I. Tujuan
1. Mengukur kalor reaksi dengan alat yang sederhana
2. Mengumpulkan dan menganalisis data termokimia
3. Menerapkan hukum Hess
1
(pelarutan,peleburan dan sebagainya). Satuan tenaga panas biasanya dinyatakan
dengan kalori, joule atau kilokalori (Atkins, 1994).
Banyaknya kalor yang dihasilkan dalam suatu reaksi kimia dapat diukur
dengan menggunakan suatu alat yang disebut dengan kalorimeter. Kalor dapat
diukur dengan menggunakan jalan jumlah total kalor yang disetiap lingkungan
kalor yang diserap oleh air, merupakan hasil dari perkalian antara massa, kalor
jenis dan kenaikkan suhu. Sedangkan kalor yang diserap komponen lingkungan
lain, yaitu alat pengaduk, termometer, dan lain sebagainya. Merupakan hasil kali
dari jumlah kapasitas kalor dari komponen – komponen ini dengan suhu. Dari sini
dapat diketahui bahwa penjumlahan kalor dapat diterapkan melalui hukum Hess
(Farrington, 1987).
Menurut Alberty, (1992), kalor adalah perpindahan energi termal.
Besarnya kalor reaksi bergantung pada :
1. Jumlah zat yang bereaksi
2. Keadaan fisika
3. Temperatur
4. Tekanan
5. Jenis reaksi ( P tetap atau V tetap)
Perubahan energi pada reaksi kimia dapat dipelajari dengan
kalorimeter.Metode kalorimeter dapat dilakukan dengan percobaan yang
sederhana saja.Kalorimeter sederhana dapat digunakan untuk menjalankan reaksi
dengan kondisi tekanan yang tetap. Sesuai dengan hukum termodinamika
pertama,dengan sistem tersebut kita akan dengan mudah memperoleh nilai entalpi
dari suatu reaksi yang setara dengan kalor reaksi. Kalor yang dipertukarkan antara
sistem dengan lingkungan pada tekanan tetap adalah sama dengan perubahan
entalpi sistem. Dari proses pertukaran kalor, perlu diperhatikan pula daya serap
atau kapasitas absorbs kalor oleh kalorimeter (Ginting, 2012).
Hampir semua reaksi kimia menyerap atau menghasilkan (melepas)
energi. Umumnya adalah dengan bentuk kalor. Kalor atau heat adalah
perpindahan energi termal antara dua buah benda dengan suhu atau temperatur
yang berbeda. Kita sering kali mengatakan “aliran kalor” dari benda panas ke
benda yang dingin. Walaupun “kalor” itu sendiri mengandung arti perpindahan
2
energi, kita biasanya menyebut kalor yang diserap ataupun kalor yang dibebaskan
ketika menggambarkan perubahan dari energi yang terjadi selama proses tersebut.
Ilmu yang mempelajari mengenai perubahan kalor yang menyertai reaksi kimia
dapat disebut dengan termokimia ( Chang, 2005).
Penulisan persamaan reaksi yang disertai dengan harga perubahan
entalpinya dinamakan persamaan termokimia untuk reaksi eksoterm ataupun
reaksi endoterm. Persamaan reaksi kimia dari reaksi eksoterm yaitu:
CaO(s) + CO2→ CaCO3 (s) ΔH = -a kJ
Persamaan termokimia untuk reaksi endoterm adalah :
CaCO3 (s) → CaO(s) + CO2 (g) ΔH = a kJ
Kalor reaksi ditentukan oleh percobaan dalam suatu kalorimeter, yaitu
sebuah alat untuk mengukur kuantitas dari suatu kalor (Sembodo, 2008).
G. H. Hess merupakan hukum yang menyatakan bahwa jumlah aljabar
panas reaksi yang dibebaskan atau diserap tidak bergantung pada keadaaan awal
dan keadaan akhir dari sistem tersebut. Hukum Hess secara praktis dapat diartikan
bahwa jumlah entalpi reaksi total H dapat diperoleh dengan menjumlahkan entalpi
dari awal reaksi dan entalpi dari akhir reaksi seperti halnya dengan reaksi kimia
pada umumnya. Suatu reaksi kadang – kadang tidak hanya berlangsung pada satu
jalur, akan tetapi bisa juga melalui jalur yang lain dengan memberikan hasil yang
tetap sama. Tetapi mungkin juga dengan arah yang ditempuh tidak hanya satu
ataupun dua, melainkan juga terdapat arah 3 ataupun 4 dan juga seterusnya
(Atkins, 1994).
Menurut Hukum Hess, panas yang timbul ataupun diserap pada suatu
reaksi (panas sekali) tidak bergantung pada cara bagaimana reaksi tersebut
berlangsung, namun hanya bergantung pada cara bagaimana keadaan awal
ataupun keadaan akhir dari suatu reaksi tersebut. Dengan melakukan perubahan
entalpi sebanding dengan jumlah zat yang terlibat dalam reaksi (Oxtoby, 2001).
Kalor adalah energi yang dapat diteruskan oleh suatu benda kebenda yang
lain dengan cara konduksi, perolakan atau penyinaran intensitas kalor diukur oleh
suatu benda atau oleh sistem atau satuan benda lainnya. Dianggap sebagai
penjelmaan gerakan kacau-balau molekul-molekul karena jika suatu bahan
3
memperoleh kalor, molekul-molekulnya memperlihatkan percepatan dalam
gerakan transiasi putaran dan getaran dalam (Pudjaatmaka, A. 2002)
Jika dalam menerima kalor maka zat itu akan mengalami suhu
tertentu/hingga tingkat tertentu sehingga zat tersebut akan mengalami perubahan
wujud, seperti perubahan wujud dari padat menjadi cair. Begitu sebaliknya bila
suatu zat mengalami perubahan wujud dari cair ke padat maka zat tersebut akan
melepaskan sejumlah kalor. Dalam satuan kalor (Q), dinyatakan dalam satuan
kalori (Kal) atau Joule (J).
1 Kalori = 4,18 Joule
1 Kalori adalah banyaknya kalor yang diperlukan untuk memanaskan 1 gram zat
untuk menaikkan suhu 1°C. Jumlah kalor tersebut disebut kalor jenis
Q = m.c.∆T
dengan satuan kalor jenis (c) adalah J/g°C atau J/Kg°C (Petrucci, 1987).
Kalor yang dibutuhkan untuk meleburkan 1 Kg zat padat menjadi zat cair
pada titik leburnya. Kalor lebur mempunyai harga yang sama dengan persamaan
kaor lebur (L);
𝑄
L= 𝑚atau Q=m.L
Sehingga satuan pada kalor lebur adalah J/Kg. Dan jumlah kalor yang dibutuhkan
untuk menguapkan 1 Kg zat pada titik didihnya didapat dengan persamaan;
Q=m.U
Dengan kalor uap (U) memiliki satuan J/Kg (Umar, Efrizon. 2008).
Kalorimeter adalah alat yang dipakai untuk percobaan yang berhubungan
dengan kalor. Kalorimeter didesain sedemikian sehingga perpindahan kalor
kelingkungannya terjadi seminimum mungkin. Pada dasarnya sebuah kalorimeter
terdiri dari dua bejana yang terpisahkan oleh ruang udara (ingat udara adalah
penghantar yang buruk). Bejana disebelah dalam terbuat dari alumunium
mengkilat untuk megurangi penyerapan kalor oleh bejana (dinding). Kalor
pembakaran biasanya diukur dengan menempatkan senyawa yang diketahui dalam
wadah baja yang disebut kalorimeter bom volume konstan yang diisi pada tekanan
30 atm dengan oksigen. Tutup bejana terbuat dari kayu yang merupakan
penghantar yang buruk (Surya, Yohanes, 2002 ).
