Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

SINDROM TURP

2.1 Definisi 1

Reseksi prostat transurethral (TURP) adalah salah satu tindakan

pembedahan endoskopi urologi yang dapat mengakibatkan sering terbukanya

jaringan ekstensif sinus vena pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik

dari cairan irigasi. Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau

lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan sindrom

TURP.

Tabel 2.1 Sindrom TURP1


Manifestasi dari Sindrom TURP
1. Hiponatremia
2. Hipoosmolaritas
3. Overload cairan
4. Gagal jantung kongestif
5. Edema paru
6. Hipotensi
7. Hemolisis
8. Keracunan cairan
9. Hiperglisinemia
10. Hiperamonemia
11. Hiperglikemia
12. Ekspansi volume intravaskular

2.2 Epidemiologi

Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan

endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka

3
4

mortalitas yang signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi

2,5%-20% pasien yang mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala

sindrom TURP dan 0,5%-5% diantaranya meninggal pada waktu perioperatif.

Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.

2.3 Etiologi – Cairan Irigasi 1,2,5,7,8

Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan

cairan irigasi agar daerah yang diirigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah5.

Cairan elektrolit/ionik tidak bisa digunakan untuk irigasi saat TURP karena cairan

tersebut mendispersi aliran elektrokauter dan menyebabkan hantaran saat operasi.

Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah : isotonik, non-hemolitik,

electrically inert, non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi, dan tidak

mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum

ditemukan5. Untuk itu TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit

hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau

campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh

juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol 3%, Dekstrosa

2,5-4% dan Urea 1%.1,2,5

a. Air steril/akuades (H2O)

Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai

cairan irigasi yang ideal. Kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat

menyebabkan hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional, dan

gagal ginjal serta syok. Air/Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus

karena air dengan sifat hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang
5

signifikan bisa menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai

cairan irigasi dilarang hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.

b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%:

Glycine yakni asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang

sesuai, mengingat beberapa keuntungannya yaitu: harganya murah walaupun tidak

semurah air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun

efek samping glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan

konsentrasi 1,5% adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan osmolalitas

serum 290 mOsm/liter sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular dapat terjadi.

Penurunan konsentrasi glisin dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak

akibat hipotonisitasnya sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi.

Keuntungan glisin 1,5% bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya

menyebabkan gagal ginjal dan hemolisis yang lebih rendah.

c. Mannitol 3%

Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin,

namun dapat mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload

dari sirkulasi. Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin.

Ekskresinya melalui ginjal sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal.

d. Dekstrosa 2.5% - 4%

Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar

jaringan yang direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke


6

dalam sirkulasi. Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung

tangan ahli bedah saat operasi.

e. Cytal

Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak

digunakan di Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India

karena harganya yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh,

Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru

pada pasien yang hipersensitif terhadap fruktosa.

f. Urea 1%

Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka

dari itu tidak dipilih untuk cairan irigasi.

Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin 1,5%

dan air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi

urologi endoskopi.

2.4 Patofisiologi dan Gejala Klinis

Sindrom TURP ini dapat muncul saat intraoperatif maupun postoperatif

(bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai

dan beberapa jam setelah pembedahan selesai) dengan gejala sakit kepala,

kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi, dan

seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload

sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi.

Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi

beberapa factor, yaitu: tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus
7

yang terbuka, lama reseksi/paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan

hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat

reseksi, dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam

sistem sirkulasi.

1. Overload Sirkulasi 1

Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap

operasi TURP melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti

dengan cara memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol

sampai dengan konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1

liter cairan dalam satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi

natrium serum 5-8 mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic

meningkatkan resiko gejala terkait absorpsi (absorption related symptoms).

Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari

cairan irigasi diserap/diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi

yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan diastolik

meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi

protein serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan

peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke

kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada

absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi

terakumulasi dalam ruang interstisial (periprostatik dan retroperitoneal ). Untuk

setiap 100 ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut

masuk ke dalamnya.
8

Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi.

Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih

dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan

absorbsi interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi

terjadi apabila berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah

tekanan hidrostatik dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom

cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang

ideal dari cairan adalah 60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan

per menit untuk mendapatkan penglihatan yang baik.

2. Water Intoxication 1

Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi

air dan kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam

otaknya. Pasien awalnya menjadi somnolen, inkoheren, dan gelisah. Kejang dapat

berkembang menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon

babinski positif. Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat

dapat terjadi. EEG menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul

apabila level Natrium turun sampai di bawah 15-20 mEq/liter di bawah level

normal.

