang dalam mengatasi ancaman yang dihadapi oleh

mental / psikologis, fisik, emosional dan spiritual

manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi

kesehatan fisik menusia tersebut (Selye, 1995, dalam

Anna, 2006).

2.1.8. Cara Pencegahan Primer Stroke

Telah banyak diketahui mengenai mekanisme

terjadinya stroke, namun masih belum banyak yang dapat

dilakukan untuk mencegah cacat setelah terserang stroke.

Banyak klien stroke yang menjadi cacat seumur hidup


bahkan meninggal dunia. Untuk itu stroke harus dan dapat

dicegah, setidak-tidaknya dapat diundur terjadinya. Pada

konsensus nasional pengelolaan stroke di Indonesia,

dikemukakan upaya yang dapat dilakukan untuk

pencegahan primer, yaitu :

2.1.8.1. Mengendalikan Hipertensi, DM dan Penyakit Jantung

Telah diketahui bahwa hipertensi merupakan faktor

risiko yang kuat bagi timbulnya stroke. Makin tinggi

tekanan darah, makin besar kemungkinan mendapat

stroke. Klien yang belum pernah mengalami stroke atau

pun yang sudah mengalami stroke, harus dapat

menanggulangi hipertensinya dengan baik. Hipertensi

adalah penyakit yang harus ditangani seumur hidup, upaya

yang dapat dilakukan adalah :

2.1.8.2. Mengurangi Kegemukan

Sekitar 60% klien hipertensi mempunyai berat

badan 20% lebih dari berat ideal. Dari penelitian

Framingham didapatkan bahwa pria gemuk yang berat


badannya diturunkan sebanyak 15%, tekanan sistoliknya

berkurang sebanyak 15%.

2.1.8.3. Berhenti Merokok

Merokok mengakibatkan vasokonstriksi. Dengan

berhenti merokok, aktivitas saraf simpatis dan kadar

norepinefrin akan menurun.

2.1.8.4. Berhenti Minum Kopi

Kopi menyebabkan vasokonstriksi. Dengan berhenti

minum kopi, aktivitas rennin plasma dan kadar

norepinefrin akan menurun.

2.1.8.5. Batasi Konsumsi Garam

Bila konsumsi garam diturunkan sampai 2 gram

sehari, tekanan diastolik dapat diturunkan sampai 5

mmHg.

2.1.8.6. Tingkatkan Masukan Kalium ( 80 – 100 mEq/hari )

Dari percobaan pada tikus yang diberi diet tinggi

kalium didapatkan bahwa pembuluh darah otak, jantung

dan ginjal terlindung dari jejas / lesi akibat hipertensi.

Senyawa kalium banyak ditemukan dalam buah dan sayur.

Klien hipertensi, yang fungsi ginjalnya normal, dianjurkan

untuk meningkatkan masukan kalium dengan jalan rajin

makan buah dan sayur.


2.1.8.7. Rajin Berolah raga

Olah raga sekitar 30 menit sehari atau 3 kali

seminggu. Hindari olah raga isometrik yang dapat

meningkatkan tekanan darah. Lakukan olah raga isotonic

seperti jalan kaki, jogging atau berenang.

2.1.8.8. Mengubah Gaya Hidup

Belajar mengatasi stresor dengan baik dan dapat

mengatur keseimbangan antara

aktivitas dan istirahat / relaksasi.

2.1.8.9. Hindari obat-obat yang Dapat Meningkatkan Tekanan Darah

Obat yang dapat meningkatkan tekanan darah antara

lain : obat antiinflamasi non steroid ( NSAID ), pil

keluarga berencana, kortikosteroid, antidepresan trisiklik.

2.1.8.10. Minum obat antihipertensi dengan teratur

Terapi obat pada hipertensi berlangsung lama,

biasanya seumur hidup. Hal ini harus dimengerti oleh

klien. Karena pemakaian obat yang lama, klien juga harus

mengerti dan waspada terhadap efek samping yang

ditimbulkan oleh obat-obat tersebut.


