Anda di halaman 1dari 16

MINI PAPER

ORIENTASI KERJA BIDANG


KESELAMATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
DI PT PERMATA HIJAU PALM OLEO
1 – 2 MARET 2018

OLEH
CAPRIN SINURAT, SKM

MEDAN, SUMATERA UTARA


3 MARET 2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan
berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, yang dapat
melindungi dari kecelakaan kerja sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa tetapi juga kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, dan dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh yangmerusak lingkungan. Pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau disingkat K3 merupakan program pemerintah.


Program ini lahir dari keprihatinan akan banyaknya kecelakaan yang terjadi ditempat keja
yang mengakibatkan penderitaan bagi pekerja maupun keluarga pekerja. Karena frekuensi
kecelakaan kerja tidak begitu banyak, maka banyak yang memandang sebelah mata pada
program ini. Undang-Undang dibidanng K3 sudah ada sejak tahun 1970 yaitu UU no.1 tahun
1970 yang mulai diundangkan pada tanggal 12 Januari 1970 yang juga dijadikan hari lahinya
K3. Namun, hingga tahun 2000 K3 baru mulai banyak dikenal dikalangan masyarakat dan
perusahaan karena memiliki faktor penting bagi prokdutifitas dan peningkata prokdutifitas
tenaga kerja selaku sumber daya manusia. kondisi kesehatan yang baik merupakan potensi
untuk meraih produktifitas kerja yang baik pula. pekerja yang menuntut prokdutifitaf kerja
tinggi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kerja dengan kondisi ksesehatan prima. Sebaliknya
keadaan sakit atau gangguan kesehatan menyababkan tenaga kerja tidak atau kurang
produktif dalam melakukan pekerjaannya.
Upaya penerapan K3 dalam tempat bekerja perlu diperhatikan. Untuk itulah dilakukan
orientasi kerjan di PT. Permata Hijau Palm Oleo untuk mengamati sejauh mana penerapan
K3 yang sudah dilaksanakan.

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejauh mana penerapan K3 di lingkungan perusahaan


2. Untuk mengetahui fungsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang perlu
diterapkan
3. Untuk mengetahui jenis kecelakaan kerja yang perlu diwaspadai dalam menerapkan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
4. Untuk mengetahui cara kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja agar sesuai dengan
tujuan yang diharapkan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya
untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada
khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat
makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan
dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja.

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses
produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka
menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula
meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja.

Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam
mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya.
Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka
disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang
selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.

Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai
agama.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan


perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti
peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai
sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.

Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja
yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah,
permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia.

Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari


perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,
penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat
produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya
manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk
memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan
kerjasama dengan mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar
terjalan dengan baik.

1. Sebab-sebab Kecelakaan

Kecelakaan tidak terjadi begitu saja, kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau
kondisi yang tidak aman. Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari
teknik keselamatan. Ada pepatah yang mengungkapkan tindakan yang lalai seperti kegagalan
dalam melihat atau berjalan mencapai suatu yang jauh diatas sebuah tangga. Hal tersebut
menunjukkan cara yang lebih baik selamat untuk menghilangkan kondisi kelalaian dan
memperbaiki kesadaran mengenai keselamatan setiap karyawan pabrik.

Diantara kondisi yang kurang aman salah satunya adalah pencahayaan, ventilasi yang
memasukkan debu dan gas, layout yang berbahaya ditempatkan dekat dengan pekerja,
pelindung mesin yang tak sebanding, peralatan yang rusak, peralatan pelindung yang tak
mencukupi, seperti helm dan gudang yang kurang baik.

Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya diklasifikasikan seperti latihan
sebagai kegagalan menggunakan peralatan keselamatan, mengoperasikan pelindung mesin
mengoperasikan tanpa izin atasan, memakai kecepatan penuh, menambah daya dan lain-lain.
Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan biasanya terjadi karena mereka lalai ataupun
kondisi kerja yang kurang aman, tidak hanya satu saja. Keselamatan dapat dilaksanakan
sedini mungkin, tetapi untuk tingkat efektivitas maksimum, pekerja harus dilatih,
menggunakan peralatan keselamatan.

2. Faktor - faktor Kecelakaan

Studi kasus menunjukkan hanya proporsi yang kecil dari pekerja sebuah industri
terdapat kecelakaan yang cukup banyak. Pekerja pada industri mengatakan itu sebagai
kecenderungan kecelakaan. Untuk mengukur kecenderungan kecelakaan harus menggunakan
data dari situasi yang menunjukkan tingkat resiko yang ekivalen.

