Diuretik Kelompok 2 05-01-2018
Diuretik Kelompok 2 05-01-2018
Diuretik Kelompok 2 05-01-2018
‘’DIURETIK’’
KELOMPOK II
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penyusun haturkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
yang berjudul “DIURETIK” guna memenuhi tugas mata kuliah
FARMAKOLOGI.
Penyusun sangat menyadari, bahawa dalam makalah ini masih banyak
kekurangan maupun kesalahan, untuk itu kepada para pembaca yang budiman
harap memaklumi adanya mengingat keberadaan penyusunlah yang masih banyak
kekurangannya. Dalam kesempatan ini pula penyusun mengharapakan kesediaan
pembaca untuk memberikan saran yang bersifat perbaikan, yang dapat
menyempurakan isi makalah ini dan dapat bermanfaat dimasa yang akan datang.
Ucapan terimakasih sangat perlu penyusun haturkan kepada dosen mata
kuliah Framakologi, sekaligus sebagai pembimbing dalam pembuatan makalah
ini, semoga atas atas kebesaran hati dan kebaikan beliau mendapat rahmat dari
Allah SWT. Amin
Akhir kata semoga makalah ini dapat membawa wawasan, khususnya bagi
penyusun dan umumnya bagi para pembaca yang budiman.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat-obat yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine
disebut diuretic. Obat-obat ini merupakan penghambat transport ion yang
menurunkan reabsorpsi Na+ pada bagian-bagian nefron yang berbeda. Akibatnya,
Na+ dan ion lain Cl- memasuki urine dalam jumlah banyak dibandingkan dengan
keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk
mempertahankan keseimbangan osmotic. Jadi, diuretik meningkatkan volume
urine dan sering mengubah pH-nya serta komposisi ion dan didala urine dan
darah.
Pemakaian diuretik sebagai terapi edema telah dimulai sejak abad ke-16
HgCl2 diperkenalkan oleh Paracelcus sebagai diuretic. 1930 Swartz menemukan
bahwa sulfanilamide sebagai antimicrobial dapat juga digunakan untuk mengobati
edema pada pasien payah jantung, yaitu dengan meningkatkan ekskresi dari Na+.
Diuretik modern semakin berkembangsejak ditemukannya efek samping dari
obat-obat anti mikroba yang mengakibatkan perubahan komposisi dan output
urine. Terkecuali spironolakton, diuretic kebanyakan berkembang secara empiris
tanpa mengetahui mekanisme system transport spesifik di nephron. Diuretic
adalah obat yang terbanyak diresepkan di USA, cukup efektif, namun memiliki
efek samping yang banyak pula.
Diuretik dapat dibagai menjadi 5 golongan yaitu :
1. Diuretik osmotic
2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase
3. Diuretik golongan tiazid
4. Diuretik hemat kalium
5. Diuretik kuat
6. Xantin
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan
urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan
adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua
menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air.
Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang
berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume
cairan ekstrasel kembali menjadi normal.
2. Lengkungan Henle
Dibagian ini kalsium 25% dari ion klorida yang telah
difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif
dari natrium dan kalium, tetapi tanpa air hingga filtrat menjadi
hipotonis.
1. Tubuli proksimal.
3. Tubuli distal.
4. Saluran Pengumpul.
1. Diuretik Osmotik
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit
yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat
bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat: 1)
difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, 2) tidak atau hanya sedikit
direabsorpsi sel tubuli ginjal, 3) secara farmakologis merupakan zat
yang inert, dan 4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan
metabolik. Contoh golongan obat ini adalah : Manitol, Urea,
Gliserin, Isosorbid.
Diuretik osmtik terutama bermanfaat pada pasien oligura akut
akibat syok hivovolemik yang tealh dikoreksi, reaksi transfuse atau
sebab lain yang menimbulkan nekrosis tubuli, karena dalam keadaan
ini obat yang kerjanya mempengaruhi fungsi tubuli tidak aktif.
Yang termasuk golongan ini adalah :
a. Manitol
Manitol merupakan obat yang sering digunakan diantara
obat lain, karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam
badan dan hanay sedikit sekali di reabsorpsi
Manitol digunakan misalnya untuk mencegah gagal ginjal
akut atau untuk mengatasi oliguria, dosis manitol total yang
diberikan untuk dewasa 50-100gr, untuk menurunkan tekanan
intracranial yang meninggi, menurunkan tekanan intraokuler
pada serangan akut glaucoma kongestiv atau sebelum operasi
mata, digunakan manitol 1,5 – 2 g/kg BB sebagai larutan 15-
20%, yang diberikan melalui infuse selama 30-60 menit.
Manitol dikontrainsikasikan pada penyakit ginjal dengan
anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat dan
pendarahan intracranial kecuali bila akan dilaukan
kraniotonomi. Infuse monitol harus segera dihentikan bila
terdapat tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang progresif,
payah jantung atau kongesti paru.
b. Urea
Merupakan suatu Kristal putih dengan rasa agak pahit dan
mudah larut dalam air. Sediaan intravena mengandug urea
sampai 30% dalam dekstrose 5% (iso-osmotik) sebab urea
murni dapat menimbulkan hemolisis. Pada tindakan bedah
syaraf, urea diberikan intravena dengan dosis 1-1,5g/KgBB.
Sebagai diuretic, urea potensinya lebih lemah dibandingkan
dengan monitol, karena 50% senyawa urea ini akan
direabsorpsi oleh tubuli ginjal
c. Gliserin
Diberikan peroral sebelum suatu tindakan optalmologi dengan
tujuan menurunkan tekanan intraokuler. Efek maksimal terlihat
satu jam sesudah pemberian obat dan menghilang sesudah 5
jam. Dosis untuk orang dewasa yaitu 1-1,5g/KgBB dalam
larutan 50 atau 75%. Gliserin ini cepat dimetabolisme,
sehingga efek diuresisnya relative kecil
d. Isosorbid
Diberikan secara oral untuk indikasi yang sama dengan
gliserin. Efeknya juga sama, hanaya isosorbid menimbulkan
diuresis yang lebih besar daripada fliserin, tanpa menimbulkan
hiperglikemia. Dosis berkisar antara 1-3g/KgBB, dan dapat
diberikan 2-4 kali sehari
Mekanisme Kerja :
Asetazolamid menghambat karbonik anhidrase yang terletak
didalam sel dan membrane tubulus proksimal. Karbonik anhidrase
mengkatalisis reaksi CO2 dan H2O menjadi H+ dan HCO3
(bikarbonat). Penurunan kemampuan untuk menukar NA+ untuk H+
dengan adanya asetazolamid menyebabkan diuresis ringan. Selain
itu, HCO3 dipertahankan dalam lumen yang ditandai dengan
penigkatan PH urine. Hilangnya HCO3 menyebabkan asidosis
metabolism hiperkloremik dan penurunan kemampuan diuresis
setelah beberapa hari pengobatan.
a. Klorotiazid
Klorotiazid merupakan golongan tiazid modern
pertama yang aktif peroral dan mampu mempengaruhi
edema berat yang disebabkan oleh sirosis hati dan gagal
jantung kongestif dengan efek samping yang minimum.
Sifat-sifatnya memiliki kelompok tiazid walaupun
derifat yang lebih baru seperti hidroklotiazid atau
klortalidon yang sekarang lebih sering digunakan.
Penggunanan dalam terapi :
Hipertensi : Secara klinis, tiazid telah
lama digunakan sebagai obat pertama
dalam pengobatan hipertensi karena
tidak mahal, mudah diberikan, dan
ditoleransi dengan baik oleh tubuh.
Obat-obat ini efektif menurunkan
tekanan darah sistolik dan diastolic
untuk jangka waktu yang lama pada
kebanyakan pasien dengan hipertensi
esensial ringan dan sedang.
Gagal Jantung Kongestif : tiazid dapat
menjadi diuretic pilihan utama dalam
penurunan volume cairan ekstraselular
pada gagal jantung ringan ampai sedang.
Hiperklasiuria : Tiazid dapat berguna
dalam mengobati hiperklasiuria idiopatik
karena penghambatan ekskresi Ca++
urine. Hal ini terutama berguna untuk
pasien dengan batu kalsium oksalat
didalam salura kemih.
Diabetes Insipidus : Tiazid meiliki
kemampuan yang unik untuk
membentuk urine yang hiperosmolar.
Tiazid dapat menggantikan hormone
antidiuretik untuk mengobati diabetes
insipidus nefrogenik. Volume urine pada
pasien seperti ini dapat turun dari 11
liter/hari menjadi sekiter 3liter/hari b ila
diobati dengan obat ini.
Farmakokinetik :
Obat-obatan ini efektif peroral. Kebanyakan tiazid,
memerlukan waktu 1-3 minggu untuk mencapai penurunan tekanan
darah yang stabil, dan obat ini menunjukan waktu paruh biologis
yang panjang (40 jam). Seua tiazid disekresi oleh system sekresi
asam organic gijal.