3. Hyponatremia – Hiperosmolaritas 1,11

Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air

yang berlebihan pada cairan ekstraseluler akan menyebabkan penurunan

konsentrasi natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi

pada dehidrasi hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.


9

Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung

dan otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui

berbagai mekanisme :

1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi

2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat

3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan

retroperitoneal

4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada

kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis..

Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan

kejang. Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan

penurunan kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan

perluasan dari kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan

inversi gelombang T dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum,

koma, henti nafas, Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF)

dan henti jantung terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water

Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan sistem saraf

pusat bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi.

Seperti yang kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap

natrium namun permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat

hipoosmolalitas akut yang terjadi meningkatkan tekanan intrakranial,


10

menyebabkan bradikardi dan hipertensi (Cushing reflex).

4. Glycine Toxicity 1

Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung

dan retina dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5%

berhubungan efek subakut dari miokardium, muncul sebagai depresi atau inverse

gelombang T pada EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml

menunjukkan dua kali resiko jangka panjang acute myocardial infarction, ini yang

menyebabkan jumlah mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs

open prostatectomy masih diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional

hypocalcemia juga dapat menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin

di absorbsi. Namun kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi

kalsium dari tulang.

Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama

pada sistem saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan

medulla spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang

bekerja pada area subkortikal dan kortikal area.. Mekanisme kerjanya diakibatkan

dari hiperpolarisasi dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran

klorida. Pada konsentrasi tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan

gangguan penglihatan.

Glycolic acid, formal, dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin

yang juga menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami

toksisitas glisin adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, sleep apnea dan

sianosis, hipotensi, oligouria, anuria serta kematian. Nilai normal glisin pada pria
11

adalah 13-17 mg/liter. Glycine toxicity jarang pada pasien TURP mungkin karena

hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan pada ruang periprostatik dan

retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik.

5. AmmoniaToxicity1

Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi

ammonia yang tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak.

Hal ini menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang

terjadi pada manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah

pembedahan. Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia

darah meningkat menjadi 500 mikromol/liter (nilai normal: 11-35 mikromol/liter).

Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena

glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.

Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang

mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa

tubuh tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage

system, citric acid cycle, konversi glycolic, dan glioxylic acid.

Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia

normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah

produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine

cycle tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia.


12

6. Hipovolemi, Hipotensi1

Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP (ketika glisin digunakan

sebagai cairan irigasi) yakni terdiri dari transient arterial hipertension (yang bisa

tidak muncul jika pendarahan berlebihan) diikuti dengan perpanjangan hipertensi.

Pelepasan substansi jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan

asidosis metabolik (berkontribusi terhadap hipotensi). Kehilangan darah saat

Sindrom TURP akan menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan

kemampuan mengangkut oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia

myokardial dan infark miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran

kalenjar prostat yang direseksi, lamanya pembedahan, dan skill dari operator.

Rata-rata kehilangan darah saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.

7. Gangguan Penglihatan1

Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,

pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi

dan tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan

gejala lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi.

Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan TURP

disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin.

Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan

respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak

seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri.


13

8. Perforasi1

Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan

instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung

kemih dan letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul

prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP.

Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan

kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen,

distensi, dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada

resiko tinggi kesalahan diurese spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya

berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu yang berkaitan dengan iritasi pada

diafragma merupakan gejala khas Pallor, diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea,

muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi ekstraperitonial, pergerakan refleks

dari ekstemitas bawah bisa terjadi. Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi.

Kauter dari jaringan prostat dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah

terbakar. Secara normal, tidak cukup oksigen yang terdapat didalam kantung

kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan cairan

irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.

9. Koagulopati1

DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan

dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju

sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia

dapat memperburuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya
14

penurunan jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi (FDP

> 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl)

10. Bakteremia, Septisemia, dan Toksemia1

Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat

preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan

tekanan tinggi, maka bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,

bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi

toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien

postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler, dan hipertensi bisa

terjadi secara temporer pada pasien ini.

11. Hipotermia1,10

Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang

akan dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi

hemodinamika, yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi

oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas

dan penggunaan cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu

tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu

dingin. Pasien geriatri diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi

otonom. Vasokonstriksi dan asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi

terhadap manifestasi sistem saraf pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh

pendarahan dari tempat reseksi.


15

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi sindrom TURP 11

2.5 Diagnosis

a. TURP dengan Anestesia Umum

Diagnosis TURP syndrome didasarkan atas gejala klinis. Dibawah

pengaruh anastesi umum, diagnosis Sindrom TURP sukar dan sering ditunda.

