Anda di halaman 1dari 8

Sistem Klasifikasi dalam Sejarah Perkembangan Taksonomi Tumbuhan

Perbedaan dasar yang digunakan dalam mengadakan klasifikasi tumbuhan tentu saja
memberikan hasil klasifikasi yang berbeda-beda pula, yang dari masa ke masa menyebabkan
lahirnya sistem klasifikasi yang berlainan.

Mengingat tingkat peradabannya, manusia yang pertama-tama melakukan kegiatan dalam


bidang taksonomi tumbuhan, dalam hal ini kegiatan klasifikasi, tentulah cara memilah-
milahkan dan mengelompokkan tumbuhan hanya didasarkan atas kesamaan ciri-ciri yang
langsung ada kaitannya dengan kehidupan manusia, misalnya manfaatnya, yang
menghasilkan kelompok tumbuhan penghasil bahan pangan, penghasil bahan sandang,
penghasil obat-obatan dan seterusnya. Selanjutnya berdasar ciri-ciri lain yang mudah dilihat,
yang dapat diamati dengan mata bugil saja, misalnya perawakan (habitus) tumbuhan.
Tumbuhan yang tinggi besar dan berumur panjang, dikelompokan menjadi suatu golongan
yang disebut_pohon (arbor) yang lebih kecil dijadikan golongan lain yang disebut semak
(frutex) dan yang kecil-kecil berumur pendek dijadikan golongan terna (herba).

Sesuai dengan kemajuan peradaban serta perkembangan ilmu dan teknologi, ciri-ciri pada
tumbuhan yang pada mulanya tak dapat diamati (tidak tampak) dan oleh karena itu tidak
dipertimbangkan untuk dijadikan dasar dalarn mengadakan klasifikasi, seperti ciri-ciri
anatomi, kandungan zat-zat kimia dan lain-lain kemudian pun memperoleh perhatian untuk
digunakan sebagai dasar dalam mengadakan klasifikasi. Demikian pula ciri-ciri yang baru
kemudian terungkapkan sebagai hasil studi bidang ilmu yang lain, seperti morfologi, anatomi,
fisiologi, palaeobotani, genetika, geografi tumbuhan dan lain-lain. Tentang keterkaitan
taksonomi turrnbuhan dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lain, akan diberikan uraian
yang lebih luas dalam bab lain.

Sampai sekarang dalam dunia taksonomi tumbuhan dikenal berbagai sistem klasifikasi,yang
masing-masing diberi nama menurut tujuan yang ingin dicapai atau_dasar utama yang
merupakan landasan dilakukannya pengklasifikasian. Sistem klasifikasi yang bertujuan
praktis dengan tekanan utama pada tercapainya tujuan penyederhanaan obyek studi dalam
bentuk suatu ikhtisar ringkas seluruh tumbuhan sering kali disebut system buatan atau sistem
artifisial. Semua sistem klasifikasi yang diciptakan pada awal perkembangan ilmu taksonomi
tumbuhan sampai kira-kira pertengahan abad ke-19 yang lalu dapat dikualifikasikan sebagai
sistem buatan. Dengan keterlibatan ilmu-ilmu lain dalam taksonomi tumbuhan muncul
kemudian lain-lain sistem klasifikasi yang tidak hanya bertujuan diperolehnya
penyederhanaan obyek studi, tetapi juga misalnya untuk mencerminkan apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh alam, yang sistem klasifikasinya pun disebut system alam.

Setelah lahirnya teori evolusi muncul, sistem filogenetik, yang mencita-citakan tercerminnya
jauh dekatnya hubungan kekerabatan antara golongan tumbuhan yang satu dengan yang lain
serta urut-urutannya dalam sejarah perkembangan filogenetik tumbuhan.

Kemajuan dalam ilmu kimia semakin lebih banyak dapat mengungkap zat-zat apa saja yang
terkandung dalam tubuh tumbuhan atau organ-organnya, yang menyebabkan timbulnya usul
agar klasifikasi tumbuhan didasarkan pula atas kesamaan atau kekerabatan zat-zat kimia yang
terkandung di dalamnya. lnilah yang merupakan awal dan landasan bagi mereka yang
mendambakan sistem klasifikasi yang menuju ke terciptanya suatu aliran atau cabang dalam
taksonomi tumbuhan yang disebut kemotaksonomi.

Belakangan ini dengan berhasilnya teknologi canggih untuk menghasilkan alat serbaguna
yang kita kenal dengan nama komputer, yang telah mendapatkan tempat untuk digunakan
dalam berbagai bidang ilmu, ternyata taksonomi tumbuhan pun tidak bisa luput dari pengaruh
alat yang canggih ini. Dalam taksonomi tumbuhan sejak beberapa waktu yang lalu telah
berkembang suatu aliran yang dikenal sebagai taksimetri atau taksonometri yang berusaha
untuk menentukan jauh dekatnya hubungan kekerabatan antara dua takson tumbuhan melalui
sistem pemberian nilai untuk kemiringan yang terdapat pada organ yang sama pada dua
kelompok tumbuhan yang berbeda dan kemudian dengan penerapan analisis kelompok
(cluster analysis) dibentuk kelompok-kelompok untuk menggambarkan jauh dekatnya
hubungan kekerabatan di antara anggota-anggota kelompok.

Dalam garis besarnya, perkembangan sistem klasifikasi dari masa ke masa adalah sebagai
berikut:

1. Periode tertua, yang dalam periode itu secara formal belum dikenal adanya sistem
klasifikasi yang diakui (sejak ada kegiatan dalam taksonomi sampai kira-kira abad ke-4
sebelum Masehi).
Mengingat, bahwa sejak semula kehidupan manusia bergantung pada bahan-bahan yang
berasal dari tumbuhan, tidaklah berlebihan kiranya bila seperti telah disebutkan, manusia
sejak dahulu kala telah melakukan kegiatan-kegiatan yang termasuk lingkup taksonomi,
seperti mengenali dan memilah-milah tumbuhan yang mana yang berguna baginya dan
yang mana yang tidak, termasuk pemberian nama, sehingga apa yang ditemukan dapat
dikomunikasikan kepada pihak lain. Dalam zaman pra sejarah orang telah mengenal
tumbuh-tumbuhan penghasil bahan pangan yang penting seperti yang kita kenal sampai
sekarang. Jenis-jenis tumbuhan itu diperkirakan telah dikenal sejak 7 sampai 10 ribu
tahun yang lalu, telah dibudidayakan oleh bangsa Mesir. Tidak hanya bangsa Mesir yang
menempati lembah Sungai Nil bagian hilir di Afrika, tetapi juga bangsa Cina di Asia
Timur, bangsa Asiria di lembah Sungai Efrat dan Tigris di Timur Tengah, dan bangsa-
bangsa Indian di Amerika Utara dan Amerika Selatan, sejak beberapa ribu tahun yang
lalu telah mengenal berbagai jenis tumbuhan yang merupakan penghasil bahan pangan,
bahan sandang, dan bahan obat, yang berarti bahwa sebenarnya mereka pun telah
menerapkan suatu sistem klasifikasi, dalam hal ini suatu sistem klasifikasi yang
didasarkan atas manfaat tumbuhan, sehingga tidak salah kiranya, bila periode ini kita
namakan periode sistem manfaat, yang dapat dianggap sebagai sistem buatan yang
tertua. Jelaslah, bahwa sejak berpuluh-puluh abad yang lalu orang telah terjun dalam
kegiatan-kegiatan taksonomi tumbuhan, walaupun pengetahuan yang telah mereka
kumpulkan belum begitu berarti, juga belum ditata, belum menunjukkan hubungan sebab
dan akibat, sehingga belum dapat disebut sebagai "ilmu pengetahuan" (science) menurut
ukuran sekarang.
Sekalipun tidak ada bukti-bukti konkrit yang berujud peninggalan-peninggalan yang
berupa dokumen-dokumen atau bentuk karya tulis lainnya, tidak perlu rasanya diragukan
lagi, bahwa sesuai dengan pernyataan Bloembergen, bahwa permulaan taksonomi
tumbuhan harus digali dari kedalaman sejarah peradaban manusia di bumi ini.

