Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN JURNAL KEPERAWATAN KOMUNITAS

Efficacy of a Community-Based Physical Activity Program KM2H2 for


Stroke and Heart Attack Prevention among Senior Hypertensive
Patients: A Cluster Randomized Controlled Phase-II Trial

OLEH:
KELOMPOK 1

KOMANG NOVIANTARI (1302106006)


NI KADEK AYU JULIANTINI (1302106012)
GUSTI AYU PUTU BUDIANINGSIH (1302106025)
SANG AYU EKA RANI WIDARINI (1302106084)
NI MADE UMI KRISDYANTINI (1302106004)
IDA AYU MADE SINTA DEWI (1302106053)
VERAMINA MBOLIK (1502116013)
KETUT ARISTA KUSUMA JAYA (1302106063)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Hipertensi


adalah keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas
normal atau kronis dalam waktu yang lama (Saraswati, 2009). Hipertensi
mengakibatkan meningkatnya angka kesakitan atau morbiditas dan angka
kematian atau mortalitas. Hipertensi telah membunuh tujuh juta dari satu milyar
penderita hipertensi di dunia setiap tahunnya. Sementara itu, angka kejadian
hipertensi telah mencapai satu milyar orang di dunia (James et al., 2014). WHO
(2011) menyebutkan di negara berkembang terdapat 40% penduduk dengan
hipertensi, sedangkan di negara maju hanya 35%.

Data hasil Riskesdas menunjukan sebesar 25,8% populasi orang dewasa di


Indonesia menderita hipertensi. Sementara itu, di Bali prevalensi orang dewasa
yang menderita hipertensi sebesar 19,9% (Departemen Kesehatan Republik
Iindonesia (Depkes RI), 2013). Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali pada
tahun 2014, menyebutkan bahwa penyakit penyebab kematian tertinggi di Bali
adalah hipertensi dengan jumlah penderita mencapai 8.886 kasus (Dinkes
Provinsi Bali, 2015). Konsekuensi kronik dari hipertensi yang paling sering yaitu
gangguan penglihatan, oklusi koroner, infark miokard/ serangan jantung, gagal
ginjal dan stroke (Hinkle & Cheever, 2013).

Komplikasi hipertensi seperti stroke dan serangan jantung sangat besar


peluangnya untuk dapat dicegah. Pengobatan antihipertensif merupakan salah
satu pencegahan sekunder yang sangat direkomendasikan dan secara luas telah
digunakan untuk mencegah stroke dan serangan jantung pada penderita hipertensi
(James et al., 2014). Berbagai penelitian telah membuktikan keuntungan obat
antihipertensi untuk mencegah stroke dan serangan jantung (Liu, 2012). Akan
tetapi, mayoritas penderita hipertensi yang sedang dalam pengobatan masih
memiliki risiko tinggi terhadap komplikasi stroke dan serangan jantung (Gong,
Chen & Li, 2015)

Modifikasi gaya hidup telah lama diketahui efektif sebagai pencegahan primer
dan sekunder hipertensi (Darden, Richardson, & Jackson, 2013). Salah satu
modifikasi gaya hidup tersebut adalah dengan beraktivitas fisik secara teratur
(Matheson et al., 2013). Aktivitas fisik sangat penting untuk kesehatan fisik,
emosional serta untuk mengontrol berat badan. Beraktivitas fisik secara teratur
dapat membantu mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan suasana hati
(mood), menjaga kebugaran tubuh serta mencegah risiko penyakit kronis
(National Institutes of Health (NIH), 2007). WHO merekomendasikan aktivitas
fisik sebagai upaya pencegahan utama penyakit kronis karena tidak memerlukan
banyak biaya dan sangat efektif (Lee et al., 2012 ; Rogge, 2011). Meskipun
demikian, banyak orang terutama penderita hipertensi berusia lanjut yang tidak
melakukan aktivitas fisik sesuai rekomendasi yang dianjurkan sehingga memiliki
tingkat aktivitas fisik kurang dan berisiko tinggi mengalami stroke serta serangan
jantung.

Berbagai strategi dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas fisik di tatanan


komunitas. Salah satu strategi yang dikembangkan yaitu program perubahan
perilaku kesehatan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan individu.
Strategi yang digunakan yaitu mengajarkan keterampilan perilaku untuk
membantu partisipan dalam menggabungkan aktivitas fisik serta kegiatan sehari-
hari, termasuk membangun dukungan sosial, memperkuat perilaku diri yang
positif, dan memecahkan permasalahan untuk mempertahankan perubahan
perilaku serta mencegah perilaku hidup kurang aktif (CDC, 2011). Tantangan
yang sering dihadapi dalam upaya meningkatkan aktivitas fisik masyarakat di
tatanan komunitas adalah motivasi atau kemauan masyarakat. Oleh karena itu,
kelompok tertarik untuk menganalis jurnal “Efikasi program aktivitas fisik
berbasis komunitas KM2H2 untuk mencegah stroke dan serangan jantung pada
lansia dengan hipertensi”

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari analisis jurnal ini adalah “Bagaimana implikasi
program aktifitas fisik berbasis komunitas KM2H2 terhadap pencegahan stroke
dan serangan jantung pada pasien hipertensi di tatanan komunitas?”