Tanda umum adalah peningkatan yang tidak bisa dijelaskan, kemudian tekanan

darah menurun dan terjadi bradikardia refrakter. Perubahan dalam EKG seperti

ritme nodal, perubahan ST, gelombang U, dan pelebaran kompleks QRS dapat
16

diobservasi. Pengembalian dari anestesi umum dan penggunaan pelemas otot bisa

tertunda.

b. TURP dengan Anestesia Regional

TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi (Awake

TURP) lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut:

1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien

yang sadar

2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload

sirkulasi.

3. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif

4. Kehilangan darah akan lebih sedikit

Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda

mayor ini dapat muncul: peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit

peningkatan pada tekanan darah diastolik, denyut yang lambat, perubahan

aktivitas saraf pusat (seperti kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual,

dan muntah). Kongestif paru dengan tanda dyspnea, sianosis, dan wheezing.

Denyut jantung menurun.

Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa mengalami sianotik dan

hipotensi hingga henti jantung. Beberapa pasien muncul dengan gejala neurologi,

pasien menjadi lemah kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan lambat beraksi

terhadap cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari kejang tonik-klonik

sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan fluktuasi hemodinamis


17

yang tiba-tiba dari anestesi spinal atau epidural sebaiknya dipertimbangkan

sebelum melakukan anastesi regional.

Selama anestesia umum berbagai tanda hipovolemia terjadi pada pasien.

Gejala sistem saraf pusat tidak ditemukan sampai pasien dibwa ke ruang

pemulihan. Tanda respirasi tidak terlihat akibat ventilasi kendali atau assisted

serta konsentrasi tinggi O2 yang digunakan dalam anestesia. Namun ketika pasien

tersadar dari pengaruh anestesia ia akan merasa sangat mengantuk, bingung, koma

karena intoksikasi air dalam otak atau peningkatan amonia dari metabolisme

glisin.

2.6 Tata Laksana Sindrom TURP 1,2,67,8

Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme

patofisiologikal yang bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut

harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang

serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya .

Kebanyakan pasien bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop.

Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk

mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan endoskopik.

Hiponatremia yang terjadi sebelum operasi harus dikoreksi terutama pada pasien

yang menggunakan obat-obatan diuretic dan diet rendah garam. Antibiotic

profilaksis memiliki peran dalam pensegahan bakterimia dan septisemia. Central

Venous Pressure (CVP) monitoring atau kateterisasi arteri pulmonalis diperlukan

untuk pasien dengan penyakit jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm.

Untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP, operator harus membatasi diri


18

untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator

memasang sistotomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat

mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi lebih dari

satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus dijaga dan distensi

kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan sering mengosongkan kandung

kemih.

Koreksi hiponatremia sebaiknya dilakukan dengan diuresis dan pemberian

salin hipertonis 3-5% secara lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau

tidak lebih cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan

untuk mengoreksi hiponatremia. Pemberian secara cepat dari salin akan

mengakibatkan edema paru dan central pontine myelinolysis. Dua pertiga dari

salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan osmolaritas, sedangkan 1/3

meredistribusi air dari sel menuju ruang ekstraseluler, dimana akan diterapi

dengan terapi diuretik menggunakan furosemide.

Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara

intravena. Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP

dipertanyakan karena meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol

disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari

ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritas

ekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan nasal kanul. Edema

paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan ventilasi dengan penggunaan

100% oksigen.
19

Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa

digunakan untuk merawat gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan.

Kejang sebaiknya diterapi dengan diazepam/midazolam/barbiturat/dilantin atau

penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat keparahannya. Gejala

hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan dosis kecil

dari midazolam (2-4 mg), diazepam (3-5 mg), thiopental (50-100 mg). Kehilangan

darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-

4 gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000

unit secara bolus dan kemudian diberikan 500 unit tiap jam. Fresh Frozen Plasma

(FFP) dan platelet juga bisa digunakan tergantung dari jenis koagulasinya.

Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi bisa

menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan

sebagai tambahan infus glisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada

jantung. Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui.

Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus

dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal

secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien

menjadi normal. Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk

mengkoreksi hiponatremia menjadi batas/level yang aman, yang didasarkan

konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin hipertonis harus tidak diberikan

dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam sehingga tidak menimbulkan

eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari dengan


20

meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan

cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 370 C.

Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi,

sirkulasi yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang,

terapi infeksi, menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit serta suhu tubuh.

Pemantauan yang dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea

kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat

PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor

fungsi kardiovaskular.8

Anda mungkin juga menyukai