Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

DIFTERIA

Pembimbing:

dr.Pramusinto Adhy, Sp.THT-KL

Disusun oleh:

Muthia Ayu Ningtyas

2013730072

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RSUD SEKARWANGI

2017
BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari
bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan
penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana
manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring,
laring, hidung dan kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan
gejala -gejala lokal dan sistemik,efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi
melalui kontak dengan penderita maupun carrier.
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi baru lahir
biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan,
oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti
mengurangi insidensi penyakit tersebut. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di
dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka
kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar
biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi
nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti
dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang
ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan membran pada trachea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

2.2. Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi
kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi efek
patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheria ini
yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif,
ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak. Corynebacterium
diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat
dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal
yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang
aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan
anak-anak.

Morfologi Corynebacterium diphtheria


 Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak berkapsul,
tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan bacteri.
 Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan
granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
 Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya bakteri
seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian
Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina

Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak berspora,


tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat anaerob
fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat
dilakukan dengan perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Ada tiga tipe C.
diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang
disebabkan pada manusia yaitu :
a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling besar. bentuk
pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai dalam perbedaan
corak biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada
permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan sejumlahgranula
metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip seperti karakter tulisan kuno. Penyakit :
ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam. batang pendek,
terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap, tidak adanya granula metakromatik.
Penyakit : pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.

Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti
kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat dikaitkan dengan
kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan
tingkat pertumbuhan masing-masing.

2.3 Cara Penularan


Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau
kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khasdari penyakit ini
ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang lokal , dimana pembuluh-
pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat
dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis.

2.4. Patofisiologi
2.5. Gambaran Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari tanpa gejala
sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas
pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman
membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
2.5.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun 1954, focus
infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya
yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala
radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC.
2.5.1.1. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis
erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan
bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum
nasi.
2.5.1.2 Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya
setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian
timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan
pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda
mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”.
Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat,
dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Pada kasus sedang penyembuhan
terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis.
2.5.1.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring sangat
cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal
dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa
laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan
nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan
trakeobronkial.
2.5.2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan
cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan
ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Pada
kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah
terkontaminasi sekunder. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia
tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi
pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
2.5.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti
telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital
(vulvovginitis purulenta dan ulseratif).

2.6. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik
tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan
untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro. Adanya membran tenggorok sebenarnya
tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya
membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan
melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari
tonsil dan menyebar ke uvula.

2.7. Penatalaksanaan Umum


Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Pengobatan
umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG atau echocardiography pada hari 0, 3,
7 dan setiap minggu selama 5 minggu.

2.8. Penatalaksanaan Medikamentosa


1. Antitoksin
Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.
Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan
selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C.
diphtheriae biasanya rentan terhadap penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin.. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul
daripada penisilin. Dengan dosis :
 Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut (-).
 Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. · Penisilin
G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison
1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

2.9. Pencegahan
Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan untuk mencegah
penyakit difteri ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B
dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus infuenzae
tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
Jadwal imuisasi :
 Imunisasi dasar : Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval
1 bulan.
 Imunisasi lanjutan :
 Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
 Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
 Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
 Wanita Usia Subur diberikan vaksin Td.

2.10. Diagnosis Banding


 Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold,
sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung.
 Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh
streptokokus (tonsillitis akut), tonsillitis membranosa non-bakterial.
 Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, angioneurotic edema pada
laring, dan benda asing dalam laring.
 Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.

2.11. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas eksotoksin,
maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh kuman lain,
obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin
terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal. Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali
mempengaruhi gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun
pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Obstruksi jalan
nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria atau oleh karena edema
pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan
kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah
tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah nontoksigenik. Miokardiopati toksik
terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-
tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada
anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan
luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin.
Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau
disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T
pada elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau
disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi
atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara
tersembunyi atau akut. Disaritmia berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati
dapat menunjukkan sedikit mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Neuropati toksik,
komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulainya yang multifasik.
Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis
lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat
menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor
dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran
akomodasi.

2.12. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. Prognosis difteria
setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah
terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran
difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya
akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung
yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia
amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri
faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera, oleh karena itu
bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit
tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih
ada yang terkena penyakit ini. Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang
merupakan kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala
klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC. Penyakit ini diklasifikasikan menurut
lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri
vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah
difteri tonsil faring. Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah
isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur). Dasar dari
therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. Pencegahan
secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya
difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak
kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak,
Difteri, 1-18 2.
Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176

Anda mungkin juga menyukai