Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tiap tahun terdapat 36.000 kematian maternal di wilayah Asia Tenggara
dimana Indonesia termasuk negara yang memiliki angka Maternal Mortality
Ratio (MMR) yang cukup tinggi (Sauvarin, 2006). Angka Kematian Ibu (AKI)
menjadi salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Target MDGs
terhadap AKI di Indonesia sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015, sedangkan data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada
tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI masih tinggi yaitu sebesar 228 per
100.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2011). Kematian maternal di
Asia Tenggara sebesar 60-80% disebabkan oleh perdarahan, sepsis, gangguan
hipertensi (termasuk preeklampsia), dan komplikasi karena aborsi yang tidak
aman. Preeklampsia menyumbang 12% terjadinya kematian maternal dan hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa 5-7% kehamilan akan mengalami
preeklampsia (Sauvarin, 2006; Kementerian Kesehatan, 2011; WHO, 1997;
Hladunewich et al., 2007).
Pada satu sisi banyak wanita hamil mengkonsumsi obat bebas pada awal
kehamilan karena tidak menyadari kehamilannya. Lebih dari 90% maternal
menggunakan obat baik obat bebas maupun resep pada saat hamil (Andrade, et
al., 2004). Salah satu over-the-counter (OTC) yang sering digunakan adalah
obat flu karena 18-30% maternal mengalami flu pada awal kehamilan sebagai
akibat dari penurunan sistem imun maternal (Ellegard et al., 2000). Salah satu
kandungan obat flu yang paling banyak ditemui adalah parasetamol.
Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay dan Raharja,
2007). Antipiretik adalah obat menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi
analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak
menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala,
fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti
2

peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang
mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan
jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantara) (Anief,
2004).
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh penggunaan obat paracetamol selama kehamilan
terhadap preeklampsia?

C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan obat paracetamol selama
kehamilan terhadap preeklampsia.

D. Manfaat
a) Bagi penulis:
1. Menambah wawasan penulis mengenai penggunaan obat
parasetamol selama kehamilan.
2. Menambah wawasan mengenai pengaruh penggunaan obat
parasetamol pada pasien preeklampsia.
b) Bagi institusi kesehatan:
1. Sebagai acuan pembelajaran (referensi) mengenai pengaruh
penggunaan obat parasetamol selama kehamilan terutama
kehamilan dengan riwayat preeklampsia.
2. Sebagai referensi bagi peneliti lain dengan judul penelitian yang
sama.
c) Bagi masyarakat luas:
3

1. Mengetahui pengaruh penggunaan obat parasetamol selama masa


kehamilan dengan preeklampsia.
2. Sebagai media pembelajaran mengenai pengaruh penggunaan obat
parasetamol selama masa kehamilan dengan preeklampsia.
4

BAB II
FARMASI – FARMAKOLOGI

A. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia Obat

Sifat Kimia

Parasetamol merupakan turunan non-opiate sintetis dari p-aminofenol


yang menghasilkan analgesia dan antipiretik. Parasetamol adalah metabolit
utama phenacetin. Phenacetin, turunan lain dari p-aminofenol. Parasetamol
tersedia dalam bubuk kristal putih dengan rasa sedikit pahit. Parasetamol larut
dalam air mendidih dan bebas larut dalam alkohol. Larutan oral parasetamol
memiliki pH 3,8 - 6,1 dan suspensi oral memiliki pH 4 - 6,9.

Gambar 2.1 Struktur molekul parasetamol.