1.3 TUJUAN

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari analisis jurnal ini adalah untuk mengetahui implikasi program
aktifitas fisik berbasis komunitas KM2H2 terhadap pencegahan stroke dan
serangan jantung pada pasien hipertensi di tatanan komunitas.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh program aktifitas fisik berbasis komunitas KM2H2


terhadap pencegahan stroke dan serangan jantung pada lansia dengan
hipertensi.
b. Mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman program aktifitas
fisik berbasis komunitas KM2H2 untuk mencegah stroke dan serangan
jantung pada pasien hipertensi dalam penerapannya di tatanan komunitas.
c. Mengetahui implikasi keperawatan program aktifitas fisik berbasis
komunitas KM2H2 terhadap pencegahan stroke dan serangan jantung pada
pasien hipertensi di tatanan komunitas.
1.4 MANFAAT

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari analisis jurnal ini antara lain sebagai berikut:

a. Hasil analisisjurnal ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan


teori dan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan mengenai program
aktifitas fisik berbasis komunitas KM2H2 terhadap pencegahan stroke dan
serangan jantung pada pasien hipertensi di tatanan komunitas.
b. Hasil analisis jurnal ini diharapkan dapat memberikan kerangka pemikiran
kepada mahasiswa selanjutnya untuk mengembangkan atau mencari program-
program kesehatan lain untuk mencegah komplikasi hipertensi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil analisis jurnal ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan kepada
perawat, instusi pelayanan kesehatan dan pihak-pihak lain yang terkait agar dapat
dimanfaatkan sebagai suatu teknik dalam mencegah komplikasi hipertensi di
tatanan komunitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi


2.1.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140
mmHg dan tekanan darah diastolic lebih dari atau sama dengan 90 mmHg
atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2000). Diagnostik ini
dapat dipastikan dengan mengukur rata-rata tekanan darah pada 2 waktu yang
terpisah. Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai
tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai
derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi
sampai hipertensi maligna (Doengoes, 2000).

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

JNC VI membuat klasifikasi hipertensi sebagai berikut:

Category Systole (mmHg) Diastole (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal < 130 dan < 85

Normal Tinggi 130 – 139 atau 85 – 89


(prehipertensi)

Hipertensi Derajat 1 140 – 159 atau 90 – 99

Hipertensi Derajat 2 160 – 179 atau 100 – 109

Hipertensi Derajat 3 ≥ 180 atau ≥ 110


Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah tinggi pada orang dewasa 18 tahun ke atas
(JNC VI).

Hipertensi sistolik terisolasi (Isolated Systolic Hypertension) didefinisikan


sebagai tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik di bawah
90 mmHg.Sedangkan JNC VII mengklasifikasikan hipertensi pada orang
berusia 18 tahun ke atas sebagai berikut (tabel 2).

BP Classification Systolic BP (mmHg) Diastolic BP (mmHg)

Normal ≤ 120 and < 80

Prehypertention 120 – 139 or 80 – 89

Stage 1 Hypertension 140 – 159 or 90 – 99

Stage 2 Hypertension ≥ 160 or ≥ 100

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah tinggi pada orang dewasa 18 tahun ke atas
(JNC VII).

2.1.3 Etiologi Hipertensi


Hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan
Total Peripheral Resistance (TPR). Peningkatan kecepatan denyut jantung
dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA.
Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering
menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut
jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR,
sehingga tidak menimbulkan hipertensi (Astawan,2002)

Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila


terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan
penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan.
Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah
ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan
volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir
sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata
preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik (Amir,2002)

Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi


pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau
responsivitas yang berlebihan dari arteriol. Kedua hal tersebut akan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total
Periperial Resistence, jantung harus memompa dengan lebih kuat dan dengan
demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah
melintasi pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan
dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel
kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi. Dengan hipertrofi, kebutuhan
ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu
memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut.
Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang
normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan
volume sekuncup (Hayens, 2003).

2.1.4 Faktor Risiko Hipertensi


Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui
dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang
teridentifikasi antara lain:

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Keturunan

Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai


orang tua atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut
mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang
yang kedua orang tuanya normal (tidak menderita hipertensi). Adanya
riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara
signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada
perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun.

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan


darah. Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem
renin angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih
tinggi daripada perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan
meningkat setelah masa menopause yang mununjukkan adanya pengaruh
hormon.

c. Umur

Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin


tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini
disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan
bertambahnya umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih
dari 65 tahun. (Gray, et al. 2005).

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Merokok

Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan


tekanan darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat
meningkatkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat
meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat
menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat
toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik, denyut jantung bertambah,
pemakaian O2 bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan
vasokontriksi pada pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).
b. Obesitas

Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya


penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah
parahnya hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang.
Tetapi tidak semua obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada
masing – masing individu. Peningkatan tekanan darah di atas nilai
optimal yaitu > 120 / 80 mmHg akan meningkatkan risiko terjadinya
penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan efektif untuk
menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5 kg dapat
menurunkan tekanan darah secara signifikan (Haffner, 1999).

c. Stres

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis


yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres
berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang
menetap. Pada binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap
stres menyebabkan binatang tersebut menjadi hipertensi (Pickering,
1999).

d. Aktifitas Fisik

Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar
kemungkinan aktifitas fisik efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas
fisik membantu dengan mengontrol berat badan. Aerobik yang cukup
seperti 30 – 45 menit berjalan cepat setiap hari membantu menurunkan
tekanan darah secara langsung. Olahraga secara teratur dapat
menurunkan tekanan darah pada semua kelompok, baik hipertensi
maupun normotensi (Simons-Morton, 1999).
2.1.5 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak


di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula
jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari
kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Corwin,2001)

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh


darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal
mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi
(Dekker, 1996)

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer


bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut
usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan
ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume
sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Corwin,2001).

