Anda di halaman 1dari 12

KONTROVERSI UJIAN NASIONAL

Marlinawati
Universitas Nahdlatul Wathan
inagadingivory@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini adalah sebuah tinjauan kritis terhadap kebijakan pemerintah Republik Indonesia
dalam hal penerapan Ujian Nasional (UN) Kajian ini dilakukan menggunakan kerangka kerja
analisis wacana kritis dengan mengkaji berbagai pandangan pro-kontra UN di masyarakat yang
diwacanakan dalam bentuk tulisan di ruang publik. Data dalam studi berupa 5 artikel yang
diterbitkan secara luas di media online and offline. Penelitian ini menemukan bahwa sejak
diberlakukan, kemasan UN terus mengalami perubahan yang cukup signifikan. Meskipun
terdapat beberapa hal negatif terkait dengan kebijakan ini, kebijakan UN juga membawa banyak
manfaat bagi semua pihak, utamanya pemerintah dalam mengevaluasi kebijakan pendidikan di
seluruh wilayah. Namun, dengan alokasi sumber daya yang cukup besar, hasil UN seharusnya
bisa lebih dimanfaatkan, seperti dihubungkan dengan mekanisme penerimaan mahasiswa baru
di perguruan tinggi. Berdasarkan pertentangan wacana yang dibangun oleh pihak-pihak yang
pro dan kontra, dapat disimpulkan bahwa orientasi, bentuk, dan pemanfaatan hasil UN masih
harus ditingkatkan.

Kata kunci: ujian nasional, analisis wacana kritis, asesmen, orientasi kebijakan pendidikan

1. LATAR BELAKANG
Sejak diterbitkannya SK Mendiknas Nomor 153 tahun 2003 tentang Ujian Akhir
Nasional yang sekarang disebut Ujian Nasional (selanjutnya disingkat UN), kontroversi atas
kebijakan pemerintah ini terus mengemuka. Bahkan, seperti layaknya pergantian musim,
setiap menjelang pelaksanaan UN, para kritikus pendidikan mulai diundang di berbagai
forum dan media massa guna memberikan sudut pandang mereka terkait isu tersebut. Di sisi
lain, pemerintah, melalui aparat dan pakar-pakarnya, juga sibuk memberikan tanggapan
balik (counter) untuk menegaskan subtansi pentingnya Ujian Nasional.
Meskipun pemerintah memiliki segudang alasan pembenar tentang perlunya UN,
pandangan pemisis yang disampaikan oleh para pakar cukup beralasan. Husnawati (2004)
setidaknya mengemukakan tiga hal negatif terkait UN, yaitu (1) munculnya target-oriented
learning yang menempatkan target capaian tes menjadi orientasi dasar pelasanaan
pembelajaran di sekolah sehingga siswa harus bekerja layaknya mesin; (2) potensi
terjadinnya stres pada siswa semakin terbuka akibat penentuan standar kelulusan (passing