Sifat Zat Berkhasiat


Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat Parasetamol adalah sebagai berikut:
1. Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
2. Rumus Empiris : C8H9NO2.
3. Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.
4. Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut
dalam etanol.
5. Jarak lebur : Antara 168⁰dan 172⁰
6. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya

B. Farmasi Umum
Parasetamol merupakan sintesis dari derivat para aminofenol non-opiat
yang ditujukan untuk penggunaan analgesik dan antipiretik. Mekanisme kerja
dari Parasetamol ini mirip dengan salisilat. Pada dosis lazim, daya analgesik dan
antipiretik parasetamol mirip dengan aspirin. Efek analgesik dari parasetamol
5

diperkuat oleh kodein dan kofein dengan kira-kira 50%. Parasetamol merupakan
obat penurun panas dan pereda nyeri yang telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Metabolit Fenasetin ini diklaim sebagai zat antinyeri yang paling
aman sebagai swamedikasi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau
sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai
sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol
untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-
12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun:
60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Mahar Mardjono
1971).
Secara umum, parasetamol digunakan per-oral. Pada pasien yang tidak
dapat menggunakan secara per-oral, parasetamol sering diberikan dalam bentuk
supositoria (AHFS, 2005). Parasetamol sering digunakan untuk analgesik pada
penatalaksanaan sakit ringan hingga moderat. Selain itu, parasetamol juga
digunakan dalam pengobatan migrain pada kombinasi dengan aspirin dan
kafein. Pada pemakaian lain, parasetamol ditujukan untuk pengobatan sakit
karena osteoartritis (OA) khususnya pada pasien yang bermasalah dengan
saluran gastro intestinal (AHFS, 2005).

C. Farmakologi Umum
Parasetamol memiliki sifat analgesik-antipiretik dan aktivitas anti-
inflamasi lemah yang digunakan dalam pengelolaan gejala nyeri sedang dan
demam. Ketika digunakan pada dosis yang dianjurkan parasetamol memiliki
profil keamanan yang sangat baik, efeknya lebih sedikit terhadap gastrointestinal
daripada aspirin dan ibuprofen.

D. Farmakodinamik
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol termasuk ke
dalam golongan obat analgetik (meredakan nyeri) dan anti piretik (meredakan
demam). Obat ini meningkatkan ambang nyeri di otak. Sementara saat
6

meredakan demam, parasetamol bekerja pada pusat pengaturan demam di otak.


Efek penurunan suhu dengan cara mempengaruhi hypothalamus yang
merangsang pelebaran pembuluh darah tepi, aktifitas kelenjar keringat
meningkat dan terjadi pengeluaran keringat dan suhu tubuh lepas bersama
keringat. Obat ini mampu meringankan rasa nyeri tanpa mempengaruhi
kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2007).

E. Farmakokinetik

Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.


Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma,
25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam
glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini
juga dapat mengalami hidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat
reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Metabolit hasil hidroksilasi
ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit . Obat ini
diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian
besar dalam bentuk terkonjugasi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI, 2007). Pada dosis normal, obat ini bereaksi dengan gugus sulfhidril dari
glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan
sulfhidril dari protein hati (Lusiana Darsono, 2002).

F. Indikasi
Walaupun efek analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin (Styrt,
1990), parasetamol berbeda karena mempunyai efek anti inflamasi yang sangat
rendah. Obat ini tidak mempengaruhi kadar asam urat dan tidak mempunyai
sifat menghambat trombosit. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang
seperti nyeri kepala, myalgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain,
sedangkan aspirin efektif sebagai analgesik.
Untuk analgesik ringan, parasetamol merupakan obat yang lebih disukai
pada penderita alergi dengan aspirin atau jika salisilat tidak dapat ditoleransi.
7

Obat ini lebih disukai daripada aspirin untuk penderita hemofilia atau dengan
riwayat tukak lambung dan penderita yang mendapat bronkospasme yang di
picu aspirin. Perbedaan dengan aspirin adalah parasetamol tidak menghambat
efek obat urikosurik, dapat diberikan bersama dengan probenesid pada
pengobatan gout. Pada anak-anak, aspirin lebih disukai pada infeksi virus
(Katzung, 1997).

