Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan merupakan tempat hidup makhluk hidup. Kualitas lingkungan sangat


mempengaruhi kondisi makhluk hidup, terutama manusia. Bila interksi antara manusia
dengan lingkungan berada dalam keadaan seimbang, maka kondisinya akan berada dalam
keadaan sehat. Tetapi karena sesuatu sebab yang mengganggu keseimbangan lingkungan ini,
maka akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan (Pallar, 1994).

Zat atau senyawa hasil kegiatan industri (limbah) biasanya berbahaya dan mempunyai
sifat beracun (toksik). Keberadaan zat atau senyawa tersebut di lingkungan akan sangat
membahayakan dan menurukan kualitas lingkungan (Darmono, 1995).

Risiko toksisitas berarti besarnya kemungkinan zat kimia untuk menimbulkan


keracunan, hal ini tergantung dari besarnya dosis, konsentrasi, lamanya dan seringnya
pemaparan, juga cara masuk dalam tubuh, dan gejala keracunan antara lain disebabkan oleh
adanya pencemaran atau polusi Pencemaran atau polusi adalah keadaan yang berubah
menjadi lebih buruk, keadaan yang berubah karena akibat masukan dari bahan- bahan
pencemar . Bahan pencemar umumnya mempunyai sifat racun (toksik) yang berbahaya bagi
organism hidup. Toksisitas atau daya racun dari polutan itulah yang kemudian menjadi
pemicu terjadinya pencemaran (wardhayani, 2006).

Berbagai jenis senyawa beracun dari mulai bentuk cair, padat, gas kini keberadaanya
semakin meluas seiring meningkatnya aktivitas manusia. senyawa beracun atau asing limbah
adalah salah satu bentuk hasil buangan dari aktivitas manusia yang menjadi permasalahan di
berbagai belahan dunia. Berbagai jenis limbah baik cair, padat, dan gas dapat menyebabkan
masalah serius terhadap lingkungan khususnya terhadap kehidupan organisme di sekitarnya.
Hampir semua limbah mengandung senyawa beracun dan berbahaya seperti logam berat,
DDT (diklorodifeniltrikloroetana), Oil sludge, detergen, freon dan sebagainya.

Salah satu contoh senyawa paling beracun adalah DDT. DDT merupakan racun
pembunuh serangga yang sangat efektif digunakan secara luas untuk membasmi nyamuk
malaria. DDT sulit terdegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana. Ketika DDT

1
memasuki rantai makanan, waktu paruhnya adalah delapan tahun, artinya setengah dari dosis
DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh
hewan, DDT akan terakumulasi dalam jaringan lemak dan dalam hati. Zat tersebut memiliki
dampak yang sangat merugikan. Sehingga zat tersebut akan terus berada dalam Rantai
makanan dan tidak terputus. Residu DDT juga dapat menurunkan kemampuan reproduksi
serta menyebabkan cacat pada janin pada organisme dan manusia (Abrar, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian ekokinetik?
2. Bagaimana pencemaran lingkungan oleh limbah berbahaya?
3. Bagaimana cara kerja toksik?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian ekokinetik.
2. Mengetahui pencemaran lingkungan oleh limbah berbahaya.
3. Mengetahui cara kerja dari toksik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ekokinetik


Ekokinetik merupakan gabungan dari kata “eko” yang berarti ekosistem dan “kinetik”
yang berarti gerak. Jadi, ekokinetik adalah pergerakan suatu zat racun dalam ekosistem.

Ekosistem atau sistem ekologi (Anderson,1981) merupakan kesatuan komunitas biotik


dengan lingkungan abiotiknya. Pada dasarnya, ekosistem dapat meliputi seluruh biosfer
dimana terdapat kehidupan, atau hanya bagian-bagian kecil saja seperti sebuah danau atau
kolam. Dalam jangkauan yang lebih luas, dalam kehidupan diperlukan energi yang berasal
dari matahari. Dalam suatu ekosistem terdapat suatu keseimbangan yang disebut homeostatis,
yaitu adanya proses dalam ekosistem untuk mengatur kembali berbagai perubahan dalam
sistem secara keseluruhan, atau dalam pendekatan yang holistik.