1 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


grade) yang menepikan variabel lain dari pelaksanaan pembelajaran; dan (3) terhambatnya
perkembangan aspek multiple intelligence pada diri siswa. Santoso (2004) lebih awal
menyampaikan bahwa UN hanya mampu melakukan asesmen pada kemampuan akademis
pedagogis saja tanpa melihat aspek kepekaan lingkungan pada diri siswa. Ia juga
menegaskan bahwa UN cenderung tidak mendorong perkembangan kemampuan berlogika,
berinovasi, dan mengelola emosi pada diri masing-masing siswa. Wacana meniadakan UN
pun kerap muncul dari tahun ke tahun, bahkan usulan ini juga pernah dimotori oleh Komisi
VI DPR RI yang membidangi masalah pendidikan. Beberapa alasan yang menjadi dasar
mosi ini adalah standar kelulusan yang memberatkan bagi siswa, minimnya persiapan siswa,
tidak memadainya kualitas guru di sekolah, anggaran yang besar, dan pentikberatan UN
hanya pada aspek kognitif siswa. Sebuah artikel jurnalistik bahkan pernah menyebutkan
bahwa UN telah melanggar UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 (Jawa Pos, 5 Mei 2004).
Hidayah (2013:35) menyatakan bahwa UN yang seyogyanya adalah alat ukur kelulusan
berdasarkan pencapaian target nilai yang diharapkan meningkatkan mutu lulusan justru
hanya dijadikan ruang bagi kepentingan-kepentingan tertentu dan menunjukkan indikasi
digunakan sebagai komoditas politik.
Sejak diberlakukan di tahun tahun akademik 2002/2003, pada tahun-tahun selanjutnya,
UN terus menuai kritik secara luas. Sulistyo (2007) menyimpulkan bahwa setidaknya dua
faktor yang memicu kritik terhadap UN, naiknya standar kelulusan yang terlalu tinggi dan
realitas keadaan sekolah secara umum di seluruh Indonesia. Dalam sebuah kolom di sebuah
harian nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2004:2) menjelaskan UN sebagai
bagian dari upaya perbaikan mutu pendidikan nasional, dalam hal mengukur capaian standar
yang telah ditetapkan. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan UN dapat memberikan manfaat
dua arah, baik pada lulusan (siswa) maupun pendidik (guru).
Tulisan ini dimaksudkan untuk menghadirkan tinjauan kritis terhadap kebijakan UN
yang mengalami penolakan di masyarakat. Artikel ini diharapkan dapat menawarkan
perspektif bagi semua stakeholder pendidikan, yaitu pemerintah, sekolah, masyarakat,
perguruan tinggi, dan pengguna lulusan.
2. METODOLOGI
Data yang digunakan dalam artikel ini dikumpulkan melalui studi dokumen berupa
tulisan tentang pandangan terhadap UN yang diterbitkan di media online dan offline. Penulis

2 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


melakukan penelusuran data yang tersebar di internet dengan menggunakan acuan
pandangan pro-kontra sumber data terhadap isu UN. Studi ini memilih 5 artikel sebagai data
penelitian. Data kemudian dianalisis menggunakan metode yang dikembangkan oleh Miles
dan Huberman (1994), di mana data diolah melalui tahapan reduksi, tampilan, dan penarikan
kesimpulan sementara (hingga kesimpulan akhir). Pada tahapan interpretasi data, penulis
menggunakan kerangka kerja analisis wacana kritis (Wodak & Meyer, 2001), di mana
metode kajian ini melihat setiap struktur sosial memiliki hubungan dengan struktur wacana.
3. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Landasan Pemikiran UN
1) Perubahan dari Masa ke Masa
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, UN bukanlah sesuatu yang benar-benar
baru dan muncul secara tiba-tiba dari Departemen Pendidikan Nasional. Selama tujuh
dekade lebih Indonesia berdiri, konsep pengujian lulusan sebuah jenjang pendidikan
sudah dikenal, bahkan telah mulai diperkenalkan sejak masa kolonial. Pada prinsipnya,
semua berjalan seiring dengan upaya-upaya menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan
yang berarti meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah (2004:2) menjelaskan tentang tiga periode yang dilalui Indonesia
terkait kebijakan ujian sejak tahun 1945, yaitu sistem ujian negara, periode ujian sekolah
penuh, dan periode evaluasi belajar tahap akhir nasional. Fase-fase perubahan dilalui
dalam rangka perbaikan dan memenuhi akuntabilitas, validitas, dan reliabilitas ujian
sebagai modal penting membangun manusia Indonesia dengan kualifikasi yang
dibutuhkan. Perubahan-perubahan dalam bentuk format ujian merupakan salah satu
kebijakan yang terus dikembangkan pemerintah dari waktu ke waktu.
Kebijakan yang menerapkan sistem ujian negara berlangsung hampir selama dua
dekade (1945-1964). Semua siswa menempuh ujian akhir untuk menyelesaikan jenjang
pendidikannya yang disebut sebagai ujian negara. Seluruh atribut ujian dipersiapkan oleh
negara. Semua mata pelajaran yang akan diujikan dan semua soal yang ditanyakan
berdasarkan mata pelajaran yang diujikan ditentukan dan disiapkan oleh negara. Dalam
hal ini, dapat dinyatakan bahwa negara memiliki peran yang sangat dominan dan ketat.
Di era ini, sentralisasi pendidikan menjadi sangat kental.