Begitupun, pelatihan yang diberikan kepada pekerja harus dianalisa, untuk seseorang
yang berada di kelas pelatihan kecenderungan kecelakaan mungkin hanya sedikit yang
diketahuinya. Satu lagi pertanyaan yang tak terjawab ialah apakah ada hubungan yang
signifikan antara kecenderungan terhadap kecelakaan yang kecil atau salah satu kecelakaan
yang besar. Pendekatan yang sering dilakukan untuk seorang manager untuk salah satu faktor
kecelakaan terhadap pekerja adalah dengan tidak membayar upahnya. Bagaimanapun jika
banyak pabrik yang melakukan hal diatas akan menyebabkan berkurangnya rata-rata
pendapatan, dan tidak membayar upah pekerja akan membuat pekerja malas melakukan
pekerjaannya dan terus membahayakan diri mereka ataupun pekerja yang lain. Ada
kemungkinan bahwa kejadian secara acak dari sebuah kecelakaan dapat membuat faktor-
faktor kecelakaan tersendiri.

3. Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Kerja

Kinerja (performen) setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante
dari tiga komponen kesehatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja
yang dapat merupakan beban tambahan pada pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi
maka bisa dicapai suatu derajat kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas.
Sebaliknya bila terdapat ketidak serasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa
penyakit ataupun kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas
kerja.

a) Kapasitas Kerja

Status kesehatan masyarakat pekerja di Indonesia pada umumnya belum memuaskan.


Dari beberapa hasil penelitian didapat gambaran bahwa 30-40% masyarakat pekerja kurang
kalori protein, 30% menderita anemia gizi dan 35% kekurangan zat besi tanpa anemia.
Kondisi kesehatan seperti ini tidak memungkinkan bagi para pekerja untuk bekerja dengan
produktivitas yang optimal. Hal ini diperberat lagi dengan kenyataan bahwa angkatan kerja
yang ada sebagian besar masih di isi oleh petugas kesehatan dan non kesehatan yang
mempunyai banyak keterbatasan, sehingga untuk dalam melakukan tugasnya mungkin sering
mendapat kendala terutama menyangkut masalah PAHK dan kecelakaan kerja.

b) Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun yang bersifat teknis beroperasi 8 -
24 jam sehari, dengan demikian kegiatan pelayanan kesehatan pada laboratorium menuntut
adanya pola kerja bergilirdan tugas/jaga malam. Pola kerja yang berubah-ubah dapat
menyebabkan kelelahan yang meningkat, akibat terjadinya perubahan pada bioritmik (irama
tubuh). Faktor lain yang turut memperberat beban kerja antara lain tingkat gaji dan jaminan
sosial bagi pekerja yang masih relatif rendah, yang berdampak pekerja terpaksa melakukan
kerja tambahan secara berlebihan. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan stres.

c) Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja bila tidak memenuhi persyaratan dapat mempengaruhi kesehatan


kerja dapat menimbulkan Kecelakaan Kerja (Occupational Accident), Penyakit Akibat Kerja
dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (Occupational Disease & Work Related Diseases).

2.2 Tinjauan Tentang Tenaga Kesehatan

1. Pengertian Tenaga Kesehatan

Kesehatan merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian Pemerintah
mempunyai kewajiban untuk mengadakan dan mengatur upaya pelayanan kesehatan yang
dapat dijangkau rakyatnya. Masyarakat, dari semua lapisan, memiliki hak dan kesempatan
yang sama untuk mendapat pelayanan kesehatan.

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, baik
berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non gelar; sampai dengan pelatihan
khusus kejuruan khusus seperti Juru Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang
membedakan jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang mempunyai
pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh melakukan pekerjaan tertentu yang
berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia, serta lingkungannya.

Tenaga kesehatan berperan sebagai perencana, penggerak dan sekaligus pelaksana


pembangunan kesehatan sehingga tanpa tersedianya tenaga dalam jumlah dan jenis yang
sesuai, maka pembangunan kesehatan tidak akan dapat berjalan secara optimal. Kebijakan
tentang pendayagunaan tenaga kesehatan sangat dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor
lain, seperti: kebijakan sektor pendidikan, kebijakan sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan
dan peraturan kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan yang berpengaruh terhadap
pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain: kebijakan tentang arah dan strategi
pembangunan kesehatan, kebijakan tentang pelayanan kesehatan, kebijakan tentang
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, dan kebijakan tentang pembiayaan kesehatan.
Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang berpengaruh terhadap pendayagunaan
tenaga kesehatan, yaitu: desentralisasi, globalisasi, menguatnya komersialisasi pelayanan
kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena itu, kebijakan pendayagunaan
tenaga kesehatan harus memperhatikan semua faktor di atas.