G. Toksisitas
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Keracunan parasetamol terutama
menimbulkan nekrosis hati yang disebabkan oleh metabolitnya (Lusiana
Darsono, 2002).
Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual
secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot
sementara, sakit menjelang menstruasi, dan diindikasikan juga untuk demam.
Obat ini menjadi pilihan analgesik yang relatif aman bila dikonsumsi dengan
benar sesuai petunjuk penggunaan.
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar
serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.
Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui
urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik
kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi
menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus
sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan
berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.
8

Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non
toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi
metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk
mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan
timbulah nekrosis sentrolobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation.
Dengan proses yang sama parasetamol juga bersifat nefrotoksik.

Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang
dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa
dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehinggaterjadi nekrosis sentrolobuler
hati. Dosis lebih dari 20 g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang
mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih
berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat (Lusiana
Darsono, 2002).

Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 3 stadium:
1. Stadium I (0-24 jam) asimptomatis atau gangguan sistim pencernaan
berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering
terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam) Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistem
pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas,
meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal
ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam ) Merupakan puncak gangguan faal hati, mual
dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran,
ensefalopati hepatikum.
9

4. Stadium IV ( 7- 10 hari) Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika


kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian.

Sebagaimana juga obat-obat lain, bila penggunaan parasetamol tidak


benar, maka berisiko menyebabkan efek yang tidak diinginkan. Parasetamol
dalam jumlah 10 – 15g (20-30 tablet) dapat menyebabkan kerusakan serius pada
hati dan ginjal. Kerusakan fungsi hati juga bisa terjadi pada peminum alkohol
kronik yang mengkonsumsi parasetamol dengan dosis 2g/hari atau bahkan
kurang dari itu. Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah
satu metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat
terjadi karena overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol
kronik. Keracunan parasetamol biasanya terbagi dalam 4 fase, yaitu:

1. Fase 1 : Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, perasaan tak menentu


pada tubuh yang tak nyaman (malaise) dan banyak mengeluarkan
keringat.
2. Fase 2 : Pembesaran liver, peningkatan bilirubin dan konsentrasi enzim
hepatik, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan darah menjadi
bertambah lama dan kadang-kadang terjadi penurunan volume urin.
3. Fase 3 : Berulangnya kejadian pada fase 1 (biasanya 3-5 hari setelah
munculnya gejala awal) serta terlihat gejala awal gagal hati seperti pasien
tampak kuning karena terjadinya penumpukan pigmen empedu di kulit,
membran mukosa dan sklera (jaundice), hipoglikemia, kelainan
pembekuan darah, dan penyakit degeneratif pada otak (encephalopathy).
Pada fase ini juga mungkin terjadi gagal ginjal dan berkembangnya
penyakit yang terjadi pada jantung (cardiomyopathy).
4. Fase 4 : Penyembuhan atau berkembang menuju gagal hati yang fatal.
(Lusiana Darsono, 2002).
10

Penanganan
1. Dekontaminasi
a) Sebelum di rawat di rumah sakit : Dapat diberikan karbon aktif
atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak
dengan waktu paparan 30 menit.
b) Saat dirawat di rumah sakit: Pemberian karbon aktif, jika terjadi
penurunan kesadaran karbon aktif diberikan melalui pipa
nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum
untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan
karena akan mengikat dan menghambat metionin.
2. Antidotum
a) N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan
parasetamol. N-asetilsistein bekerja mensubstitusi glutation,
meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan konjugasi
sulfat pada parasetamol. N asetil sistein sangat efektif bila
diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi
metabolit.
b) Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman
dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N
asetilsistein. Dosis - Cara pemberian Nasetilsistein • Bolus 150
mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15
menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 %
selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose
melalui IV perlahan selama 16 jam berikut. • oral atau pipa
nasogatrik Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi
dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4 jam sebanyak 17
dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan
muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70
mg IV pada dewasa ) Larutan N asetil sistein dapat dilarutkan
dalam larutan 5 % jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang
dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi (Lusiana Darsono, 2002).
11

BAB III
PENELITIAN-PENELITIAN
YANG DILAKUKAN ORANG LAIN

A. Jurnal 1 : “PENGARUH PENGGUNAAN PARASETAMOL SELAMA


KEHAMILAN TERHADAP PREEKLAMPSIA” oleh Dita Maria Virginia dari
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (November, 2013).

