Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

RINITIS MEDIKAMENTOSA

DISUSUN OLEH :
Grace Erdiana
406162069

PEMBIMBING :
dr. Ardhian Noor Wicaksono, Sp. THT-KL
dr. Siti Nurhikmah, Sp. THT-KL, M. Kes

KEPANITERAAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK


RSUD RAA SOEWONDO PATI
PERIODE 17 JULI 2017 – 19 AGUSTUS 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
BAB 1
PENDAHULUAN

Rinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di


hidung. Menurut penyebabnya rinitis dibagi menjadi dua yaitu rinitis alergi dan
rinitis non alergi. Rinitis non alergi merupakan rinitis yang disebabkan oleh faktor
pemicu tertentu yang bukan allergen. Rinitis non alergi terdiri dari rinitis
vasomotor, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi, rinitis hormonal, dan food induced
rinitis.1
Sebagai istilah klinis, rinitis ditandai dengan 1 atau lebih dari gejala berikut:
bersin, hidung gatal, rhinorrhea, dan hidung tersumbat2. Keluhan subyektif yang
sering ditemukan pada pasien biasanya napas bau, pasien menderita anosmia, ingus
kental hijau, krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
Prevalensi menunjukkan bahwa 44% sampai 87% dari pasien dengan rinitis
mungkin memiliki rinitis campuran, kombinasi alergi dan rinitis non alergi.3
Rinitis medikamentosa, juga dikenal sebagai rhinitis rebound atau rhinitis
kimiawi, adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hidung tersumbat tanpa
rinorrhea atau bersin. Penyebabnya dikarenakan oleh penggunaan obat
vasokonstriksi topikal selama lebih dari 6 hari.4
Kejadian rinitis medikamentosa mungkin kurang dilaporkan. Dalam sebuah
survei terhadap 119 pasien, 6,7% menderita rhinitis medikamentosa. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh seorang praktisi THT, sebanyak 52 pasien dari 100
pasien yang meangalami hidung tersumbat didiagnosis rinitis medikamentosa.4

1
BAB 2
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Ruslan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 31 Desember 1953
Usia : 64 Tahun
Alamat : Gabus 3/8
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai pabrik
Status Pernikahan : Sudah menikah
Tangga Pemeriksaan : 10 November 2017

B. RIWAYAT MEDIS
 Keluhan Utama
Hidung kanan dan kiri sering tersumbat terutama saat pagi dan malam hari.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT RSUD RAA Soewondo pada tanggal 10
November 2017 dengan keluhan hidung kanan dan kiri sering tersumbat
terutama saat pagi dan malam hari. Keluhan sudah dirasakan pasien sejak
kurang lebih selama 1 tahun. Sebelum berobat ke poli THT, pasien sering
membeli obat tetes hidung otripin untuk mengobati keluhannya. Ketika
obat tetes hidung digunakan, keluhan pasien menjadi hilang, hidung sudah
tidak tersumbat. Pasien sudah menggunakan obat otripin selama kurang
lebih satu tahun.
Tidak ada nyeri pada hidung maupun di daerah sekitar hidung. Hidung
tidak terasa gatal, bersin sesekali saja, tidak ada batuk maupun sakit saat
menelan. Namun pasien merasakan mulut dan bibirnya kering. Demam (-
), gangguan pada telinga (-), nyeri gigi (-).

2
 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat HT (+) sejak 10 tahun yang lalu
 Riwayat DM (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat keganasan (-)
 Riwayat trauma (-)

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat HT (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat keganasan (-)

C. STATUS GENERALIS
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan darah : 160/90 mmHG
 Nadi : 105 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,8°C
 Berat badan : 83 kg

D. STATUS LOKALIS
Telinga
Telinga Kanan Telinga Kiri
Inspeksi
Aurikula Bentuk (N) Bentuk (N)
Peradangan (-) Peradangan (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)

3
Fistel preaurikular (-) Fistel preaurikular (-)
Fistel retroaurikular (-) Fistel retroaurikular (-)
Abses retroaurikular (-) Abses retroaurikular (-)
Meatus Auricula Lapang Lapang
Eksterna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)