Dalam mekanisme keseimbangan itu, termasuk mekanisme pengaturan, pengadaan


dan penyimpanan bahan-bahan, pelepasan hara makanan, pertumbuhan organisme dan
populasi serta daur bahan organik untuk kembali terurai menjadi materi atau bahan anorganik.
Meskipun suatu ekosistem memiliki daya tahan yang besar terhadap perubahan, biasanya
batas mekanisme homeostatis dapat dipengaruhi bahkan dikalahkan oleh kegiatan manusia.
Misalnya, sebuah sungai yang tercemar oleh pembuangan limbah yang tidak terlalu banyak
sehingga air sungai masih dapat jernih kembali secara alami.

Tetapi jika bahan pencemar yang masuk ke badan air sungai melebihi kapasitas
homeostatis-nya maka sungai akan mengalami penurunan kualitas peruntukannya bagi
kehidupan manusia. Dalam hal ini daya tampung atau daya serap alami sudah terlampaui
sehingga air sungai mengalami pencemaran.

Proses biotik maupun abiotik (fisik, kimia dan enzim) merupakan proses ekokinetik.
Kemampuan zat racun untuk bergerak dalam ekosistem ada yang bergerak dengan jarak yang
jauh dan ada yang bergerak dengan jarak yang dekat. Ekokinetik menyebabakan efek toksik
secara lokal atau regional. (Cunningham, 2008).

3
Gbr. Pergerakan senyawa toksik dalam lingkungan

Solubilitas dan mobilitas dari senayawa ekokinetik, yaitu apabila senyawanyanya larut
dalam air, maka akan lebih cepat tersebar luas dan lebih mudah masuk kedalam sel. Namun,
apabila senyawanya larut dalm lemak/minyak, maka umumnya senyawa organik
membutuhkan pembawa untuk dapat menyebar di lingkungan dan untuk bisa keluar masuk
dalam tubuh. Di dalam tubuh, senyawa-senyawa toksik mudah menembus kedalam jaringan
dan sel karena membran pembungkus sel tersusun oleh senyawa kimia yang serupa (larut
dalam lemak).

 Bioakumulasi
Sel mempunyai kemampiuan untuk mengakumulasi nutrient dan mineral esensial,
sel juga dapat mengabsorbsi dan menyimpan senyawa toksik.
 Biomagnifikasi
Efek toksik yang meningkat pada rantai makanan.

4
Gbr. Biomagnifikasi dan Bioakumulasi (Cunningham, 2008)

 Persitensi
Senyawa yang mudah terurai, dimana konsentrasinya akan segera menurun pada saat masuk
ke lingkungan. Contoh dari senyawa persiten, yaitu metal (Pb), plastik PVC, pestisida
hidrokarbon terklorinasi dan asbes.
Senyawa persiten organik yang terakumulasi dalam rantai makanan dan mencapai nilai toksik,
antara lain:
 PDBE (Polybrominated diphenyl ethers): penahan tekstil agar tidak mudah terbakar yang
digunakan pada plastik komputer. PDBE dapat menyebabkan gangguan syaraf pada bayi
yang baru lahir.
 Perfluorooctane sulfonate (PFOS) & Perfluorooctane Acid (PFOA): produk anti
lengket, tahan air dan noda seperti Teflon, Gortex. Kedua senyawa tersebut dapat
menyebabkan kanker sistem reproduksi dan kerusakan liver pada tikus.
 Phthalates: digunakan pada kosmetika, deodorant dan plastik (PVC) mainan anak.
Dapat menyebabkan kerusakan liver dan ginjal bahkan kanker

5
Gbr. Pemaparan senyawa persisten ke tubuh (Cunninghum, 2008)

 Emisi
Zat, energi atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk atau
dimasukkan kedalam lingkungan yang mempunyai atau tidak mempunyai potensi
sebagai unsur pencemar. Emisi di lingkungan dapat menyebar melalui air, udara dan
tanah.
 Air
Buangan dari industri yang mengandung cadnium ke dalam sungai sehingga
menyebabkan pencemaran terhadap sungai. Sungai tersebut digunakan untuk
dialirkan ke sawah-sawah, bahkan sebagai air untuk mencunci dan mandi. Maka,
secara tidak disadari cadnium masuk ke dalam tubuh.
 Udara
Adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan
perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan
atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta dalam waktu tertentu
yang cukup lama dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.
Dari beberapa macam komponen pencemar udara, yang paling banyak
berpengaruh adalah komponen-komponen berikut ini; Karbon Monoksida (CO),
Nitrogen Oksida (NOx), Belerang Oksida (SOx), Hidro Karbon (HC), dan
partikel lain.