2.1.8.11. Mengendalikan Diabetes Melitus

Tindakan terapeutik yang dapat dilakukan oleh klien

DM adalah :

a. Mengatur makanan

b. Olah raga teratur

c. Minum obat hipoglikemik oral secara teratur

d. Kontrol gula darah secara teratur

Tujuan pengobatan DM adalah :

a. Memulihkan kesehatan, kekuatan dan energi

b. Memperoleh dan mempertahankan berat badan yang

normal

c. Mengusahakan keadaan normoglikemia, tanpa adanya

keadaan hipoglikemia

d. Mencegah terjadinya komplikasi, misalnya luka gangren.

2.1.8.12. Perubahan Gaya Hidup / Kebiasaan

Menghindari rokok, mengatasi stres mental,

menghindari konsumsi alkohol, konsumsi garam berlebih

dan dianjurkan untuk mengkonsumsi gizi yang seimbang

dan berolah raga secara teratur. Mengatur waktu dengan

baik agar antara aktivitas dan istirahat dapat seimbang.


2.1.9. Penatalaksanaan Stroke

2.1.9.1 Perawatan umum

Diarahkan untuk memberikan perawatan optimal pada pasien, alih baring untuk

pasien dengan kesadaran menurun, dan memberi hidrasi yang cukup merupakan

beberapa aspek perawatan yang penting.

2.1.9.2 Perbaikan Gangguan / Komplikasi Sistemik

Berbagai komplikasi sistemik sering lebih berbahaya dibandingkan strokenya

sendiri, oleh karena itu harus sering dipantau. Beberapa diantaranya adalah tekanan

darah, gula darah, keadaan kardiorespirasi, ulkus stres, infeksi, emboli paru, dan lesi

iskemik.

2.1.9.3 Rehabilitasi Dini

Upaya rehabilitasi harus diupayakan segera apabila keadaan pasien sudah stabil.

Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat pasien masih berada diruang intensif

yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan.

2.1.9.4 Tindakan perawatan lanjut (follow up)

2.1.9.5 Tindakan untuk mencegah stroke berulang dan upaya rehabilitasi kronis harus

terus dikerjakan .

( Sudoyo, 2006)

Menurut Henderson (2002), sangat penting untuk segera membawa penderita

stroke ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan. Banyak rumah sakit
besar memberikan penanganan berupa obat-obatan yang dapat memecah sumbatan

pada pembuluh darah. Obat-obatan tersebut dapat menghentikan gejala dengan cukup

cepat. Penanganan sebaiknya diberikan dalam 60 menit pertama setelah serangan

stroke terjadi. Waktu ini disebut dengan golden period. Jika dalam kurun waktu itu

penderita mendapat pemeriksaan dan penanganan yang tepat, maka ia akan terhindar

dari kematian, komplikasi, atau kecacatan. Setelah pemberian obat-obatan, perawatan

difokuskan pada rehabilitasi dan pencegahan terulangnya stroke.

Semua jenis stroke memerlukan observasi yang cermat, terutama pada 24 jam

pertama. Penanganan lainnya dapat disesuaikan dengan penyebab terjadinya serangan

stroke seperti misalnya penanganan terhadap hipertensi. Penanganan selanjutnya

tergantung dari berat ringannya akibat dari serangan stroke tersebut. Apabila ada

kelumpuhan dibagian tubuh lain perlu dilakukan terapi khusus misalnya fisioterapi,

terapi okupasi, serta terapi wicara. Fisioterapi dapat membantu memulihkan kekuatan

otot-otot serta mengajarkan bagaimana bergerak yang aman dan nyaman dengan

keterbatasan gerak akibat kelemahan otot. Terapi okupasi membantu penderita untuk

dapat makan, minum dan berpakaian sendiri. Terapi wicara membantu penderita

untuk mengunyah, berbicara maupun mengerti kembali kata-kata.