2.1.6 Manifestasi Klinis Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah
yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan
pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).Individu yang
menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun.
Gejala timbuljika adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas
sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan.
Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia dan
azetoma (peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin. Keterlibatan
pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik
transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
(hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma, 2004).

Crowin (2001) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul


setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun, berupa: nyeri kepala saat
terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan
darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,
nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi, yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002).
2.1.7 Komplikasi Hipertensi
Menurut (Ardiansyah, 2012) Tekanan darah yang terus-menerus tinggi dan
tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi pada organ-organ tubuh yaitu
sebagai berikut:
1. Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan tinggi diotak atau
akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak, stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronis apabila arteri –arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya menjadi berkurang. Arteri –arteri otak yang mengalami
arterosklerosis dapat melemah, sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknyaa aneurisma.
2. Infark miokardium dapat juga terjadi apalagi arteri koroner yang
menglami aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup ogsigen ke
miokardium dan apabila terbentuk thrombus yang dapat menghambat
aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.Karena terjadi hipertensi
kronik dan hipertrofi ventrikel maka kebutuhan oksigen miokardium tidak
dapat dipenuhi dan dapat dipenuhi dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark.
3. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi
pada kapiler-kapiler glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus darah akan
mengalir ke unit fungsional ginjal, neuron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membrane
glomerulus protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang, hal ini menyebabkan edema yang sering
dijumpai pada hipertensi kronik.
4. Ensafalopati (Kerusakan Otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi
akibat kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan kedalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf
akibatnya neuronneuron disekitarnya menjadi menjadi kolaps dan terjadi
koma serta kematian (Gunawan, 2001).

2.1.8 Penatalaksanaan Hipertensi


1. Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor
risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :

a. Mengatasi obesitas atau menurunkan kelebihan berat badan obesitas


bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi
pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
sesorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).
Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan
berat badan (Depkes, 2006). Beberapa studi menunjukkan bahwa
seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan
hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi
(Rahajeng, 2009).

b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh. Nasehat pengurangan


garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan
asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai
dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak
(Depkes, 2006b ).

c. Ciptakan keadaan rileks berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga


atau hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan
tekanan darah (Depkes, 2006b ).

d. Melakukan olahraga teratur Berolahraga seperti senam aerobik atau


jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali dalam seminggu,
diharapkan dapat menambah kebugaran dan memperbaiki
metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah (Depkes,
2006 ).

e. Berhenti merokok Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh


darah sehingga dapat memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun
seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok
yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak jaringan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses arterosklerosis dan
peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat meningkatkan denyut
jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri. Tidak ada cara yang
benar-benar efektif untuk memberhentikan kebiasaan merokok.

Beberapa metode yang secara umum dicoba adalah sebagai berikut :

1. Insiatif sendiri Banyak perokok menghentikan kebiasaannya atas


inisiatif sendiri, tidak memakai pertolongan pihak luar, inisiatif
sendiri.

2. Menggunakan permen yang mengandung nikotin Kecanduan


nikotin membuat perokok sulit meninggalkan merokok. Permen
nikotin mengandung nikotin untuk mengurangi penggunaan rokok.
Di negara-negara tertentu permen ini diperoleh dengan resep
dokter. Ada jangka waktu tertentu untuk menggunakan permen ini.
Selama menggunakan permen ini penderita dilarang merokok.
Dengan demikian, diharapkan perokok sudah berhenti merokok
secara total sesuai jangka waktu yang ditentukan (Depkes, 2006).

3. Kelompok program Beberapa orang mendapatkan manfaat dari


dukungan kelompok untuk dapat berhenti merokok. Para anggota
kelompok dapat saling memberi nasihat dan dukungan. Program
yang demikian banyak yang berhasil, tetapi biaya dan waktu yang
diperlukan untuk menghadiri rapat-rapat seringkali membuat
enggan bergabung (Depkes, 2006).

f. Mengurangi komsumsi alkohol Hindari komsumsi alkohol berlebihan


laki-laki : tidak lebih dari 2 gelas per hari, wanita : tidak lebih dari 1
gelas per hari.

2. Terapi Farmakologis Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk


mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi
dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas
hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa
kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya
mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan perjalanan terapi.
Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan
penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa
prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :

a. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab


hipertensi.

b. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan


tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurang
timbulnya komplikasi.

c. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat


antihipertensi.

d. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan


pengobatan seumur hidup. Dikenal 5 kelompok obat lini pertama
(first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan awal
hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-
blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE- 30
inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor
Blocker, ARB) dan antagonis kalsium. Pada JNC VII, penyekat
reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak dimasukkan dalam
kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya
termasuk lini pertama. Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat
yang dianggap lini kedua yaitu: penghambat saraf adrenergik, agonis
α-2 sentral dan vasodilator (Nafrialdi, 2009).