 Tanah
Tanah merupakan sumber daya alam yang mengandung bahan organik dan
anorganik yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman (Sastrawijaya,1991).

6
Penggunaan pupuk secara berlebihan, pemberian pestisida atau insektisida dan
pembuangan limbah yang tidak dapat dicernakan seperti plastik dapat
menyebabkan tanah tercemar.

2.2 Pencemaran lingkungan oleh limbah berbahaya


Pencemaran lingkungan dapat mengakibatkan menurunnya fungsi dan peruntukan
sumber daya alam, seperti air, udara, bahan pangan, dan tanah. Bahan pencemar yang
terbanyak adalah limbah, terutama dari kawasan industri. Pencemaran lingkungan akibat
penggunaan bahan kimia pestisida (methyl isocyanate) serta timbulnya limbah B3 dari
berbagai kegiatan industri sangat dikhawatirkan, karena tidak saja mengancam kehidupan
manusia tetapi juga sumber daya hayati lainnya. (Darmono, 2006).
 Pencemaran Lingkungan
Lingkungan yang tercemar kadang tampak jelas pada kita, seperti timbunan sampah di
pasar tradisional, muara sungai, atau asap knalpot kendaraan bermotor di jalan raya yang
macet. Kadang suatu bahan atau energi menjadi racun atau penyebab yang mematikan spesies
organisme tertentu, tetapi bermanfaat bagi organisme lain. Demikian pula bahan organik sisa
tumbuhan dapat menjadi bahan makanan ternak tertentu, tetapi jika dibuang ke sungai akan
menjadi sampah. Selanjutnya dalam proses penguraian dan pembusukan sampah organik ini
dapat menghabiskan oksigen sehingga mematikan ikan-ikan atau binatang lain dalam
perairan bersangkutan. (Darmono, 2006).
Setiap bahan pencemar berasal dari sumber tertentu. Untuk menghindari atau
mencegah pencemaran maka penting diketahui adalah sumber dan bahan pencemar. Setelah
itu bagaimana membebaskan bahan pencemar dari sumbernya hingga ke obyek penerima efek
atau lingkungan yang dipengaruhinya. Misalnya, manusia menjadi penerima pencemar
deterjen yang masuk ke dalam perairan, atau ikan dan hewan air yang menerima efek negatif
dari bahan pencemar insektisida.
 Penggolongan Pencemaran Lingkungan
Beberapa cara penggolongan pencemaran lingkungan hidup, seperti;
 Menurut jenis lingkungan, yaitu; pencemaran air, pencemaran laut, pencemaran udara,
pencemaran tanah dan pencemaran kebisingan (bunyi).
 Menurut sifat bahan pencemar, yaitu; pencemaran biologis, pencemaran kimia, dan
pencemaran fisik.

7
 Menurut lamanya bahan pencemar bertahan dalam lingkungan, yaitu; bahan pencemar
yang lambat atau sukar diuraikan seperti bahan kaleng, plastik, deterjen, serta bahan
pencemar yang mudah diuraikan (degradable) seperti bahan-bahan organik.

Ditinjau dari segi usaha penanggulangannya penggolongan terakhir ini penting. Bahan-
bahan pencemar yang tidak dapat diuraikan (nondegradable) juga mencakup bahan-bahan
pencemar yang sangat lambat penguraiannya seperti DDT, sehingga proses alamiah tidak
dapat mengimbangi laju pemasukannya ke dalam ekosistem sehingga makin lama makin
banyak. Dalam rantai makanan, bahan pencemar ini sering mengalami kelipatan secara
biologis dalam ekosistem. (Darmono, 2006).

Bahan pencemar yang mudah diuraikan secara biologis (bio-degradable), seperti bahan
buangan organik mempunyai mekanisme pengolahan secara alamiah. Panas atau thermal
pollution termasuk golongan ini karena panas dapat tersebar secara alamiah. Tetapi jika input
bahan pencemar ini terlalu cepat sehingga melampaui daya asimilasi alamiah, maka akan
terjadi juga masalah pencemaran seperti halnya bahan buangan organik.

