BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiap tahun terdapat 36.000 kematian maternal di wilayah Asia Tenggara
dimana Indonesia termasuk negara yang memiliki angka Maternal Mortality
Ratio (MMR) yang cukup tinggi (Sauvarin, 2006). Angka Kematian Ibu (AKI)
menjadi salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). Target MDGs
terhadap AKI di Indonesia sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015, sedangkan data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada
tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI masih tinggi yaitu sebesar 228 per
100.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2011). Kematian maternal di
Asia Tenggara sebesar 60-80% disebabkan oleh perdarahan, sepsis, gangguan
hipertensi (termasuk preeklampsia), dan komplikasi karena aborsi yang tidak
aman. Preeklampsia menyumbang 12% terjadinya kematian maternal dan hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa 5-7% kehamilan akan mengalami
preeklampsia (Sauvarin, 2006; Kementerian Kesehatan, 2011; WHO, 1997;
Hladunewich et al., 2007).
Pada satu sisi banyak wanita hamil mengkonsumsi obat bebas pada awal
kehamilan karena tidak menyadari kehamilannya. Lebih dari 90% maternal
menggunakan obat baik obat bebas maupun resep pada saat hamil (Andrade, et
al., 2004). Salah satu over-the-counter (OTC) yang sering digunakan adalah
obat flu karena 18-30% maternal mengalami flu pada awal kehamilan sebagai
akibat dari penurunan sistem imun maternal (Ellegard et al., 2000). Salah satu
kandungan obat flu yang paling banyak ditemui adalah parasetamol.
Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay dan Raharja,
2007). Antipiretik adalah obat menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi
analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak
menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala,
fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti
2
peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang
mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan
jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantara) (Anief,
2004).
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh penggunaan obat paracetamol selama kehamilan
terhadap preeklampsia?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan obat paracetamol selama
kehamilan terhadap preeklampsia.
D. Manfaat
a) Bagi penulis:
1. Menambah wawasan penulis mengenai penggunaan obat
parasetamol selama kehamilan.
2. Menambah wawasan mengenai pengaruh penggunaan obat
parasetamol pada pasien preeklampsia.
b) Bagi institusi kesehatan:
1. Sebagai acuan pembelajaran (referensi) mengenai pengaruh
penggunaan obat parasetamol selama kehamilan terutama
kehamilan dengan riwayat preeklampsia.
2. Sebagai referensi bagi peneliti lain dengan judul penelitian yang
sama.
c) Bagi masyarakat luas:
3
BAB II
FARMASI – FARMAKOLOGI
Sifat Kimia
B. Farmasi Umum
Parasetamol merupakan sintesis dari derivat para aminofenol non-opiat
yang ditujukan untuk penggunaan analgesik dan antipiretik. Mekanisme kerja
dari Parasetamol ini mirip dengan salisilat. Pada dosis lazim, daya analgesik dan
antipiretik parasetamol mirip dengan aspirin. Efek analgesik dari parasetamol
5
diperkuat oleh kodein dan kofein dengan kira-kira 50%. Parasetamol merupakan
obat penurun panas dan pereda nyeri yang telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Metabolit Fenasetin ini diklaim sebagai zat antinyeri yang paling
aman sebagai swamedikasi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau
sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai
sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol
untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-
12 tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun:
60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari (Mahar Mardjono
1971).
Secara umum, parasetamol digunakan per-oral. Pada pasien yang tidak
dapat menggunakan secara per-oral, parasetamol sering diberikan dalam bentuk
supositoria (AHFS, 2005). Parasetamol sering digunakan untuk analgesik pada
penatalaksanaan sakit ringan hingga moderat. Selain itu, parasetamol juga
digunakan dalam pengobatan migrain pada kombinasi dengan aspirin dan
kafein. Pada pemakaian lain, parasetamol ditujukan untuk pengobatan sakit
karena osteoartritis (OA) khususnya pada pasien yang bermasalah dengan
saluran gastro intestinal (AHFS, 2005).
C. Farmakologi Umum
Parasetamol memiliki sifat analgesik-antipiretik dan aktivitas anti-
inflamasi lemah yang digunakan dalam pengelolaan gejala nyeri sedang dan
demam. Ketika digunakan pada dosis yang dianjurkan parasetamol memiliki
profil keamanan yang sangat baik, efeknya lebih sedikit terhadap gastrointestinal
daripada aspirin dan ibuprofen.