2. Periode Sistem Habitus, dari kira-kira abad ke-4 sebelum Masehi sampai abad ke-17.
Taksonomi tumbuhan sebagai ilmu pengetahuan baru dianggap dimulai dalam abad ke-4
sebelum Masehi oleh orang-orang Yunani yang dipelopori oleh Theophrastes*) (370-285
S.M.) murid seorang filsuf Yunani kenamaan Aristoteles. Aritstoteles sendiri adalah
murid filsuf Yunani yang mashur Plato.
Sistem klasifikasi yang diusulkan bangsa Yunani dengan Theophrastes sebagai
pelopornya juga diikuti oleh kaum herbalis**) serta ahli-ahli botani, dan nama itu terus
dipakai sampai selama lebih 10 abad. Pengklasifikasian tumbuhan terutama didasarkan
atas perawakan (habitus), yang golongan-golongan utamanya disebut dengan nama
pohon, perdu, semak, tumbuhan memanjat, dan terna. Sistem klasifikasi ini bersifat
dominan dari kira-kira abad ke-4 sebelum Masehi sampai melewati abad pertengahan,
dan selama periode ini ahli-ahli botani, herbalis, dan filsuf telah menciptakan sistem-
sistem klasifikasi yang pada umumnya masih bersifat kasar, narnun sering dinyatakan
telah mencerminkan adanya hubungan kekerabatan antar golongan yang terbentuk.
Theophrastes sendiri yang dianggap sebagai bapaknya Ilmu Tumbuhan, dalam karyanya
yang berjudul Historia Plantarum telah memperkenalkan dan memberikan deskripsinya
untuk sekitar 480 jenis tumbuhan. Dalam karya ini sistem klasifikasi yang diterapkan
oleh Theoprastes telah mencerminkan falsafah guru dan eyang gurunya (Aristoteles dan
Plato), yaitu suatu sistem klasifikasi tumbuhan yang berdasarkan bentuk dan tekstur.
Selain golongan-golongan pohon, perdu, semak, dan seterusnya seperti telah disebut di
atas, ia juga mengadakan pengelompokan menurut umur dan membedakan tumbuhan
berumur pendek (anual), tumbuhan berumur 2 tahun (bienial), serta tumbuhan berumur
panjang (perenial). Theophrastes telah pula dapat membedakan bunga majemuk yang
berbatas (centrifugal) dan yang tidak berbatas (centripetal), telah pula dapat
membedakan bunga dengan daun mahkota yang bebas (polipetal atau dialipetal) dan
yang berlekatan (gamopetal atau simpetal), bahkan ia telah dapat pula mengenali
perbedaan letak bakal buah yang tenggelam dan yang menumpang. Apa pun yang telah
dilakukan oleh Theophrastes, hasil klasifikasi tumbuhan yang ia ciptakan masih
dianggap nyata-nyata merupakan suatu sistem artifisial.
Selama periode sistem habitus yang cukup panjang ini dapat dikemukakan tokoh-tokoh
lain yang memainkan peran yang cukup penting dan dianggap telah memberikan saham
yang cukup besar dalam perkembangan taksonomi tumbuhan, antara lain dapat disebut:
DIOSCORIDES (50-?). Tokoh ini adalah seorang yang berkebangsaan Romawi dan
hidup dalam zaman pemerintahan Kaisar Nero dalam abad pertama sesudah Masehi.
Nama Dioscorides muncul setelah 4 abad sejak munculnya Theophrastes yang selama itu
tidak dikenal adanya tulisan-tulisan dalam bidang taksonomi tumbuhan yang dianggap
berarti.
Dioscorides yang rupa-rupanya tidak mengenal karya Theophrastes, menyatakan
pentingnya untuk pemberian candra atau deskripsi bagi setiap tumbuhan di samping
pemberian namanya. Dengan candra atau deskripsi orang akan dapat menggambarkan
tumbuhan yang dimaksud, dan dapat menggunakan candra itu untuk pengenalan
tumbuhan. Sistem klasifikasi yang diciptakan Dioscorides didasarkan atas manfaat dan.
sifat-sifat morfologi turnbuhan.
PLINIUS (23-79) hanya menghasilkan karya-karya yang merupakan kompilasi saja dari
karya-karya yang telah terbit sebelumnya yang ditambah dengan bahan-bahan dari
dongeng atau ceritera-ceritera, takhayul, dan kepercayaan-kepercayaan yang diwariskan
dari generasi ke generasi secara lisan di kalangan rakyat. Ia berpendapat, bahwa semua
tumbuhan di bumi ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Sistem klasikkasi
yang diikuti Plinius adalah sistemnya Dioscorides yang telah membedakan pohon-
pohonan, bangsa gandum, sayuran, tanaman obat-obatan, rumput-rumputan, dan
seterusnya.
Sampai lebih dari sepuluh abad karya-karya Dioscorides dan Plinius merupakan "kitab
suci" bagi para mahasiswa dan siapa saja yang belajar ilmu tumbuhan, dan orang
mengira, bahwa semua tumbuhan di bumi kita ini telah termuat dalam buku-buku kedua
tokoh tadi, yang sesungguhnya baru merupakan sebagian kecil saja, yaitu hanya tumbuh-
tumbuhan yang terdapat di sekitar Laut Tengah.
Sampai abad pertengahan boleh dikatakan tidak ada kemajuan yang berarti dalam
perkembangan taksonomi tumbuhan. Asas-asas lama tidak mengalami pembaharuan atau
tidak tampak muncul hasil-hasil yang baru. Karya-karya yang dihasilkan terbatas pada
penterjemahan pustaka-pustaka lama, dengan paling banyak disertai tafsiran-tafsiran
baru oleh para penterjemahnya sendiri.
Tokoh yang menonjol dalam masa itu adalah A. MAGNUS (1193-1280) yang antara lain
dianggap telah dapat membedakan Monocotyledoneae dari Dicotyledoneae atas dasar
sifat-sifat batangnya.
Menjelang abad ke-16 bangkit lagi perhatian terhadap ilmu tumbuhan yang akan
membawa perkembangan taksonomi ke arah yang lain. Gambar-gambar tumbuhan yang
dibuat semakin bermutu, keterangan-keterangan lebih lengkap, namun masih tercampur
dengan data-data mengenai penggunaannya.
Sistem klasifikasi yang diciptakan ahli-ahli taksonomi tumbuhan dalam masa itu tetap
merupakan sistem artifisial, yang didasarkan terutama atas sifat-sifat morfologi
tumbuhan, namun tidak terbatas pada perawakan saja, tetapi juga telah dilibatkan sifat-
sifat berbagai organ seperti buah, bunga, dan daun. Dari masa ini sebagian tokohnya
yang terkemuka telah muncul pula orang-orang yang berkebangsaan lain yang tinggal di
Eropa, seperti misalnya dari Jennan, Belgia, Negeri Belanda, dan lain-lain.
Dari sederetan nama-nama tokoh terkemuka dalam bidang taksonomi tumbuhan dari
masa itu dapat kita sebut antara lain:
O. BRUNFELS (1464-1534), yang tergolong dalam kaum herbalis, telah menghasilkan
karya tentang terna yang dihiasi gambar, yang sebagian besar merupakan bahan-bahan
kompilasi dari karya-karya Theophrastes, Dioscorides, dan Plinius. Sayang, buku itu
memuat banyak konsep-konsep yang keliru serta kekisruhan akibat dimasukkannya
berbagai informasi yang bersumber dari ceritera rakyat dan takhayul ("gugon tuhon").
Brunfels, yang berkebangsaan Jerman, semula adalah seorang biarawan, kemudian
menjadi kepala sekolah, pendeta, dan akhirnya seorang dokter, tercatat sebagai orang
pertama yang membedakan golongan Perfecti (tumbuhan yang menghasilkan bunga) dan
Imperfecti (tumbuhan yang tidak menghasilkan bunga).
Kaum herbalis terutama dianggap berjasa karena karya-karyanya yang dapat
dikualifikasikan sebagai Taksonomi deskriptif. Dalam golongan mereka ini nama-nama
yang patut diketengahkan adalah:
J. BOCK (1489-1554) (HIERONYMUS TRAGUS) adalah seorang herbalis, yang pernah
pula menjadi guru, pendeta, dan kemudian dokter yang mempunyai hobi ilmu tumbuhan.
Ia masih menggolongkan tumbuhan menjadi terna, semak, dan pohon, tetapi mengaku
telah berupaya untuk menempatkan tumbuhan yang menurut anggapannya sekerabat
dalam kategori yang sama.
L. FUCHS (1501-1566), kelahiran Bavaria (Jerman Barat), adalah seorang Guru Besar
dalam ilmu kedokteran di Tübingen, Jerman Barat, yang terkenal dengan karya-karyanya
dalam bidang ilmu tumbuhan yang tenar pada masanya.
R. DODONEUS (1516-1585), seorang dokter kelahiran Mechelen, Belgia. Pernah
menjelajahi Perancis, Jerman, dan Italia, dan menjadi dokter kota kelahirannya,
kemudian dokter pribadi Kaisar Maximilian II, akhirnya Guru Besar di Leiden Negeri
Belanda. Ia adalah penulis Het Cruyde boek yang pada masanya sangat mashur dan
berkali-kali dicetak ulang.
M. de L'OBEL (1538-1616), yang bila menulis, sering menggunakan namanya yang di