2. Jenis Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, baik
berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non gelar; sampai dengan pelatihan
khusus kejuruan khusus seperti Juru Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang
membedakan jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang mempunyai
pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh melakukan pekerjaan tertentu yang
berhubungan dengan jiwa dan fisik manusia, serta lingkungannya.

Jenis tenaga kesehatan terdiri dari :

a. Perawat
b. Perawat Gigi
c. BidaN
d. Fisioterapis
e. Refraksionis Optisien
f. Radiographer
g. Apoteker
h. Asisten Apoteker
i. Analis Farmasi
j. Dokter Umum
k. Dokter Gigi
l. Dokter Spesialis
m. Dokter Gigi Spesialis
n. Akupunkturis Terapis Wicara dan
o. Okupasi Terapis.
2.3. Peran Tenaga Kesehatan Dalam Menangani Korban Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling berkaitan. Pekerja yang
menderita gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja cenderung lebih mudah mengalami
kecelakaan kerja. Menengok ke negara-negara maju, penanganan kesehatan pekerja sudah
sangat serius. Mereka sangat menyadari bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu
perusahaan atau negara akibat suatu kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sangat
besar dan dapat ditekan dengan upaya-upaya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja.

Di negara maju banyak pakar tentang kesehatan dan keselamatan kerja dan banyak
buku serta hasil penelitian yang berkaitan dengan kesehatan tenaga kerja yang telah
diterbitkan. Di era globalisasi ini kita harus mengikuti trend yang ada di negara maju. Dalam
hal penanganan kesehatan pekerja, kitapun harus mengikuti standar internasional agar
industri kita tetap dapat ikut bersaing di pasar global. Dengan berbagai alasan tersebut rumah
sakit pekerja merupakan hal yang sangat strategis. Ditinjau dari segi apapun niscaya akan
menguntungkan baik bagi perkembangan ilmu, bagi tenaga kerja, dan bagi kepentingan
(ekonomi) nasional serta untuk menghadapi persaingan global.

Bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang sudah ada, rumah sakit pekerja akan menjadi
pelengkap dan akan menjadi pusat rujukan khususnya untuk kasus-kasus kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. Diharapkan di setiap kawasan industri akan berdiri rumah sakit pekerja
sehingga hampir semua pekerja mempunyai akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang komprehensif. Setelah itu perlu adanya rumah sakit pekerja sebagai pusat rujukan
nasional. Sudah barang tentu hal ini juga harus didukung dengan meluluskan spesialis
kedokteran okupasi yang lebih banyak lagi. Kelemahan dan kekurangan dalam pendirian
rumah sakit pekerja dapat diperbaiki kemudian dan jika ada penyimpangan dari misi utama
berdirinya rumah sakit tersebut harus kita kritisi bersama.

Kecelakaan kerja adalah salah satu dari sekian banyak masalah di bidang keselamatan
dan kesehatan kerja yang dapat menyebabkan kerugian jiwa dan materi. Salah satu upaya
dalam perlindungan tenaga kerja adalah menyelenggarakan P3K di perusahaan sesuai dengan
UU dan peraturan Pemerintah yang berlaku. Penyelenggaraan P3K untuk menanggulangi
kecelakaan yang terjadi di tempat kerja. P3K yang dimaksud harus dikelola oleh tenaga
kesehatan yang professional.

Yang menjadi dasar pengadaan P3K di tempat kerja adalah UU No. 1 Tahun 1970
tentang keselamatan kerja; kewajiban manajemen dalam pemberian P3K, UU No.13 Tahun
2000 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja ; tugas pokok meliputi P3K dan
Peraturan Mentri Tenaga Kerja No. 05/Men/1995 tentang Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.