Pada satu sisi banyak wanita hamil mengkonsumsi obat bebas pada awal
kehamilan karena tidak menyadari kehamilannya. Lebih dari 90% maternal
menggunakan obat baik obat bebas maupun resep pada saat hamil (Andrade, et
al., 2004). Salah satu over-the-counter (OTC) yang sering digunakan adalah
obat flu karena 18-30% maternal mengalami flu pada awal kehamilan sebagai
akibat dari penurunan sistem imun maternal (Ellegard et al., 2000). Salah satu
kandungan obat flu yang paling banyak ditemui adalah parasetamol.

Tabel 3.1. Analisis regresi logistik terhadap penggunaan parasetamol, dosis per hari, durasi,
umur dan riwayat preeklampsia.

Subjek penelitian ini adalah semua maternal yang sedang menjalani


perawatan di RS X Yogyakarta dari bulan Oktober 2013 – Desember 2013 dan
12

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada analisis Chi-Square terdapat 5


variabel yang memiliki hubungan bermakna secara statistik terhadap
preeklampsia, yaitu penggunaan parasetamol, dosis per hari, durasi, umur, dan
riwayat preeklampsia. Variabel-variabel tersebut akan dianalisis multivariat
untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung
bersama dengan pengaruh variabel luar. Analisis multivariat tersaji di dalam
tabel III. Pada model 1 terlihat bahwa variabel bebas berupa penggunaan
parasetamol memiliki hubungan bermakna p<0,05 (*) terhadap preeklampsia
tanpa adanya variabel lain. Pada model 4 menunjukkan durasi penggunaan dan
variabel luar berupa umur maternal memiliki hubungan terhadap preeklampsia
secara statistik (p<0,05), namun secara praktis justru menunjukkan hubungan
preventif dengan nilai OR=0,28 (95%CI=0,05 – 0,63) untuk durasi pemakaian
dan OR=0,32 (95%CI=0,12-0,59) untuk variabel umur. Pada model 5 tidak
terdapat variabel yang berhubungan terhadap timbulnya preeklampsia setelah
seluruh variabel tersebut dianalisis bersama-sama.
Hasil penelitian di atas menyimpulkan penggunaan parasetamol selama
masa kehamilan bukan merupakan salah satu faktor risiko terhadap terjadinya
preeklampsia. Pada penelitian ini diberikan rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya yaitu penelitian hendaknya dapat melihat keseluruhan kondisi
maternal, tidak hanya preeklampsia dan penelitian berlanjut mengamati risiko
preterm birth terhadap konsumsi parasetamol selama kehamilan.

B. Jurnal 2: “EVALUASI KEAMANAN PENGGUNAAN OBAT PADA IBU


HAMIL PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT PKU
MUHAMMADIYAH SURAKARTA” oleh Johanes Valentinus Rainandhita
dari Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (Maret, 2009).

Pedoman pemberian obat selama kehamilan harus memperhatikan bahwa


keuntungan yang didapat dengan pemberian jauh melebihi resiko jangka pendek
maupun panjang terhadap ibu dan janin. Perlu dilakukan pemilihan obat secara
hati hati dan pemantauan untuk mendapatkan dosis efektif terendah untuk
13

interval yang pendek dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang


berkaitan dengan fisiologi kehamilan (Hayes dan Kee, 1993).
Parasetamol adalah obat yang paling sering dipakai selama kehamilan.
Dipakai pada semua trimester kehamilan untuk jangka waktu yang pendek,
terutama untuk efek analgesik dan antipiretiknya. Obat ini tidak memiliki efek
anti inflamasi yang berarti. Parasetamol menembus plasenta selama kehamilan
ditemukan juga dalam air susu ibu dalam konsentrasi yang kecil. Saat ini tidak
ditemukan bukti nyata adanya anomali janin akibat pemakaian obat ini.
Pemakaian parasetamol selama kehamilan tidak boleh melebihi 12 tablet dari
formulasi 325 mg (kekuatan biasa) atau 8 tablet dalam 24 jam untuk tablet yang
mengandung 500 mg (kekuatan ekstra). Obat ini harus dipakai dengan jarak
waktu 4-6 jam (Hayes dan Kee, 1993).