4
III. Prosedur Percobaan
3.1Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Gelas ukur
2. Kalorimeter
4. Termometer
5. Alat pengaduk
6. Gelas piala
3.1.2 Bahan
1. Air suling
2. NaOH 1 M
3. HCl 1 M
4. Asam asetat 1 M
5. Natrium asetat 1 M
7. Asam Nitrat 1 M
8. Ammonia 1 M
5
3.2Skema Kerja
3.2.1. Penentuan tetapan kalorimeter
Air Suling 40 ml
Dituang ke kalorimeter
Diukur lagi
Hasil
6
3.2.2 Penentuan ∆H netralisasi untuk reaksi asam basa
NaOH 1 M 40 ml
Hasil
7
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Data Percobaan
A. Penetapan tetapan kalorimeter
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Suhu air panas, C° 61 61 61
Suhu air dingin, C° 29 30 29,5
Suhu campuran C° 42 43 42,5
2) Natriumasetat 1 M- HCl1 M
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Suhu larutan asam 32 30 31
Suhu larutan basa 32 30 31
Suhu campuran C° 38 36 37
8
3) Asam Nitrat 1M- NaOH 1 M
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Suhu larutan asam 32 30 31
Suhu larutan basa 32 30 31
Suhu campuran C° 36 36 36
4.1.2 Perhitungan :
A. Penetapan tetapan kalorimeter
Ulangan 1
Mp = 40 gr Tp =61°C Tm = 42°C
Md = 40 gr Td = 29°C C =4,184 J/g°C
C x Mp x (Tp-Tm) = C x Md x (Tm-Td ) + W (Tm-Td)
40 x 4,184 x (61-42) = 4,184 x 40 (42-29) + W (42-29)
3179,84 = 2175,68 + 13W
W1 = 77,24 J/ °C
Ulangan 2
Mp = 40 gr Tp =61°C Tm = 43°C
Md = 40 gr Td = 30°C C =4,184J /g°C
C x Mp x (Tp-Tm) = C x Md x (Tm-Td ) + W (Tm-Td)
40 x 4,184 x (61-43) = 4,184 x 40 (43-30) + W (43-30)
3012,48 = 2175,68 + 13W
W2 = 68,14 J/ °C
𝑊1+𝑤2 77,24J/°C + 68,14J/ °C
W rata-rata = = = 68,19J/°C
2 2
9
B. Penentuan ∆H Netraslisasi untuk asam-basa
Q = C x Mc x (Tf-Ti ) + W (Tf-Ti)
= 4,184 x 80 x (34-32) + 68,19 (34-32)
= 669,44 + 136,3
= 805,82 J
−𝑄 −2014,55
∆Hrx = 0,04 = = 20,36375 kJ/mol
0,04
2) ∆H Natriumasetat 1 M- HCl 1 M
Q = C x Mc x (Tf-Ti ) + W (Tf-Ti)
= 4,184 x 80 x (34-29) + 68,19 (34-29)
= 1673,6 + 340,95 = 2014,55 J
−𝑄 −2014,55
∆Hrx = 0,04 = = 50,36375 kJ/mol
0,04
10
4.2 Pembahasan
Dari pengamatan yang telah di lakukan oleh praktikan tentang termokimia
dan hukum hess. Praktikan mengamati bahwa tetapan kalorimeter yang dicari
nilainya hampir sama antara pengulangan pertama dan kedua. Yaitu 77,24 dan
64,14. Praktikan melakukan pengulangan selama 2 kali bertujuan untuk
memperoleh data pengamatan yang tepat dan benar-benar akurat. Setelah di
peroleh data diatas maka di hitung rata-rata yaitu 68,9.
Setelah mendapatkan nilai tetapan untuk kalorimeter praktikan melakukan
pengamatan kedua yaitu penentuan netralisasi untuk asam-basa . Zat asam yang
digunakan adalah HCl dan basa yaitu NaOH. Dengan konsentrasi masing-masing
1M. Dengan volume yang sama yaitu 40 ml maka di peroleh rata-rata suhu
campuran untuk dua kali pengulangan adalah 36 °C. Di lakukan pengulangan
kedua kali ini bertujuan agar praktikan memperoleh data yang tepat dan benar.
Setelah dihitung maka didapatkan (entalpi) untuk reaksi netralisasi antara
asam (HCl) dan basa (NaOH), yaitu sebesar -20,1455 kJ/mol. Dengan kalor yang
dibutuhkan untuk reaksi ini yaitu sebesar 805,22 joule.
Selanjutnya, praktikan juga melakukan reaksi netralisasi asam-basa untuk
beberapa asam-basa, hal ini bertujuan agar praktikan memperoleh data
pengamatan yang tepat dan akurat. Yaitu reaksi antara CH3COOH dan NaOH
yang membutuhkan kalor sebesar 20,1445 joule dengan nilai entalpi (∆H ) yaitu
sebesar-50,36kJ/mol.
Adapun reaksi yang berlangsung pada pengamatan ini antara lain :
Dari beberapa reaksi diatas didapatkan nilai (∆H ) yang hampir sama hal
ini menunjukan bahwa hukum hess yang mengatakan bahwa perubahan entalpi
sama pada reaksi terlepas apakah reaksi itu berlangsung beberapa tahap ataupun
dua tahap. (∆H ) untuk reaksi CH3COONa dengan asam hidroklorida (HCl) nilai
11
entalpi (∆H) yaitu -60,43 kJ/mol dengan energi yang dibutuhkan yaitu 24joule,
17joule, 46 joule. Sementara ammonia dan asam hidroklorida didapat hasil
entalpinya (∆H ) yaitu -50,36 kJ/mol dan asam nitrat yang bereaksi dengan NaOH
( ∆H) = 60,43 kJ/mol.
Adapun kesalahan yang mungkin dilakukan oleh praktikan dalam
percobaan untuk mengumpulkan data dari percobaan yaitu ,untuk kemungkinan
pertama praktikan tidak benar dalam menggunakan kalorimeter dan adapun
kesalahan lain yang dapat terjadi adalah saat pengukuran dengan menggunakan
termometer praktikan tidak sengaja memegang termometer yang terletakdi atas
kalorimeter sehingga suhu tubuh ikut terukur dalam pengukuran suhu campuran
zat yang diletakan dalam kalorimeter sehingga pengukuran yang didapatkan oleh
praktikan tidak sesuai dengan harapan atau hasil yang di inginkan .
Adapun prinsip kerja digunakan kalorimeter untuk percobaan ini adalah
pertama untuk mencegah pengaruh suhu dari lingkungan dan mendapat perubahan
suhu yang benar dan kalor yang dihasilkan dari zat saat direaksikan tidak akan
keluar ke lingkungan dan dapat di ukur dengan menggunakan termometer yang
disediakan karena kalor merupakan energi panas makan ditandai dengan adanya
kalor yang mengalir keluar dari sistem atau kalor diserap oleh zat tersebut dari
sistem adalah di tandai dengan adanya penurunan suhu yang dapat diukur dengan
menggunakan alat termometer, dan dari penjelasan di atas kalorimeter yang
praktikan gunakan cukup sederhana hanya gelas kaca bekas selai yang sudah
dibersikan dan dibungkus dengan gabus untuk mencegah kaca terkena atau
tercampur oleh suhu lingkungan dan dari alat sederhana itu dirasa cukup
memenuhi syarat dan fungsi dari kalorimeter sederhana yang di buat oleh
praktikan.