2.2. Hubungan Riwayat Diabetes Melitus dengan Kejadian Stroke

Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan

heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa


dalam darah atau hipeglikemia (Brunner dan Suddarth,

2002). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah

tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari

makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon

yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa

dalam darah dengan mengatur produksi dan

penyimpanannya.

Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi

terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat

menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini

menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan

komplikasi metabolik akut seperti diabetes ketoasidosis.

Hiperglikemia jangka panjang daapt ikut menyebabkan

komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal

dan mata), dan komplikasi neuropati (penyakit pada

syaraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan

insidens penyakit makrovaskuler yang mencakup infark

miokard, stroke, dan penyakit vaskuler perifer (Brunner &

Suddarth, 2002).

Penderita diabetes mempunyai resiko yang lebih

besar timbulnya penyakit jantung dan stroke, resiko

bahkan lebih besar bagi orang-orang yang menderita


diabetes dan perokok, mepunyai tekanan darah tinggi,

overweight atau kelebihan berat badan dan mempunyai

riwayat keluarga dengan penyakit jantung.

Tergantung pada jenis dan keparahannya, pasien

diabetes melitus mempunyai resiko relatif mendapat

serangan stroke 1,5-3 kali lebih sering jika dibandingkan

dengan populasi normal (Asdie & Asdie, 1999). Menurut

Lasmudin (1996, dalam Asdie & Asdie, 1999) bahwa

pasien diabetes melitus dengan hiperglikemia mempunyai

resiko 11,29 kali untuk terjadinya stroke (OR : 1129, 95%

CI : 2,54-50,19), sedangkan menurut Surya (2007), bahwa

diabetes melitus berhubungan dengan stroke (OR = 2,953,

CI 95% : 1,358-6,422).

Untuk mencegah timbulnya komplikasi-komplikasi

diabetes melitus, pertahankan kadar gula darah hingga

mendekati normal dan melakukan hal-hal sebagai berikut :

2.2.1. Pertahankan berat badan ideal. Jika penderita overweight atau kelebihan berat

badan, maka kurangi berat badan.

2.2.2. Pertahankan dan kontrol kadar kolesterol agar mendekati normal.

2.2.3. Pertahankan tekanan darah agar tetap normal dan mendekati normal

2.2.4. Lakukan olahraga teratur

2.2.5. Hentikan merokok


2.2.6. Periksa secara rutin, bahkan saat kondisi baik.

(Dimasmis, 2009).

2.3. Hubungan Kebiasaan Olah Raga dengan Kejadian Stroke

2.3.1. Pengertian Olah Raga

Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang

terencana dan terstruktur, yang melibatkan gerakan tubuh

berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan

kebugaran jasmani (Depkes RI, 2002).

2.3.2. Jenis Olah Raga

2.3.2.1. Aerobik adalah : Olahraga yang dilakukan secara terus-menerus dimana

kebutuhan oksigen masih dapat dipenuhi tubuh. Misalnya : Jogging, senam,

renang, dan bersepeda.

2.3.2.2. Anaerabik adalah : Olahraga dimana kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi

seluruhnya oleh tubuh. Misalnya : Angkat besi, lari sprint 100 M, tenis

lapangan, dan bulu tangkis.

2.3.3. Manfaat Olahraga

2.3.3.1. Meningkatkan kerja dan fungsi jantung, paru dan pembuluh darah yang

ditandai dengan : denyut nadi istirahat menurun, isi sekuncup bertambah,

kapasitas bertambah, penumpukan asam laktat berkurang, meningkatkan


pembuluh darah kolateral, meningkatkan HDL Kolesterol, mengurangi

aterosklerosis

2.3.3.2. Meningkatkan kekuatan otot dan kepadatan tulang yang ditandai : pada anak

untuk mengoptimalkan pertumbuhan, dan pada orang dewasa untuk

memperkuat masa tulang, menurunkan nyeri sendi kronis pada pinggang,

punggung dan lutut.