2.4. Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)

Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control) Yaitu upaya untuk


menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan
penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan
kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu
sendiri maupun terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan
kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan
produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan
diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan
sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi :

1. Pemeriksaan Awal Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang


calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon
pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai
dengan pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Anamnese umumPemerikasaan
kesehatan awal ini meliputi:

a. Anamnese pekerjaan

b. Penyakit yang pernah diderita

c. Alrergi

d. Imunisasi yang pernah didapat

e. Pemeriksaan badan

f. Pemeriksaan laboratorium rutin Pemeriksaan tertentu :

- Tuberkulin test

- Psiko test

2. Pemeriksaan Berkala Adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala


dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang
dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala.
Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus
seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya,
sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.

3. Pemeriksaan Khusus Yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar waktu
pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan yang dapat
mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak
hanya untuk intern laboratorium kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga
harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya
pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak
berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan
dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan
sebagainya.
2.5 Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri ( APD ) adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja
untuk melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi
bahaya/kecelakaan kerja. APD dipakai sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi
tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak dapat dilakukan
dengan baik. APD juga merupakan kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai
kebutuhan untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya.
Perlengkapan pelindung diri termasuk semua pakaian dan aksesories pekerjaan lain
yang dirancang untuk menciptakan sebuah penghalang terhadap bahaya tempat kerja.
Penggunaan APD harus tetap di kontrol oleh pihak yang bersangkutan, khususnya di sebuah
tempat kerja.

a. Ruang Lingkup Alat Pelindung Diri (APD)


Ruang lingkup APD antara lain :
1. Alat-alat pelindung diri
2. Manfaat alat pelindung diri
3. Cara memilih alat pelindung diri

b. Tujuan dan Manfaat Alat Pelindung Diri (APD)


Adapun tujuan dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), antara lain:
1. Melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administrative tidak
dapat dilakukan dengan baik.
2. Meningkatkan efektifitas dan produktivitas kerja.
3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman.

Sedangkan manfaat dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), antara lain :
1. Untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi
bahaya/kecelakaan kerja.
2. Mengurangi resiko penyakit akibat kecelakaan.

c. Jenis dan Fungsi Alat Pelindung Diri (APD)


Alat Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja
sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di
sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departement Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Hal ini tertulis di Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No. Per.08/Men/VII/2010 tentang pelindung diri. Adapun bentuk dari
alat tersebut adalah :
· Safety Helmet
Safety helmet berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa mengenai
kepala secara langsung.

· Sabuk Keselamatan (safety belt)


Sabuk Keselamatan (safety belt) berfungsi sebagai alat pengaman ketika
menggunakan alat transportasi ataupun peralatan lain yang serupa (mobil, pesawat, alat
berat, dan lain-lain).

· Sepatu Pelindung (safety shoes)


Sepatu karet (sepatu boot) berfungsi sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat
yang becek ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi dengan metal untuk melindungi kaki
dari benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dan sebagainya.

· Sarung Tangan

Sarung tangan berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di tempat
atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Bahan dan bentuk sarung tangan di
sesuaikan dengan fungsi masing-masing pekerjaan.
· Tali Pengaman (Safety Harness)
Tali pengaman (safety harness) berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di
ketinggian. Diwajibkan menggunakan alat ini di ketinggian lebih dari 1,8 meter.

· Penutup Telinga (Ear Plug / Ear Muff)


Penutup telinga (ear plug/ear muff) berfungsi sebagai pelindung telinga pada saat
bekerja di tempat yang bising.

· Kaca Mata Pengaman (Safety Glasses)


Kaca mata pengaman (safety glasses) berfungsi sebagai pelindung mata ketika bekerja
(misalnya mengelas).
· Masker (Respirator)
Masker (respirator) berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di
tempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun, dsb).

· Pelindung wajah (Face Shield)


Pelindung wajah (face shield) berfungsi sebagai pelindung wajah dari percikan benda
asing saat bekerja (misal pekerjaan menggerinda)

· Jas Hujan (Rain Coat)


Jas hujan (rain coat) berfungsi melindungi dari percikan air saat bekerja (misal
bekerja pada waktu hujan atau sedang mencuci alat).

Semua jenis APD harus digunakan sebagaimana mestinya, gunakan pedoman yang
benar-benar sesuai dengan standar keselamatan kerja (K3L : Kesehatan, Keselamatan Kerja
dan Lingkungan). APD harus digunakan sesuai dengan jenis pekerjaan dan dalam jumlah
yang memadai, memastikan APD yang dugunakan aman untuk keselamatan pekerja, selain
itu APD juga harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

d. Cara merawat

 Helm Safety/ Helm Kerja (Hard hat)


1. Helm kerja dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang menyangkut cara
penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat helm kerja yang kualitasnya
tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk
dipergunakan (retak-retak, bolong atau tanpa system suspensinya).
3. Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang memiliki helm
kerja dan telah mengikuti training.