Efek Samping:
Kehilangan kalium, Hiperurisemia, Pengurangan volume,
hiperkalsemia, hiperglikemia, hipersensitifitas.
a. Hidroklorotiazid
Hidroklorotiazid adalah direvat tiazd yang telah terbukti
lebih popular dibandingkan obat induk. Hal ini karena
kemampuannya untuk menghambat karbonik anhidrase
kurang dibandingkan klorotiazid. Obat ini juga lebih kuat,
sehinga dosis yang diperlukan kurang dibandingkan
klorotiazid. Selain itu, efektivitas sama dengan obat
induknya.
b. Klortalidon
Klortalidon adalah merupakan suatu derivat tiazid yang
bersifat seperti hidroklorotiazid. Memiliki ,asa kerja yang
panjang dank arena itu sering digunakan untuk mengobati
hipertensi. Diberikan sekali sehari untuk indikasi ini.
c. Analog Tiazid
1) Metolazon : lebih kuat dari tiazid dan tidak seperti tiazid,
obat ini menyebabkan Na+ pada gagal ginjal lanjut.
2) Indapamid : larut dalam lipid, merupakan diuretic bukan
gologan tiazid yang memiliki masa kerja panjang. Pada
dosis rendah, obat ini memperlihatkan efek anti hipertensi
yang bermakna dengan efek diuretic yang minimal.
Indapamid sering digunakan pada gagal ginjal yang lanjut
untuk merangsang diuresis tambahan diatas duresis yang
telah dicapai oleh diuretic kuat. Indapamid di metabolism
dan diekresi oleh saluran pencernaan dan ginjal, oleh
karena itu sedikit kemungkinan untuk terakumulasi
dengan pasien dengan gagal ginjal dan mungkin berguna
untuk pengobatan.
5. Diuretik Kuat
Diuretik mencakup sekelompok diuretic yang efeknya sangat kuat
dibandingkan dengan diuretic lain. Tempat kerja utamanya dibagian
epitel tebal ansa henle bagian asenden, karena itu kelompok ini disebut
juga sebagai loop diuretics, Yang termasuk golongan ini adalah
bumetanid, furosemid, torsemid dan asam etakrina.
Penggunaan terapi
Merupakan obat pilihan utama untuk menurunkan edema paru-paru akut
pada gagal jantung kongestiv karena cara kerja cepat, maka obat ini
berguna untuk situasi darurat seperti edema paru-paru akut yang
memerlukan diuresis yang cepat.
Farmakokinetik
Diberikan peroral atau parenteral, masa kerja relative singkat 1-4 jam.
Efek samping
Ototoksisitas,hiperurisemia,hipopolemia akut, kekurangan kalium.
6. Xantin
Xantin mempunyai efek diuresis. Efek stimulasinya pada
jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan
oleh peningkatannya aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Namun, semua derivate xantin ini berefek langsung
pada tubuli ginjal yaitu menyebabkan peningkatan ekskresi Na+
dan Cl- tanpa disertai perubahan yang nyata pada pengasaman
urine. Efek diuresis ini hanya edikit dipengaruhi oleh
keseimbangan asam basa, tetapi mengalami potensiasi bila
diberikan bersama penghambat karbonik anhidrase.
Diantara kelompok xantin, teofilin memperlihatkan efek
diuresis yang paling kuat. Xatin sangat jarang digunakan sebagai
diuretic utama, namun bila digunakan untuk tujuan lain terutama
sebagai bronkodilator adanya efek diuresis harus tetap diingat
Kombinasi diuretika dg obat lain secara bersama
menimbulkan interaksi yg tak dikehendaki, sbb :
1. ACE inhibitor vs diuretik (semua), terjadi hipotensi mendadak, sebaiknya
diberikan setelah penggunaan diuretik dihentikan selama 3 hari.
2. ACE inhibitor vs diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorida,
triamteren), mengurangi ekskresi kalium mengakibatkan hiperkalemia.
3. Indometasin / NSAID’s vs diuretik hemat kalium, menyebabkan
nefrotoksisitas.
4. Thiazid & diuretik kuat dapat mengakibatkan gangguan elektrolit pada
janin & kelainan darah pada neonatus.
5. Ibu hamil hanya dapat menggunakan diuretik pada fase terakhir kehamilan
atas indikasi ketat & dg dosis serendah-rendahnya.
6. Spironolakton & amilorida, penggunaannya pada ibu hamil dianggap
aman di beberapa negara (misal : swedia).
7. Furosemida, HCT, spironolakton dapat mencapai ASI & menghambat
laktasi.
D. Patofisiologi
Mycek MJ. Harvey RA & Champe PC. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar.
Edisi II. Widya Medika, Jakarta. Hal 181, 226-236.