Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Gempa bumi adalah peristiwa alam yang sering dialami oleh masyarakat
Indonesia. Terkadang gempa bumi ini sampai menelan korban jiwa dan harta yang
banyak, seperti pada gempa bumi di Aceh dan di Yogyakarta dan terkadang hanya
berupa gempa-gempa kecil yang tidak berbahaya. Frekuensi gempa bumi yang
intens di Indonesia ini secara geologi merupakan akibat dari letak Indonesia yang
berada di pertemuan 3 lempeng besar, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik.
Dengan kondisi yang demikian secara tidak langsung masyarakat Indonesia dituntut
untuk mengenal gempa bumi, mulai dari penyebab-penyebabnya, risiko akibat
gempa bumi, prediksi gempa bumi, sampai dengan upaya mitigasi bila terjadi
gempa bumi. Dan yang terakhir inilah yang sangat mendesak untuk diketahui oleh
masyarakat Indonesia.
Bila ditinjau dari ilmu geologi gempa bumi adalah pelepasan energi tiba-
tiba di dalam kerak Bumi atau selubung Bumi bagian atas yang biasanya
diakibatkan oleh pergerakan atau pematahan sepanjang bidang sesar atau oleh
adanya pergerakan magma pada aktivitas volkanik (Geomagz, 2016).
Dalam tugas Geologi Tata Lingkungan kali ini, kelompok kami akan
membahas secara lengkap tentang gempa bumi. Mulai dari penjelasan umum
tentang gempa bumi, risiko-risiko bila terjadi gempa bumi, prediksi gempa bumi,
upaya mitigasi bencana gempa bumi beserta studi kasusnya pada gempa
Yogyakarta.
Terakhir kami mohon maaf bila dalam penyusunan tugas ini terdapat
beberapa kekeliruan baik dalam isi maupun format penulisan. Semoga isi dari tugas
ini bisa bermanfaat dan memberikan sedikit tambahan pengetahuan mengenai
gempa bumi.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gempabumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi dan dirasakan
dipermukaan bumi yang berasal dari dalam struktur bumi. Pergeseran tersebut
terjadi sebagai akibat adanya peristiwa pelepasan energi gelombang seismic
secara tiba-tiba yang diakibatkan atas adanya deformasi lempeng tektonik yang
terjadi pada kerak bumi (Joko Christanto, 2011).
Gempabumi merupakan salah satu bencana alam yang paling sering
terjadi di Indonesia. Gempabumi dapat menyebabkan kerusakan struktur
bangunan, sarana infrastruktur seperti jalan, pemukiman penduduk, gedung –
gedung kepemerintahan dan kerugian lainnya bagi masyarakat di wilayah yang
terkena dampak gempa bumi. Pulau Jawa merupakan daerah pertemuan antara
dua lempeng yaitu Lempeng Samudera Hindia menunjam dibawah Lempeng
Benua Eurasia. Dampak yang dihasilkan dari pertemuan kedua lempeng
tersebut ialah Pulau Jawa berpotensi terjadinya gempabumi tektonik akibat dari
pelepasan energi dari pertemuan kedua lempeng tersebut. Melihat kejadian yang
ada gempabumi mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, kerusakan infrastruktur,
serta material, oleh karena itu diperlukan pengetahuan mengenai mitigasi.
Mitigasi adalah kegiatan lanjutan dari prevention yang tujuannya adalah
mengurangi dampak bencana yang kemungkinan terjadi (Widodo
Pawirodikromo, 2012). Melalui mitigasi tersebut mampu mengurangi resiko
yang terjadi akibat dari bencana tersebut.
Provinsi Yogyakarta dan sekitarnya berada di dua lempeng aktif, Indo-
Australia dan Eurasia yang membentang dari belahan barat Sumatera hingga
belahan selatan Nusa Tenggara. Hal tersebut menyebabkan wilayah Yogyakarta
dan sekitarnya sangat rawan terjadi gempa bumi tektonik. Oleh karena itu
perlunya kesadaran akan Mitigasi gempa oleh masyarakat Yogyakarta sangat
dibutuhkan guna mengurangi dampak buruk yang disebabkan oleh gempa
tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian dari Latar Belakang yang ada, rumusan masalahnya
adalah kurangnya ilmu pengetahuan tentang gempabumi dan dampak apa saja
yang dapat diakibatkan dari peristiwa tersebut serta bagaimana cara untuk
mengurangi dampak (Mitigasi) yang diakibatkan dari gempabumi tersebut.

1.2 TUJUAN
Berdasarkan uraian dari Latar Belakang dan Rumusan Masalah yang ada,
tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan
masyarakat tentang gempabumi serta bagaimana cara mengurangi dampak
(Mitigasi) yang diakibatkan dari gempabumi tersebut.

1.3 MANFAAT
Berdasarkan uraian dari Tujuan yang ada, manfaat dilakukan penulisan ini
adalah menambah ilmu pengetahuan akan gempabumi bagi masyarakat serta
dapat terciptanya cara-cara mengurangi dampak (Mitigasi) yang diakibatkan
dari gempabumi tersebut.

1.4 METODOLOGI PENULISAN


Penulisan ini menggunakan metodologi berdasarkan dari studi literature
baik dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, serta dari
buku-buku pendukung yang membahas tentang Gempabumi serta mitigasinya
secara luas dan maupun dari situs internet.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penjelasan Umum Tentang Gempa Bumi


Gempa bumi adalah pelepasan energi tiba-tiba di dalam kerak bumi atau
selubung bumi bagian atas yang biasanya diakibatkan oleh pergerakan atau
pematahan sepanjang bidang sesar atau oleh adanya pergerakan magma pada
aktivitas volkanik. Di Indonesia, gempa bumi besar umumnya terjadi akibat
proses subduksi lempeng yang menimbulkan sesar. Pelepasan energi pada sesar
dari lempeng yang patah ini menimbulkan gelombang gempa yang merambat
di permukaan Bumi. Jika energi yang dilepaskannya besar dan fokusnya
dangkal, getaran ini menimbulkan kerusakan besar pula di permukaan Bumi.
Besaran gempa bumi (magnitude) akan ditentukan oleh besarnya energi yang
dihasilkan akibat proses pergerakan di kerak Bumi, sedangkan intensitas gempa
bumi ditentukan oleh jarak terhadap episentrum, kedalaman fokus gempa bumi,
dan sifat batuan yang dilaluinya.

Gambar 1 Gempa Bumi


2.1.2 Penyebab Terjadinya Gempa Bumi
Gempa bumi banyak disebabkan oleh gerakan-gerakan lempeng
bumi. Bumi kita ini memiliki lempeng-lempeng yang suatu saat akan
bergerak karena adanya tekanan atau energi dari dalam bumi. Lempeng-
lempeng tersebut bisa bergerak menjauh (divergen), mendekat
(konvergen) atau melewati (transform). Gerakan lempeng-lempeng
tersebut bisa dalam waktu yang lambat maupun dalam waktu yang
cepat. Energi yang tersimpan dan sulit keluar menyebabkan energi
tersebut tersimpan sampai akhirnya energi itu tidak dapat tertahan lagi
dan terlepas yang menyebabkan pergerakan lempeng secara cepat dalam
waktu yang singkat yang menyebabkan terjadinya getaran pada kulit
bumi.
Gempa bumi bukan hanya disebabkan oleh pergerakan lempeng
tetapi juga disebabkan oleh cairan magma yang ada pada lapisan bawah
kulit bumi. Magma dalam bumi juga melakukan pergerakan. Pergerakan
tersebut yang menimbulkan penumpukan massa cairan. Cairan tersebut
akan terus bergerak hingga akhirnya menimbulkan energi yang kuat
yang memaksa cairan tersebut untuk keluar dari dalam kulit bumi.
Energi tersebut menimbulkan kulit bumi mengalami pergerakan
divergen sebagai saluran untuk cairan tersebut keluar. Pergerakan
tersebut yang mengakibatkan terjadinya gempa bumi.
Jatuhan meteor juga dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi.
Dalam tata surya kita terdapat ribuan meteor atau batuan yang
bertebaran mengelilingi orbit bumi. Sewaktu-waktu meteor tersebut
jatuh ke atmosfir bumi dan kadang-kadang sampai ke permukaan bumi.
Meteor yang jatuh ini akan menimbulkan getaran bumi jika massa
meteor cukup besar. Getaran ini disebut gempa jatuhan, namun gempa
ini jarang sekali terjadi.

Penyebab gempa bumi berikutnya adalah runtuhan atau terban


merupakan gempa bumi yang terjadi karena adanya runtuhan tanah atau
batuan. Lereng gunung atau pantai yang curam memiliki energi
potensial yang besar untuk runtuh, juga terjadi di kawasan tambang
akibat runtuhnya dinding atau terowongan pada tambang-tambang
bawah tanah sehingga dapat menimbulkan getaran di sekitar daerah
runtuhan, namun dampaknya tidak begitu membahayakan. Justru
dampak yang berbahaya adalah akibat timbunan batuan atau tanah
longsor itu sendiri.
Gempa bumi juga dapat disebabkan oleh manusia sendiri. Seperti
yang disebabkan oleh peledakan bahan peledak yang dibuat oleh
manusia. Selain itu juga pembangkit listrik tenaga nuklir atau senjata
nuklir yang dibuat oleh manusia juga dapat menimbulkan guncangan
pada permukaan bumi sehingga terjadi gempa.
2.1.2 Macam-Macam Istilah Gempa Bumi

1 Seismologi : ilmu yang mempelajari gempa bumi


2 Seismograf : alat pencatat gempa
3 Seismogram : hasil gambaran seimograf yang berupa
garis-garis patah
4 Hiposentrum : pusat gempa di dalam bumi
5 Episentrum : tempat di permukaan bumi/permukaan laut
yang tepat di atas hiposentrum. Pusat
gempa di permukaan bumi
6 Homoseista : garis khayal pada permukaan bumi yang
mencatat gelombang gempa primer pada
waktu yang sama
7 Pleistoseista : garis khayal yang membatasi sekitar
episentrum yang mengalami kerusakan
terhebat akibat gempa
8 Isoseista : garis pada peta yang menghubungkan
tempat-tempat yang mempunyai kerusakan
fisik yang sama
9 Mikroseista : gempa yang terjadi sangat halus/lemah dan
dapat diketahui hanya dengan
menggunakan alat gempa
10 Makroseista : gempa yang terjadi sangat besar
kekuatannya, sehingga tanpa menggunakan
alat mengetahui jika terjadi gempa

2.2 Resiko Gempa Bumi


Beberapa dampak gempa bumi antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dampak pada aspek kehidupan/penduduk dapat berupa:
 kematian,
 luka-luka,
 pengungsian,
 hilangnya anggota keluarga,
 Hilangnya harta benda, pekerjaan, dan ketelantaran pendidikan anak
semakin mempersulit proses pemulihan kehidupan keluarga;
 dan lain-lain.
2. Dampak pada aspek sarana/prasarana dapat berupa:
 kerusakan jembatan, jalan, instalasi PAM, PLN,
 kerusakan rumah penduduk, dan lain-lain
3. Dampak pada aspek ekonomi dapat berupa:
 kerusakan pasar tradisional,
 gagal panen,
 terganggunya perekonomian/perda gangan, transportasi,
 dan lain-lain.
4. Dampak pada aspek pemerintahan dapat berupa:
 kehancuran dokumen/arsip, peralatan kantor, bangunan pemerintah
dan lain-lain.
5. Dampak pada aspek lingkungan dapat berupa:
 rusaknya kelestarian hutan, danau, obyek wisata, pencemaran,
kerusakan lahan perkebunan/pertanian, dan lain-lain
6. Dampak pada aspek sosial dapat berupa:
 penyandang masalah kesejahteraan sosial meningkat
7. Dampak pada aspek spiritual
Yang dimaksud dengan kerugian spiritual adalah kerugian yang tidak
berupa harta benda, namun lebih ke jiwa. Bagaimana seorang anak kecil akan
tabah setelah mengalami bencana alam yang besar, apalagi apabila ia
kehilangan anggota keluarganya, maka hal itu akan menimbulkan trauma di
jiwa anak kecil. Akibatnya anak tersebut harus menjalani beberapa terapi
agar terbebas dari traumanya itu. Bahkan hal seperti ini hanya dialami oleh
anak kecil saja, namun juga orang dewasa dan bahkan lanjut usia.
8. Timbulnya bibit penyakit
Dampak selanjutnya dari bencana alam gempa bumi adalah timbulnya
bibit penyakit. Ketika gempa bumi terjadi, maka yang akan kita temukan
adalah benda- benda kotor dan sebagainya. Lingkungan yang tidak bersih
akan meimbulkan bayak sekali bibit penyakit. Apalagi jika ditambah dengan
jasad- jasad makhluk hidup yang meninggal, maka lingkungan akan semakin
tidak sehat. Disamping itu, apabila tinggal di pengungsian maka yang akan
terjadi adalah timbulnya bibit penyakit karena kurangnya saranan dan pra
sarana.

2.2.1 Dampak Gempa Yogyakarta


Gambar 2.2.1 Dampak Kerusakan Gempabumi Jogjakarta

Dampak sosial, ekonomi dan budaya


• Menimbulkan trauma bagi para korban, terlebih yang kehilangan
anggota keluarga & harta benda.
• Menimbulkan kerusakan pada bangunan cagar budaya.
• Kerusakan dan kerugian sektor produktif kurang lebih mencapai 9
trilyun rupiah, sektor industri menengah dan kecil banyak aset dan
sarana produksinya rusak karena bencana gempa.
• Dampaknya paling tidak 30.000 UMK tutup dan sekitar
650.000 pekerja menjadi pengangguran.
• Sektor kesehatan dan pendidikan sama-sama rusak parah dengan
jumlah kerusakan dan kerugian yang berjumlah lebih dari Rp 1,5
triliun.
Dampak fisik & lingkungan
• kerusakan parah bangunan perkantoran, akses jalan karena
jembatan ambrol, hingga kerusakan bangunan fisik rumah sakit.
• Lokasi peningalan sejarah seperti Keraton Yogya, Candi
Prambanan, dan makam raja-raja di Imogiri juga tak luput dari
kerusakan.
• Perumahan melampaui 50% dari total. Diperkirakan 154.000 rumah
hancur total dan 260.000 rumah rusak parah.
• Kerusakan dan kerugian di sektor transportasi dan komunikasi,
energi dan air bersih serta sanitasi diperkirakan berjumlah Rp 551
milyar.
Gambar 2.Dampak Gempa Bumi Yogyakata 26 Mei 2006

Gambar 3. Bekas runtuhan bangunan di Pleret (07 51’ 11,6” LS 110 22’ 57,8” BT)
berada pada morfologi dataran aluvial (gambar A) dan bangunan rumah yang masih
berdiri di Bukit Bawuran, Tegalrejo, Pleret (07 52’ 06,4” LS 10 25’ 09,7” BT)
dimana bukit tersusun dari batupasir tuf Semilir. Pada gambar B, rumah tersebut
ditunjukkan arah panah.

2.3 Prediksi Gempabumi


Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang belum bisa
diprediksi waktu kejadiannya sampai saat ini. Sejumlah penelitian telah
dilakukan oleh banyak ahli kegempaan untuk bisa menemukan metode prediksi
gempa yang akurat meliputi 3 elemen penting taitu waktu dan tanggal, lokasi
dan magnitude. Prediksi oleh non saintis umumnya melihat kondisi alam di
sekelilingnya melalui berbagai gejala pendahulu antara lain peningkatan jumlah
gas radon pada lingkungan air local, perilaku hewan yang tidak wajar,
peningkatan ukuran magnitude. Namun beberapa kali gejala pendahulu tersebut
terjadi tanpa diikuti gempa bumi, jadi prediksi sebenarnya tidak dapat diketahui.
(USGS, 2016).
Probabilitas tersebut menunjukkan potensi jangka panjang terjadinya
gempa bumi melalui determinasi nilai historis rata-rata gempa bumi, dengan
mengasumsikan nilai tahunan gempa konstan, sehingga dapat dibuat pernyataan
prediktif tentang terjadinya gempa bumi dalam banyak-tahun selanjutnya.
Probabilitas ini menjangkau 1 banding 30 atau 1 banding 300. Untuk beberapa
patahan, kejadian masa lalu tidak dapat disesuaikan, namun nilai pergeseran
sepanjang patahan dapat disestimasikan dengan mengasumsikan suatu
magnitude tertentu dapat diestimasi lamanya berlangsung untuk
mengakumulasi jumlah pergeseran yang dibutuhkan. Estimasi ini memiliki
tingkat probabilitas 1 bandingb 300 hingga 3000 (USGS, 2017)
Seperti penjelasan sebelumnya, terdapat gejala pendahulu (precusors)
dan kecenderungan untuk terjadinya gempabumi yang belum bisa menjelaskan
waktu, tempat dan magnitude secara pasti. Menurut International Association
of Seismology and Physics of The Earth’s Interior (IASPEI), 1990 dan ICEF,
2011 beberapa prekusor gempa dikategorikan dengan berbagai ketentuan
a. Perilaku Hewan
Perilaku hewan yang tidak normal pada beberapa kasus dianggap
sebagai prekusor terjadinya gempabumi. Perilaku tersebut menunjuukkan
reaksi hewan terhadap Gelombang P yang melewati bawah permukaan dua
kali lebih cepat daripada Gelombang S yang bersifat destruktif. Hewan-
hewan tidak hanya memprediksi gempa yang telah “terjadi” namun juga
akan kedatangan Gelombang S yang lebih destruktif.
b. Dillatancy-Diffusion
Gambar 1. Dillatancy-Diffusion