12
V. Kesimpulan dan saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kalor reaksi dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut
kalorimeter.
2. Dengan menggunakan kalorimeter didapatkan analisis dan data tetapan
kalorimeter yaitu 52,997 J/˚C.
3. Untuk menentukan tetapan kalorimeter maka dibutuhkan data bobot suatu
zat, kalor jenis zat tersebut. Temperatur zat tersebut persamaan
menentukan tetapan kalorimeter berdasarkan asas black yaitu Qlepas =
Qterima.
5.2 Saran
Hukum hess dalam percobaan ini membuktikan adanya aliran
energi dalam setiap reaksi seperti yang dilakukan dalam percobaan dan
alasan digunakan kalorimeter untuk melihat tentang pembuktian hukum
hess, dan saat menggunakan kalorimeter pastikan kalorimeter yang di
gunakan memang dapat terisolasi dengan baik sehingga energi kalor dapat
dilihat dengan menggunakan termometer
13
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
A. Pertanyaan Prapraktek
1. Berikan pengertian tentang : (a) entalpi (b) sistem terisolasi (c) sistem
tertutup (d) sistem terbuka (e) lingkungan (f) sistem (g) kalorimeter (h)
eksotermik
Jawab:
a) Entalpi adalah jumlah total dari semua bentuk energi
b) Sistem terisolasi adalah sistem yang tidak memungkinkan terjadinya
perpindahan energi dan materi antara sistem dan lingkungan
c) Sistem tertutup adalah suatu sistem dimana dapat terjadi perpindahan
energi, tetapi tidak terjadi pertukaran materi
d) Sistem terbuka adalah sistem yang memungkinkan terjadinya
perpindahan energi dan juga materi antara lingkungan dan sistem
e) Lingkungan adalah hal-hal yang membatasi sistem dan dapat
mempengaruhinya
f) Sistem adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pusat perhatian saat
mempelajari perpindahan energi
g) Kalorimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur jumlah kalor
yang berpindah dalam reaksi tersebut
h) Eksotermik adalah reaksi yang bersifat eksoterm atau menghasilkan
kalor
2. Apa bedanya entalpi dan energi dalam?
Jawab: Energi entalpi adalah istilah yang menyatakan jumlah energi dari
suatu sistem yang terdiri dari energi dalam. Energi dalam adalah total
energi kinetik dan energi potensial yang ada dalam sistem
15
B. Pertanyaan Pascapraktek
1. Untuk reaksi asam-basa dalam produk B, berapa ∆H netralisasi bila anda
secara salah menganggap bahwa kalor yang diterima kalorimeter adalah
nol?
Jawab:
𝑄 −2014,55
∆𝐻 = − =− = 50,36375kJ/mol
𝑚𝑜𝑙 0,04
2. Apa pengaruhnya terhadap H netralisasi bila yang direaksikan dengan
NaOH 1M adalah HCl dengan konsentrasi lebih dari 1M?
Jawab:Tidak berpengaruh karena pada penentuan H netralisasi, mol yang
digunakan adalah mol dari larutan basa NaOH, yaitu 0,04 mol. Jadi, mol
HCl tidak berpengaruh.
3. Simpulkan harga ∆H netralisasi unsur asam-basa dengan kekuatan yang
berbeda!
Jawab:Asam-basa mempunyai kekuatan yang berbeda, berkaitan dengan
kemampuan dalam memberi atau menangkap proton. Basa kuat akan
mengionisasi secara sempurna dan akan menghasilkan ion OH-. Pada asam
lemah dengan basa ionisasi, molekul asam-basa tidak terjadi sempurna
dari dalam larutan dengan pelarut air.
16
C. Dokumentasi Percobaan
1. Penentuan Tetapan Kalorimeter
17
Gambar 3 Pengukuran suhu HCl Gambar 4 Pengukuran suhu campuran
18
PERCOBAAN II
STANDARISASI LARUTAN NaOH 0,1 M DAN PENGGUNAANNYA
DALAM PENENTUAN KADAR ASAM CUKA PERDAGANGAN
I. Tujuan
1. Menetukan molaritas larutan NaOH dengan larutan standar asam oksalat.
2. Menetapkan kadar asam cuka perdagangan.
19
satu pereaksi tetap harus sama dengan gram ekuivalen (atau mek) zat yang lain
(Brady, 1999).
Volumetri atau tirimetri adalah suatu cara analisis kuantitatif dari reaksi
kimia. Pada analisis ini zat yang akan ditentukan kadarnya, direaksikan dengan zat
lain yang telah diketahui konsentrasinya, sampai tercapai suatu titik ekuivalen
sehingga kepekatan (konsentrasi) zat yang kita cari dapat dihitung (Syukri, 1999).
Pada analisis volumetri diperlukan larutan standar. Proses penentuan
konsentrasi larutan standar disebut menstandarkan atau membakukan. Larutan
standar adalah larutan yang diketahui konsentrasinya, yang akan digunakan pada
analisis volumetri.
Ada dua cara menstandarkan larutan yaitu :
1. Pembuatan langsung larutan dengan melarutkan suatu zat murni dengan berat
tertentu, kemudian diencerkan sampai memperoleh volume tertentu secara
tepat. Larutan ini disebut larutan standar primer, sedangkan zat yang kita
gunakan disebut standar primer.
2. Larutan yang konsentrasinya tidak dapat di ketahui dengan cara menghitung
zat kemudian melarutkannya untuk mendapatkan volume tertentu, tetapi dapat
di standarkan dengan larutan standar primer, disebut larutan standar sekunder.
Larutan standar biasanya kita teteskan dari suatu buret ke dalam suatu
erlenmeyer yang mengandung zat yang akan ditentukan kadarnya sampai reaksi
selesai. Selesainya suatu reaksi dapat dilihat karena terjadi perubahan warna.
Perubahan ini dapat dihasilkan oleh larutan standarnya sendiri atau karena
penambahan suatu zat yang disebut indikator. Titik dimana terjadinya perubahan
warna indikator ini disebut titik akhir titrasi. Secara ideal titik akhir titrasi
seharusnya sama dengan titik akhir teoritis (titik ekuivalen). Dalam prakteknya
selalu terjadi sedikit perbedaan yang disebut kesalahan titrasi (Sukmariah, 1990).
Volumetri adalah cara analisis jumlah berdasarkan pengukuran volume
larutan pereaksi berkepekatan tertentu yang direaksikan dengan larutan contoh
yang sedang ditetapkan kadarnya. Reaksi di jalankan dengan titrasi, yaitu suatu
larutan ditambahkan dari buret sedikit demi sedikit, sampai jumlah zat-zat yang
direaksikan tepat menjadi ekuivalen satu sama lain. Pada saat penambahan titran
harus dihentikan, saat itu dinamakan titik akhir titrasi. Larutan yang ditambahkan
20
dari buret disebut titran, sedangkan larutan yang ditambahkan titran disebut titrat.
