Anda di halaman 1dari 15

TUTORIAL KLINIK

Deviasi Septum Nasi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RSUD Temanggung

Disusun oleh :

Peny Kurnia C

20120310072

Pembimbing :

dr. Pramono, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT RSUD TEMANGGUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017

1
A. PROBLEM
Seorang laki-laki 49 tahun datang ke Poli THT dengan keluhan hidung sebelah kanan
mimisan. Pasien mengatakan sering mimisan sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku
memiliki penyakit hipertensi dan juga riwayat operasi pengangkatan tulang rawan
pada hidung kanan. Riwayat trauma disangkal. Hidung kanan terasa kaku dan sedikit
nyeri pada pipi kanan. Hidung kanan terasa sedikit tersumbat .

B. HIPOTESIS

Polip Nasi

Sinusitis Maxillaris

C. DOKUMENTASI
Identitas pasien :
a. Nama : Sdr S
b. Umur : 49 th
c. Alamat : Kedu

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : cukup, compos mentis

Vital sign:

 Tekanan darah : 140/90


 Nadi : 88 / menit
 RR:18X/mnt
Status Lokalis

Status Lokalis

Telinga

Bagian Telinga Dextra Sinistra


Aurikula :
 Deformitas (-) (-)
 Hiperemis (-) (-)
 Edema (-) (-)
Daerah Preaurikula :
 Deformitas (-) (-)
 Hiperemis (-) (-)
 Edema (-) (-)

MAE
 Serumen (-) (-)

2
 Edema (-) (-)
 Hiperemis (-) (-)
 Otore (-) (-)
Membran Timpani
 Warna Putih seperti mutiara Putih seperti mutiara
 Perforasi (-) (-)

Hidung
Pemeriksaan luar : Inspeksi hidung : asimetris (-), deformitas (-)
Palpasi : palpasi sinus : nyeri tekan (-)

Rinoskopi Anterior Dextra Sinistra


Mukosa Edema(+), hiperemis(+) Edema (-), hiperemis(-)
Septum
 Deviasi (+) (-)
 Deformitas (-) (-)
 Hematoma (-) (-)
Konka media & Inferior
 Hipertrofi (-) (-)
 Hiperemis (+) (+)

Meatus Media & Inferior


 Sekret serous (-) (+)

Tenggorokan

- Uvula : letak ditengah, hiperemis (-)


- Mukosa faring: hiperemis(-), edema (-), massa (-), granul (-)

3
D. TUJUAN BELAJAR & PEMBAHASAN

1. Apa itu Deviasi Septum Nasi?

Deviasi septum merupakan kondisi dimana terjadi peralihan posisi septum nasi
terhadap posisinya normalnya. Termasuk didalamnya ialah bentuk septum yang tidak
lurus di tengah cavum nasi. Kelainan ini dapat muncul akibat trauma ataupun
pertumbuhan abnormal pada septum. Dengan rinoskopi anterior, kita dapat menemukan
adanya deviasi pada septum.

2. Anatomi Septum Nasi

Septum nasi merupakan struktur pada hidung (nasi) yang membagi cavum nasi
menjadi dua bagian yaitu cavum nasi kanan dan cavum nasi kiri. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan
diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1,4

Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang
dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang
ringan tidak akan menimbulkan gangguan namun bila deviasi cukup berat maka akan
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mngganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.1,2

4
3. Definisi

Deviasi septum merupakan kondisi dimana terjadi peralihan posisi septum nasi
terhadap posisinya normalnya. Termasuk didalamnya ialah bentuk septum yang tidak
lurus di tengah cavum nasi.1,2

4. Etiologi

Penyebab yang paling sering adalah trauma, dimana dapat merupakan trauma
sesudah lahir, saat proses persalinan ataupun pada masa intrauterin. Penyebab lainnya
ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh meskipun
batas superior dan inferior telah menentap. Dengan demikian terjadilah deviasi septum
nasi.1,2,3

5. Bentuk deformitas

Terdapat empat bentuk deformitas septum nasi, yaitu:1,3

a. Deviasi. Deviasi septum nasi berbentuk huruf C dan S


b. Dislokasi. Bagian bawah tulang rawan septum nasi keluar dari krista maksilaris dan
masuk ke dalam rongga hidung
c. Penonjolan. Penonjolan tulang atau tulang rawan berbentuk krista dan spina. Bentuk
krista berupa penonjolan yang memanjang dari depan ke belakang. Bentuk spina
berupa penonjolan yang runcing dan pipih.
d. Sinekia. Sinekia merupakan pertemuan dan perlekatan antara deviasi atau krista
septum nasi dengan konka nasi yag berada dihadapannya. Bentuk ini akan menambah
beratnya obstruksi.