 Pencemaran Air
 Pengertian dasar pencemaran air
Air, hampir menutupi seluruh permukaan planet bumi. Luas daratan lebih kecil
dibandingkan luas lautan. Makhluk hidup yang ada di bumi tidak dapat terlepas dari
kebutuhan akan air, sehingga air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di
bumi ini. Air bersih sangat diperlukan manusia, baik untuk keperluan sehari-hari dalam
rumah tangga, industri maupun untuk kebersihan sanitasi kota dan sebagainya. Saat ini
sulit mendapatkan air yang bersih dengan kualitas terstandar. Untuk memperoleh air
yang bersih menjadi barang yang mahal karena banyak sumber air yang sudah tercemar
oleh bermacam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah
tangga, industri dan kegiatan lainnya. (Darmono, 2006).
Air yang ada di bumi tidak pernah terdapat dalam keadaan bebas dari mineral,
tetapi selalu ada senyawa atau unsur lain yang terlarut di dalamnya. Hal ini tidak berarti
bahwa semua air di bumi ini telah tercemar, contoh; air yang diambil dari mata air
pegunungan dan air hujan. Keduanya dapat dianggap sebagai air yang bersih, namun
senyawa atau mineral yang terdapat didalamnya berlainan. Air hujan mengandung SO4,
Cl, NH3, CO2, N2, C, O, debu, dan air dari mata air mengandung Na, Mg, Ca, Fe, dan
O2.

8
 Komponen pencemar air

Kegiatan industri dan teknologi saat ini jika tidak disertai dengan pengolahan
limbah yang baik, memungkinkan terjadinya pencemaran air, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Bahan buangan dan limbah yang berasal dari kegiatan
industri adalah penyebab utama terjadinya pencemaran air. Komponen pencemar air
dapat dikelompokkan sebagai berikut:

 Bahan buangan padat; adalah bahan buangan yang berbentuk padat, baik yang kasar
(butiran kasar) maupun yang halus (butiran halus).
 Bahan buangan organik; pada umumnya berupa limbah yang dapat membusuk atau
terdegradasi oleh mikroorganisme. Karena bahan buangan organik dapat membusuk
atau terdegradasi maka akan lebih baik apabila bahan buangan ini tidak dibuang ke
lingkungan air karena akan menaikkan populasi mikroorganisme di dalam air.
Bertambahnya populasi mikroorganisme di dalam air maka memungkinkan untuk
berkembangnya pula bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Bahan buangan
organik sebaiknya diproses menjadi pupuk buatan (kompos) yang bermanfaat bagi
tanaman. Kompos adalah hasil daur ulang limbah organik tentu, dan akan berdampak
positif bagi lingkungan hidup manusia.
 Bahan buangan anorganik; pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat
membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan
anorganik ini masuk ke lingkungan air maka akan terjadi peningkatan jumlah ion
logam di dalam air. Bahan buangan ini biasanya berasal dari industri yang
menggunakan unsur-unsur logam, seperti Timbal (Pb), Arsen (As), Air Raksa (Hg),
Khroom (Cr).
 Bahan buangan olahan bahan makanan; dapat dimasukkan pula dalam kelompok
bahan buangan organik. Karena bahan buangan ini bersifat organik maka mudah
membusuk dan dapat terdegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan buangan
olahan bahan makanan mengandung protein dan gugus amin (pada umumnya
memang mengandung protein dan gugus amin), maka pada saat didegradasi oleh
mikroorganisme akan terurai menjadi senyawa yang mudah menguap dan berbau
busuk.
 Bahan buangan cairan berminyak; bahan yang tidak dapat larut dalam air, melainkan
mengapung di atas permukaan air. Lapisan minyak yang menutupi permukaan air
dapat juga terdegradasi oleh mikroorganisme tertentu, namun memerlukan waktu

9
yang cukup lama. Air yang tercemar oleh bahan buangan minyak tidak dapat
dikonsumsi oleh manusia karena seringkali dalam cairan yang berminyak terdapat
zat-zat yang beracun, seperti senyawa benzen, senyawa toluen dan sebagainya.
 Bahan buangan zat kimia; banyak ragamnya, tetapi yang dimaksud dalam kelompok
ini adalah bahan pencemar berupa deterjen dan bahan pembersih lainnya, bahan
pemberantas hama (insektisida), zat warna kimia, larutan penyamak kulit, zat
radioaktif. Keberadaan bahan buangan zat kimia tersebut di dalam lingkungan
merupakan racun yang mengganggu dan bahkan dapat mematikan hewan air,
tanaman air dan mungkin juga manusia.