Dengan jalan ini, volume atau berat titran dapat diukur dengan teliti dan bila
konsentrasi juga diketahui, maka jumlah mol titran dapat dihitung. Karena jumlah
titran ekuivalen dengan jumlah titran, maka jumlah titrat dapat diketahui pula
berdasar persamaan reaksi dan koefisiennya. Titran dan titrat tepat saling
menghabiskan, tidak ada kelebihan yang satu maupun yang lain (Harjadi, 1987).
Perubahan warna disebabkan resonansi isomer elektron. Berbagai
indikator mempunyai tetapan ionisasi yang berbeda dan akibatnya mereka
menunjukkan warna pada range pH yang berbeda (Khophar, 2003).
Titrasi asam-basa merupakan cara yang tepat dan mudah untuk
menentukan jumlah senyawa-senyawa yang bersifat asam dan basa. Kebanyakan
asam dan basa organik dan anorganik dapat dititrasi dalam larutan berair, tetapi
sebagian senyawa itu tidak, terutama senyawa organik tidak larut dalam air.
Namun demikian, umumnya senyawa organik dapat larut dalam pelarut organik,
karena itu senyawa organik dapat ditentukan dengan cara titrasi asam-basa dalam
pelarut berair.
Untuk menentukan basa yang digunakan larutan baku asam kuat (misalnya
HCl), sedangkan untuk menentukan asam digunakan larutan baku basa kuat
(misalnya NaOH). Titik akhir titrasi biasanya ditetapkan dengan bantuan
perubahan warna indikator asam-basa yang sesuai atau dengan bantuan peralatan
(Rivai, 1994).
Asidi-alkalimetri adalah teknik analisis kimia berupa titrasi yang
menyangkut asam dan basa atau sering disebut titrasi asam-basa. Titrasi asidi-
alkalimetri menyangkut reaksi dengan asam kuat – basa kuat, asam kuat – basa
lemah, asam lemah – basa kuat, asam kuat – garam dari asam lemah, basa kuat –
garam dari basa lemah. Reaksi dijalankan dengan titrasi, yaitu suatu larutan
ditambahkan dari buret sedikit demi sedikit sampai jumlah zat-zat yang
direaksikan tepat menjadi ekuivalen (telah tepat banyaknya untuk menghabiskan
zat yang direaksikan) satu sama lain. Larutan yang ditambahkan dari buret disebut
titrat, sedangkan larutan yang ditambah titrat disebut titran (dalam hal ini titrat dan
titrat berupa asam dan basa begitupun sebaliknya). Untuk mengetahui keadaan
ekuivalen dalam proses asidi-alkalimetri ini, diperlukan suatu zat yang dinamakan
21
indikator asam-basa. Indikator asam basa adalah zat yang dapat berubah warna
apabila pH lingkungannya berubah, indikator ini digunakan sebagai penanda
karena memiliki sifat dapat berubah warna apabila pH lingkungannya berubah
(Harjadi, 1986).
Asidi-alkalimetri termasuk reaksi netralisasi, yakni reaksi antara ion
hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidrksida yang berasal dari basa
untuk menghasilkan air yang bersifat netral. Netralisasi juga dapat dinyatakan
sebagai reaksi antara pemberi proton dengan penerima elektron. Dalam suatu
analisis titrimetri atau analisis volumetri atau analisis kuantitatif dengan mengukur
volume, sejumlah zat yang diselidiki direaksikan dengan larutan baku atau larutan
standar yang kadar konsentrasinya telah diketahui secara teliti dan reaksinya
berlangsung secara kuantitatif. Suatu titrasi yang ideal adalah jika titik akhir titrasi
sama dengan titik ekuivalen teoritis. Dalam kenyataannya selalu ada perbedaan
kecil. Dalam larutan, kadar bahan yang terlarut atau solute, dinyatakan dengan
konsentrasi (Rohman, 2007).
Pada proses titrasi, dikenal istilah titik ekuivalen dan titik akhir titrasi.
Titik pada saat terjadi keseimbangan antara zat yang dianalisis dengan larutan
standar disebut titik ekuivalen. Pada umumnya, titik ekuivalenlah yang lebih dulu
dicapai lalu diteruskan dengan titik akhir titrasi. Ketelitian dalam menentukan titik
akhir titrasi sangat mempengaruhi hasil analisis (Pudjaatmaka, 2002).
Menurut Sastrohamidjojo, (2005), diperlukan beberapa persyaratan agar
sebuah proses titrasi dapat berhasil. Syarat – syarat tersebut adalah sebagai berikut
1. Konsentrasi titran harus diketahui.
2. Reaksi yang tepat antara titran dan senyawa yang dianalisis harus diketahui
pula.
3. Titik stoikiometri atau titik ekuivalen harus diketahui. Indikator yang
memberikan perubahan warna atau sangat dekat dengan titik ekuivalen.
4. Volume titran untuk mencapai titik akhirnya harus diketahui setepat mungkin.
22
III. Prosedur Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Labu ukur 100 ml
2. Buret 50 ml
3. Erlenmeyer 100 ml
4. Erlenmeyer 50 ml
5. Pipet ukur 10 ml
6. Klem dan statif
7. Batang pengaduk
8. Gelas ukur 100 ml
9. Gelas ukur 50 ml
10. Kaca arloji
11. Pipet tetes
12. Spatula
3.1.2 Bahan
1. Asam Oksalat
2. Larutan NaOH
3. Asam cuka perdagangan
4. Indikator pp
23
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Penentuan Molaritas NaOH
Hasil
Diencerkan
Diambil 10 ml
Hasil
24
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Data Percobaan
A. Penentuan Molaritas NaOH
V NaOH 20 ml 20 ml 20 ml 20 ml
V H2 C2 O4 . 2H2O 7 ml 6 ml 5,5 ml 6,16 ml
25
4.1.2 Perhitungan
A. Penentuan Molaritas NaOH
Vrata-rata NaOH = 20 ml
Vrata-rata 𝐻2 𝐶2 𝑂4 . 2𝐻2 𝑂 = 6,16 ml
Dari data dapat dihitung konsentrasi NaOH :
𝑀𝑜𝑙 0,01
M Asam Oksalat = = 𝑀 = 0,1 M
𝑉 0,1
𝑀𝑚𝑜𝑙𝐴𝑠𝑎𝑚
[ 𝐻 + ] = Ka × 𝑀𝑚𝑜𝑙𝐺
0,308
= 5,89×10−2 × 0,308
= 5,89×10−2
pH = - log [ 𝐻 + ]
26
= - log [ 5,89×10−2 ]
= 2 – log 5,89
= 2 – 0,76
= 1,24
B. Penetapan Kadar Asam Cuka Perdagangan
Vrata-rata NaOH yang digunakan = 20 ml
Konsentrasi asam cuka perdagangan dapat dihitung :
M Asam Cuka . V Asam Cuka = M NaOH . V NaOH
M . 10 = 0,1 . 11,33
M Asam Cuka = 0,1133 M
Mmol : 1,1331,133 - -
Terurai : 1,1331,133 1,133 1,133
Sisa : - - 1,133 1,133
𝑀𝑚𝑜𝑙 1,133
𝑀 𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝑁𝑎 = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 48,67 = 0,023 M
𝐾𝑤
[ 𝑂𝐻 − ] = √ 𝐾𝑎 × [ 𝐺 ]
10−14
= √2×10−5 × [0,023]
= √0,0115 × 10−9
= 3,39 × 10−6 M
pOH = - log [ 𝑂𝐻 − ]
= - log [3,39 × 10−6 ]
= 5,47
Maka, pH = 14 – pOH
= 14 – 5,47
= 8,53
27
Menentukan kadar asam cuka
𝑉𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝐻×𝑀𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝐻×𝑀𝑟𝐶𝐻3 𝐶𝑂𝑂𝐻
Kadar Asam Cuka = × 100%
1000
10×0,1133×60
= × 100 %
1000
= 6,798 %
28
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penentuan Molaritas NaOH
Pada percobaan menentukan molaritas NaOH digunakan juga asam oksalat
sebagai larutan baku primer (H2C2O4.2H2O). Asam oksalat adalah zat padat,
halus, putih, dan larut baik dalam air. Asam oksalat digunakan pada praktikum ini
karena asam oksalat adalah asam divalent dan pada titrasinya selalu sampai
terbentuk garam normalnya. Pada percobaan ini larutan yang digunakan sebagai
larutan baku sekunder adalah NaOH, dimana larutan sekunder adalah larutan baku
yang konsentrasinya harus ditentukan dengan cara titrasi terhadap larutan baku
primer. Larutan NaOH tergolong dalam larutan baku sekunder yang bersifat basa.
Berdasarkan hasil percobaan dapat diketahui bahwa telah terjadi reaksi
asam basa antara asam oksalat (sebagai asam lemah) dan NaOH (sebagai basa
kuat). Pada pembuatan larutan standar natrium hidroksida, indikator yang
digunakan yaitu fenolftalein (indikator pp). Indikator pp atau fenolftalein
digunakan dalam percobaan ini karena fenolftalein tak berwarna dengan pH antara
8,3 – 10,0 akan mempermudah praktikan dalam mengetahui bahwa proses sudah
mencapai titik ekuivalen.
Perubahan warna yang terjadi pada proses penitrasian ini adalah berubah
menjadi warna merah jambu yang konstan dari warna asal mula bening.
Perubahan warna ini terjadi karena tercapainya titik ekuivalen. Volume NaOH
yang diperlukan untuk titrasi sebanyak 20 ml sebanyak tiga kali percobaan yang
dilakukan. Reaksi untuk larutan NaOH dan asam oksalat :
NaOH (l) + H2C2O4.2H2O (l) NaC2O4(l) + H2O (l)
5 pH
0 Linear (pH )
0 2 4 6 8
Volume H2C2O4
29
Dilihat dari grafik diatas, yaitu standarisasi oleh asam lemah terhadap basa
kuat sehingga titik ekuivalen berada diatas 7 dan berada pada trayek indikator pp.
Pada saat indikator di teteskan pada NaOH maka terjadi perubahan warna merah
jambu hal ini dikarenakan indikator pp di dalam larutan basa berwarna merah
muda dan NaOH merupakan larutan basa kuat.
4.2.2 Penetapan Kadar Asam Cuka Perdagangan
Pada percobaan penetapan asam cuka perdagangan langkah-langkahnya
sama dengan penentuan molaritas NaOH, hanya saja larutannya yang berbeda,
kali ini titrannya adalah NaOH. Larutan yang dicampur yaitu asam cuka
perdagangan. Jika asam cuka perdagangan diteteskan dengan fenolftalein tidak
akan mengalami perubahan warna. Pada kasus ini asam lemah tidak berwarna dan
ion-ionnya berwarna merah muda terang penambahan ion hidroksida yang
menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk
menggantikannya dan mengubah indikator menjadi merah muda.
Kemudian larutan ditirasi dengan larutan NaOH, setelah volume 43 ml
warna larutan tersebut berubah menjadi warna merah muda dan percobaan ini
dilakukan sebanyak tiga kali dengan metode yang sama, tetapi volume yang
dibutuhkan untuk mengubah warna tersebut bervariasi atau berbeda-beda, hal ini
disebabkan pada saat penetesan indikator fenolftaleinnya ada yang berlebih dari
jumlah seharusnya dan saat penitrasian dilakukan kurangnya ketelitian dari
praktikan, ada yang terlalu cepat dan hal ini tentu saja menyebabkan data-data
yang didapat dari setiap percobaan dilakukan menjadi berbeda-beda pula.
Kesalahan titrasi merupakan kesalahan yang terjadi bila titik akhir titrasi tidak
tepat sama dengan titik ekuivalen.
Persamaan reaksi untuk reaksi antara asam cuka dengan larutan NaOH adalah :
30
CH3COOH(aq)+ NaOH(aq) →CH3COONa(aq) + H2O(l)
8
6 Ph
4 Linear (Ph)
2
0
0 20 40 60 80
Volume CH3COOH
Dilihat dari grafik, bahwa loncatan pH pada reaksi asam lemah dan
basa kuat adalah mulai dari 7 sampai dengan 12. Pada pengamatan ini titik
ekuivalen telah dicapai pada pH 8,8. Pada titik ekuivalen belum tercapai, dimana
saat CH3COOH belum habis bereaksi dengan NaOH maka di dalam erlenmeyer
terdapat campuran CH3COOH dengan CH3COONa. Campuran tersebut
dinamakan buffer dan daerah ditambah titik ekuivalen dinamakan daerah buffer.
Pada saat titik ekuivalen belum dicapai pada reaksi ini maka larutan cuka
perdagangan, setelah ditetesi indikator pp maka warnanya merah jambu. Namun,
ketika titik ekuivalen dicapai maka larutan berubah menjadi bening.
31
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Molaritas larutan NaOH dengan larutan standar asam oksalat berdasarkan
percobaan adalah 0,0308 M.
2. Kadar asam cuka perdagangan yang didapat pada percobaan yaitu 6,798 %.
5.2 Saran
Pada praktikum ini akan banyak sekali dilakukan pemindahan larutan dari
wadah satu ke yang lainnya, oleh karena itu dibutuhkan ke hati–hatian dalam
memindahkan larutan ini.
32
DAFTAR PUSTAKA
Brady, James E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Bina Rupa
Aksara.
Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga.
Harjadi,W. 1986. Ilmu Kimia Dasar. Jakarta : PT.Gramedia.
Harjadi,W. 1987. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta : PT.Gramedia.
Kleinfetter. 1987. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : Erlangga.
Khophar,S.M.2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UniversitasIndonesia.
Pudjaatmaka, Hadayana. 2002. Kamus Kimia. Jakarta : Balai Pustaka.
Rivai, Harrizul. 1994. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta : UI Press.
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Dasar. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Sukmariah. 1990. Kimia Kedokteran Edisi 2. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Syukri. 1999. Kimia Dasar 2. Bandung : ITB.
33
LAMPIRAN
A. Pertanyaan PraPraktikum
1. Apa yang dimaksud dengan molaritas, titrasi, dan larutan standar ?
Jawab : molaritas merupakan besaran yang digunakan untuk
menyatakan konsentrasi atau kepekatan suatu larutan. Titrasi adalah
suatu metode penentuan kadar ( konsentrasi) suatu larutan dengan
larutan lain yang diketahui konsentrasinya. Dan, larutan standar adalah
larutan yang sudah diketahui konsentrasinya.
34
B. Pertanyaan Pasca Praktikum
1. Apakah yang dimaksud dengan larutan standar ?
Jawab : Larutan yang sudah diketahui kadar ( konsentrasi) nya.
3. Bila larutan asam kuat ditirasi dengan basa kuat memakai indikator pp,
apakah tepat jika titrasi sebaliknya juga memakai pp? Jelaskan.