3 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


Hingga saat ini, UN adalah sistem evaluasi nasional untuk menilai standar
pendidikan dasar dan menengah. Evaluasi dilaksanakan dengan berdasarkan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang
menyatakan bahwa evaluasi merupakan bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan oleh lembaga mandiri yang
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik menilai pencapaian standar
nasional pendidikan. Tanggung jawab tersebut saat ini berada di Badan Standar Nasional
Pendidikan (BNSP).
Pada prinsipnya, UN mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1950. Hingga saat
ini, formatnya telah berganti beberapa kali serta mengalami perkembangan dan
penyempurnaan. Tahun 1950–1964 dalam bentuk Ujian Penghabisan. Tahun 1965–1971
dalam bentuk Ujian Negara. Tahun 1972–1979 dalam bentuk Ujian Sekolah. Tahun
1980–2002 dalam bentuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Tahun 2003–2004
dalam bentuk Ujian Akhir Nasional. Tahun 2005–2010 dalam bentuk Ujian Nasional.
Tahun 2011–2014 dalam bentuk Ujian Nasional 60% + Ujian Sekolah 40%. Tahun 2015–
2016 dalam bentuk Ujian Nasional, tetapi bukan sebagai syarat kelulusan. Kemudian
tahun 2017 direncanakan dalam bentuk Ujian Sekolah Berstandar Nasional (Sipayung,
2013; Kemdikbud, 2016).
Passing Grade atau acuan rata-rata minimal nilai kelulusan UN terus mengalami
peningkatan, dari 4,25 (2005) meningkat menjadi 4,50 (2006). Kemudian, rata-rata
minimal UN juga naik dari 5,00 (2007), menjadi 5,25 (2008). Rata-rata minimal UN tetap
berada di angka 5,50 selama lima tahun sejak 2009. Standar rata-rata yang ditetapkan
terus meningkat sarat dengan harapan peningkatan mutu pendidikan. Ujian Sekolah
Berstandar Nasional (UN) yang diusulkan Kemdikbud untuk tahun 2017 dimaksudkan
agar ada perbaikan sistem dan penilaian pembelajaran yang kredibel dan reliabel.
Lima negara maju yang paling sering dijadikan acuan tentang peniadaan UN adalah
Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Finlandia, dan Australia. Tetapi perlu disadari bahwa
walaupun di lima negara tersebut tidak ada UN, proses evaluasi pendidikan tetap
dilakukan dan dipercayakan kepada guru atau pihak sekolah, yang menjadi hak mutlak
guru untuk melakukan penilaian. Kewajiban negara secara penuh adalah untuk melatih
dan mendidik guru yang cakap dalam melakukan evaluasi pendidikan terstandar dan

4 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


berkualitas secara menyeluruh. Hampir keseluruhan negara di Asia Tenggara
menyelenggarakan UN guna menentukan standar, juga sebagai pertanggungjawaban
pemerintah kepada publik. Indonesia, Singapura, dan Thailand adalah tiga negara yang
menyelenggarakan UN sejak tingkat pendidikan dasar, sedangkan Malaysia, Kamboja,
Laos, dan Filipina menyelenggarakannya hanya pada tingkat pendidikan menengah.
B. Tinjauan Teoretis Pelaksanaan UN
Berdasarkan karakteristiknya, UN dapat diidentifikasi sebagai suatu ujian yang
diamanatkan atau di bawah pengawasan (mandated examination) yang didesain untuk
menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhan sistem pendidikan, bukan pencapaian
individu tertentu. Menurut Miller (2009 dalam Hartanto, 2017), mandated examination
memiliki beberapa kegunaan, yaitu:
a. Hasil ujian dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pendidikan untuk
mendeteksi kelemahan yang dimiliki.
b. Sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan.
c. Memberikan informasi mengenai kondisi terkini dan kemajuan peserta didik serta
kualitas sekolah.
d. Memberikan hasil ujian yang akuntabel guna memotivasi guru dan peserta didik untuk
berusaha lebih baik.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2004:2) mengatakan bahwa UN adalah
salah satu upaya pembenahan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ini dilakukan dengan memasang standar nilai
minimal yang harus diraih oleh siswa. Dengan mencanangkan nilai minimal sebagai batas
kelulusan, diharapkan bahwa ini tidak hanya merupakan tantangan bagi siswa saja, tetapi
juga merupakan washback effect yang positif bagi semua pihak, terutama guru dan orang
tua. Guru diharapkan dapat menjalankan fungsi pengajaran dengan lebih bersungguh-
sungguh sehingga dapat mengantarkan siswa dalam kegiatan pemelajaran.
Dinyatakan dalam SK Mendiknas Republik Indonesia Nomor 114 tahun 2001
tentang Penilaian Hasil Belajar Secara Nasional bahwa UN ditujukan sebagai salah satu
bentuk sarana untuk menilai hasil belajar siswa diselenggarakan dengan pertimbangan
antara lain sebagai berikut. Pertama, penilaian tingkat nasional yang diselenggarakan
secara sistematis dan berkala perlu dilaksanakan guna memantau, mengendalikan, dan