2.2 Program Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain (KM2H2)
2.2.1 Definisi Program Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain
(KM2H2)

Program Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain (KM2H2)


dikembangkan untuk pasien dengan hipertensi untuk melakukan aktivitas
fisik. Program bertujuan untuk mendorong dan memantau kemajuan
intervensi secara bertahapdari pra-kontemplasi, hingga kontemplasi,
persiapan, tindakan, dan pemeliharaan(Gong, et al, 2018).

KM2H2 mencapai efek jangka panjang, strategi intervensi berbasis kelompok


digunakan dengan bimbingan teori modal sosial dengan sesi berbasis
kelompok yang disampaikan di masyarakat, KM2H2 memberi peluang bagi
para pesertauntuk mengembangkan dan meningkatkan dukungan sosial dan
emosional untuk inisiasi aktivitas fisik dan pemeliharaan. Intervensi KM2H2
dan pengukurannya aktivitas fisik dilakukan melalui serangkaian uji coba
(Gong, et al, 2018).

2.2.2 Manfaat Program Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain
(KM2H2)
Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain (KM2H2) untuk mendorong
aktivitas fisik di antara pasien CBHCP yaitu suatu program pengendalian
hipertensi berbasis masyarakat. Program intervensi pengendalian di antara
pasien hipertensi senior yang menerima perawatan pencegahan berbasis
komunitas standar. Efektivitas intervensi diukur terutama sebagai
pengurangan kejadian stroke dan serangan jantung, kedua dengan
pengurangan tekanan darah, dan ketiga dengan peningkatan tingkat aktivitas
fisik.Efek KM2H2 cukup besar dalam mengurangi risiko serangan jantung dan
stroke.

2.2.3 Prosedur Program Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain
(KM2H2)
Program Keep Moving to Healthy Heart & Healthy Brain (KM2H2)terdiri dari
enam sesi, ditambah dua sesi booster. Enam sesi intervensi telah
disampaikansetiap minggu selama enam minggu pertama, termasukdua sesi
kelompok (Sesi I dan II), dua sesi konseling individu (Sesi III dan V), dan dua
pertemuan kelompok (Sesi IV dan VI). Dengan inisesi intervensi terencana,
peserta diharapkanuntuk bergerak melintasi lima tahap Transtheoretical
Model. Transtheoretical Model adalah perubahan perilaku atas kesiapan
individu untuk memiliki tindakan yang lebih sehat, memberikan strategi, atau
proses perubahan untuk memandu individu untuk berperilaku sehat melalui
tahapan perubahan dan pemeliharaan kesehatan. Asumsi dasar model ini
adalah pada dasarnya individu tidak dapat merubah perilaku dalam waktu
yang singkat, terutama pada perilaku yang menjadi kebiasaan sehari-hari.
Terdapat lima tahapan menuju perubahan bagi individu: Pre-
contemplation(tidak siap), Contemplation(mendapatkansiap), Preparation
(persiapan), Action (aksi), dan Maintanance (pemeliharaan) untuk terlibat
dalam aktivitas fisik yang terdaftar. Berikut sesi program KM2H2 :
1. Precontemplation dan Contemplation terdiri dari 2 sesi :
a. Sesi I mencakup pengetahuan dasar tentang hipertensi, faktor risiko,
dan self management tekanan darah. Sesi I tersebut diisi dengan
kegiatan ceramah kelompok dalam memahami tekanan darah tinggi
dengan tema ceramah pengetahuan dasar tentang hipertensi dalam
waktu 45-60 menit.
b. Sesi II berfokus pada pelatihan keterampilan,termasuk konsep dan
jenis aktivitas fisik, metode dan keterampilan untuk mencapai aktivitas
fisik reguler, dan tindakan pengamanan untuk olahraga. Peserta juga
diminta untuk mengidentifikasi hambatan yang mungkin bisa dicegah
mereka terlibat dalam kegiatan fisik. Sesi II tersebut dilakukan dengan
ceramah kelompok untuk membahas pengendelian tekanan darah
melalui aktivitas fisik dengan tema konsep dan jenis aktivitas fisik
regular metode dan keterampilan untuk mencapai aktivitas fisik
regular dan langkah-langkah keselamatan selama latihan dengan waktu
45-60 menit
Kedua sesi disampaikan di puskesmas oleh dokter medis. Keduanya sesi
ceramah bertujuan untuk membantu peserta dalam mengevaluasi pro dan
kontra mengenai aktivitas fisik dan diharapkan terciptanya perilaku
positif. Setelah dua sesi ceramah, para peserta dimotivasi untuk membuat
rencana aktivitas fisik hal ini berguna untuk membantu peserta individu
dalam mempersiapkan dan memulai aktivitas fisik reguler, konseling
telepon antar individu diberikan pada minggu ketiga, diikuti oleh sesi
pertemuan kelompok kecil di minggu keempat.