Pencemaran air adalah setiap perubahan kimia-biologis dan fisik dari air yang
dapat berpengaruh buruk terhadap organisme. Bahan pencemar air bersumber dari
limbah buangan dari rumah, rumah sakit, pabrik-pabrik kimia, sisa-sisa pupuk buatan,
pestisida dan seterusnya. Bahan pencemar air dapat dikategorikan kedalam bahan
pencemar fisik seperti air panas, pencemar kimia seperti peptisida, logam berat, dan
pencemar biologis seperti bakteri patogen.

Sumber tertentu dan tak tertentu (Point and Nonpoint sources); untuk
penanggulangannya biasanya dibedakan dua kategori sumber pencemaran air, yaitu
sumber tertentu dan sumber yang tidak tertentu. Sumber tertentu (Point source) adalah
sumber yang membuang bahan pencemar melalui pipa, selokan, atau parit ke perairan
pada tempat tertentu. Sebaliknya, sumber tak tertentu (non point source) dari bahan
pencemar air adalah sumber pencemar yang tersebar luas dimana-mana. (Darmono,
2006).
 Pencemaran Udara
Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing
di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan
normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta
dalam waktu tertentu yang cukup lama dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan
dan tumbuhan. Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang
perbandingannya tidak tetap, tergantung tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan
udara dan lingkungan sekitarnya.
Udara adalah juga atmosfir yang berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat
penting bagi kehidupan. Dalam udara terdapat oksigen (O2) untuk bernafas,
karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun dan ozon (O3) untuk

10
menahan sinar ultra violet. Komposisi udara bersih dan kering disusun oleh Nitrogen
(N2) 78,09%, Oksigen (O2) 21,94%, Argon (Ar) 0,93%, Karbondioksida (CO2)
0,032%. Gas-gas lain yang terdapat dalam udara antara lain gas-gas mulia, nitrogen
oksida, hidrogen, methana, bekerang dioksida, amonia dan lain-lain.
 Komponen pencemar udara
Udara di daerah yang mempunyai banyak kegiatan industri dan teknologi serta
lalu lintas yang padat, udaranya relatif tidak bersih lagi. Udara di daerah industri
mengandung bermacam bahan pencemar. Dari beberapa macam komponen pencemar
udara, yang paling banyak berpengaruh adalah komponen-komponen berikut ini;
Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NOx), Belerang Oksida (SOx), Hidro
Karbon (HC), dan partikel lain.
 Penyebab pencemaran udara
Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 faktor, yaitu:

a. Faktor internal (secara alamiah), meliputi:

1. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.

2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi dan gas-gas vulkanik.

3. Proses pembusukan sampah organik, dll.

b. Faktor eksternal (akibat perilaku manusia), meliputi:

1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil.

2. Debu/serbuk dari kegiatan industry.

3. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.

Bahan pencemaran udara dapat berupa gas, titik-titik cairan, partikel-partikel padat,
atau campuran dari ketiga bentuk tersebut.
 Pencemaran Tanah
Tanah merupakan sumberdaya alam yang mengandung bahan organik dan
anorganik yang mampu mendukung pertumbuhan tanaman (Sastrawijaya, 1991).
Sebagai faktor produksi pertanian, tanah mengandung unsur hara dan air yang perlu
ditambah untuk pengganti yang habis dipakai. Erosi tanah dapat terjadi karena curah
hujan yang tinggi yang mempengaruhi fisik, kimia, dan biologi tanah. Erosi perlu