Jawab : bisa saja, karena indikator pp sering digunakan pada titrasi. Jika
asam kuat dititrasi dengan basa kuat dengan bantuan indikator pp, maka
larutan yang terbentuk adalah warna merah jambu, sedang jika sebaliknya
basa kuat ditirasi dengan asam kuat menggunakan indikator pp, maka
larutan awal yang berwarna merah jambu akan berubah menjadi bening
saat akhir titrasi.
35
C. Dokumentasi Percobaan
1) Penentuan Molaritas NaOH
36
D. Pengamatan Virtual
a. Pengamatan Virtual Pada Asam Lemah dan Basa Kuat
37
b. Pengamatan Virtual Asam Kuat dan Basa Kuat
38
PERCOBAAN III
KINETIKA KIMIA
I. Tujuan
1. Mengukur perubahan konsentrasi pereaksi menurut waktu.
2. Mengamati pengaruh konsentrasi, suhu,dan katalis pada laju reaksi.
3. Menentukan hukum laju suatu reaksi dalam larutan berair.
II. Landasan Teori
Kinematika kimia adalah pengkajian laju reaksi dan mekanisme reaksi
kimia. Proses berlangsungnya juga terjadi secara cepat dan lambat. Besi lebih
cepat berkarat dalam udara lembab daripada dalam udara kering, makanan lebih
cepat membusuk bila tidak didinginkan. Hal ini merupakan contoh yang lazim
dari perubahan kimia yang kompleks dengan laju yang beraneka menurut kondisi
reaksi (Sunarya, 2002).
Pengertian kecepatan reaksi digunakan untuk melukiskan kelajuan
perubahan kimia yang terjadi. Sedangkan pengertian mekanisme reaksi digunakan
untuk melukiskan serangkaian langkah-langkah reaksi yang meliputi perubahan
keseluruhan dari suatu reaksi yang terjadi. Dalam kebanyakan reaksi, kinetika
kimia hanya mendeteksi bahan dasar permulaan yang lenyap dan hasil yang
timbul, jadi hanya reaksi yang keseluruhan yang dapat diamati. Perubahan reaksi
keseluruhan yang terjadi kenyataannya dapat terdiri atas beberapa reaksi yang
berurutan, masing-masing reaksi merupakan suatu langkah reaksi pembentukan
hasil-hasil akhir (Sastrohamidjojo, 2001).
Laju reaksi suatu reaksi kimia merupakan suatu pengukuran bagaimana
konsentrasi ataupun tekanan zat-zat yang terlibat dalam reaksi berubah seiring
dengan berjalannya waktu. Analisis laju reaksi sangatlah penting dan memiliki
banyak kegunaan, misalnya dalam teknik kimia dan kesetimbangan kimia. Laju
reaksi berhubungan dengan konsentrasi zat-zat yang terlibat dalam reaksi.
Hubungan ini ditentukan oleh persamaan laju tiap-tiap reaksi. Perlu diperhatikan
bahwa beberapa reaksi memiliki kelajuan yang tidak tergantung pada konsentrasi
reaksi. Hal ini disebut sebagai reaksi orde nol. Kinetika reaksi adalah cabang ilmu
kimia yang membahas tentang laju reaksi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Laju atau kecepatan reaksi adalah perubahan konsentrasi
39
pereaksi ataupun produk dalam suatu satuan waktu. Laju suatu reaksi dapat
dinyatakan sebagai laju berkurangnya konsentrasi suatu pereaksi, atau laju
bertambahnya konsentrasi suatu produk. Konsentrasi biasanya dinyatakan dalam
mol per liter. Laju reaksi suatu reaksi kimia dapat dinyatakan dengan persamaan
laju reaksi. Untuk reaksi berikut:
A + B → AB
Persamaan laju reaksi secara umum ditulis sebagai berikut:
𝑟 = 𝑘[𝐴]𝑚 [𝐵]𝑛
k sebagai konstanta laju reaksi, m dan n adalah orde parsial masing-masing
pereaksi.
Menurut Sukamto (1989), laju reaksi secara mendasar tergantung pada :
1. Konsentrasi reaktan yang biasanya membuat reaksi berjalan dengan cepat
apabila konsentrasinya dinaikkan.
2. Luas permukaan yang tersedia bagi reaktan untuk saling berinteraksi, terutama
reaktan padat dalam sistem homogen.
3.Tekanan dengan meningkatkan tekanan serta menurunkan volume antar molekul
sehingga akan meningkatkan frekuensi tumbukan molekulnya.
4. Energi aktivasi yang didefinisikan sebagai jumlah energi yang diperlukan untuk
membuat reaksi bermulai dan berjalan secara spontan.
5. Temperatur yang meningkatkan laju reaksi apabila dinaikkan.
6. Keberadaan atau ketiadaan katalis.
7. Diperlukan untuk memutuskan ikatan yang diperlukan agar reaksi dapat
bermulai.
Suatu reaksi kimia berlangsung karena atom-atom bersenyawa membentuk
molekul-molekul baru dengan cara pembentukan elektron oktet dalam masing-
masing atom. Laju berlangsungnya reaksi kimia dan energi-energi yang berikatan
dengan proses ini secara mekanisme reaksi kimia dipelajari dalam kinetika.
Biasanya kinetika reaksi dipelajari pada suhu tetap, tetapi lebih baik pada dua
suhu atau lebih. Kinetika reaksi adalah jumlah mol zat yang bereaksi per liter
yang diubah menjadi zat lain dalam satu-satuan waktu tertentu (Endahwati, 2007).
Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya temperatur. Biasanya
kenaikan sebesar 10oC akan melipatkan dua atau tiga laju reaksi antara molekul-
40
molekul. Kenaikan laju reaksi ini dapat diterangkan sebagian sebagai lebih
cepatnya molekul-molekul bergerak kian kemari pada temperatur yang lebih
tinggi dan karenanya bertabrakan satu sama lain lebih sering. Tetapi ini belum
menjelaskan seluruhnya ke molekul-molekul lebih sering bertabrakan dengan
dampak benturan yang lebih besar, karena mereka bergerak lebih cepat. Pada
temperatur besar, makin banyak molekul yang memiliki kecepatan yang lebih
besar dan memiliki energi yang cukup untuk bereaksi (Sunarya, 2002).
Pada umumnya jika konsentrasi zat semakin besar maka laju reaksinya
semakin besar, begitupun sebaliknya. Laju reaksi dapat dinyatakan dengan
persamaan matematis yang disebut hukum laju reaksi atau reaksi yang dinamakan
orde reaksi. Menentukan orde reaksi dari suatu pereaksi pada prinsipnya
menentukan seberapa besar pengaruh perubahan konsentrasi pereaksi terhadap
laju reaksi (Keenan, 1979).
Katalis adalah zat yang ditambahkan kedalam suatu reaksi untuk
mempercepat jalannya suatu reaksi. Katalis biasanya ikut bereaksi sementara dan
kemudian terbentuk kembali sebagai zat bebas. Suatu reaksi menggunakan katalis
disebut dengan reaksi katalis atau prosesnya disebut katalisme. Suatu katalis
hanya mempengaruhi laju reaksi secara spesifik, berarti katalis bekerja pada suatu
reaksi atau sejenis rekasi dan tidak untuk reaksi jenis lain.
Menurut Sunarya, (2002), sifat katalis yaitu :
1. Katalis tidak bereaksi secara permanen, karena tidak mengalami perubahan
kimia selama reaksi.