2. Preparation terdiri dari 2 sesi :


a. Sesi III yaitu konseling personal dan konseling aktivitas fisik individu
dengan tema saran pribadi untuk menghilangkan hambatan dalam
menjlani aktivitas fisik. Dilakukan dalam waktu 10-20 menit.
Teleponkonseling disampaikan oleh dokter terlatihuntuk memecahkan
masalah yang diidentifikasi melalui dua sesi pertamayang mungkin
mencegah keterlibatan pesertadalam aktivitas fisik.
b. Sesi IV yaitu pertemuan kelompok kecil (8-10pasien per kelompok)
dilakukan dalam waktu 45-60 menit untuk pertukaran pengalaman
dalam melakukan latihan fisik diinisiasi dan diawasi oleh dokter atau
perawat terlatih di bidang kesehatan masyarakat pusat. Masing-masing
kelompok memilih seorang pemimpin kelompok oleh semua peserta
kelompok untuk mengkoordinasikan perlengkapan yang dibutuhkan
dalam kegiatan. Melalui kegiatan kelompok, peserta diharapkan bisa
membangun kepercayaan, berbagi pengalaman sukses dan pelajaran
dalam melakukan aktivitas fisik, keamanan, dan mengatasi hambatan
dalam melakukan aktivitas fisik.Peserta berkomunikasi satu sama lain
untuk membangun persahaban yang erat dan membangun dukungan
sosial.
3. Action terdiri dari 2 sesi :
a. Sesi V dilakukan pada minggu kelima, sesi ini mencakup konseling
telepon individu seperti di sesi sebelumnya yaitu sesi III. Sesi V lebih
berfokus dalam menghilangkan hambatan baruyang mungkin
mencegah keterlibatan peserta dalam melakukan aktivitas fisik terus
menerus dan dilakukan dalam waktu 10-20 menit.
b. Sesi VI dilakukan pada minggu keenam yaitu dengan pertemuan
kelompok kedua seperti sesi IV sebelumnya. Pertukaran pengalaman
tersebut bertujuan untuk memperkuat interaksi sosial para peserta
untuk mendukungefek intervensi jangka panjang dan mempertahankan
kebiasaan dalam melakukan aktivitas fisik. Sesi VI dilakukan dalam
waktu 45-60 menit.
4. Mintanance terdiri dari 2 sesi :

Tujuan KM2H2 adalah untuk membangun gaya hidup aktif yang baru
sehingga ditambahkan dua sesi booster meliputi perawatan perilaku
jangka panjang, termasuk teleponsesi konseling satu lawan satu pada
minggu ke-14 dan diikuti oleh sesi pertemuan kelompok pada minggu ke-
15.

a. Booster I merupakan pengulangan dari sesi III dn berfokus pada


hambatan yang baru. Booster I dilakukan pada minggu ke-14 dalam
bentuk pertemuan kelompok dan pertukaran pengalaman mengenai
latihan aktivitas fisik selama 10-20 menit.

b. Booster II merupakan pengulangan dari sesi IV dan memperkuat


dukungan sosial melalui hubungan antar peserta. Booster II dilakukan
pada minggu ke-15 dengan kelompok kecil (8-10pasien per kelompok)
selama 45-60 menit.
BAB III
RINGKASAN JURNAL

Judul Jurnal: “Efficacy of a Community-Based PhysicalActivity Program KM2H2


for Stroke and HeartAttack Prevention among SeniorHypertensive Patients: A
Cluster RandomizedControlled Phase-II Trial”

Ringkasan:
Hipertensi menjadi masalah kesehatan yang cukup serius di China. Strategi
pencegahan yang efektif sangat diperlukan untuk mencegah konskuensi dan kematian
yang berhubungan dengan hipertensi seperti serangan jantung dan stroke. Modifikasi
gaya hidup terutama aktivitas fisik telah lama diketahui menjadi strategi yang efektif
untuk pencegahan primer dan sekunder hipertensi. Menjadi sebuah tantangan untuk
memotivasi orang-orang untuk mau berpartisipasi melakukan aktivitas fisik di tatanan
komunitas. Tantangan ini lebih berat pada lansia yang menderita hipertensi
dikarenakan berbagai masalah intrapersonal dan sosial. Pencegahan serangan jantung
dan stroke pada penderita hipertensi menjadi prioritas utama di China. Pusat CDC
Wuhan dan pemerintah China telah mengeluarkan program kontrol terhadap
hipertensi yang berbasis komunitas (CBHCP) pada tahun 2006 dan mengcover 114
puskesmas di China. Program tersebut belum menyertakan perubahan gaya hidup
termasuk aktivitas fisik. Untuk mencapai kebutuhan pencegahan sekunder hipertensi,
peneliti mengembangkan program Keep Moving toward Healthy Heart & Healthy
Brain (KM2H2) untuk meningkatkan aktivitas fisik pada pasien CBHCP. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi program aktivitas fisik berbasis
komunitas KM2H2 untuk mencegah serangan jantung dan stroke pada pasien lanjut
usia yang mengalami hipertensi melalui indikator kejadian serangan jantung dan
stroke, penurunan tekanan darah serta peningkatan aktivitas fisik.

Penelitian ini merupakan studi longitudinal dua lengan secara acak dan terkontrol
untuk menilai efikasi KM2H2. Sampel diambil 12 puskesmas yang berlokasi di 6
daerah urban yang dipilih secara acak untuk mengikuti program KM2H2 dan
perawatan biasa. Sampel penelitian merupakan pasien hipertensi yang mengikuti
CBHCP dari 20 April-28 November 2011 dan memenuhi 5 kriteria inklusi yaitu (1)
usia 55 tahun atau lebih, (2) didiagnosa hipertensi oleh dokter sesuai prosedur
standar, (3) sedang dalam pengobatan antihipertensi, (4) bersedia mengikuti
intervensi dan (5) aman untuk mengikuti aktivitas sedang hingga berat. Kriteria
ekslusi sampel penelitian yaitu (1) gagal tes kesiapan mengikuti aktivitas fisik, (2)
tidak mampu menyelesaikan intervensi karena keterbatasan fisik atau mental, (3)
menderita penyakit lain, (4) ekg abnormal. Sampel penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi 355 pasien (183 kelompok perlakuan dan 172 kelompok kontrol).
Kelompok perlakuan diberikan intervensi berupa KM2H2 dan perawatan standar
CBHCP sedangkan kelompok kontrol hanya mendapatkan perawatan standar
CBHCP.