C. Jurnal 3: “DISFUNGSI ENDOTEL PADA PREEKLAMPSIA DENGAN


INTOKSIKASI PARACETAMOL” oleh Rahajuningsih Dharma, Noroyono
Wibowo dan Hessyani P.T. Raranta dari Departemen Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia dan Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Desember, 2005).

Higgins & de Swit (2001) menyebutkan bahwa patofisiologi utama


preeklampsia terkait kelainan vasokonstriksi pada masa kehamilan. Beberapa
postulat patofisiologi preeklampsia yaitu abnormalitas plasenta, disfungsi
endotel, peningkatan faktor proinflamasi dan penurunan faktor vasodilator
(prostasiklin/PGI2 ), serta peningkatan faktor antiangiogenik (Greenwood et al.,
2001; Fischer et al., 2004; Idris, Yusuf et al., 2004).
Penelitian Anderson (2008) menyatakan bahwa parasetamol merupakan
antipiretik yang paling banyak digunakan di dunia dengan mekanisme kerja
menghambat pembentukan prostaglandin melalui enzim Prostaglandin H2
synthetase (PGHS). PGHS merupakan enzim yang bertanggung jawab untuk
metabolisme asam arakidonat menjadi PGH2 yang tidak stabil. PGH2 dengan
adanya PGH2 synthetase akan berubah menjadi prostasiklin (PGI2). PGI2
merupakan salah satu faktor vasodilator sehingga berkurangnya PGI2
14

memungkinkan timbulnya preeklampsia. Jika penggunaan parasetamol melebihi


dosis lazim (intoksikasi) pada umumnya, maka risiko untuk mengalami
preeklampsia pada maternal jauh lebih tinggi di bandingkan dengan maternal
yang menggunakan parasetamol dengan dosis lazim selama masa kehamilan.
15

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Penggunaan Parasetamol Selama Masa Kehamilan Terhadap


Preeklampsia
Penggunaan parasetamol selama masa kehamilan sesungguhnya tidak
mempunyai pengaruh terhadap peningkatan resiko kejadian preeklampsia.
Parasetamol akan mengakibatkan efek berbahaya jika di konsumsi selama masa
kehamilan lebih dari dosis terapeutik yang dianjurkan. Parasetamol merupakan
obat kehamilan grup B. Obat ini adalah obat yang paling sering dipakai selama
kehamilan. Dipakai secara rutin pada semua trimester kehamilan untuk jangka
waktu yang pendek, terutama untuk efek analgesik dan terapetiknya. Obat ini
tidak memiliki efek anti inflamasi yang berarti. Parasetamol menembus plasenta
selama kehamilan, ditemukan juga dalam air susu ibu dalam konsentrasi yang
kecil. Saat ini tidak ditemukan bukti nyata adanya abnormaly janin akibat
pemakaian obat ini dalam pemakaian dalam dosis terapeutik yang tidak toksik.
Pemakaian parasetamol selama kehamilan tidak boleh melebihi 12 tablet dalam
24 jam dari formulasi 325 mg (kekuatan biasa) atau 8 tablet dalam 24 jam untuk
tablet yang mengandung 500 mg (kekuatan ekstra). Obat ini harus dipakai
dengan jarak waktu 4-6 jam (Hayes dan Kee, 1993).
Parasetamol mempunyai mekanisme kerja yaitu menghambat kerja
enzim yang bekerja untuk memproduksi PGI2. PGI2 mempunyai fungsi untuk
sebagai vasodilator, sehingga jika produksi PGI2 di hambat maka pembuluh
darah akan mengalami vasokonstriksi akibat gangguan vasodilatasi dari
endotelial pembuluh darah. Endotel tidak hanya ada di pembuluh darah ibu,
plasenta pun ada di plasenta. Jika endotel di plasenta mengalami vasokonstriksi,
maka volume darah dan oksigen untuk janin selama masa kehamilan akan
berkurang karena jalan masuk untuk ke janin menyempit. Pada ibu hamil,
hormon progesteron akan menurunkan motalitas intestinal dan parasetamol
merupakan salah satu obat yang bekerja di intestinal. Adanya peningkatan
hormon ini mengakibatkan masa absorbsi parasetamol diperpanjang di usus
16