2. Katalis tidak mempengaruhi hasil akhir reaksi.
3. Katalis tidak memulai reaksi tapi hanya mempengaruhi lajunya.
4. Katalis bekerja efektif pada suhu optimum.
5. Suatu katalis hanya mempengaruhi laju reaksi spesifik, berarti katalis bekerja
pada satu reaksi atau sejenis reaksi dan tidak untuk reaksi jenis lain.
6. Keaktifan katalis dapat diperbesar zat lain yang disebut promoter.
7. Hasil suatu reaksi kadang-kadang dapat bertindak sebagai katalis dan disebut
autokatalis.
8. Katalis dapat bereaksi dengan zat lain sehingga sifat katalisnya hilang.
9. Katalis yang dapat memperlambat reaksi disebut katalis negatif.
41
Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dimiliki reaktan untuk
bereaksi. Nilai dan energi aktivasi didapat dari eksperimen pada suhu berbeda.
Persamaan menyatakan bahwa, laju reaksi orde nol tidak bergantung pada
konsentrasi reaktan. Untuk reaksi orde satu mempunyai laju berbanding langsung
dengan konsentrasi reaktan. Sedangkan untuk orde reaksi dua berbanding kuadrat
konsentrasinya (Purba, 2012).
Orde reaksi berkaitan dengan pangkat dalam hukum laju reaksi yang
berlangsung secara konstan, tidak bergantung pada konsentrasi pereaksi yang
disebut orde reaksi nol. Reaksi orde pertama lebih menampakkan konsentrasi
tunggal dalam hukum laju reaksi dan konsentrasi tersebut berpangkat satu
(Hiskia, 1992).
Konsep kinematika menyatakan pereaksi mana yang sebaiknya dilebihkan.
Secara kinetika konvensional, tetapan atau keadaan kesetimbangan biasanya
ditentukan dengan menggunakan metode diferensial yakni dengan logika. Pada
saat kesetimbangan laju reaksi maju sama dengan reaksi balik. Hal ini mudah
diterima, namun ada dua masalah yang ternafikan. Pertama secara eksperimen,
laju pada saat kesetimbangan tidak dapat ditentukan karena konsentrasi komponen
reaksi tidak lagi berubah dengan waktu. Penentuan ketetapan laju berdasarkan
metode diferensial ini tidak akan memberikan harga yang pasti. Harga yang pasti
harus diperoleh dengan metode integral kecuali untuk orde reaksi ke nol, harga
tetapan laju K yang diperoleh dengan metode diferensial selalu berbeda dengan
metode integral dan telah memberikan faktor koreksi sehingga harganya sama
(Patiha, 2013).
Agar reaksi kimia dapat terjadi molekul reaktan harus datang bersama-
sama sehingga atom dan molekul dapat ditukar dan disusun kembali. Atom dan
molekul yang lebih dalam fasa gas atau fasa larutan daripada fasa padat, sehingga
reaksi yang lebih sering dilakukan dalam campuran gas atau antara zat terlarut
dalam suatu larutan (More, 2008).
42
III. Prosedur Percobaan
3.1.1 Alat
3.1.2 Bahan
43
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Orde reaksi dalam reaksi natrium tiosulfat dengan asam hidroklorida
Zat-zat pereaksi
Hasil
44
3.2.2 Orde reaksi dalam reaksi magnesium dengan asam hidroklorida
Larutan HCl
Hasil
45
3.2.3 Pengaruh suhu terhadap laju reaksi
Asam oksalat dan Asam sulfat
Hasil
46
3.2.4 Pengaruh katalis terhadap laju reaksi
6 ml asam oksalat
Hasil
47
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Data Percobaan
48
C. Pengaruh suhu terhadap laju reaksi
Suhu Reaksi
Ulangan
100oC 50 oC 25 oC
1 3,14 detik 10,13 detik 126 detik
2 4,02 detik 10,21 detik 131 detik
Rata-rata 3,58 detik 10,17 detik 128,5 detik
Tanda-tanda terjadinya reaksi :Terjadi perubahan warna dari bening menjadi
ungu, kemudian menjadi bening kembali setelah beberapa saat.
E. Pengamatan Virtual
1) Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reaksi
Suhu (T) 20oC 30 oC 40 oC 50 oC 60 oC
Waktu
280 132 59 31 17
(detik)
Pengaruh suhu terhadap laju reaksi :Semakin tinggi suhu, maka laju reaksi
berjalan semakin cepat.
49
2) Pengaruh Katalis Terhadap Laju Reaksi
Gambar kurva pengaruh katalis terhadap Penjelasan
laju reaksi :
-60 bukan
-64 katalisator
-75
-80
-90
-100
4.1.2 Perhitungan
v1 [Na2 S2 O3 ]m
=
v2 [Na2 S2 O3 ]m
v
log (v1 )
2
m= [Na2 S2 O3 ]
log [Na
2 S2 O 3 ]
0,05
log(0,033)
m= 0,15
log(0,12)
log(1,515)
m=
log(1,25)
m = 1,86
50
B. Pengaruh konsentrasi As-hidroklorida
v1 k. [Na2 S2 O3 ]m . [HCl]n
=
v2 k. [Na2 S2 O3 ]m . [HCl]n
v1 [HCl]n
=
v2 [HCl]n
v
log (v1 )
2
n= [HCl]
log [HCl]
0,166
log ( )
0,1
n= 3,0
log(1,6)
log(1,66)
n=
log(1,875)
n = 0,81
= 1,86 + 0,81
= 2,67
C. Pengenceran
[HCl]1 = 2 M
M1 V1 = M2 V2 M1 V1 = M2 V2 M1 V1 = M2 V2
80 120 160
V1 = mL V1 = mL V1 = mL
2 2 2
V1 = 40 mL V1 = 60 mL V1 = 80 mL
51
4.2 Pembahasan
200
y = -73.7x + 329.7
R² = 0.646
0
0.03 0.06 0.09 0.12 0.15 S2O3
-200
Konsentrasi (M)
Sesuai grafik diatas, terlihat data percobaan ini yaitu pada konsentrasi
Na2 S2 O3 0,03 M; 0,06 M; 0,09 M; 0,12 M; dan 0,15 M diperoleh waktu reaksinya
berturut-turut 365 s, 77 s, 51 s, 30 s, dan 20 s. Sehingga dapat dikatakan “semakin
tinggi konsentrasi larutan Na2S2O3, maka waktu terjadinya reaksi semakin cepat”.
Berikut ini grafik konsentrasi terhadap laju reaksinya :
0.04 R² = 0.9725
0.02 S2O3
0 Linear (S2O3)
0.03 0.06 0.09 0.12 0.15
Konsentrasi (M)
52
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa “semakin tinggi konsentrasi
larutan Na2S2O3, maka laju reaksinya semakin tinggi” ini berarti semakin cepat
waktu, maka laju semakin tinggi. Orde reaksi untuk Na-tiosulfat yang didapat
adalah 1,86.
Pada percobaan kedua yang menggunakan volume Na2 S2 O3 dengan
volume tetap yaitu 25 ml dan konsentrasi 0,5 M. Pada percobaan ini pengukuran
dilakukan 3 kali pada setiap penurunan volume HCl sebesar 2 ml. Berikut
grafiknya:
20 y = -8.5x + 30
R² = 0.9146
10 HCl
0 Linear (HCl)
0.8 1.6 3
Konsentrasi (M)
0.1
HCl
0.05
0 Linear (HCl)
0.8 1.6 3
Konsentrasi (M)
53
Dari grafik konsentrasi terhadap laju reaksi ini dapat terlihat bahwa
“semakin tinggi konsentrasi HCl, maka laju reaksinya semakin tinggi” sehingga
reaksi berjalan lebih cepat. Orde reaksi untuk HCl yang didapat adalah 0,81.