Intervensi KM2H2 terdiri dari 6 sesi dan 2 sesi booster yang meliputi 2 sesi lecture, 2
sesi konseling telepon dan dua pertemuan kelompok. Setiap sesi dilakukan setiap
minggunya. Sesi I diberikan pengetahuan mengenai tekanan darah tinggi selama 45-
60 menit. sesi II diberikan pengetahuan tentang rahasia pengontrolan tekanan darah
melalui aktivitas fisik selama 45-60 menit. Sesi III diberikan konseling mengenai
aktivitas fisik individu melalui telepon selama 10-20 menit setiap sampel. Sesi IV
merupakan pertemuan kelompok untuk bertukar pengalaman tentang cara sukses
latihan fisik yang diikuti 8-10 partisipan selama 45-60 menit. Sesi V merupakan sesi
konseling melalui telepon seperti sesi III dan sesi VI merupakan pertemuan kelompok
sama seperti sesi IV. Setelah dilakukan intervensi, dilakukan follow-up 3 bulan.
Selanjutnya dilakukan sesi booster yang terdiri dari satu sesi konseling telepon dan
satu sesi pertemuan kelompok. Intervensi diberikan oleh 35 intervensioner yang
sudah terlatih dan lulus ujian. Perawatan standar CBHCP terdiri dari pengobatan
antihipertensi, follow-up pengecekan secara rutin, konseling di puskesmas atau rumah
pasien dan pengecekan oleh pasien sendiri.
Data dikumpulkan dengan cara wawancara oleh staf terlatih menggunakan
Community-Based Hypertension Self-Management Questionnaire dengan 3 variabel
yang dikaji antara lain kejadian serangan jantung dan stroke selama penelitian
dilakukan sebagai hasil primer, tekanan darah (sistole dan diastole) yang diukur
sesuai standar AHA menggunakan spignomanometer raksa sebagai hasil sekunder,
serta stase transisi partisipan menuju aktif secara fisik (dari tidak aktif menjadi aktif
dan yang aktif tetap mempertahankannya) dan tingkat aktivitas fisik partisipan
sebagai hasil tersier. Follow-up hasil intervensi dilakukan setelah 3 bulan dan 6
bulan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara


kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol pada variabel stase
transisi partisipan untuk menjadi aktif pada follow-up ke-3 bulan (p<0,001) dan 6
bulan (p<0,01) setelah intervensi. Pada variabel tingkat aktivitas fisik, juga
menunjukan bahwa peningkatan aktivitas fisik kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah 3 bulan dan 6 bulan follow-up. Pada
variabel tekanan darah, hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata penurunan
tekanan darah pada kelompok perlakuaan lebih besar dibandingkan dengan kelompok
kontrol pada 3 bulan dan 6 follow up. Kejadian serangan jantung dan stroke pada
kelompok perlakuan juga lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol
selama 3 bulan dan 6 bulan follow-up intervensi. Dari hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa program aktivitas fisik berbasis komunitas KM2H2 memiliki
efikasi yang baik untuk mencegah angka kejadian serangan jantung dan stroke pada
pasien lansia dengan hipertensi.
BAB IV
ANALISIS JURNAL

4. 1 Analisis SWOT
1. Strength (S)
a. Keep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2)
merupakan suatu program berbasis komunitas yang dirancang untuk
memotivasi pasien dengan hipertensi dalam meningkatkan aktivitas fisik
sehari-hari. Program ini terdiri dari enam sesi intervensi dan dua sesi
booster. Keenam sesi tersebut meliputi dua ceramah, dua sesi konsultasi
telepon dan dua pertemuan kelompok. Program Keep Moving toward
Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2) terbukti secara signifikan dapat
meningkatkan aktivitas fisik pada penderita hipertensi seperti jogging,
bersepeda, berenang, mengepel lantai dan membersihkan rumah
b. Aktivitas fisik adalah suatu gerakan tubuh oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya yang memerlukan pengeluaran energi. Kurangnya aktivitas
fisik dapat menjadi salah satu faktor risiko timbulnya penyakit kronis seperti
hipertensi, stroke, diabetes mellitus dan serangan jantung. Keep Moving
toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2) adalah suatu program
yang terbukti dapat memotivasi pasien dengan hipertensi untuk melakukan
aktivitas fisik. Peningkatan aktivitas fisik juga memiliki dampak yang
signifikan terhadap penurunan tekanan darah sistolik maupun tekanan darah
diastolik.
c. Penyakit Kronis salah satunya hipertensi dapat ditatalaksana dengan
melakukan perubahan gaya hidup berupa perubahan pola makan maupun
peningkatan aktivitas fisik. Selain dapat meningkatkan aktivitas fisik dan
mengurangi tekanan darah sistolik maupun diastolik, program Keep Moving
toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2) juga terbukti secara
signifikan dapat mengurangi risiko serangan jantung dan stroke pada pasien
hipertensi.
d. Keep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2)
merupakan suatu program berbasis komunitas yang terdiri dari enam sesi
intervensi dan dua sesi booster. Selain dapat memotivasi pasien hipertensi
untuk melakukan aktivitas fisik, program ini juga dirancang untuk
meningkatkan pengetahuan klien mengenai hipertensi dan pengetahuan
mengenai aktivitas fisik reguler dan moderat.