Furunkel (-) Furunkel (-)


Jaringan granulasi (-) Jaringan granulasi (-)
Serumen (-) Serumen (+)
Benda asing (-) Benda asing (-)
Tumor (-) Tumor (-)
Eksostose (-) Eksostose (-)
Membran Timpani Bentuk utuh Bentuk utuh
Perforasi (-) Perforasi (-)
Refleks Cahaya (+) Refleks Cahaya (+)
Warna putih mengkilat Warna putih mengkilat
Atrofi (-) Atrofi (-)
Bercak Putih (-) Bercak Putih (-)
Bulging (-) Bulging (-)

Palpasi
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Nyeri tekan mastoid (-) Nyeri tekan mastoid (-)

Hidung
Hidung Kanan Hidung Kiri
Inspeksi
Hidung Luar Bentuk (N) Bentuk (N)
Frog nose (-) Frog nose (-)
Ragaden (-) Ragaden (-)
Depresi tulang hidung (-) Depresi tulang hidung (-)

4
Udara pernafasan (+) Udara pernafasan (+)
Palpasi
Hidung & Sinus Nyeri tekan hidung (-) Nyeri tekan hidung (-)
paranasal Nyeri tekan sinus paranasal Nyeri tekan sinus paranasal
(-) (-)
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi Furunkel (-) Furunkel (-)
Laserasi (-) Laserasi (-)
Bekuan darah (-) Bekuan darah (-)
Cavum Nasi Lapang Lapang
Sekret (+) minimal, bening Sekret (+) minimal, bening
Konka nasi inferior Konka nasi inferior
hipertrofi hipertrofi
Meatus nasi inferior (N) Meatus nasi inferior (N)
Meatus nasi media (N) Meatus nasi media (N)
Septum nasi (N)
Mukosa merah muda Mukosa merah muda
Benda asing (-) Benda asing (-)
Massa tumor (-) Massa tumor (-)

Tenggorok

Orofaring Karies gigi (-)


Warna mukosa merah muda
Lidah kotor (-)
Arkus faring anterior dan posterior (N)
Tonsila palatina T1-T1, detritus (-), kripta tonsil tidak
melebar
Dinding posterior faring (N) mukosa merah muda
Gerakan palatum molle (+), uvula ditengah
Rhinoskopi Koana kanan kiri (N)
Posterior Septum nasi posterior (N)

5
Konka nasi superior dan media kanan kiri eutrofi
Meatus nasi superior kanan kiri (N)
Post nasal drip ( - / - )
Nasofaring (N)
Massa tumor (-)

E. RESUME
Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 64 tahun dengan keluhan hidung kanan
dan kiri tersumbat pasien sejak kurang lebih selama 1 tahun. Sebelumnya pasien
belum pernah berobat ke dokter, pasien sering membeli obat tetes hidung otripin
untuk mengobati keluhannya, setelah digunakan keluhan pasien menjadi hilang,
hidung tidak tersumbat lagi. Pasien sudah menggunakan obat otripin selama kurang
lebih satu tahun. Tidak ada nyeri pada hidung maupun di daerah sekitar hidung.
Hidung tidak terasa gatal, bersin sesekali saja, tidak ada batuk maupun sakit saat
menelan. Demam (-), gangguan pada telinga (-), nyeri gigi (-). Pasien diketahui
mempunyai riwayat tekanan darah tinggi sudah sejak 10 tahun yang lalu. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nadi 105 x/menit dan tekanan darah 160/90 mmHG.
Pada pemeriksaan status lokalis, ditemukan Konka nasi inferior dextra dan sinistra
hipertrofi, pada cavum nasi dextra dan sinistra terdapat sekret bening.
F. DIAGNOSIS
 Diagnosis kerja : Rinitis medikamentosa
 Diagnosis banding : -

G. RENCANA TERAPI
 Nasal toilet
 Cetirizine 2 x 10 mg
 Zinc 2 x 20 mg

H. PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad fungsionam : bonam
 Ad sanationam : dubia

6
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan pendarahan serta persarafannya.2 Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian – bagiannya dari atas ke bawah:
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Bagian luar hidung

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor,
beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.