2.3.3.3. Meningkatkan kelenturan (fleksibilitas) pada tubuh sehingga dapat

mengurangi cedera.

2.3.3.4. Meningkatkan metabolisme tubuh untuk mencegah kegemukan dan

mempertahankan berat badan ideal.

2.3.3.5. Mengurangi resiko terjadinya berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi

(mengurangi tekanan sistolik dan diastolic), penyakit jantung koroner

(menambah HDL-kolesterol dan mengurangi lemak tubuh), kencing manis

(menambah sensitifitas insulin), dan infeksi (meningkatkan sistem imunitas)

2.3.3.6. Meningkatkan sistem hormonal melalui peningkatan sensitifitas hormon

terhadap jaringan tubuh.

2.3.3.7. Meningkatkan aktivitas sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit melalui

peningkatan pengaturan kekebalan tubuh.

2.3.3.8. Penelitian Kavanagh, latihan aerobik 3 kali seminggu selama 12 minggu,

dapat : meningkatkan pembuluh darah kolateral, meningkatkan HDL

kolesterol, dan mengurangi aterosklerosis


2.3.4. Persiapan Sebelum Olahraga

2.3.4.1. Pilih olahraga yang digemari, aman, mudah, dan murah.

2.3.4.2. Sebaiknya sebelum melakukan olahraga dilakukan pemeriksaan

pendahuluan untuk menentukan dosis yang aman dan jenis olahraga yang

cocok (tes pembebanan/stress test) terutama bila : ada keluhan seperti sering

pusing, sesak nafas, nyeri dada; berpenyakit seperti penyakit jantung

koroner, asma, kencing manis, hipertensi, dll; dan berusia diatas 30 tahun.

2.3.4.3. Sebaiknya gunakan pakaian dan sepatu olahraga yang sesuai dan nyaman.

2.3.4.4. Jangan lakukan olahraga setelah makan kenyang, sebaiknya tunggu sampai 2

jam.

2.3.4.5. Minum minuman yang sejuk dan sedikit manis (manis jambu).

2.3.5. Olahraga Yang Baik Dan Benar

2.3.5.1. Olahraga daapt dimulai sejak usia muda hingga usia lanjut.

2.3.5.2. Dapat dilakukan dimana saja, dengan memperhatikan lingkungan yang mana

dan nyaman, bebas polusi, tidak menimbulkan cedera, misalnya : dirumah,

tempat kerja, dan dilapangan.

2.3.5.3. Olahraga hendaknya dilakukan secara bervariasi, berganti-ganti jenisnya

supaya tidak monoton.

2.3.5.4. Dilakukan secara bertahap dimulai dari pemanasan 5 - 10 menit, diikuti

dengan latihan inti minimal 20 menit dan diakhiri dengan pendinginan

selama 5 - 10 menit.
2.3.5.5. Frekuensi latihan dilakukan secara teratur 3 - 5 kali per minggu.

2.3.5.6. Intensitas latihan :

2.3.5.6.1. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh harus mencapai 70% - 85% denyut

nadi maksimal (DNM). DNM adalah denyut nadi maksimal yang dihitung

berdasarkan : DNM = 220 - UMUR

2.3.5.6.2. Untuk membakar lemak dengan intensitas yang lebih ringan yaitu 60 - 70

% DNM. Contoh : Orang dengan usia 40 tahun akan mempunyai DNM =

220 - 40 = 180. Untuk membakar lemak orang tersebut harus berolahraga

dengan denyut nadi mencapai : 60% x 180 = 108 s/d 70% x 180 = 126.

2.3.5.6.3. Waktu : mulai semampunya, ditambah secara perlahan-lahan. Untuk

meningkatkan daya tahan tubuh (endurence) perlu waktu antara 1/2 - 1 jam,

untuk membakar lemak perlu waktu lebih lama (lebih dari satu jam).

