2. Etiologi
3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri
apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya
Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi
pula pada penderita Payah Jantung Kiri Cronic.
1. Cardiogenic Pulmonary Edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan
pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung
memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa. Cardiogenic
pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh
darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung
kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari
beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau
kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung
yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang
biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada
gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar
ke alveoli ketika tekanan membesar.
2. Non-Cardiogenic Pulmonary Edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh
hal berikut:
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
- Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang
parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.
- Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh
darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal
ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan
kelebihan cairan tubuh.
- High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh
kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
- Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-
seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada
akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary
edema.
- Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika
paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan
sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang
cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi
yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
- Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi
yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum
tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.
- Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang
telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan
transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa
infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi
(foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara
klinik sukar dideteksi dini. Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai
dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru,
akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.
Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari
membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan
kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Sering kali keadaan ini
berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas
saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali
mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas
yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor
intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.
Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi
ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-
hati. Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteria koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal,
yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan
bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase
akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kadangkadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan
kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru
sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
5. Patofisologi
Penigkatan tekanan hidrostatik (tekanan yang mendorong cairan keluar sel)
pada kapiler paru terjadi jika kerja pemompaan ventrikel kiri tidak adekuat.
Penyebabnya adalah penurunan kekuatan miokardium atau keadaan yang
menuntut peningkatan kerja miokardium (gagal jantung), stenosis katup mitral
atau regurgitasi. Akibatnya, peningkatan atrium kiri akan dihantarkan ke
belakang pembuluh darah paru.
Gangguan drainase limfatik mempermudah pembentukan edema paru.
Biasanya, kelebihan cairan filtrasi akan dibuang melalui system limfatik. Jika
gagal jantung kanan bersamaan dengan gagal jantung kiri, tekanan vena
sistemik akan meningkat, begitu pula tekanan pada tempat drainase
pembuluh limfatik ke dalam vena sehingga menghambat drainase limfatik.
Tekanan onkotik di kapiler berkurang pada hipoproteinemia, sehingga
mendukung terjadinya edema paru (tidak ada cukup perotein untuk
mendorong cairan ke dalam sel).
Pada edema paru interstisial, ruang interstisial di antara kapiler dan alveolus
meningkat. Akibatnya terjadi gangguan difusi yang terutama mengganggu
pengambilan O2. Sehingga pada aktifitas fisik dimana kebutuhan O2
meningkat, konsentrasi O2 dalam darah akan turun (hipoksemia,
sianosis). Tekanan yang terus meningkat dan kerusakan dinding alveolus
menyebabkan filtrasi ke dalam ruang alveolus. Alveolus yang terisi dengan
cairan tidak lagi terlibat dalam proses pertukaran gas, cairan memasuki jalan
nafas sehingga meningkatkan resistensi jalan nafas.
Edema paru memaksa pasien untuk bernafas dalam posisi tegak (ortopneu).
Pada posisi duduk atau berdiri setelah berbaring, aliran balik vena dari
bagian tubuh terbawah akan turun (semakin turun bila dalam posisi tegak)
sehingga tekanan atrium kanan dan curah jantung kanan menurun. Aliran
darah ke paru akan berkurang sehingga menyebabkan penurunan teknan
hidrostatik di kapiler paru dan dalam waktu yang bersamaan, aliran vena
pulmonalis dari bagian tubuh di atas paru akan meningkat. Selain itu,
penurunan tekanan vena sentralis membantu drainase limfatik dari paru.
Akibatnya, bendungan paru, serta edema alveolus dan interstisial akan
berkurang.
6. Pemeriksaan penunjang
a) EKG
- Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri, atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung.
- Gambaran iskemik, infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
ditemukan.
- Edema paru non iskemik: gelombang T negative yang lebar dengan QT
memanjang.
b) Laboratorium
- Blood Gas Arteri pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah, kemudian
hiperkapnia.
- Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
- Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, enzim jantung (CK-
CKMB, Troponin T) diperiksa.
c) Foto Toraks
Hilus melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat
edema interstisial atau alveolar.
1. PENGKAJIAN
· Identitas :
· Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda
· Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak
nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak.
Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba
pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik
tanda klinik mungkin menyertai klien
· Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak
sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan
organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
· Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat
dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan
meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif :Denyut nadi meningkat,pembuluh darah
vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara
jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru
dan penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen
darah, kadar karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal
3. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan kontakilitas miokardial (penurunan).
Tujuan : Curah jantung tercukupi untuk kebutuhan individual
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda vital dalam batas normal dan bebas gejala
gagal jantung.
Rencana tindakan :
a) Catat suara jantung
b) Monitor tekanan darah
c) Palpasi denyut peripher
d) Lihat warna kulit,pucat,cyanosis
e) Nilai perubahan tanggapan panca indera seperti: lethargy, kebingungan,
disoientasi cemas dan depresi.
f) Collaborative dalam pemberian O2 lewat canul nasal/masker sesuai indikasi.
g) Collaborative pemberian diuretik
h) Collaborative pemberin digoxin