7
Gambar 2. Kerangka tulang hidung anterolateral dan inferior

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya
terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media,
lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema.

8
Gambar 3. Dinding lateral hidung

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas
rongga hidung mendapat pendarahan dari A. Etmoid anterior dan posterior yang

9
merupakan cabang dari A. Oftalmika, sedangkan A. Oftalmika berasal dari A.
Karotis interna.

3.2 Pendarahan Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari A. Etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika yang berasal dari A. Karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang A.
Maksilaris interna, di antaranya adalah ujung A. Palatina mayor dan A.
Sfenopalatina yang keluar dari foramen Sfenopalatina bersama N. Sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. Fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang A. Sfenopalatina, A.
Etmoid anterior, A. Labialis superior dan A. Palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.2

Gambar 4. Suplai darah pada hidung

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke V.
Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman
kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini

10
membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai
sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh
saraf otonom.

3.3 Persarafan Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari N.
Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari N. Nasosiliaris, yang berasal dari
N. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari N. Maksila melalui ganglion Sfenopalatinum.

Gambar 5. Persarafan hidung

Ganglion Sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut-serabut sensoris dari N. Maksila, serabut parasimpatis dari N.
Petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari N. Petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

11
3.4 Fisiologi Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.2
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh
kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong
ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-
obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Mukosa sinus paranasal berhubungan dengan mukosa rongga hidung di
daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis
dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih
sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus
dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa
penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseusostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan.

12
Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kelembaban udara (air
conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara,
turut membantu proses bicara dan refleks nasal.
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin terjadi sebaliknya.

2. Pengatur kelembaban udara


Fungsi hidung sebagai pengatur kelembaban udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini
dilakukan dengan cara mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir
(mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan
terjadi keadaan sebelumnya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.

3. Sebagai penyaring dan pelindung


Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri yang dilakukan oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia,
serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan

13
silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis
bakteri, yang disebut lysozyme.

4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang dinamakan
vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria.
Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman
penghasil mukus (mengandung air, mukopolisakarida, antibodi, enzim,
garam-garam dan protein pengikat bau (G-protein)).
Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat
berganti secara reguler yakni 4-8 minggu. Kecepatan aliran udara pada saat
inspirasi sebesar 250 ml/det. Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara
lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium. Syarat
zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :
a. Harus mudah menguap  mudah masuk ke liang hidung
b. Sedikit larut dalam air  mudah melalui mukus
c. Mudah larut dalam lemak sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar
sel-sel olfaktoria terdiri dari zat lemak
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius
oleh zat - zat kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi
reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir
melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas
stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel
reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan
mukus yang berada pada permukaan membran. Molekul bau yang larut
dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan
terstimulasi dan mengaktivasi enzim adenyl siklase. Aktivasi enzim adenyl

14
siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan
membuka saluran ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia
menyebabkan membran semakin positif, terjadi depolarisasi hingga
menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor
menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam
glomerulus, akson mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson
sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks piriformis sistem
limbik (area 34 dan 28), medial amigdala dan korteks enthoris (berhubungan
dengan memori) untuk mengidentifikasi bau.

5. Proses Bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.

6. Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

7. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

3.5 Rinitis medikamentosa


3.5.1 Definisi
Rinitis medikamentosa, juga dikenal sebagai rhinitis rebound atau rhinitis kimiawi,
adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hidung tersumbat tanpa rinorrhea atau
bersin. Penyebabnya dikarenakan oleh penggunaan obat vasokonstriksi topikal
seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung selama lebih dari 4-6 hari untuk
meredakan peradangan pada mukosa hidung.4

15
3.5.2 Etiologi
Penyalahgunaan obat vasokonstriksi hidung topikal merupakan penyebab sebagian
besar terjadinya rinitis medikamentosa. Ada 2 kelas dekongestan nasal yaitu amina
simpatomimetik dan imidazolines. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang
dan waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound
dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat
diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, pertambahan mukosa
jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap.4,5
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah obat anti hipertensi, psikosedatif, aspirin, derivat ergot,
pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi.5