2. Weakness (W)
a. Keep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2)
merupakan suatu program motivasi yang harus diberikan oleh seorang
trainer/intervensionis terlatih serta lulus uji kualifikasi. Semua
intervensionis menerima pelatihan penuh selama satu minggu dan pada hari
kelima semua peserta pelatihan diminta mengikuti ujian kualifikasi. Satu
hari pelatihan ditambahakan untuk konseling telepon. Semua
trainer/intervensionis harus berpartisipasi dalam dua pelatihan tersebut dan
lulus uji kualifikasi sebelum melakukan program KM2H2.
b. Keep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2) mungkin
menjadi salah satu pilihan terapi yang mempunyai pengaruh signifikan pada
sebagian besar orang/komunitas tetapi tidak semua orang. Keberhasilan
program intervensiKeep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain
(KM2H2) ini tergantung dari kepatuhan klien dalam menghadiri kegiatan
intervensi seperti ceramah, konseling telepon dan pertemuan kelompok serta
keinginan klien berpartisipasi dalam melakukan aktivitas fisik.

3. Opportunity (O)
a. Keep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2) adalah
salah satu terapi yang dapat diterapkan pada semua jenis hipertensi dan
semua kalangan orang tanpa memandang jenis kelamin, usia maupun status
sosial.
b. Keep Moving toward Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2)
merupakan salah satu terapi yang cukup efektif diterapkan di komunitas dan
cukup banyak dicari masyarakat karena merupakan terapi yang terjangkau
dan mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari

4. Treath (T)
a. Adaprogram lain yang juga mudah diaplikasikan untuk memotivasi klien
dalam melakukan aktivitas fisik seperti program peer group ataupemberian
motivasi langsung oleh seorang motivator.

4.2 Implikasi Keperawatan

Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa Program Keep Moving toward
Healthy Heart and Healthy Brain (KM2H2) telah terbukti secara signifikan
dapat meningkatkan aktivitas fisik pada penderita hipertensi. Selain itu
program ini telah terbukti dapat memotivasi pasien dengan hipertensi untuk
melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap penurunan baik tekanan darah sistolik dan diastolik, peningkatan
dukungan sosial dan untuk peningkatan kepercayaan diri, maka kegiatan
aktivitas fisik berbasis komunitas ini kemungkinan dapat diterapkan pada
lansia yang memiliki masalah hipertensi mengingat caranya tidak memerlukan
biaya serta intervensi ini dapat dilakukan oleh lansia sendiri. Selain itu, dari
beberapa penelitian terkait program motivasi latihan aktivitas fisik merupakan
metode yang efektif, sesuai dan dapat diterima untuk menangani masalah
perilaku pada lansia serta sebagai standar mengukur pencegahan sekunder
hipertensi, termasuk pencegahan serangan jantung dan stroke.

Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Van Dinh Tran,
Andy H. Lee, Jonine Jancey, Anthony P. James, Peter Howat dan Le Thi
Phuong Mai (2017) dengan judul “Physical activity and nutrition behavior
outcomes of a cluster-randomized controlled trial for adults with metabolic
syndrome in Vietnam”. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
keefektifan intervensi gaya hidup berbasis komunitas untuk meningkatkan
aktivitas fisik pada pasien dengan sindrom metabolik. Penelitian ini
dilakukan dengan pembagian dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan
kelompok intervensi yang menerima motivasi promosi kesehatan dengan
ceramah, buklet, latihan aktivitas fisik. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terjadi perubahan yang signifikan intervensi berbasis komunitas pada
kelompok intervensi yaitu motivasi promosi kesehatan berbasis komunitas
efektif memperbaiki aktivitas fisik dan prilaku diet lansia dengan sindrom
metabolik dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Zahra Motlagh, Alireza Hidarnia,


Mohamad Hosain Kaveh, dan Javad Kojuri (2017) dengan judul “Influence of
a Trans-Theoretical Model Based Intervention on Physical Activity in
Hypertensive Patients: A Randomised Clinical Trial”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi pengaruh model berbasis trans- teoritis berdasarkan
aktivitas fisik (berjalan) pada pasien hipertensi. Penelitian ini dilakukan pra
intervensi selama 3 bulan dan pasca intervensi dilakukan selama 6 bulan
dimana penelitian ini adalah memberikan motivasi kepada lansia melalui
pengajaran menggunakan video dan pemberian edukasi (ceramah) mengenai
tahap aktivitas fisik, durasi dan intensitas berjalan untuk meningkatkan
kepercayaan diri lansia terhadap hipertensi. Hasil penelitian ini tersebut
menunjukkan bahwa intervensi berbasis model trans-teoritis pada pasien
hipertensi memainkan peran penting dalamkomitmen individu untuk
berpartisipasi dalam aktivitas fisik.