11
dikendalikan dengan memperbaiki yang hancur, menutup permukaannya, dan mengatur
aliran permukaan sehingga tidak rusak.
Pencemaran tanah dapat terjadi karena pencemaran secara langsung, misalnya
penggunaan pupuk secara berlebihan, pemberian pestisida atau insektisida dan
pembuangan limbah yang tidak dapat dicernakan seperti plastik. Pencemaran dapat
juga melalui air. Air yang mengandung bahan pencemar (polutan) akan mengubah
susunan kimia tanah sehingga mengganggu jasad yang hidup di dalam atau di
permukaan tanah.
 Pencemaran kebisingan
Kemajuan industri dan teknologi antara lain ditandai dengan pemakaian mesin-
mesin yang dapat mengolah dan memproduksi bahan maupun barang yang dibutuhkan
oleh manusia secara cepat (Wisnu, 2004). Untuk membantu mobilitas manusia dalam
melaksanakan tugasnya digunakanlah alat-alat transportasi bermesin, baik udara, laut
maupun darat.
Selain itu untuk mencukupi segala sarana dan prasarana, digunakan pula
peralatan bermesin untuk keperluan membangun konstruksi fisik. Pemakaian mesin-
mesin tersebut seringkali menimbulkan kebisingan, baik kebisingan rendah kebisingan
sedang maupun kebisingan tinggi.
Oleh karena kebisingan dapat mengganggu lingkungan dan merambatnya
melalui udara walaupun susunan udara tidak mengalami perubahan. Menurut asalnya
sumber kebisingan dibagi 3 macam, yaitu:

a) Kebisingan impulsif; kebisingan yang datangnya tidak secara terus-menerus,


contoh kebisingan yang datang dari suara palu yang dipukulkan, kebisingan yang
datang dari mesin pemasang tiang pancang.

b) Kebisingan kontinyu; kebisingan yang datang secara terus menerus dalam waktu
yang cukup lama, contoh kebisingan yang datang dari suara mesin yang dijalankan
(dihidupkan).

c) Kebisingan semi kontinyu (intermitten); kebisingan kontinyu yang hanya sekejab,


kemudian hilang dan mungkin akan datang lagi. Contoh suara mobil atau pesawat
terbang yang sedang lewat.

Kebisingan adalah bunyi yang dapat mengganggu dan merusak pendengaran


manusia. Menurut ahli Fisika, bunyi adalah rangsangan yang diterima oleh saraf

12
pendengaran yang berasal dari suatu sumber bunyi. Apabila saraf pendengaran tidak
menghendaki rangsangan tersebut maka bunyi tersebut dinamakan sebagai suatu
kebisingan. Pengaruh bunyi terhadap manusia bervariasi menurut tinggi rendahnya
frekuensi atau titik nada bunyi bersangkutan.

Bunyi yang dapat di dengar manusia berkisar pada frekuensi antara 20 sampai
20000 getaran/detik, dan pada intensitas antara 0-120 db (bunyi dengan intensitas 120
db ke atas telah menimbulkan gangguan fisik). Percakapan biasa dengan frekuensi 250-
10.000 getaran/detik tercatat antara 30-60 db. Kereta api yang berjalan tercatat 90-95
db, dan kapal terbang yang lepas landas tercatat 120-160 db. Bunyi keributan 50-55 db
dapat menunda dan mengganggu tidur menyebabkan perasaan lelah setelah bangun.
Keributan 90 db dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf otonom. (Darmono,
2006).

2.3 Cara Kerja Toksik

Cara kerja dari toksik berhubungan dengan ekokinetika, yaitu pergerakan suatu racun
dalam ekosistem. Karena adanya pergerakan dari suatu racun maka, kerja toksik pun terjadi
dan memberikan dampak terhadap organisme sekitar.

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika,
biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan
ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi, toksokinetik dan fase toksodinamik.
1. Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya,
kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
molekular dapatterabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam fase ini terjadi kontak antara
xenobiotika dengan organisme atau dengan lain kata, terjadi paparan xenobiotika pada
organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau
penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme (injeksi). Misalnya
paparan xenobiotika melalui oral (misal sediaan dalam bentuk padat: tablet, kapsul, atau
serbuk), maka terlebih dahulu kapsul/tablet akan terdistegrasi (hancur), sehingga
xenobiotika akan telarut di dalam cairan saluran pencernaan. Xenobiotika yang terlarut
akan siap terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan ditranspor
melalui pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum
ke sirkulasi sistemik. Penyerapan xenobiotika sangat tergantung pada konsentrasi dan