5 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah secara nasional. Kedua, penilaian
merupakan cara untuk mengetahui apakah siswa telah belajar sesuai dengan yang
diharapkan. Ketiga, setiap warga negara berhak mendapatkan penilaian atas hasil
belajarnya yang diperoleh melalui satuan pendidikan.
Selanjutnya, berdasarkan SK Mendiknas Republik Indonesia Nomor 153 tahun 2003
tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004, pertimbangan
penyelenggaraan UN, antara lain adalah sebagai berikut: “... mengetahui hasil belajar
peserta didik dan memperoleh keterangan mengenai mutu pendidikan...” pada berbagai
jenis dan jenjang pendidikan. Selain itu, penyelenggaraan UN sebagai sarana penjamin
“adanya standar mutu pendidikan yang terukur secara nasional, juga didasarkan atas
pertimbangan ‘untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah”.
Secara fisik, UN berupa seperangkat alat pengujian untuk pelajaran Bahasa Inggris,
Bahasa Indonesia, dan Matematika. Alat pengujian itu terdiri dari butir-butir tes yang
mengukur aspek isi penguasaan siswa dalam pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia,
dan Matematika tersebut, yang masing-masing mengandung dimensi sasaran ukur (Naga
1992:164). Mengapa alat uji seperti UN perlu diadakan? Ujian merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran-pengajaran (lihat Lewy 1977:11; Stiggins
1994:42--57; Nitko 1996:1--20). Setiap kegiatan pemelajaran dan pengajaran diikuti dan
atau diiringi dengan suatu kegiatan yang tak terpisahkan lainnya, yaitu ujian. Ujian
semacam ini dapat dirancang untuk mengukur setidaknya dua hal (Athanasou, J. dan I.
Lamprianou 2002:8), yaitu kemajuan hasil belajar siswa dan keefektifan pengajaran.
Tujuan pengukuran hasil belajar sering disebut sebagai achievement orientation;
sedangkan tujuan pengukuran keefektivan pengajaran dapat dikategorikan.
Sebagai program evaluation orientation dan kaitannya dengan UN, tersirat adanya
dua macam orientasi tersebut, seperti yang tertuang dalam SK Mendiknas RI Nomor 114
tahun 2001 tentang Penilaian Hasil Belajar Secara Nasional, khususnya pasai 3 ayat 1,
“mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; dan mengetahui mutu pendidikan ...”
dan fungsi memberi “umpan balik perbaikan program pembelajaran”. Oleh karena itu,
secara teoretis konseptual, nampaknya tujuan dan fungsi yang dijadikan landasan dalam
UN memiliki dasar rujukan. Akan tetapi, dalam perspektif ini, yang lebih mendapatkan
porsi adalah tujuan “mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik”, sedangkan fungsi