Latinkan menjadi LOBELIUS. Ia mengabdi kepada raja Inggris Jacobus I, dan menulis
buku ilmu tumbuhan bergambar yang sangat tenar pula pada masanya.
J. GERARD (1545-1612), berkebangsaan Inggris, pernah mengadakan perjalanan di
Denmark dan Rusia, pemilik sebuah kebun botani di London, dan penulis sebuah karya
besar tentang ilmu tumbuhan.
C. L'CLUSE (CLUSIUS) (1526-1609), berkebangsaan Belgia, dengan tujuan mendalami
botani telah menjelajahi sebagian besar benua Eropa, pernah mengabdi di lingkungan
kekaisaran di Wina di samping menjabat direktur Kebun Raya di Schonbrunn (Wina),
sejak 1593 menjadi Guru Besar di Leiden (Negeri Belanda) sampai ajalnya. Ia
menghasilkan sejumlah besar karya dalam bidang ilmu tumbuhan.
Banyak di antara kaum herbalis yang namanya diabadikan sebagai nama tumbuhan.
Perhatikan misalnya nama-nama suku: Gesneriaceae, Lobeliaceae, Clusiaceae, dan
nama-nama marga: Fuchsia, Gesneria, Lobelia, Gerardia, Clusia, dan lain-lain. Mulai
berakhirnya abad ke-16, di samping tujuan praktis untuk penyederhanaan obyek studi
yang berupa ikhtisar ringkas dari dunia tumbuhan, mulai tampak adanya upaya untuk
mencari asas-asas baru dalam mengadakan klasifikasi tumbuhan, untuk membentuk
golongan-golongan yang bersifat alami seperti yang dikehendaki oleh alam, terutama
dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian dari bidang morfologi.
Usaha itu dipelopori oleh:
A. CAESALPINUS (1519-1602), yang merupakan ahli ilmu tumbuhan berkebangsaan
Italia dan seorang dokter yang sering disebut sebagai ahli taksonomi tumbuhan yang
pertama. Karyanya yang berjudul de Plantis, memuat suatu bab tentang dasar-dasar
klasifikasi yang ia terapkan. Di samping perawakan, ia telah membeda-bedakan
tumbuhan berdasar sifat-sifat buah dan biji, dan ia telah pula membedakan tumbuhan
berdasarkan kedudukan bakal buahnya. Sayang, bahwa kesimpulan-kesimpulan yang ia
ambil lebih didasarkan atas penalaran dan bukan melalui analisis hasil observasinya.
Bagaimanapun, pandangan Caesalpinus banyak mempengaruhi cara berpikir taksonomi
yang menyusul kemudian seperti de Tournefort, Ray, dan Linnaeus.
J. BAUHIN (1541-1631), seorang dokter berkebangsaan Perancis dan Swis yang
menerbitkan karya tulis bergambar yang komprehensif, berjudul Historia Plantarum
Universalis yang memuat candra (deskripsi) dan sinonima sekitar 5.000 jenis tumbuhan.
C. BAUHIN (1560-1624), adik J. Bauhin, menerbitkan bukunya yang berjudul Pinax
Theatri Botanici yang memuat nama dan sinonima sekitar 6.000 jenis tumbuhan. Ia
adalah orang pertama yang memprakarsai pemberian nama ganda bagi tumbuhan, telah
membedakan kategori marga dan jenis, namun ia tetap menggunakan bentuk dan tekstur
sebagai dasar klasifikasi seperti yang dilakukan kaum herbalis.
R. MORISON (1620-1683), Guru Besar ilmu tumbuhan di Universitas Oxford, Inggris,
penulis Plantarum Historia Universalis Oxoniensis yang sangat mashur pada waktu itu.
Ia pernah pula menjadi pemimpin Kebun Raya milik Pangeran Gaston de Bourbon di
Blois, Perancis.
A. RIVINUS (A. BACHMANN) (1652-1723), Guru Besar Ilmu Tumbuhan di Leipzig,
Jerman Timur, penulis berbagai karya dalam ilmu tumbuhan, bersama dengan de
Tournefort konseptor untuk pengertian marga (genus).
J.P. de TOURNEFORT (1656-1708), berkebangsaan Perancis, pada usia 21 tahun telah
menjadi Guru Besar Ilmu Tumbuhan di Paris. la telah menjelajahi Eropa dan Asia Depan
untuk mengumpulkan tumbuhan, yang ia susun dalam suatu sistem klasifikasi yang
terutama berdasarkan sifat-sifat bunga. Sistem klasifikasi de Tournefort diterima baik di
seluruh Eropa dan Perancis. Sistem klasifikasinya terus dipertahankan sampai diungguli
oleh sistem ciptaan de Jussieu. Bersama-sama dengan Rivinus ia dianggap sebagai
konseptor pengertian marga, yang intinya sampai sekarang tetap belum berubah.

Anda mungkin juga menyukai