2.3.6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Setelah Berolahraga

2.3.6.1. Jangan langsung makan kenyang setelah berolahraga, makanlah makanan

lunak/cairan seperti bubur kacang hijau.

2.3.6.2. Minumlah secukupnya bila banyak berkeringat dan jangan langsung mandi.

2.3.6.3. Gantilah pakaian olahraga yang digunakan bila terlalu basah.

(Depkes RI, 2002).

2.3.7. Mekanisme Olah Raga Terhadap Pencegahan Stroke


Olah raga merupakan sebagian kebutuhan pokok

dalam kehidupan sehari-hari karena dapat meningkatkan

kebugaran yang diperlukan dalam melakukan tugas

sehari-hari. Gaya hidup duduk terus-menerus dalam

bekerja (sedentary) dan kurang gerak ditambah dengan

adanya faktor risiko, berupa merokok, pola makan yang

tidak sehat dapat menyebabkan penyakit tidak menular,

seperti penyakit jantung, pembuluh darah, penyakit

tekanan darah tinggi, penyakit kencing manis, berat badan

lebih, osteoporosis, kanker usus, depresi dan kecemasan.

Studi WHO pada faktor-faktor risiko menyatakan

bahwa gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja

adalah 1 dari 10 penyebab kematian dan kecacatan di

dunia. Lebih dari dua juta kematian setiap tahun

disebabkan oleh kurangnya bergerak/olah raga. Pada

kebanyakan negara diseluruh dunia antara 60% hingga

85% orang dewasa tidak cukup berolahraga untuk

memelihara fisik mereka (Depkes RI, 2002).

Olah raga atau latihan jasmani yang teratur sudah

terbukti menurunkan resiko untuk terjadi kematian

premature dan penyakit kardiovaskuler, serta

serebrovaskuler. Efek proteksi dari olah raga untuk


mencegah terjadinya stroke melalui pengendalian berbagai

faktor resiko stroke, seperti hipertensi, diabetes mellitus,

dan kegemukan, yang disertai dengan penurunan kadar

fibrinogen dalam plasma dan aktifitas platelet, dan

kenaikan konsentrasi HDL/High Densitity Lipoprotein

(Lamsudin, 1999). Hasil penelitian Kusmana (2002, dalam

Depkes RI, 2002) memperlihatkan bahwa orang yang

mempunyai gaya hidup : tidak merokok, berolahraga

secara teratur, dan melakukan kerja fisik, ternyata

berpeluang lima kali lebih tinggi terhindar dari penyakit

jantung dan stroke dari pada yang bergaya hidup

sebaliknya. Sedangkan penelitian Surya (2007)

menunjukkan bahwa aktifitas fisik atau olah raga

berhubungan dengan kejadian stroke dengan OR = 27,067

(CI 95% : 5,538-132,284).

2.4. Hubungan Pengetahuan Tentang Pencegahan dengan Kejadian Stroke

2.4.1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera

manusia, yakni : indera penglihatan, pendengaran,


penciuman, pengecapan dan perabaan. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melaluiindera penglihatan

dan pendengaran ( Notoatmodjo, 2003 ).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku

didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang

positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (

Notoatmodjo, 2003 ).

2.4.2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo ( 2003 ), pengetahuan yang

dicakup dalam domain kognitif ada enam tingkat, yaitu :

2.4.2.1. Tahu ( know )

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang

telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam

pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali ( recall

) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

itu, ” tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling

rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan,


menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan

sebagainya.

2.4.2.2. Memahami ( Comprehensive )

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui

dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.

Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

2.4.2.3. Aplikasi ( Application )

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi

atau kondisi nyata. Aplikasi dapat diartikan sebagai

penerapan atau penggunaan rumus, metode, prinsip dan

sebagainya, dalam konteks atau situasi yang lain.