D. Farmakodinamik
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol termasuk ke
dalam golongan obat analgetik (meredakan nyeri) dan anti piretik (meredakan
demam). Obat ini meningkatkan ambang nyeri di otak. Sementara saat
6
E. Farmakokinetik
F. Indikasi
Walaupun efek analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin (Styrt,
1990), parasetamol berbeda karena mempunyai efek anti inflamasi yang sangat
rendah. Obat ini tidak mempengaruhi kadar asam urat dan tidak mempunyai
sifat menghambat trombosit. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang
seperti nyeri kepala, myalgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain,
sedangkan aspirin efektif sebagai analgesik.
Untuk analgesik ringan, parasetamol merupakan obat yang lebih disukai
pada penderita alergi dengan aspirin atau jika salisilat tidak dapat ditoleransi.
7
Obat ini lebih disukai daripada aspirin untuk penderita hemofilia atau dengan
riwayat tukak lambung dan penderita yang mendapat bronkospasme yang di
picu aspirin. Perbedaan dengan aspirin adalah parasetamol tidak menghambat
efek obat urikosurik, dapat diberikan bersama dengan probenesid pada
pengobatan gout. Pada anak-anak, aspirin lebih disukai pada infeksi virus
(Katzung, 1997).
G. Toksisitas
Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol digunakan
secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu,
melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Keracunan parasetamol terutama
menimbulkan nekrosis hati yang disebabkan oleh metabolitnya (Lusiana
Darsono, 2002).
Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual
secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot
sementara, sakit menjelang menstruasi, dan diindikasikan juga untuk demam.
Obat ini menjadi pilihan analgesik yang relatif aman bila dikonsumsi dengan
benar sesuai petunjuk penggunaan.
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar
serum puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam.
Metabolisme di hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui
urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik
kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian
dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi
menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus
sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan
berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.
8
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non
toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi
metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk
mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan
timbulah nekrosis sentrolobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation.
Dengan proses yang sama parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Dosis Toksik
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang
dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15 g pada dewasa
dapat menyebabkan hepatotoksitas berat sehinggaterjadi nekrosis sentrolobuler
hati. Dosis lebih dari 20 g bersifat fatal. Pada alkoholisme, penderita yang
mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan hati lebih
berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat (Lusiana
Darsono, 2002).
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 3 stadium:
1. Stadium I (0-24 jam) asimptomatis atau gangguan sistim pencernaan
berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering
terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam) Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistem
pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas,
meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal
ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam ) Merupakan puncak gangguan faal hati, mual
dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran,
ensefalopati hepatikum.
9
Penanganan
1. Dekontaminasi
a) Sebelum di rawat di rumah sakit : Dapat diberikan karbon aktif
atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada anak-anak
dengan waktu paparan 30 menit.
b) Saat dirawat di rumah sakit: Pemberian karbon aktif, jika terjadi
penurunan kesadaran karbon aktif diberikan melalui pipa
nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum
untuk menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan
karena akan mengikat dan menghambat metionin.
2. Antidotum
a) N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan
parasetamol. N-asetilsistein bekerja mensubstitusi glutation,
meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkan konjugasi
sulfat pada parasetamol. N asetil sistein sangat efektif bila
diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi
metabolit.
b) Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman
dan murah tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N
asetilsistein. Dosis - Cara pemberian Nasetilsistein • Bolus 150
mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15
menit, dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 %
selama 4 jam, kemudian 100 mg/KBB dalam 1000 ml dextrose
melalui IV perlahan selama 16 jam berikut. • oral atau pipa
nasogatrik Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi
dosis pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4 jam sebanyak 17
dosis. Pemberian secara oral dapat menyebabkan mual dan
muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid ( 60-70
mg IV pada dewasa ) Larutan N asetil sistein dapat dilarutkan
dalam larutan 5 % jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang
dingin. Keberhasilan terapi bergantung pada terapi dini, sebelum
metabolit terakumulasi (Lusiana Darsono, 2002).
11
BAB III
PENELITIAN-PENELITIAN
YANG DILAKUKAN ORANG LAIN
Pada satu sisi banyak wanita hamil mengkonsumsi obat bebas pada awal
kehamilan karena tidak menyadari kehamilannya. Lebih dari 90% maternal
menggunakan obat baik obat bebas maupun resep pada saat hamil (Andrade, et
al., 2004). Salah satu over-the-counter (OTC) yang sering digunakan adalah
obat flu karena 18-30% maternal mengalami flu pada awal kehamilan sebagai
akibat dari penurunan sistem imun maternal (Ellegard et al., 2000). Salah satu
kandungan obat flu yang paling banyak ditemui adalah parasetamol.
Tabel 3.1. Analisis regresi logistik terhadap penggunaan parasetamol, dosis per hari, durasi,
umur dan riwayat preeklampsia.
BAB IV
PEMBAHASAN
sehingga ikatan obat bebas (free drug reaction) meningkat. Oleh karena itu, dosis
lazim parasetamol menjadi lebih besar di dalam tubuh ibu hamil. Penggunaan
parasetamol yang dapat mempengaruhi fungsi endotel pembuluh darah dan dapat
meningkatkan resiko mengalami preeklampsia yaitu:
1. Penggunaan parasetamol melebihi 1000 mg per hari.
2. Penggunaan parasetamol dengan durasi 3 hari atau bahkan lebih dari 3
hari.
3. Penggunaan parasetamol pada maternal berusia 30-40 tahun.
4. Penggunaan parasetamol pada maternal dengan riwayat preeklampsia
dalam keluarga.
Kriteria-kriteria penggunaan parasetamol sesuai disebutkan di atas akan
meningkatkan resiko preeklampsia. Namun jika parasetamol digunakan
sebijaksana mungkin, dalam artian dalam dosis terapeutik yang aman bagi ibu
hamil dan tidak ada riwayat preeklampsia, parasetamol tidak akan memberi efek
negatif yang kuat terhadap kesehatan janin dan kesehatan ibu.
17
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Secara umum, berdasarkan penjelasan mengenai pengaruh penggunaan
parasetamol sebagai analgesik-antipiretik selama masa kehamilan terhadap
resiko preeklampsia, kesimpulan yang di dapat yaitu:
1. Penggunaan parasetamol selama masa kehamilan tidak mempunyai
pengaruh terhadap resiko preeklampsia pada ibu hamil.
2. Penggunaan parasetamol yang dapat mempengaruhi fungsi endotel
pembuluh darah dan dapat meningkatkan resiko mengalami preeklampsia
yaitu:
a) Penggunaan parasetamol melebihi 1000 mg per hari.
b) Penggunaan parasetamol dengan durasi 3 hari atau bahkan lebih
dari 3 hari.
c) Penggunaan parasetamol pada maternal berusia 30-40 tahun.
d) Penggunaan parasetamol pada maternal dengan riwayat
preeklampsia dalam keluarga.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diatas, maka disarankan :
1. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat mengetahui tentang pengaruh
penggunaan parasetamol selama masa kehamilan, khususnya
penggunaan parasetamol dengan dosis tinggi dan penggunaan jangka
panjang.
2. Bagi petugas kesehatan
Tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan penyuluhan
tentang bagaimana seharusnya penggunaan parasetamol dan melakukan
tindakan preventif penggunaan parasetamol dosis tinggi pada ibu hamil
dengan riwayat preeklampsia.
18
BAB V
SUMMARY
A. Conclusion
In general, based on the description of the effect of the use of
paracetamol as an analgesic-antipyretic during pregnancy on the risk of
preeclampsia, a conclusion are:
1. The use of paracetamol during pregnancy hasn’t an effect on the risk of
preeclampsia in pregnant women.
2. The use of paracetamol may affect endothelial function of blood vessels
and can increase the risk of experiencing pre-eclampsia, namely:
a) Use of paracetamol exceed 1000 mg per day.
b) The use of paracetamol with a duration of 3 days or even more
than 3 days.
c) Use of paracetamol in maternal aged 30-40 years.
d) Use of paracetamol in the maternal family history of
preeclampsia.
B. Suggestions
Based on the conclusions from the above results, it is recommended:
1. For the community
The public is expected to know about the effect of the use of paracetamol
during pregnancy, particularly the use of paracetamol with high doses
and prolonged use.
2. For health workers
The health worker is expected to provide education on how to use
paracetamol and preventive action high doses of paracetamol use in
pregnant women with a history of preeclampsia.
3. For further research
Researchers recommend further research on other factors or other drugs
that if it were possible can increase or reduce the risk of preeclampsia.
20
DAFTAR PUSTAKA