Penelitian lain yang mendukung juga dilakukan olehNicola Small, Christian


Blickem, Tom Blakeman, Maria Panagioti, Carolyn A Chew-Graham dan
Peter Bower ( 2013) dengan judul “Telephone based self-management
support by‘lay health workers’ and ‘peer support workers’to prevent and
manage vascular diseases:a systematic review and meta-analysis”. Penelitian
ini bertujuan untuk menilai mengetahui efektivitas intervensi motivasi diri
oleh telepon yang dipimpin pekerja kesehatan dan dukungan teman
sebayauntuk pasien dengan penyakit vaskular dan kondisi jangka panjang
yang terkait dengan penyakit vaskular.Percakapan melalui telepon melibatkan
berbagai jenis dukungan untuk pengelolaan diri, termasuk:dukungan
informasi (informasi tentang swadayajasa), dukungan emosional (simpati,
empati, perhatian)dan dukungan penilaian terhadap diri sendiri. Dalam
penelitian ini selain menggunakan telepon, terdapat sesi dukungan kelompok
dengan tatap muka terhadap teman sebaya. Hasil penelitian ini dukungan
telepon dengan sesi konseling professional, melaporkan dampak signifikan
terhadap pengelolaan diri, perilaku manajemen mandiritermasuk minum obat,
berpartisipasi dalam program rehabilitasi jantung, serta peningkatan aktivitas
fisik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Hipertensi


adalah keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas
normal atau kronis dalam waktu yang lama (Saraswati, 2009).Komplikasi
hipertensi seperti stroke dan serangan jantung sangat besar peluangnya untuk
dapat dicegah. Pengobatan antihipertensif merupakan salah satu pencegahan
sekunder yang sangat direkomendasikan dan secara luas telah digunakan untuk
mencegah stroke dan serangan jantung pada penderita hipertensi (James et al.,
2014). Pencegahan sekunder hipertensi yaitu dengan programKeep Moving
toward Healthy Heart & Healthy Brain (KM2H2) untuk mencegah serangan
jantung dan stroke pada pasien lanjut usia yang mengalami hipertensi melalui
indikator kejadian serangan jantung dan stroke, penurunan tekanan darah serta
peningkatan aktivitas fisik.Program Keep Moving toward Healthy Heart and
Healthy Brain (KM2H2) terbukti secara signifikan dapat meningkatkan aktivitas
fisik pada penderita hipertensi seperti jogging, bersepeda, berenang, mengepel
lantai dan membersihkan rumah.

5.2 Saran

a. Penelitian ini disarankan untuk digunakan sebagai salah satu refrensi dalam
keperawatan komunitas terhadap pencegahan stroke dan serangan jantung
pada pasien hipertensi.
b. Penelitian ini juga disarankan untuk dilakukan pada masyarakat khususnya
pada pasien lanjut usia yang mengalami hipertensi untuk mencegah serangan
jantung dan stroke.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC)


Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Gong, J., Chen, X., dan Li, S. (2015). Efficacy of a community-based physical
activity program KM2H2 for stroke and heart attack prevention among senior
hypertensive patients: A cluster randomized controlled phase-II trial. PloS
one, 10(10), e0139442.

James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Dennison-Himmelfarb, C.,
Handler, J., . . . Ortiz, E. (2014). 2014 Evidence-based guideline for the
management of high blood pressure in adult: Report from the panel members
appointed to eighth joint national comitte (JNC 8). The Journal of the
American Medical Association. 2014; 311(5): 507-520.
Liu, L. (2012). Chinese Guidelines for The Management of Hypertension. Beijing,
China: People'sMedical Publishing House.
Darden, D., Richardson, C., dan Jackson, E.A. (2013). Physical activity and exercise
for secondary prevention among patients with cardiovascular disease. Curr
Cardiovasc Risk Rep, 7: 411–417.
CDC. (2011). Strategies to Prevent Obesity and Other Chronic Diseases: The CDC
Guide to Strategies to Increase Physical Activity in the Community. Atlanta:
U.S. Department of Health and Human Services.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementrian Kesehatan RI.
Saraswati, S. 2009. Diet Sehat Untuk Penyakit Asam Urat, Diabetes, Hipertensi, dan
Stroke. Jogjakarta: A + Plus.
WHO. (2011). Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010. Italy:
World Health Organization 2011 Reprinted 2011.
Hinkle, J.L. dan Cheever, K.H. (2013). Brunner & Suddarth’s textbook of medical
surgical nursing (Ed. 13). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Pty,
Limited.
Matheson, G. O., Klugl, M., Engebretsen, L., Bendiksen, F., Blair, S. N., Börjesson,
M., . . .Ljungqvist, A. (2013). Prevention and management of non-
communicable disease: The IOC consensus statement, lausanne 2013. British
Journal of Sports Medicine, 47(16), 1003.
NIH. (2007). Physical Activity and Weight Control. US: U.S. Departement of Health
and Human Service.
Lee, I.M., Shiroma, E.J., Lobelo, F., Puska, P., Blair, S.N., dan Katzmarzyk, P.T.
(2012). Effect of physical inactivity on major non-communicable diseases
worldwide: An analysis of burden of disease and life expectancy. Lancet,
380:219–29.
Rogge, J. (2011). High-level meeting of the UN General Assembly on the Prevention
and Control of Non-communicable Diseases: Statement by Dr. Jacques
Rogge, President of the IOC. New York: United Nations.

Anda mungkin juga menyukai