 Kacamata Safety (Safety Glasses)


1. Kacamata safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang menyangkut
cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan kacamata safety yang kualitasnya
tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk
dipergunakan.
3. Penyimpanan masker harus terjamin sehingga terhindar dari debu, kondisi yang
ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin), kelembaban atau kemungkinan tercemar
bahan-bahan kimia berbahaya.
4. Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang memiliki
kacamata safety dan telah mengikuti training.
 Sepatu Safety (Safety Shoes)
1. Sepatu safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang menyangkut cara
penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sepatu safety yang kualitasnya tidak
sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk
dipergunakan.
3. Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah karyawan yang memiliki
sepatu safety dan telah mengikuti training.
 Masker/ Perlindungan Pernafasan (Mask/ Respiratory Protection)
1. Pelindung pernafasan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat pelindung pernafasan yang
kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak dibenarkan
untuk dipergunakan.
3. Kondisi dan kebersihan alat pelindung pernafasan menjadi tanggung jawab
karyawan yang bersangkutan,
4. Kontrol terhadap kebersihan alat tersebut akan selalu dilakukan oleh managemen
lini.
 Sarung tangan
1. Sarung tangan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang menyangkut cara
penyimpanan, kebersihan serta kondisinya oleh manajemen lini.
2. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sarung tangan yang kualitasnya
tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk
dipergunakan.
3. Penyimpanan sarung tangan harus terjamin sehingga terhindar dari debu, kondisi
yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu dingin), kelembaban atau kemungkinan
tercemar bahan-bahan kimia berbahaya.
BAB IV
HASIL ORIENTASI

Penerapan Budaya K3 beberapa sudah dilakukan seperti perilaku keselamatan kerja


seperti penggunaan Alat Pelindung Diri seperti helm, sepatu safety walaupun dibeberapa
Plant seharusnya menggunakan Ear Plug, Masker, Kaca mata. Para pekerja sebenarnya sudah
dibekali atau diingatkan melalui Sign Board atau petunjuk sebelum memasuki salah satu
Plant.
Dampak pada saat tidak menerapkan perilaku keselamatan kerja misalnya dalam
penggunaan APD tidak berdampak secara langsung. Tubuh memang memiliki proteksi atau
anti bodi terhadap lingkungan sekitar kita, tetapi proteksi dari tubuh kita mempunyai batasan
tertentu, bisa terjadi gejala terhadap tidak menggunakan APD datang dimasa yang akan
datang tergantung jenis paparan yang sering karyawan hadapi.

Komitmen dari Perusahaan dan karyawan sangatlah dibutuhkan untuk


membudayakan perilaku K3 di lingkungan perusahaan, dengan komitmen dapat menciptakan
suasana kerja yang nyaman, aman, terhindar dari bahaya kesehatan dan pastinya
produktivitas yang diharapkan perusahaan dapat terwujud dan sesuai dengan target
yangsudah ditetapkan
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Komitmen dalam membudayakan K3 di lingkungan kerja sangat diperlukan baik dari
perusahaan dan pekerja
2. Keselamatan saat bekerja saling berhubungan dengan produktivitas kerja
3. Penggunaan Alat Pelindung Diri ( APD ) digunakan sesuai prosedur kerja yang sudah
ditetapkan

5.2 Saran
1. Sebaiknya dilakukan penyuluhan tentang APD kepada semua masyarakat agar dapat
mengurangi angka kecelakaan.
2. Pemeriksaan kesehatan setiap karyawan diakukan secara rutindan berkala
3. Memeberikan sanksi tegas kepada karwayan yang mengabaikan penggunaan APD

5.3 Daftar Pustaka


1. http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/alat -pelindung-diri/
2. http://www.depnakertrans.go.id/news.html,707,naker
3. http://lindariski.blogspot.com/2010/04/makalah -apd.html
4. http://m.gajimu.com/main/pekerjaan-yanglayak/pekerjaan-yanglayak/jaminan-sosial
5. http://id.shvoong.com/exact-sciences/physics/2110400-pengertian-filter/
6. http://wishnuap.blogspot.com/2011/07/intisari-permenaker-no08-thn-2010-ttg.html
7. http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/alat -pelindung-diri/

Anda mungkin juga menyukai