6 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


memberi “umpan balik perbaikan program pemelajaran” dalam sejarah pengujian
nasional nampaknya belum pernah dipublikasikan secara luas.
Sebagai alat ukur, tes atau perangkat pengujian harus berkualitas baik (Bachman
1990). Kualitas baik ini perlu karena akurasi dan kualitas informasi yang akan diberikan
dari tes (Naga 1992:306) akan bergantung pada kualitas tes atau alat uji yang
dikembangkan tersebut. Kualitas informasi ini akan berpengaruh terhadap tindak lanjut
yang diambil (Nitko 1996: 9-13). Syarat yang perlu dimiliki sebuah tes atau perangkat uji
antara lain reliabilitas, validitas, dan kepraktisannya yang memadai. Secara teoretis,
pengujian kualitas tes atau alat uji ini melalui prosedur yang cukup pelik dan memerlukan
ketelitian tinggi. UN sebagai alat ukur tentunya perlu melalui prosedur ‘standar’
pengembangan dan pengujian tes sebelum benar-benar digunakan sebagai alat ukur.
Sayangnya, informasi semacam ini tidak mudah untuk diakses secara umum. Akibatnya,
yang terkait dengan pengembangan UN adalah asumsi bahwa langkah standar telah
dilakukan untuk pengembangannya.
Dalam konsep dikenal adanya istilah tes, pengukuran dan evaluasi (Pedhazur dan
Schmelkin, 1991). Ketiga terminologi tersebut mengacu pada konsep yang berbeda. Tes
dapat dirujuk sebagai seperangkat prosedur (Bachman 1990) atau butir tes atau
seperangkat uji tes (Naga 1992). Bachman (1990) membatasi pengukuran sebagai proses
mengkuantifikasikan atribut sasaran ukur dengan menggunakan seperangkat aturan
tertentu; sedangkan evaluasi dapat dibatasi sebagai proses pengumpulan dan
penganalisisan informasi untuk pengambilan keputusan. Dari perspektif konsep dan
terminologi tersebut nampaknya ada ketidaktegasan acuan dalam UN. Rancangan istilah
UN nampaknya mengacu kepada evaluasi karena di dalamnya ada proses pengambilan
keputusan; sedangkan secara bentuk, UN nampaknya menunjuk pada butir-butir tes.
Memang dimungkinan bahwa dalam suatu evaluasi melibatkan penggunaan butir tes;
namun tidak semua bentuk evaluasi harus menggunakan tes. Istilah assesmen dapat
digunakan untuk menggambarkan semangat yang tertuang pada istilah UN. Athanasou, J.
dan I. Lamprianou (2002:3) memberi batasan assesmen sebagai “the process or the
processes of collecting and combining information from tasks (e.g. tests on performance
or learning) with a view to making a judgement about a person or making a comparison
against an established criterion”.

7 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


Istilah ini pun tidak begitu tepat untuk menggambarkan nuansa yang diharapkan
pada UN karena ibarat alat potret, UN hanya digunakan untuk ‘memotret’ kemampuan
sesaat siswa saja. Pemotretan keadaan sesaat terhadap seseorang tentu saja tidak dapat
digunakan untuk menggambarkan keadaan utuh seseorang. Sementara itu, konsep
assesmen yang utuh, seperti batasan di atas, mengisyaratkan adanya “pemotretan” yang
dilakukan berkali-kali, dari sudut yang berbeda-beda, dan bahkan dilakukan dengan
menggunakan alat yang beragam.
Menurut Kellaghan dan Greaney (2001), tujuan pelaksanaan ujian negara adalah
sebagai berikut:
a. Meningkatkan standar pendidikan untuk menjawab kebutuhan lapangan kerja
b. Untuk mempertahankan standar pendidikan yang sudah dimiliki.
c. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan terkait
dengan alokasi sumber daya pembelajaran untuk sistem pendidikan secara umum,
sekolah-sekolah yang memiliki karakteristik khusus dan sekolah berprestasi.
d. Untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menetapkan akuntabilitas
prestasi belajar peserta didik.
e. Ujian negara dilakukan sebagai bagian dalam gerakan modernisasi, di bawah pengaruh
pemberi modal, yang tidak terlalu memperhatikan kesinambungan dan tidak
memahami bagaimana memanfaatkan informasi yang diperoleh.
f. Untuk mengubah keseimbangan pengawasan dalam sistem pendidikan.
g. Untuk mengimbangi lemahnya praktek penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh
para guru.
Dampak ujian yang distandarkan menurut hasil penelitian Lomax (1991) dan
kawan-kawan menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga dampak serius ujian yang
distandarkan dan tersentralisasi, yaitu:
a. Berkurangnya waktu untuk pengajaran,
b. Diabaikannya materi kurikulum yang tidak diujikan, dan
c. Meningkatnya pemakaian materi persiapan yang mirip dengan tes.
C. Penghentian Sementara UN
Alasan utama Kemdikbud berani mengusulkan kebijakan moratorium UN
berdasarkan data UN tiga tahun terakhir yang sudah dapat memetakan kategori sekolah di