sehingga ikatan obat bebas (free drug reaction) meningkat. Oleh karena itu, dosis
lazim parasetamol menjadi lebih besar di dalam tubuh ibu hamil. Penggunaan
parasetamol yang dapat mempengaruhi fungsi endotel pembuluh darah dan dapat
meningkatkan resiko mengalami preeklampsia yaitu:
1. Penggunaan parasetamol melebihi 1000 mg per hari.
2. Penggunaan parasetamol dengan durasi 3 hari atau bahkan lebih dari 3
hari.
3. Penggunaan parasetamol pada maternal berusia 30-40 tahun.
4. Penggunaan parasetamol pada maternal dengan riwayat preeklampsia
dalam keluarga.
Kriteria-kriteria penggunaan parasetamol sesuai disebutkan di atas akan
meningkatkan resiko preeklampsia. Namun jika parasetamol digunakan
sebijaksana mungkin, dalam artian dalam dosis terapeutik yang aman bagi ibu
hamil dan tidak ada riwayat preeklampsia, parasetamol tidak akan memberi efek
negatif yang kuat terhadap kesehatan janin dan kesehatan ibu.
17

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Secara umum, berdasarkan penjelasan mengenai pengaruh penggunaan
parasetamol sebagai analgesik-antipiretik selama masa kehamilan terhadap
resiko preeklampsia, kesimpulan yang di dapat yaitu:
1. Penggunaan parasetamol selama masa kehamilan tidak mempunyai
pengaruh terhadap resiko preeklampsia pada ibu hamil.
2. Penggunaan parasetamol yang dapat mempengaruhi fungsi endotel
pembuluh darah dan dapat meningkatkan resiko mengalami preeklampsia
yaitu:
a) Penggunaan parasetamol melebihi 1000 mg per hari.
b) Penggunaan parasetamol dengan durasi 3 hari atau bahkan lebih
dari 3 hari.
c) Penggunaan parasetamol pada maternal berusia 30-40 tahun.
d) Penggunaan parasetamol pada maternal dengan riwayat
preeklampsia dalam keluarga.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diatas, maka disarankan :

1. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat mengetahui tentang pengaruh
penggunaan parasetamol selama masa kehamilan, khususnya
penggunaan parasetamol dengan dosis tinggi dan penggunaan jangka
panjang.
2. Bagi petugas kesehatan
Tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan penyuluhan
tentang bagaimana seharusnya penggunaan parasetamol dan melakukan
tindakan preventif penggunaan parasetamol dosis tinggi pada ibu hamil
dengan riwayat preeklampsia.
18

3. Bagi penulis selanjutnya


Penulis selanjutnya sebaiknya menulis tentang faktor-faktor lain
atau obat-obat lain yang sekiranya mungkin dapat meningkatkan atau
menurunkan resiko terjadinya preeklampsia.
19

BAB V
SUMMARY
A. Conclusion
In general, based on the description of the effect of the use of
paracetamol as an analgesic-antipyretic during pregnancy on the risk of
preeclampsia, a conclusion are:
1. The use of paracetamol during pregnancy hasn’t an effect on the risk of
preeclampsia in pregnant women.
2. The use of paracetamol may affect endothelial function of blood vessels
and can increase the risk of experiencing pre-eclampsia, namely:
a) Use of paracetamol exceed 1000 mg per day.
b) The use of paracetamol with a duration of 3 days or even more
than 3 days.
c) Use of paracetamol in maternal aged 30-40 years.
d) Use of paracetamol in the maternal family history of
preeclampsia.
B. Suggestions
Based on the conclusions from the above results, it is recommended:
1. For the community
The public is expected to know about the effect of the use of paracetamol
during pregnancy, particularly the use of paracetamol with high doses
and prolonged use.
2. For health workers
The health worker is expected to provide education on how to use
paracetamol and preventive action high doses of paracetamol use in
pregnant women with a history of preeclampsia.
3. For further research
Researchers recommend further research on other factors or other drugs
that if it were possible can increase or reduce the risk of preeclampsia.
20