13
lamanya kontak antara xenobiotika dengan permukaan organisme yang berkemampuan
untuk mengaborpsi xenobiotika tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah
xenobitika yang terabsorpsi akan menentukan potensi efek biologik/toksik. Jalur utama
bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
a) Eksposisi melalui kulit.
Eksposisi (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim terhadap manusia atau
hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik, produk rumah tangga,
obat topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran industri di tempat kerja, ialah
pemejanan sengaja atau tidak sengaja pada kulit.
b) Eksposisi melalui jalur inhalasi.
Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui penghirupan
xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada dalam bentuk gas, uap,
butiran cair, dan partikel padat dengan ukuran yang berbeda-beda.
c) Eksposisi melalui jalur saluran cerna.
Pemejanan tokson melalui saluran cerna dapat terjadi bersama makanan, minuman, atau
secara sendiri baik sebagai obat maupun zat kimia murni. Pada jalur ini mungkin tokson
terserap dari rongga mulut (sub lingual), dari lambung sampai usus halus, atau eksposisi
tokson dengan sengaja melalui jalur rektal. Pada umumnya tokson melintasi membran
saluran pencernaan menuju sistem sistemik dengan difusi pasif, yaitu transpor dengan
perbedaan konsentrasi sebagai daya dorongnya. Namun disamping difusi pasif, juga
dalam usus, terdapat juga transpor aktif, seperti tranpor yang terfasilitasi dengan zat
pembawa (carrier), atau pinositosis.
2. Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada
dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi
menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran
darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor).
Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau
tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem
eksresi lainnya. Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya
dikelompokkan ke dalam proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari absorpsi,
transpor, dan distribusi, sedangkkan evesi juga dikenal dengan eleminasi. Absorpsi suatu
xenobiotika adalah pengambilan xenobiotika dari permukaan tubuh (disini termasuk juga
mukosa saluran cerna) atau dari tempat-tempat tertentu dalam organ dalaman ke aliran
darah atau sistem pembuluh limfe.

14
a. Absorpsi
Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak (paparan)
menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan sebagai
jumlah xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak
berubah. Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
b. Distribusi
Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama darah akan
diedarkan/didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan
terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sitem organ atau ke jaringan-
jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dapat pandang sebagai
suatu proses transpor reversibel suatu xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain di
dalam tubuh. Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya melalui proses transpor,
yang pada mana dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi
(transpor xenobiotika bersama aliran darah) dan transmembran (transpor xenobiotika
melewati membran biologis). Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi
oleh: tercampurnya xenobiotika di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor
transmembran.
c. Eliminasi
Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang dimaksud proses
eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme. Eliminasi
suatu xenobiotika dapat melalui reaksi biotransformasi (metabolisme) atau ekskresi
xenobiotika melalui ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya
(kelenjar keringan, kelenjar mamai, kelenjar ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang
paling penting adalah eliminasi melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi melalui
ginjal.
3. Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik)
dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang
bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim
hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi
reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara
xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara
xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersifat
irreversibel. Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkan kerusakan sistem biologi,