2.4.2.4. Analisis ( Analysis )

Analisis adalah suatu kemampuan untuk

menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-

komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata

kerja, antara lain : dapat menggambarkan ( membuat


bagan ), membedakan, memisahkan, mengelompokkan

dan sebagainya.

2.4.2.5. Sintesis ( Synthesis )

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam

suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain,

sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

2.4.2.6. Evaluasi ( Evaluation )

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi

atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu

kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

2.4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo ( 2003 ), pengetahuan

seseorang dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu :

2.4.3.1. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman

pribadi maupun dari pengalaman orang lain. Pengalaman


yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan

seseorang.

2.4.3.2. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau

pengetahuan seseorang. Secara umum seseorang yang

berpendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan yang

lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat

pendidikannya lebih rendah.

2.4.3.3. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun

dan tanpa adanya pembuktian terlebih dulu. Keyakinan

bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik

keyakinan itu sifatnya positif atau negatif.

2.4.3.4. Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang

dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, misalnya

televisi, radio, majalah, koran dan buku.

2.4.3.5. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap

pengetahuan seseorang. Bila penghasilan seseorang cukup


besar, maka dia akan mampu untuk menyediakan atau

membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

2.4.3.6. Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan di dalam

keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi dan

sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.4.4. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden ( Notoatmodjo, 2003 ).

Pengetahuan yang baik tentang pencegahan stroke

dapat mencegah serangan dan meminimalkan efek

samping apabila terjadi serangan (Anna, 2006). Mencegah

stroke dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan

berbagai faktor resiko yang telah disebutkan di atas,

berolahraga secara teratur, dan melakukan diet.

Pencegahan harus dilakukan sepanjang masa. Semakin

usia bertambah, semakin besar kemungkinan stroke

(Susan, 2008). Di samping, itu Sebenarnya serangan

stroke dapat dicegah apabila klien yang mempunyai faktor

resiko mengetahui cara-cara pencegahannya. Masih


banyak masyarakat yang belum mengerti tanda dan gejala

stroke sehingga terlambat untuk mencari pertolongan.

Akibatnya hasil terapi yang didapat tidak dapat optimum,

hari rawat menjadi panjang dan biaya yang dikeluarkan

untuk penyembuhan menjadi relatif lebih besar.

Hasil penelitian Anna (2006) menunjukkan bahwa

sebagian responden (51.05%) mempunyai pengetahuan yang

kurang tentang penyebab/faktor resiko terjadinya stroke, dan

hampir sebagian (35.2%) mempunyai pengetahuan yang

kurang mengenai cara pencegahan stroke. Ketidaktahuan

responden mengenai faktor resiko yang bisa menyebabkan

terjadinya stroke menyebabkan seluruh responden

mempunyai faktor resiko stroke yaitu menderita

hipertensi, DM dan penyakit jantung koroner, walaupun

responden telah minum obat secara teratur. Untuk

mencegah terjadinya stroke, tidak cukup hanya dengan

mengendalikan faktor resiko melalui pengobatan

melainkan juga dibutuhkan pengetahuan yang adekuat

tentang pengendalian faktor resiko yang lain.

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini disajikan pada bagan 2.2. berikut :
Bagan 2.2.
Kerangka Konsep Penelitian

1. Riwayat Diabetes Melitus


K
2. Kebiasaan Olah raga
3. Pengetahuan Tentang Pencegahan e

2.6. Hipotesis d
2.6.1. Ada hubungan antara Riwayat Diabetes Melitus dengan kejadian stroke di i

Poliklinik syaraf RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. a


2.6.2. Ada hubungan antara Kebiasaan Olah raga dengan kejadian stroke di n

Poliklinik syaraf RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

2.6.3. Ada hubungan antara Pengetahuan tentang Pencegahan dengan kejadian S

stroke di Poliklinik syaraf RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. t

Anda mungkin juga menyukai