DAFTAR PUSTAKA

AHFS. (2005). AHFS Drug Information. Bethesda: American Society of Health


System Pharmacists. Hal 111.
Anderson, B. J., 2008, Paracetamol (Parasetamol): Mechanism of Action,
Pediatric Anesthesia, 18: 915 -921.
Aksornphusitaphong, A., and Phupong, 2013, Risk Factors of Early and Late
Onset Pre-eclampsia, The Journal of Obstetrics and Gynaecology
Research, 39(3), 627-631.
Al-Jameil, N., Khan, F. A., Khan, M. H., and Tabassum, H., 2014, A Brief
Overview of Preeclampsia, J Clin Med Res, 6(1), 1-7.
Blackburn, S. T., 2007, Maternal Fetal Neonatal Physiology: A Clinical
Prospective, chapter 3, Saunders Elsevier, Missouri, 75 – 77.
Boyd, H. A., Tahir, H., Wohlfahrt, J., and Melbye, M., 2013, Association of
Personal and Family Preeclampsia History with The Risk of Early-
,Intermediate-, and Late Onset Preeclampsia, Am. J. Epidemiol., 1(3), 11-
28.
Brosens, L. A., Robertson, W. B., Dixon, H. G., 1972, The Role of The Spiral
Arteries in The Pathogenesis of Preeclampsia, Obstet. Gynecol. Ann., 1,
177–191.
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., and
Spong, C. Y., 2010, William Obstetrics, 23rd ed., Mc Graw Hiil Medical,
USA, 107-123.
Darsono, Lusiana. 2002. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan
Parasetamol. Bandung: Universitas Kristes Maranatha.
Dawez, M., & Chowienczyk, P. J., 2001, Pharmacokinetics in Pregnancy, Best
Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology, 15 (6), 819-
826.
Ellegard, E., Hellgren, M., Toren, K., and Karlsson, G., 2000, The Incidence of
Pregnancy Rhinitis, Gynecol. Obstet. Invest., 49, 98-101.
Fischer, T., Schobel, H. P., Frank, H., Andreae, M., Schneider, K. T. M.,
Heuszer, K., 2004, Pregnancy-induced sympathetic overactivity: a
precursor of preeclampsia, European J. of Clinical Investigation, 34,
443-448.
Gilbert, J.S., Ryan, M. J., LaMarca, B. B., Sedeek, M., Murphy, S. R., and
Granger, J. P., 2007, Patophysiology of Hypertension During
Preeclampsia: Linking Placental Ischemia with Endothelial Dysfunction,
Am J Physiol Heart Circ Physiol, 294, 241 – 251.
Greenwood, J. P., Scoot, E. M., Stoker, J. B., Walker, J. J., David, A. S. G., and
Mary, 2001, Sympathetic Neural Mechanisms in Normal and
Hypertensive Pregnancy in Humans, Circulation, 104, 2200-2204.
Hawa, L. R., 2009, Faktor Risiko Kematian Maternal Pada Preeklampsia Berat
dan Eklampsia di Rumah Sakit Sardjito Tahun 2004-2007, Tesis, 36-67,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Heyl W, Handt S, Reister F, Gehlen J, Mittermayer C, Rath W. The Role of
Soluble Adhesion Molecules in Evaluating Endothelial Cell Activation in
Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 1999; 180: 68-72.
21

Higgins, J. R., and de Swiet, M., 2001, Blood-pressure Measurement and


Classification in Pregnancy, Lancet, 357, 131-135.
Hladunewich et al. 2007. Maternal and Neonatal Health and Disease. 17, 46.
Idris, I., Yusuf, I., Sinrang, W., dan Batmomolin, A., 2004, Incidence of
Preeclampsia and Low Birth Weight in Sympathetic Hyperactivity
Pregnant Women, J. Med. Nus., 25, 121-124.
Katzung, B.G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Surabaya:
Salemba Medika.
Kementrian Kesehatan. 2011. Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.
Lamminpaa, R., Julkunen, K. V., Gissler, M., and Heinonen, S., 2012,
Preeclampsia complicated by advanced maternal age: a registry-based
study on primiparous women in Finland 1997-2008, BMC Pregnancy
Childbirth, 12 (47)
Levine, R. J., Maynard, S. E., Cong Qias,Kee-Hak Lim, England, L. J., Yu, K.
F., Schisterman, E. F., Thadhani, R., Sachs, B. P., Epstein, F. H., Sibai,
B. M., Sukhatme, V. P., and Karumanchi, S. A., 2004, Circulating
Angiogenic Factors and The Risk of Preeclampsia, New Eng. J Med.,
350, 672-683.
Macdonald-Wallis, C., Lawlor, D. A., Heron, J., Fraser, A., Nelson, S. M.,
Tilling, K., 2011, Relationships of Risk Factors for Pre-Eclampsia with
Patterns of Occurrence of Isolated Gestational Proteinuria during Normal
Term Pregnancy, Plosone, 6(7), 1 – 10.
Mardjono, Mahar. 1971. Pengaruh Pemberian Parasetamol Terhadap Sistem
Saraf Anak dan Ibu Hamil. Jakarta.
McEvoy, G. K., 1998, Phenylpropanolamine, American Hospital Formulary
Service-Drug Information 1998, American Society of Health- System
Pharmacists, Inc., Bethesda, 1062, 1063.
Noris, M., Perico, N., and Remuzzi, G., 2005, Mechanisms of Disease: Pre-
eclampsia, Nature Clinical Practice Nephrology, (1), 98-114.
Perry, S. E., Hockenberry, M. J., Lowdernmilk, D. L., and Wilson, D., 2010,
Maternal Child Nursing Care, Mosby Elsevier, Missouri, 334-339.
Powe, C. E., Levine, R. J., and Karumanchi, S. A., 2011, Preeclampsia, A
Disease of The Maternal Endothelium: The Role of Antiangiogenic
Factors and Implications for Later Cardiovascular Disease, Circulation,
123, 2856-2869.
Reyes, L. M., Garcia, R. G., Ruiz, S. L., Camacho, P. A., Ospina, M. B., Aroca,
G., Accini, J. L., and Lopez-Jaramillo, P., 2012, Risk Factors for
Preeclampsia in Women from Colombia: A Case-Control Study,
PlosOne, 7(7), 1 – 7.
Robert, J. M. & Copper, D. W., 2001, Pathogenesis and Genetics of
Preeclampsia, Lancet, 357, pp. 53-56.
Sauvarin, J. 2006, Maternal and Neonatal Health in East and South-East Asia,
UNFPA, Bangkok, 1,3,4.
Tjay, T.H & Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Cetakan Kelima. Gramedia.
Jakarta.
Vitoratos, N., Hassiakos, D., and Iavazzo, C., 2012, Molecular Mechanisms of
Preeclampsia, Hindawi Publishing Corporation Journal of Pregnancy,
2012, 1-5.
22

Wang, Y and Alexander, J. S., 2000, Placental Pathophysiology in Preeclampsia,


Elsevier Pathophysiology, 6, 261-270.
World Health Organization. 1997. Maternal and Neonatal Health.
Young, B. C., Levine, R. J., and Karumanchi, S. A., 2010, Pathogenesis of
Preeclampsia, Annu. Rev. Pathol. Mech. Dis., 5, 173-192.

Anda mungkin juga menyukai