Hipotesis ini dianggap sebagai dasar fisik untuk berbagai fenomena


prekusor gempa didasarkan bukti solid dan berulang dari percobaan
laboratorium bahwa batuan kristalin yang mengalami penekanan kuat
mengalami perubahan volume atau dilatancy yang menyebabkan perubahan
karakteristik lain seperti kecepatan seismic dan tahanan listrik dan bahkan
uplift skala besar pada topografi. Dipercaya bahwa ini terjadi dalam fase
persiapan sesaat sebelum gempa dan pemantauan yang sesuai dalam early
warning .

c. Perubahan Vp/Vs

Rasio antara kecepatan gelombang P (Vp) dan gelombang S (Vs)


berubah saat batuan berada di dekat titik rekahan. Gelombang P merupakan
gelombang primer atau tekanan seismic yang melewati batuan sedangkan
Gelombang S merupakan gelombang sekunder atau geser. Efek ini
dikaitkan dengan dilatansi dimana batuan yang tertekan mendekati titik
putusnya atau sedikit melebar.
d. Emisi Radon
Hampir semua batuan mengandung sedikit gas yang dapat
dibandingkan secara isotopic dengan gas pada atmosfer. Terdapat laporan
lonjakan sebelum terjadi gempa. Hal ini dikaitkan dengan pelepasan karena
tekanan pra seismic atau rekahan batuan. Salah satu gas tersebut adalah
Radon, dihasilkan oleh peluruhan radioaktif dari jumlah jejak uranium yang
ada di sebagian besar batuan. Radon berguna sebagai predictor gempa
potensial karena bersifat radioaktif dan mudah dideteksi serta waktu paruh
pendek (3.8 hari) membuat ia peka terhadap fluktuasi jangka pendek.
Sebuah tinjaian tahun 2009 menemukan 125 laporan tentang perubahan
emisi radon sebelum 86 gempa bumi sejak 1966. Namun sebagaimana ICEF
temukan dalam tinjauannya, gempa ini terkait sampai 1000 km bebearapa
bulan selanjutnya dengan besar yang sama.