5
Terdapat klasifikasi lain untuk menggambarkan jenis deviasi pada kasus deviasi septum,
yaitu:5
Tipe I : garis tengah septum atau deviasi
ringan pada bidang horizontal
atau vertikal.
Tipe II : deviasi vertikal anterior
Tipe III : deviasi vertikal posterior (
ostium meatal dan area konka
media)
Tipe IV : septum berbentuk huruf “s”
Tipe V : taji horizontal pada satu sisi
dengan atau tanpa deviasi tinggi
pada sisi kontralateral
Tipe VI : tipe V dengan alur yang dala
pada sisi cekung
Tipe VII : kombinasi dari lebih 1 tipe, pad tipe II-IV. Deviasi ditandai sebagai kanan
atau kiri.

6. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan yang paling sering ialah sumbatan pada hidung, bisa unilateral dan
bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan disekitar mata, gangguan
penciuman, sinusitis, dan otitis media berulang. Pada deviasi bentuk spina keluhan
dapat berupa epistaksis. Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat trauma sebagai salah
satu predisposisi terjadinya deviasi septum.1,2,3
b. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior dapat dijumpai langsung adanya deviasi septum. Selain
itu dapat tampak hipertrofi pada konka ipsilateral, kontralateral ataupun bilateral. Dari
pemeriksaan ini dapat diketahui jenis deviasi. Bila keluhan telah berlangsung cukup
lama sehingga menimbulkan komplikasi ke sinus dan telinga maka dapat dijumpai
adanya tanda-tanda sinusitis ataupun otitis media. 1,2,3

6
c. Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan endoskopi seperti pada gambar di bawah ini, untuk menentukan
jenis deviasi yang terjadi. Foto rontgen Walter’s dapat juga dilakukan bila pasien datang
dengan keluhan sesuai sinusitis.3,4

Gambar. A. Tampakan endoskopi septum nasi yang berdeviasi ke arah kiri, obstruksi
sebagian jalan nafas. B. Tampakan endoskopi taji tulang septum yang menyentuh konka
inferior sehingga menyebabkan epistaksis.

7. Medikasi
Pada prinsipnya terapi medikamentosa adalah bersifat simptomatis, tergantung pada
gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Diberikan pada pasien dengan keluhan ringan,
1,3,4
sementara pada keluhan berat dilakukan koreksi deviasi septum. . Kelompok obat
yang dapat diberikan pada kasus ini adalah:
a. Dekongestan, dapat mengurangi hidung tersumbat, menjamin terbukanya jalan nafas
pada kedua sisi
b. Antihistamin, dapat digunakan untuk mencegah gejala-gejala alergi termasuk hidung
berair. Digunakan pada deviasi septum karena mukus dapat memblok lintasan hidung
yang menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan infeksi sinus
c. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi pada hidung dan mencegah blok nasal
oleh mukus dn kejadian infeksi sinus
d. tAntibiotik jika didapat infeksi sekunder

7.1 Bedah
Terapi bedah dikerjakan ketika gejala menjadi persisten dan atau susah untuk
diobati (sinusitis kronik, sulit bernafas, mendengkur hebat, atau apneu). Operasi
biasanya dikerjakan dengan dua jenis yaitu:

7
a. Reseksi submukosa
Pada operasi ini mukoperikondrium dan mukoperiosteum kedua sisi dilepaskan
dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan
kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Reseksi submukosa dapat menyebabkan
komplikasi seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak
hidung oleh karena bagian atas septum terlalu banyak diangkat. Setelah kartilago
diangkat, hidung ditampon (biasanya 24 jam) untuk memastikan septum berada pada
posisi yang sesuai. Tehnik ini biasanya dilakukan dengan anestesi general. 1,3,4

b. Septoplasti
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara ini dapat dicegah komplikasi yang
mungkin timbul pada operasi SMR. Operasi ini kurang invasif dibanding SMR dan
sering dilakukan dengan anestesi lokal. Setelah kartilago diangkat dan septum berada
di garis tengah, tampon dimasukkan ke dalam hidung untuk menjaga septum tetap di
tempatnya (biasanya selama 7 hari) sampai septum menyembuh. Selama periode ini
hidung harus dilindungi dari trauma. 1,3,4