8 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


Indonesia. Kategori sekolah yang ‘sangat baik’ jika berdasarkan pada data UN 2014–
2016 tidak mencapai satu persen. Sementara untuk kategori ‘kurang’ dan ‘tidak jelas’,
jumlah rata-rata mencapai 70 persen. Artinya, sekolah dengan kategori ‘cukup’, ‘baik’,
dan ‘sangat baik’ hanya sekitar 30 persen saja. Itulah kondisi pendidikan Indonesia jika
melihat pada capaian UN. Hasil UN seperti ini sebenarnya belum dapat menjadi
instrumen peningkatan mutu pendidikan.
Selain itu, bentuk UN selama ini kurang dapat mendorong berkembangnya
kemampuan siswa secara utuh karena yang dievaluasi hanya sebagian kecil dari mata
pelajaran. Mengingat tujuan
utama penyelenggaraan UN adalah untuk memetakan pendidikan nasional maka
peta tersebut sudah terungkap dari data yang ada. Artinya, tidak perlu lagi pemetaan
secara nasional dilakukan setiap tahun.
Beberapa alasan lain yang menyebabkan Kemdikbud merasa perlu untuk segera
melakukan perubahan UN adalah:
1. Mendikbud sebagai pembantu Presiden bertugas menerjemahkan Nawacita terutama
prioritas ke-8, yaitu mengevaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan
nasional -termasuk di dalamnya UN- dan pembentukan kurikulum yang menjaga
keseimbangan aspek muatan lokal/daerah dan aspek nasional dalam rangka
membangun pemahaman yang hakiki terhadap kebhinnekaan yang tunggal ika.
2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 2596K/PDT/2008 tanggal 14
September 2009, Pemerintah diperintahkan untuk meningkatkan kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh
daerah sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut.
3. Rencana Wajib Belajar 12 Tahun yang menyebabkan tidak perlu ada lagi sistem
seleksi dari jenjang yang satu untuk naik ke jenjang berikutnya.
4. Cakupan UN yang terlalu luas menyebabkan kesulitan dalam memperoleh UN yang
kredibel dan bebas dari kecurangan. Selain itu, penyelenggaraan UN membutuhkan
sumber daya yang sangat besar dalam waktu yang sangat singkat.
5. Implikasi UN tidak sama terhadap setiap peserta UN. Hampir tidak ada PTN yang
menggunakan hasil UN sebagai dasar penerimaan mahasiswa baru. Biasanya PTN

9 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


menggunakan seleksi tersendiri, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN).
6. Sifat UN yang hanya menguji ranah kognitif beberapa mata pelajaran tertentu saja
menyebabkan siswa dan sekolah cenderung mengesampingkan atau mereduksi hakikat
pendidikan, yaitu membangun karakter, perilaku, dan kompetensi. Hal ini juga
berimplikasi pada guru, karena guru mata pelajaran yang masuk ke dalam UN akan
lebih dihormati dibandingkan guru mata pelajaran lain yang tidak diujikan dalam UN.
7. Soal UN yang multiple choice tidak mampu mendorong siswa berpikir kritis dan
analitis.
D. Dimensi Positif UN
Meskipun ada beberapa alasan yang dikemukakan Kemdikbud atas kebijakan
moratorium UN, namun perlu juga dipertimbangkan pendapat Swasono (2016) yang
menyatakan bahwa UN memiliki peran yang strategis. Menurut Swasono (2016), UN
mempunyai posisi tepat untuk membentuk mindset ke-Indonesia-an sebagai bagian
integral dari nation building Indonesia.
Sulistyo (2007:83) menyebutkan beberapa hal positif atas diadakannya UN.
Misalnya, kendali pemerintah yang sangat ketat, sekolah hampir tidak memiliki
kewenangan apalagi campur tangan untuk menentukan kelulusan siswa mereka. Selain
itu, kuantitas siswa yang tersaring lolos ujian pada umumnya dapat dikatakan kecil.
Namun demikian, mereka yang berhasil lolos ujian negara pada umumnya memiliki
kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Kualitas kelulusan dengan model ujian
negara dapat dikatakan tinggi. Tingginya mutu lulusan model ujian negara ini
menyebabkan tidak diperlukannya seleksi terhadap siswa agar dapat mengikuti jenjang
pendidikan berikutnya.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 114/U/2001
tentang Penilaian Hasil Belajar Secara Nasional menyatakan bahwa penilaian hasil
belajar secara nasional, yang antara lain mencakup UN (pasal 3ayat 1) bertujuan untuk
“mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik dan mengetahui mutu pendidikan”.
Sementara itu, fungsinya adalah sebagai berikut:
a. Alat pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan;