Gambar 2. Peningkatan Radon Pra dan Pasca Gempa Kobe


e. Elastic Rebound
Gambar 3. Elastic Rebound

Subduksi antara dua lempeng tektonik mengakibatkan deformasi


menjadi cukup besar sehingga terjadi sesuatu yang pecah pada zona patahan.
Selip sepanjang break (gempa) mengakibatkan batuan pada setiap sisi
melambung ke zona yang kurang terdeformasi (Reid, 1910). Dalam proses
tersebut dilepaskan dalam berbagai bentuk, termasuk gelombang seismik.
Siklus gaya tektonik terakumulasi dalam deformasi elastic dan dilepaskan
dalam rebound yang tiba-tiba dan kemudian terulang.
f. Karakterisasi Gempabumi
Karakterisasi gempabumi berkaitan dengan studi terhadap suatu
patahan aktif tertentu. Model gempabumi umumnya memiliki karakteristik
segmen patahan yang diasumsikan tetap, maka gempa bumi yang memecah
suatu patahan harus memiliki karakteristik yang serupa, yaitu maksimum
magnitude dan jumlah akumulasi strain yang dibutuhkan. Karena gerakan
lempeng kontinu menyebabkan akumulasi strain, aktivitas seismic pada
segmen tertentu harus didominasi oleh gempa dengan karakteristik serupa
yang berulang pada interval yang agak teratur. Penelitian ini dikembangkan
oleh Parkfield, namun kemudian validitas model karakterisasi diragukan.
Beberapa studi mempertanyakan berbagai asumsi termasuk bahwa
gempabumi dibatasi dalam segmen-segmen, dan tidak memperhatikan umur
patahan.
g. Seismic Gaps
Fedotov (1965) dan Mogi (1969) mengembangkan teori ini setelah
melakukan pemetaan kegempaan pada zona subduksi Alaska-Aleutian.
Seismic gaps merupakan istilah yang menunjukkan kawasan aktif secara
tektonik, namun jarang terjadi gempa dalam waktu yang lama. Zona seismic
gaps ini menjadi zona yang menjadi perhatian dan diwaspadai.

Gambar 1. Seismic Gaps Pulau Sumatera (Vigny, 2009)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gempabumi tidak


dapat diprediksi waktu, tanggal, magnitude dan lokasi secara tepat dalam artian
belum ada teknologi yang mampu memberikan 3 elemen diatas secara ilmiah.
Akan tetapi suatu analisis terdepan hanya mampu melakukan forecast melalui
gejala awal (prekusor) dan memberikan probabilitas terjadinya gempa atau
tidak pada waktu tertentu (misal : seismic gaps), adanya gempa susulan, serta
magnitude gempa apakah besar atau lebih kecil daripada mainshock (neural
network).

2.4 Mitigasi Bencana Gempabumi (Studi Kasus Gempabumi Yogyakarta)

Mitigasi atau upaya-upaya untuk mengurangi bencana akibat gempa


memerlukan pengetahuan tentang sumber bencana gempa. Untuk itu, riset
tentang gempa mutlak perlu terus ditingkatkan guna mempertajam perkiraan
tentang kejadian gempa di masa yang akan datang. Manfaat lainnya, sebagai
bahan untuk merumuskan langkah yang diperlukan mulai dari rencana
mitigasi, analisis risiko, sampai ke mikrozonasi gempa. Yang terakhir ini
berguna antara lain untuk penataan ruang dan persyaratan pembangunan
konstruksi di zona gempa.
Upaya lainnya dalam mitigasi ini adalah sosialisasi tentang sebab-sebab
kejadian gempa dan sumber- sumber “pembunuh” dalam peristiwa gempa
seperti tsunami, longsor, dan bangunan yang runtuh, termasuk kepanikan
yang dapat menyebabkan bertambahnya korban. Dalam sosialisasi ini
masyarakat diberi pengetahuan dan praktek tentang cara-cara menghindari
ancaman gempa.
Secara sederhana.,upaya mitigasi gempa pada prinsipnya adalah
mencegah agar bahaya gempa seperti guncangan gempa, pelulukan atau
likuifaksi (liquefaction), retakan tanah, pergeseran tanah, amblesan tanah, dan
gerakan tanah atau longsor, tidak menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Upaya
mitigasi ini dilakukan secara fisik atau struktural dan nonfisik atau
nonstruktural.Upaya mitigasi struktural antara lain dengan melakukan
pembangunan fisik yang mampu meredam dampak gempa atau tsunami.
Upaya mitigasi nonfisik atau nonstruktural dilakukan antara lain dengan
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana/sosialisasi mitigasi bencana gempabumi.
1. Upaya mitigasi nonfisik atau nonstruktural

(a) (b)

(c)

Gambar 4. (a) Prediksi Siklus Gempabumi (b) Sosialisasi Informasi


Terkait Gempabumi (c) Simulasi dan Pelatihan Tanggap Bencana
Gempabumi

Memprediksi Gempabumi melalui prediksi Short-range prediction


(prediksi waktu pendek).: Memprediksi jangka waktu antara fore shock dan
main shock atau major shock atau major earthquake dan melalui Long-
range prediction (prediksi waktu panjang) : Mempelajari interval bencana
gempa besar pada waktu yang lalu (siklus).Selain itu upaya mitigasi
nonfisik dilakukan dengan melakukan sosialisasi mengenai informasi
tentang zona rawan gempabumi pada suatu daerah,melakukan pelatihan
tanggap bencana gempabumi,pelatihan/teknis evakuasi dan pembuatan
jalur/konsep perencanaan evakuasi bencana gempabumi.