Komplikasi operasi antara lain:1,2,4


a. Hematoma
Ini merupakan komplikasi yang jarang tapi bia komplikasi ini muncul butuh
penanganan yang segera. Hematom dapat membentuk ruang antara kartilago dan
mukoperikondrium sehingga menghambat suplai darah ke kartilago. Kartilago yang
avaskuler dapat bertahan hingga 3 hari. Kartilago diresorpsi ketika kondrosit mati yang
dapat menyebabkan perforasi septum dan hidung kehilangan penyangganya. Resiko
hematom dapat dikurangi dengan menggunakan kapas atau tampon.
b. Infeksi
Sama seperti komplikasi hematom, infeksi dapat menyebabkan resorpsi kartilago
septalis. Drainase dan antibiotik dapat meminimalisir resiko infeksi. Infeksi pasca
septoplasti dapat terjadi pada pasien imunokompromise.
c. Kebocoran cairan serebrospinal
Kebocoran CSF jarang terjadi, namun merupakan komplikasi yang sangat serius.
Komplikasi ini biasanya terjadi akibat kerusakan pada lempeng kribriformis. Adanya
gejala meningitis seperti sakit kepala, fotofobia, kaku kuduk, dan demam merupakan
kondisi yang kritis

8
c. Obstruksi nasal
Obstruksi menetap dapat disebabkan oleh edema postoperasi yang mungkin
disebabkan oleh sisa deviasi yang tidak dikoreksi pada saat operasi. Dapat pula
terbentuk sinekia pada tempat mukosa mengalami cedera.
d. Perforasi septum
Merupakan komplikasi jangka panjang. Defek dikoreksi dengan berbagai macam
penutup mukosa bila defek <1,5 cm.
e. Deformitas nasal kosmetik
Merupakan komplikasi SMR dan sisa deviasi septum bentuk L yang tidak adekuat
untuk menopang septum.
f. Anosmia
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi dan biasanya sementara. Kongesti pada
kedua mukosa septum atau akumulasi cairan serous berdarah di bawah
mukoperikondrial dapat mengobstruksi aliran udara ke regio olfaktorius yang
menyebabkan munculnya gejala anosmia.

8. Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan
ruanghidung sempit, yang dapat membentuk polip.

9
LAPORAN KASUS

Nama : Sdr. S
Usia : 49 th
Pekerjaan : Guru
Alamat : Kedu
No MR : 018194
Waktu pemeriksaan : 28 Mei 2017

Keluhan utama: pasien datang dengan keluhan mimisan pada hidung sebelah kanan
Riwayat penyakit sekarang:
Seorang perempuan 24 tahun datang ke Poli THT dengan keluhan hidung sebelah kanan
mimisan. Pasien mengatakan sering mimisan sejak 5 tahun yang lalu. Pasien mengaku
memiliki penyakit hipertensi dan juga riwayat operasi pengangkatan tulang rawan pada
hidung kanan.

Riwayat penyakit dahulu:Pasien pernah operasi pengangkatan tulang rawan hidung kanan.
Riwayat Hipertensi (+).
Riwayat alergi : Tidak Ada
Riwayat penyakit keluarga:Pasien menyangkal adanya riwayat serupa pada keluarga
Riwayat pengobatan: Obat Hipertensi (tidak rutin)

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Pernafasan : 16x/menit
Suhu : 36,3°
Nadi : 80x/menit

Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-), batas normal, hematoma (-),

10
nyeri tarik aurikula (-) nyeri tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-),
otorhea (-) otorhea (-)

4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light perforasi (-), cone of light (+)
(+)

Pemeriksaan hidung
Konka media hipertrofi
kompensata

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-) nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat Bentuk (normal), mukosa
(-), hiperemia (-) pucat (-), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa normal, sekret (-), Mukosa normal, sekret (-),
massa berwara putih mengkilat massa berwara putih
(-). mengkilat (-).
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-
)

11
Konka nasi media Edema (+), mukosa hiperemi Hipertrofi (+), mukosa
(+) hiperemi (+)
Septum nasi Deviasi (+) huruf (c), Deviasi (+) huruf (c),
perdarahan (-), ulkus (-) perdarahan (-), ulkus (-)
Pemeriksaan sinus Nyeri tekan pada pipi bagian kanan (+).