15
seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga pertumbuhan sel
yang tidak normal, seperti karsinoma, mutasi gen. Jika konsetrasi suatu obat pada
jaringan tertentu tinggi, maka berarti dengan sendirinya berlaku sebagai tempat sasaran
yang sebenarnya, tempat zat tersebut bekerja. Jadi konsentrasi suatu tokson/obat pada
tempat kerja ”tempat sasaran” umumnya menentukan kekuatan efek biologi yang
dihasilkan.
i. Reseptor
Sejak lama telah diamati bahwa sejumlah racun menimbulkan efek biologik yang khas.
Pada tahun 1970-an penilitian tentang reseptor semakin banyak dilakukan pada tingkat
molekul untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai interaksi
biokimiawi antara zat-zat endogen dan sel-sel tubuh. Ternyata reaksi demikian hampir
selalu berlangsung di tempat spesifik, yaitu reseptor atau enzim. Kelompok protein
lainnya yang telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga termasuk enzim.
ii. Interaksi tokson dengan reseptor
Interaksi obat-reseptor umumnya dapat disamakan dengan prisip kunci-anak kunci.
Letak reseptor (hormon) umumnya di membrane sel dan terdiri dari suatu protein yang
dapat merupakan komplemen ”kunci” daripada struktur ruang dan muatan-ionnya dari
hormon bersangkutan ”anak-kunci”. Setelah hormon ditangkap dan terikat oleh
reseptor, terjadilah interaksi yang mengubah rumus dan pembagian muatannya.
Akibatnya adalah suatu reaksi dengan perubahan aktivitas sel yang sudah ditentukan
(prefixed) dan suatu efek fisiologik. Konsep interaksi kunci-anak kunci telah lama
digunakan untuk menjelaskan interaksi enzim dengan subtratnya. Beberapa efek
toksik suatu tokson muncul melalui mekanisme interaksi tokson dengan enzim, baik
dia menghambat atau memfasilitasi interaksi tersebut, yang pada akhirnya akan
menimbulkan efek yang merugikan bagi organisme (Wirasuta, 2006).
iii. Mekanisme kerja efek toksik
Bila memperhatikan kerumitan sistem biologi, baik kerumitan kimia maupun fisika,
maka jumlah mekanisme kerja yang mungkin, praktis tidak terbatas, terutama sejauh
ditimbulkan efek toksik. Pada kenyataanya kebayakan proses biokimiawi di dalam
tubuh organisme berlangsung melalui perantara enzim atau kebanyakan kerja biologi
disebabkan oleh interaksi dengan enzim. Seperti pada reaksi biotransformasi
umumnya tidak akan berlangsung tanpa pertolongan sistem enzim, disamping itu
beberapa transpor sinyal difasillitasi oleh sistem enzim. Interaksi xenobiotika terhadap
enzim yang mungkin dapat mengakibatkan menghambat atau justru mengaktifkan

16
kerja enzim. Tidak jarang interaksi xenobiotika dengan sistem enzim dapat
menimbulkan efek toksik. Inhibisi (hambatan) enzim dapat menimbulkan blokade
fungsi saraf (Wirasuta, 2006).

Gbr. diagram proses kerja toksik (Wirasuta, 2006)

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengertian ekokinetik
Ekokinetik merupakan gabungan dari kata “eko” yang berarti ekosistem dan “kinetik”
yang berarti gerak. Jadi, ekokinetik adalah pergerakan suatu zat racun dalam ekosistem.
Proses biotik maupun abiotik (fisik, kimia dan enzim) merupakan proses ekokinetik.
Ekokinetik menyebabakan efek toksik secara lokal atau regional. (Cunningham, 2008).
Pencemaran lingkungan oleh limbah berbahaya
Pencemaran lingkungan dapat mengakibatkan menurunnya fungsi dan peruntukan
sumberdaya alam, seperti air, udara, bahan pangan, dan tanah. Bahan pencemar yang
terbanyak adalah limbah, terutama dari kawasan industri. Beberapa cara penggolongan
pencemaran lingkungan hidup, seperti;
 Menurut jenis lingkungan, yaitu; pencemaran air, pencemaran laut, pencemaran udara,
pencemaran tanah dan pencemaran kebisingan (bunyi).
 Menurut sifat bahan pencemar, yaitu; pencemaran biologis, pencemaran kimia, dan
pencemaran fisik.
 Menurut lamanya bahan pencemar bertahan dalam lingkungan, yaitu; bahan pencemar
yang lambat atau sukar diuraikan seperti bahan kaleng, plastik, deterjen, serta bahan
pencemar yang mudah diuraikan (degradable) seperti bahan-bahan organik.
Cara Kerja Toksik
Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi, toksokinetik
dan fase toksodinamik.
o Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada
umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah
xenobiotika terabsorpsi.
o Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika
berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk
diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan
bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja
toksik (reseptor).

18
o Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik.
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan makalah selanjutnya bias
lebih baik lagi, atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

19
DAFTAR PUSTAKA

Cunninghum. 2008. Ekokinetika. Jakarta : UI-Press

Darmono. 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya Dengan Toksikologi

Seyawa Logam. Jakarta: UI-Press

http://www.artikellingkunganhidup.com/pembuangan-dan-pengelolaan-sampah.

Sasrtawijaya. 1991. TokLing Pencemaran Tanah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Wirasuta, Made A.G. Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum Buku Ajar. Bali: FMIPA

Universitas Udayana

20

Anda mungkin juga menyukai