2. Upaya mitigasi struktural

Gambar 5.Rancangan Rumah Tahan Gempa

Mitigasi lainnya dapat didekati dengan rekayasa teknik dalam


pembangunan gedung atau rumah tinggal.Di perkotaan, konstruksi
bangunan seperti hotel atau perkantoran pada kawasan aktif gempa sudah
seharusnya memenuhi syarat konstruksi yang telah ditetapkan. Di
pedesaan, dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan
kearifan lokal, salah satu alternatif yang dapat diterapkan adalah konsep
pembangunan “rumbutampa” atau rumah bambu tahan gempa.
Gambar 6. konsep pembangunan “rumbutampa” atau rumah
bambu tahan gempa.
Kekuatan bangunan terhadap beban yang ditimbulkan oleh
gempa dipengaruhi oleh keelastisitasan struktur bangunan, bentuk
bangunan, dan kestabilan tanah tempat dibangunnya bangunan
(Damayanti, 2012). Dari hasil studi pustaka dan pengamatan di
lapangan, banyak bangunan yang mampu bertahan terhadap guncangan
gempa bumi tahun 2006 merupakan bangunan tradisional Jawa yaitu
rumah Joglo. Rumah Joglo mempunyai ciri khas bernilai estetika
berupa bentuk konstruksi bangunan limasan dengan atap limasan yang
ditopang tiang pondasi berupa tiang saka berbahan kayu dan dipikulkan
pada umpak sebagai pondasinya.
Gambar 7. Konstruksi bangunan rumah joglo di Tamanan,
Banguntapan, Bantul. Konstruksi atap limasan dan tiang saka
dengan menggunakan bahan kayu (gambar A) dimana tiang saka
dipikulkan pada pondasi umpak. Batuan beku andesit dipergunakan
sebagai umpak pada bangunan rumah joglo tersebut (gambar B).

Pondasi umpak tidak dibenamkan dalam tanah namun didirikan


di atas tanah. Jika diamati lebih lanjut umpak terbuat dari batuan beku
andesit. Dengan pendekatan model kekuatan gempa Omori, batuan
tersebut mempunyai nilai rambatan getaran gempa bumi yang setara
dengan batuan kristalin dimana percepatan getaran gempa bumi
cenderung rendah, maksimum 0,25 cm/dt2 (Sukandarrumidi, 2010;
Rakhman, 2012). Minimnya kontak efek pembenaman pondasi dalam
tanah dan rendahnya besar nilai percepatan oleh sifat karakteristik
batuan yang dipergunakan tersebut diperkirakan sebagai kontrol utama
kemampuan umpak sebagai pondasi yang mampu meminimalkan efek
goncangan. Kolom berupa tiang saka yang menjadi tumpangan struktur
di atasnya memberikan efek fleksibelitas pada bangunan secara
keseluruhan. Menurut Damayanti (2012), penggunaan umpak dengan
batuan tersebut relatif lebih fleksibel jika terjadi gempa, karena jika
memakai material rumah- rumah konvensional, pondasi serta beton
akan mengalami keretakan

Tabel 1 Karakteristik Kuat Tekan,Kuat Tarik,Kuat Lentur


dan Modulus Elastis Material
Kuat tekan, kuat tarik, kuat lentur, dan modulus elastisitas berbagai
macam material. Bambu sangat berpotensi menjadi bahan bangunan rumah
tahan gempa, karena memiliki kuat tarik dan kuat lentur lebih besar dari
pada material lainnya(Data uji laboratorium dari Pusat Litbang Sumber
Daya Air ).

Gambar 8. Desain rumah tahan gempa di Jepang

Anda mungkin juga menyukai