10 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


b. Bahan pertimbangan dalam penentuan tamat belajar peserta didik pada setiap jenis,
jalur, dan jenjang pendidikan;
c. Bahan pertimbangan dalam penerimaan peserta didik pada setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan;
d. Umpan balik perbaikan program pemelajaran.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 153/U/2003
Tanggal 14 Oktober 2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004
bertujuan Nasional untuk, sebagai berikut:
a. Mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik;
b. Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan
sekolah/madrasah;
c. Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi,
kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah kepada masyarakat.
Adapun fungsi UN adalah sebagai:
a. Alat pengendali mutu pendidikan secara nasional;
b. Pendorong peningkatan mutu pendidikan;
c. Bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik;
d. Bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan peserta didik baru pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
UN pada dasarnya adalah salah satu cara yang digunakan untuk penggalian
informasi tentang kualitas pendidikan nasional. Penggalian informasi ini dilakukan
dengan menggunakan seperangkat ujian dan dengan menggunakan siswa sebagai sumber
data informasi tersebut. Informasi tentang mutu ini diharapkan merupakan cerminan
bagaimana manajemen berbasis sekolah itu diselenggarakan di tiap-tiap sekolah
4. KESIMPUAN
Kebijakan tentang Ujian Sekolah Bertaraf Nasional oleh Pemerintah Republik
Indonesia telah melalui tiga fase hingga saat ini. Perubahan kebijakan mewarnai paradigma
tentang UN dari masa ke masa. Meskipun tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari
seluruh masyarakat, UN masih dianggap perlu dilaksanakan berdasarkan banyak
pertimbangan positif, tentunya dengan memerhatikan berbagai catatan penting untuk
dijadikan pertimbangan dalam upaya perbaikan. Untuk itu, evaluasi terhadap kebijakan

11 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B


penerapan UN harus terus dilakukan, utamanya yang berkaitan dengan substansi dasar dan
mekanisme pelaksanaannya. UN harus mampu memberikan informasi yang akurat tentang
capaian siswa sekaligus juga memberikan pertimbangan bagi pemerintah dalam membangun
dunia pendidikan. Penghentian sementara UN dapat memberikan kelonggaran bagi
pemerintah untuk melakukan perbaikan yang fundamental, sehingga UN benar-benar
berfungsi sesuai dengan tujuan dan maksudnya tanpa mengganggu tujuan utama pendidika,
yaitu membangun sumber daya manusia yang memiliki modal membangun bangsa.

REFERENSI
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2004. “Memperbaiki Kelemahan Masa
Lalu”. Republika, Ahad, 30 Mei 2004.
Hartanto, Setyo. 2017. “Ujian Nasional (UN), Masih Perlukah?”; diunduh 4 Agustus 2017 jam
01.35 Wita dari http://lppks.kemdikbud.go.id
Hidayah Nurul. 2013. “Ujian Nasional dalam Perspektif Kebijakan Publik”. Jurnal Pencerahan
Vol. 2 (1): 35-40.
Husnawati, R. 2004. “Peningkatan Semu Mutu Pendidikan”. Jawa Pos, 6 Mei 2004.
Indahri, Yulia. 2016. “Moratorium Ujian Nasional”. Majalah Info Singkat, Vol. VIII, No.
23/I/P3DI/Desember/2016
Miles, MB. & Huberman, AM. (1994). “Qualitative Data Analysis (2nd edition)”. Thousand
Oaks, CA: Sage Publications
Santoso, S.H. 2004. “”UAN itu Perlu, tapi …””. Jawa Pos, 8 Mei 2004
Sulistyo, Gunadi. 2007. Ujian Nasional (UN): Harapan, Tantangan, dan Peluang. WACANA
VOL. 9 NO. 1, APRIL 2007 (79—106)
Swasono, Sri-Edi, “UN dan Persatuan Nasional”, Suara Pembaruan, 2 Desember 2016.
Wodak, Ruth; Michael Meyer (2001). “Methods of Critical Discourse Analysis”. Thousand
Oaks, CA: Sage Publications

12 | Marlinawati / NIM: 15.2.1.076 / KELAS B

Anda mungkin juga menyukai