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
sekret (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
dan Arkus Faringeus

DIAGNOSIS
Deviasi septum nasal

DIAGNOSIS BANDING
- Suspek Sinusitis maksilaris dextra, Polip Nasal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Foto Rontgen Walters
Hasil Rontgen sinus paranasal normal

12
RENCANA TERAPI
Medikamentosa
- Aldisa sr
- Metilprednisolon

KIE pasien
- Pasien dianjurkan untuk melaksanakan operasi septum (pasien belum
memutuskan)
- Konsumsi obat sesuai aturan
- Hindari usaha membuang ingus terlalu kuat
- Jika keluhan semakin mengganggu ativitas, datang lagi untuk kontrol.

13
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini disampaikan kasus dengan topik deviasi septum. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Janardan J. Rao dkk, pada kasus deviasi septum, keluhan terbanyak yang
didapatkan yaitu obstruksi hidung, rinorea, sakit kepala dan bersin-bersin. Sementara gejala
lainnya dapat berupa rasa tidak nyaman pada tenggorokan, post-nasa drip, epistaksis,
mengorok, anosmia dan kakosmia.5 Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan
pada kasus ini. Berdasarkan aspek anatomis dan fisiologis dimana hidung sangat berkaitan
erat dengan struktur disekitarnya seperti sinus, telinga dan tenggorokan maka pasien dengan
deviasi septum dapat datang dengan keluhan tidak terbatas hanya pada daerah hidung. Seperti
halnnya pada kasus ini, pasien justru datang dengan keluhan nyeri pada pipi. Sehingga dalam
menangani kasus tersebut maka klinisi harus memperhatikan aspek-aspek keterkaitan
anatomis dan fisiologis tersebut.
Pada laporan kasus ini, didapatkan hasil pemeriksaan fisik (rinoskopi anterior) berupa
deviasi bentuk huruf ‘c’, disertai oleh hipertrofi konka media kompensatori yang diakibat oleh
cavum nasi yang berbeda ukuran pada pasien ini. Selain itu dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa foto rontgen Walter’s untuk mengetahui apakah telah terjadi sinusitis pada ini karena
pasien datang dengan keluhan nyeri pada pipi dan post-nasal drip.
Dalam manajemen kasus ini, untuk memutuskan apakah diterapi konservatif atau operatif
adalah tergantung pada derajat manifestasi klinis yang muncul. Deviasi yang ringan biasanya
biasanya memunculkan manifestasi yang ringan sehingga cukup diberikan terapi simptomatis.
Sementara deviasi yang berat hingga menimbulkan komplikasi sebaiknya segera dilakukan
operasi.1,4

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Nizar, Nuty W. & Mangunkusumo, Endang. 2007. ‘Kelainan Septum’. Dalam: Soepardi
et al (eds). ‘Buku Ajar Ilmu Kesehatan; Teling, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher’.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta
2. Pasha, R. & Marks, Steven C. ‘Nasal Anatomic Abnormalities’. In: Pasha, R. (eds).
‘Otolaryngology Head & Neck Surgery’. Singular Thomson Learning.
3. Grever, Gerhards. 2006. ‘Diseases of the Nose, Paranasal Sinuses and Face’. In: Probst,
Rudolf et al (eds). ‘Basic Otorhinolaryngology’. Thieme
4. Lund, Valiere J. 2003. ‘Acut and Chronic Nasal Disorder. In: Snow, James B. &
Balenger, Jhon Jacob. ‘Ballenger’s: Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery’. Bc
Decker: Ontario
5. Rao, J. Janardhan et al. 2005. ‘Classification of Nasal Septal Deviations-Relation to
Sinonasal Pathology’. Indian Journal of Otolaringology and Head and Neck Surgery, vol
57, No 3.
6. Liston, Stephen L. Duvall, Arndt J. 1997. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga
dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
7. Mangunkusumo, Endang. Soetjipto, Damajanti. 2007. Sinusitis dalam Soepardi, Efiaty
A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi, Efiaty
A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Paparella, Michael M. Adams, George L. Levine, Samuel C. 1997. Penyakit Telinga
Tengah dan Mastoid dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies:
Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
10. Soepardi, Efiaty A. 2007. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher
dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai