Indikator Ekonomi Sebagai Salah Satu Determinan Kesehatan Di Indonesia
Indikator Ekonomi Sebagai Salah Satu Determinan Kesehatan Di Indonesia
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui ekonomi
sebagai salah satu determinan kesehatan di Indonesia.
b. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui indikator ekonomi
Untuk mengetahui kondisi perekonomian di Indonesia
Untuk mengetahui situasi kemiskinan di Indonesia
Untuk mengetahui kondisi perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Untuk mengetahui kaitan antara ekonomi dan kesehatan
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Gross Domestic Product ( GDP ) atau Produk Domestik Bruto (PDB) yang di
dalamnya terdapat konsumsi personal, pembelian pemerintah, persediaan, dan neraca
perdagangan (ekspor dan impor)
b. Tingkat suku bunga
c. Inflasi
d. Tingkat pengangguran
e. Penjualan ritel
f. Indeks harga
3
2.2 Kondisi Perekonomian di Indonesia
• Pertumbuhan Ekonomi Global yang Lambat: Fokus pada Republik Rakyat Tiongkok
(RRT)
• Menurunnya Harga-Harga Komoditi
• Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia yang Tinggi
• Perpolitikan di Indonesia
PDB per kapita Indonesia telah naik tajam selama satu dekade terakhir, kendati
hal ini telah melemah selama dua tahun terakhir karena perlambatan ekonomi. Meskipun
begitu, bisa dipertanyakan apakah PDB per kapita adalah alat ukur yang layak untuk
Indonesia karena penduduk Indonesia memiliki karakteristik ketidaksetaraan yang tinggi
dalam distribusi pendapatan. Dengan kata lain, ada kesenjangan antara statistik dan
kenyataan karena kekayaan 43.000 orang terkaya di Indonesia (yang mewakili hanya
0,02% dari total penduduk Indonesia) setara dengan 25% PDB Indonesia. Kekayaan 40
orang terkaya di Indonesia setara dengan 10,3% PDB (yang merupakan jumlah yang
sama dengan kombinasi harta milik 60 juta orang termiskin di Indonesia). Indonesia
berubah dari negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada pertanian menjadi
negara yang perekonomiannya lebih seimbang, di mana sektor manufaktur (sejenis
industri) kini lebih dominan daripada sektor pertanian. Hal ini juga menyiratkan bahwa
Indonesia mengurangi ketergantungan tradisionalnya pada sektor ekspor primer. Kendati
4
begitu, perlu dicatat bahwa semua sektor utama ini mengalamai ekspansi selama periode
yang disebutkan. Tabel di bawah ini menunjukkan perkembangan komposisi PDB
Indonesia.
Mengamati PDB per kapita segera tampak bahwa Indonesia masih memiliki
perjalanan panjang ke depan dibandingkan dengan negara-negara yang lebih
berkembang. Bahkan, Indonesia memiliki salah satu PDB per kapita terendah
dibandingkan negara mana pun di dunia. Melalui sejumlah rencana pembangunan
Pemerintah, Pemerintah Indonesia bertujuan untuk meningkatkan angka ini menjadi
sekitar 14.250-15.500 dollar AS pada tahun 2025. Namun, tetap diragukan apakah target
ambisius ini akan dapat direalisasikan, apalagi - seperti yang disebutkan di atas -
5
indikator ini tidak merefleksikan distribusi (setara) dari pendapatan atau kekayaan dalam
masyarakat Indonesia. Dibutuhkan kebijakan Pemerintah yang efektif untuk
menyediakan lebih banyak pendidikan untuk anak-anak Indonesia dan lebih banyak
kesempatan kerja untuk orang-orang dewasa Indonesia.
Papua 27.8%
Papua Barat 26.3%
Nusa Tenggara Timur 19.6%
Maluku 18.4%
Gorontalo 17.4%
*Persentase berdasarkan total penduduk per propinsi bulan September 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
7
Tabel di bawah ini memperlihatkan angka pengangguran di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir. Tabel tersebut menunjukkan penurunan yang terjadi secara
perlahan dan berkelanjutan, khususnya angka pengangguran wanita. Pengangguran
wanita berkurang secara drastis, bahkan mulai mendekati angka pengangguran pria.
Meskipun demikian, masalah persamaan gender, seperti di negara-negara lain, masih
menjadi isu penting di Indonesia. Meski sudah ada kemajuan dalam beberapa sektor
utama (seperti pendidikan dan kesehatan), wanita masih cenderung bekerja di bidang
informal (dua kali lebih banyak dari pria), mengerjakan pekerjaan tingkat rendah dan
dibayar lebih rendah daripada pria yang melakukan pekerjaan yang sama.
Pengangguran 10.3 9.1 8.4 7.9 7.1 6.6 6.1 6.2 5.9
(% dari total tenaga kerja)
Pengangguran Pria 8.5 8.1 7.6 7.5 6.1 - - -
(% dari total tenaga kerja pria)
Pengangguran Wanita 13.4 10.8 9.7 8.5 8.7 - - -
(% dari total tenaga kerja wanita)
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik
Sektor pertanian tetap berada di posisi teratas dalam hal penyerapan tenaga
kerja. Tabel di bawah ini memperlihatkan empat sektor terpopuler yang menyerap
paling banyak tenaga kerja di tahun 2011 dan setelahnya. Angka-angka ini merupakan
representasi total persentase tenaga kerja Indonesia.
8
2011 2012 2013 2014¹
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah termiskin
di Indonesia. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah NTT, serta berbagai lembaga
donor dan lembaga swadaya masyarakat lokal maupun internasional telah melakukan
upaya-upaya untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat NTT.
Indikator yang dapat digunakan untuk melihat kondisi perekonomian suatu wilayah
antara lain adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga
berlaku maupun atas dasar harga konstan. Sesuai dengan definisi, PDRB adalah jumlah
seluruh barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu
wilayah.
Pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2010 sebesar 5,06 persen sedangkan
di tingkat nasional sebesar 6,06 persen. Selanjutnya pada tahun 2011 laju pertumbuhan
ekonomi Propinsi NTT maupun nasional mengalami pertumbuhan menjadi 5,67 persen
sedang nasional 6,98 persen. Pada tahun berikutnya pertumbuhan ekonomi propinsi dan
nasional kembali melambat, pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi propinsi tumbuh
5,04 persen, pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami perlambatan menjadi 5,02
persen.
Sebagaimana perekonomian wilayah lain di Indonesia, perekonomian Nusa
Tenggara Timur pada dasarnya merupakan perekonomian agraris yang dicirikan dengan
besarnya peranan sektor pertanian. Pada tahun 2010 sumbangan lapangan usaha
pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDRB Nusa Tenggara Timur mencapai
31,85 persen. Peranan sektor ini cenderung semakin menurun ketika perekonomian
Nusa Tenggara Timur menjadi semakin baik. Peranan sektor pertanian pada tahun 2012
mengalami penurunan menjadi 30,11 persen dan menurun kembali menjadi 29,80
9
persen pada tahun 2014. Sektor lain yang peranannya cukup besar dalam perekonomian
Nusa Tenggara Timur adalah lapangan usaha Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib; lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor; lapangan usaha Konstruksi; lapangan usaha Jasa Pendidikan;
lapangan usaha Informasi dan Komunikasi; dan lapangan usaha Transportasi dan
Pergudangan. Sementara peranan lapangan usaha lainnya di bawah 5 persen.
Bila PDRB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di
daerah itu, maka akan dihasilkan suatu PDRB Per kapita. PDRB Per kapita atas dasar
harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau per satu orang penduduk. Pada
tahun 2014, PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur mencapai 13.620.019,05 Rupiah
dengan pertumbuhan sebesar 5,06 persen pada tahun 2010 dan berturut-turut sebesar
5,67; 5,46; 5,42; dan 5,04 persen.
PDRB Per Kapita Menurut Lapangan Usaha (Juta Rp), 2010-2014
* Angka Sementara
** Angka Sangat Sementara
Sumber : Data PDRB Provinsi NTT Menurut Lapangan Usaha, 2010–2014
Persentase penduduk miskin (P0) di Provinsi NTT mengalami penurunan
sebesar 3,71 poin dari tahun 2009 sampai dengan September 2014. P0 tahun 2009
sebesar 23,31 persen, turun menjadi 23,03 persen pada tahun 2010, dan terus
mengalami penurunan menjadi 19,60 persen pada tahun 2014. Dibanding kemiskinan
Nasional, kemiskinan NTT masih jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sebesar
10,96 persen tahun 2014.
10
2.5 Ekonomi dan Kesehatan
Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan keluarga, kesehatan
adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk belajar di sekolah. Tenaga
kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih enerjik dan kuat, lebih produktif, dan
mendapatkan penghasilan yang tinggi. Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara
sedang berkembang, dimana proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara
manual. Di Indonesia sebagai contoh, tenaga kerja laki-laki yang menderita anemia
menyebabkan 20% kurang produktif jika dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki
yang tidak menderita anemia. Selanjutnya, anak yang sehat mempunyai kemampuan
belajar lebih baik dan akan tumbuh menjadi dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga
yang sehat, pendidikan anak cenderung untuk tidak terputus jika dibandingkan dengan
keluarga yang tidak sehat. Pada tingkat makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang
baik merupakan masukan (input) penting untuk menurunkan kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Beberapa pengalaman sejarah
besar membuktikan berhasilnya tinggal landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi
yang cepat didukung oleh terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat,
pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi. Hal ini antara lain terjadi di Inggris
selama revolusi industri, Jepang dan Amerika Selatan pada awal abad ke-20, dan
pembangunan di Eropa Selatan dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun
1960-an. Informasi yang paling mengagumkan adalah penelusuran sejarah yang
dilakukan oleh Prof. Robert Fogel, yang menyatakan bahwa peningkatan ketersediaan
jumlah kalori untuk bekerja, selama 200 tahun yang lalu mempunyai kontribusi terhadap
pertumbuhan pendapatan per kapita seperti terjadi di Perancis dan Inggris. Melalui
11
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan pemberian kalori yang cukup, Fogel
memperkirakan bahwa perbaikan gizi memberikan kontribusi sebanyak 30% terhadap
pertumbuhan pendapatan per kapita di Inggris.
Namun seperti yang kita tahu, di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih banyak
anak-anak yang berstatus gizi buruk. Beberapa instansi pemerintah ikut bertanggung
jawab karena gizi buruk erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Gizi buruk dan
kemiskinan menunjukkan secara jelas, bahwa pembangungan dan pertumbuhan ekonomi
yang diraih sekarang ini tidak untuk semua orang NTT. Dalam arti belum bisa dinikmati
oleh seluruh rakyat NTT. Dengan demikian, pemerintah NTT di sini mempertanyakan
diri, sejauh mana usaha pemerintah NTT untuk meningkatkan pendapatan ekonomi
rakyat. Jelas bahwa, tidak mungkin mengatasi masalah gizi buruk dan kemisikinan di
NTT tanpa ada upaya peningkatan ekonomi masyarakat. Begitu pula dengan daerah
miskin lainnya.
Inflasi pada paket komoditi kebutuhan dasar makanan dan non makanan
merupakan salah satu pemicu kemiskinan di NTT. Kelompok bahan makanan pada
periode September 2014-Maret 2015 mengalami inflasi yaitu sebesar 4,18 persen. Di
daerah perkotaan, indeks harga pada sub-kelompok padi-padian, umbi-umbian dan
hasilnya mengalami kenaikan sebesar 18,12 persen. Dalam menghadapi kemiskinan,
dibutuhkan keberpihakan dan itikad baik dari pemerintah untuk memotivasi peningkatan
pendapatan masyarakat, misalnya, dengan menciptakan lapangan kerja baru.
Meningkatkan subsidi misalnya, pemberian dana bergulir untuk pembangungan usaha
kecil, ketimbang mengkorupsi dana pembangungan. Perlu juga pelatihan-pelatihan
teknologi industri rumah tangga yang tepat guna untuk masyarakat NTT dan penanaman
tanaman yang cocok untuk daerah NTT. Tak kalah penting adalah, meralisasikan
diversifikasi pangan juga sangat penting. Dengan memproduksi beragam bahan pangan
dan tersedia dalam bentuk siap olah serta terjangkau daya beli, dapat diharapkan status
gizi dan kesehatan masyarakat NTT dapat ditingkatkan. Di sisi lain, mentalitas
masyarakat NTT untuk mengusahakan kehidupan yang sehat juga sangat perlu. Dalam
arti, kreativitas dan usaha yang tepat untuk memenuhi standar hidup yang sehat sangat
diperlukan.
12
kecil, nelayan kecil dan pengrajin kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal
perkotaan. Bagi para petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk
komoditas perkebunan seperti cengkeh, kopi, vanili, jambu mete, tingkat ekonomi
mereka cukup memadai. Di Sabu dan Rote, sebagian pelaku ekonomi kecil di pesisir
pantai dikabarkan mengalami kemajuan berkat budidaya rumput laut. Di Apui (Alor),
sejumlah kelompok tani yang menanam vanili mendapat penghasilan yang cukup besar
lantaran harga komoditas ini cukup tinggi. Namun bagi para petani yang mengandalkan
tanaman pangan dengan wilayah yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka
memprihatinkan. Para peternak di Timor Tengah Selatan, betapapun daerah ini dikenal
sebagai gudang ternak (sapi), tidak menunjukkan status ekonomi yang lebih baik
ketimbang para petani yang menanam tanaman pangan. Demikian juga para nelayan
kecil di pesisir pantai Flores, Sumba, Alor dan Timor, kondisi mereka tidak dapat
digolongkan mampu secara ekonomis. Dalam hal ini peran pemerintah dalam membuat
kebijakan ekonomi diperlukan supaya penghasilan penduduk meningkat dan dapat
memenuhi kebutuhan primernya (sandang, pangan, papan) yang layak dan berkualitas.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
14