Antihipertensi Phosphodiesterase Hormon


type 5 inhibitors

 Amiloride  Sildenafil  Estrogen


 Angiotensin-converting enzyme  Tadalafil Eksogenous
inhibitors  Vardenafil  Pil kontrasepsi
 ß-blockers
 Chlorothiazide
 Clonidine
 Hydralazine
 Hydrochlorothiazide
 Prazosin
 Reserpine
Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

 Aspirin  Chlordiazepoxide-  Kokain


 NSAIDs amitriptyline  Gabapentin
 Chlorpromazine
 Risperidone

16
 Thioridazine

Tabel 1 : Obat sistemik yang menyebabkan rinitis

Dekongestan Imidazolines
– Simpatomimetik :
 Amfetamin  Klonidin
 Benzedrine  Naphazolin
 Kafein  Oxymetazolin
 Ephedrin  Xylometazolin
 Mescalin
 Phenylephrin
 Phenylpropanolamin
 Pseudoephedrin

Tabel 2 : Dekongestan yang menyebabkan rinitis medikamentosa

3.5.3 Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan
sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari
golongan simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan
akan berfungsi kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian
vasokonstriktor topikal yang berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan
terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi,
sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau penyumbatan. Dengan adanya
gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi
memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH hidung berubah
dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan obstruksi
hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya.2

17
Bila pemakaian obat diteruskan akan menyebabkan dilatasi dan kongesti
jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel–sel
mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang
berlebihan.2

3.5.4 Manifestasi klinis

Gejala terbatas pada hidung dan terdiri dari kongesti hidung kronis tanpa rinore
signifikan atau bersin dan keluhan lain berupa: 6,7

 Gejala tidak berubah berdasarkan musim atau saat pasien di dalam ruangan
atau di luar ruangan.
 Tidak ada alergen tertentu yang teridentifikasi.
 Pasien dengan rinitis medikamentosa sering mendengkur, sleep apnea, dan
sering bernapas dengan mulut sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan
dan mulut kering.

3.5.5 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan dengan rhinoskopi anterior didapatkan:7,8

 Konka edema (hipertrofi)


 Mukosa hidung terlihat kemerahan
 sekret hidung yang minimal

3.5.6 Diagnosis

Kriteria bagi diagnosis rinitis medikamentosa adalah:8

 Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau


obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
 Obstruksi hidung yang berkelanjutan (kronik) tanpa pengeluaran sekret atau
bersin.
 Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisik

18
3.5.7 Penatalaksanaan
1. Farmakologi 9
 Kortikosteroid nasal
Membantu mengurangi peradangan lokal tanpa efek sistemik dan
mengurangi keluhan hidung tersumbat lebih cepat. Contoh kortikosteroid
nasal yang tersedia adalah budesonide, fluticasone, triamnicolone.
Diberikan selama minimal 2 minggu untuk memperbaiki fisiologi hidung.

 Dekongestan oral
Obat yang dipilih biasanya mengandung pseudoefedrin yang bekerja
dengan merangsang reseptor alfa-adrenergik otot polos vaskular. Hal ini
menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah arteriol di dalam mukosa
hidung dan mengurangi aliran darah ke area yang membesar.

2. Non farmakologi 2
 Pembedahan dilakukan jika terdapat polip atau deviasi septum
 Menghentikan penggunaan obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung.

3.5.8 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi meliputi: 10

 Perforasi septum hidung


 Hiperplasia yang menetap
 Rinitis atrofi
 Sinusitis

19
BAB 4
ANALISIS KASUS

TEORI KASUS
Definisi
 Rinitis medikamentosa adalah  Pasien datang dengan keluhan
suatu kondisi yang ditandai hidung tersumbat sejak 1 tahun
dengan hidung tersumbat tanpa yang lalu
rinorrhea atau bersin.
Etiologi
 Penggunaan Vasokonstriksi  Pasien sudah menggunakan
hidung topikal dalam jangka obat tetes hidung otripin untuk
waktu lama (> 6 hari) mengobati keluhannya selama
merupakan penyebab sebagian kurang lebih 1 tahun
besar terjadinya rinitis
medikamentosa.
Manifestasi Klinis
Gejala terbatas pada hidung dan Keluhan pasien:
terdiri dari kongesti hidung kronis  Hidung sering tersumbat
tanpa rinore  Mulut dan bibir terasa kering
 Bersin sesekali
Pemeriksaan Fisik
 Konka edema (hipertrofi)  Konka nasi dextra dan sinistra
 Mukosa hidung terlihat inferior hipertrofi
kemerahan  Sekret (+) minimal, warna
 sekret hidung yang minimal bening

Penatalaksanaan
 Kortikosteroid nasal  Nasal toilet
 Dekongestan oral  Cetirizine 2 x 10 mg
 Pembedahan  Zinc 2 x 20 mg

20
BAB 5

KESIMPULAN

Rinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di hidung.


Menurut penyebabnya rinitis dibagi menjadi dua yaitu rinitis alergi dan rinitis non
alergi. Rinitis non alergi merupakan rinitis yang disebabkan oleh faktor pemicu
tertentu yang bukan allergen. Rinitis non alergi terdiri dari rinitis vasomotor, rinitis
medikamentosa, rinitis atrofi, rinitis hormonal, dan food induced rinitis.

Rinitis medikamentosa, juga dikenal sebagai rinitis rebound atau rinitis


kimiawi, adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hidung tersumbat tanpa
rinorrhea atau bersin. Penyebabnya terbesar dikarenakan oleh penggunaan obat
vasokonstriksi hidung topikal selama lebih dari 6 hari.

. Gejala dari penyakit terbatas hidung tersumbat secara terus menerus tetapi
tanpa mengeluarkan sekret. Pada penegakan rinitis medikamentosa harus
ditemukan riwayat penggunaan obat vasokonstriksi topikal (dekongestan) jangka
Panjang, dan pada pemeriksaan fisik hidung didapatkan konka hipertrofi, mukosa
hidung kemerahan, dan sekret yang minimal.

Penatalaksanaan pada pasien ini antara lain dengan menghentikan penggunaan


obat penyebab dari gejala yang dialami, kemudian dapat diganti dengan obat
golongan lainnya atau dengan sediaan yang berbeda. Dapat diberikan kortikosteroid
nasal serta dekongestan oral. Jika tidak ditangani, maka dapat menyebabkan
komplikasi seperti perforasi septum hidung, hiperplasia yang menetap, rinitis atrofi,
dan sinusitis

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,


Asthma & Immunology. 2001; 86; 494-508.
2. Soepardi A, Iskandar N, Bashiruddin J, dan Restuti D. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 7. Jakarta, Hal: 117-119.
3. Aang S. Tentang Hidung dan Infeksi (Edisi II Sedikit Tau Tentang Kesehatan),
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/11/28/tentang-hidung-dan-
infeksi-edisi-ii-sedikit-tau-tentang-kesehatan-614677.html, diakses pada
tanggal 17 November 2017 pukul 18.00
4. Natalya K. Rhinitis medicamentosa. American Journal of Rhinology and
Allergy. 2015.
5. Adams G, Boies L, Higler P. 2006. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. Black M.J, Remsen K.A, eds. Rhinitis Medicamentosa, Canadian Medical
Journal, Volume 122, 2005 : 881-884.
7. Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose. Allergy Clinical
Immunology Journal 2006; 118; 1017-1018.
8. Ramer T, Bailen E, Lockey,F. Rhinitis Medikamentosa. Allergy Clinical
Immunology Journal. 2006.148-155.
9. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New
Delhi : Elsevier; 2011. p. 180-184
10. Mortuaire G, Gabory L, Bloch F, Brion N. Rebound congestion and rhinitis
medicamentosa: Nasal decongestants in clinical practice. Critical review of the
literature by a medical panel. European Annals of Otorhinolaryngology, Head
and Neck Diseases. 2013. 137-144.

22

Anda mungkin juga menyukai