Persamaan reaksi dari percobaan ini adalah :
Na2 S2 O3(aq) + 2HCl(aq) → 2NaCl(aq) + SO2(g) + S(s) + H2 O(l)
Dari persamaan reaksi diatas, terlihat bahwa endapan yang terbentuk
adalah belerang (sulfur). Berdasarkan literatur terdapat gas SO2 yang terbentuk
dari Na2 S2 O3 dengan HCl yang menyebabkan larutan berbau sulfur dan ini
terlihat juga pada persamaan reaksinya dimana juga terbentuk SO2 berwujud gas.
Dan secara keseluruhan hasil percobaan sama dengan literature.Orde keseluruhan
yang diperoleh berdasarkan data hasil percobaan adalah 2,67 (Cotton, 1989).
4.2.2 Orde reaksi dalam reaksi antara magnesium dengan HCl
Pada percobaan ini, praktikan mereaksikan pita Mg dengan larutan HCl
100 ml pada berbagai konsentrasi. Hasilnya pada konsentrasi HCl 0,8 M; 1,2 M;
1,6 M; dan 2,0 M, didapatkan waktu reaksinya berturut-turut 87,85 s, 33,91 s,
20,35 s dan 15,36 s. Berikut grafik laju reaksinya :
y = 0.4x + 0.4
2 R² = 1
1 HCl
0 Linear (HCl)
0.0114 0.0295 0.0491 0.0651
1/t (/s)
Berdasarkan grafik diatas, terlihat pada konsentrasi HCl 0,8 M; 1,2 M; 1,6
M; dan 2,0 M, didapatkan laju reaksinya berturut-turut 0,0114/s, 0,0295/s,
0,0491/s dan 0,0651/s. Dalam hal ini, diketahui bahwa“semakin tinggi konsentrasi
HCl, maka laju reaksinya semakin besar yang berarti waktu pita Mg untuk
bereaksi (larut) semakin cepat”. Hal ini dibuktikan pada saat pita Mg ditambahkan
dengan HCl langsung bereaksi,dimana terjadi perubahan warna menjadi putih,
timbul asap putih dan gelembung gas serta terjadi juga perubahan suhu dari dingin
menjadi hangat karena kalor mengalami perpindahan dari sistem ke lingkungan
(reaksi eksoterm). Persamaan reaksinya :
54
Mg (s) + 2HCl(aq) → MgCl2(aq) + H2(g)
Pita Mg dapat larut dalam HCl dikarenakan pada deret volta, Mg terletak
lebih kiri dibandingkan H, sehingga Mg dapat mengusir H yang menyebabkan
terbentuk MgCl2. Mg bersifat reduktor kuat daripada H. Dan juga penyebab
lainnya yaitu terjadi serah terima elektron antara Mg dan Cl yang menyebabkan
Mg dapat larut. Pada bukti terjadinya reaksi terlihat timbul gelembung gas yang
mana berdasarkan persamaan reaksi diketahui bahwa gas tersebut yaitu gas H2.
4.2.3 Pengaruh suhu terhadap laju reaksi
Pada percobaan ini larutan asam oksalat diperlakukan pada 3 suhu yang
berbeda yaitu 100oC (air mendidih), 50oC, dan 25oC (suhu normal) dan dilakukan
pengulangan sebanyak 2 kali agar hasilnya lebih akurat. Pada percobaan ini juga
digunakan KMnO4 dan H2SO4. KMnO4 berperan sebagai oksidator sedangkan
H2SO4 berperan sebagai katalis. Katalis yang digunakan berupa katalis asam
karena zat yang diuji merupakan larutan asam (asam oksalat). Pada saat
ditambahkan KMnO4 warna larutan yang awalnya bening berubah menjadi ungu,
dan kemudian berubah menjadi bening lagi. Ini karena KMnO4 berperan sebagai
oksidator atau pengoksidasi sehingga dirinya sendiri mengalami reduksi yang
menyebabkan warna larutan dapat berubah. Pada suhu 100 oC waktu reaksi rata-
rata 3,58 detik, suhu 50 oC waktu reaksi rata-rata 10,17 detik dan suhu 25 oC
waktu reaksi rata-rata 128,5 detik. Dalam hal ini “semakin tinggi suhu yang
digunakan, waktu yang dibutuhkan semakin kecil” atau laju reaksinya akan
semakin tinggi sehingga reaksi yang terjadi berjalan lebih cepat. Berdasarkan
literatur hal ini dikarenakan dengan naiknya suhu, maka energi kinetik partikel
zat-zat meningkat sehingga memungkinkan semakin banyaknya tumbukan efektif
yang menghasilkan perubahan, karena kenaikan suhu menjadi faktor penyebab
dalam mempercepat laju reaksi. Persamaan reaksinya yaitu :
H2 C2 O4(aq) + 2KMnO4(aq) → K 2 C2 O4(aq) + 2MnO4(aq) + H2(g)
dan juga mengapa H2SO4 yang digunakan sebagai katalis tidak terdapat dalam
persamaan reaksi, Ini dikarenakan H2SO4 hanya mempercepat laju reaksi tanpa
ikut bereaksi. Pada percobaan selanjutnya (keempat) akan menjelaskan dengan
lebih detail mengenai katalis.
55
4.2.4 Pengaruh katalis terhadap laju reaksi
Pada percobaan ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh katalis terhadap
laju reaksi. Berdasarkan teori katalis yaitu senyawa yang dapat mempercepat laju
reaksi tanpa ikut bereaksi. Maka dari itu, dilakukanlah percobaan ini untuk
menguji teori tersebut. Dalam percobaan ini, larutan asam oksalat 0,1 N
direaksikan dengan H2SO4 1 M dan H2O. Disini H2SO4 yang berperan sebagai
katalis untuk mempercepat laju reaksi. Mengapa begitu? Pada saat penambahan 2
ml H2SO4 waktu reaksinya 6,925 s, lalu pada penambahan 1 ml H2SO4 waktu
reaksinya menjadi 9,35 s dan pada penambahan 4 ml H2 O waktu reaksinya
menjadi lebih lama lagi yaitu 26,265 s. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa jika
tanpa katalis (digunakan H2O) waktu reaksinya paling lama sedangkan semakin
banyak katalis yang digunakan (volume H2SO4 besar) maka laju reaksi berjalan
semakin cepat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa katalisnya adalah H2SO4 dan
“katalis dapat mempercepat laju reaksi dikarenakan katalis dapat menurunkan
energi aktivasi (energi minimum untuk mereaksikan zat) agar reaksi dapat
berlangsung lebih cepat tanpa ikut bereaksi”.
Pada percobaan ini juga ditambahkan KMnO4 yang mana ini
menyebabkan warna larutan yang awalnya bening berubah menjadi ungu dan
kemudian berubah menjadi bening lagi seperti percobaan sebelumnya. Disini
KMnO4 berperan sebagai oksidator atau pengoksidasi sehingga dirinya sendiri
mengalami reduksi yang menyebabkan warna larutan dapat berubah.
Dari keempat percobaan diatas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi kimia adalah konsentrasi, suhu, dan katalis dimana laju
reaksi kimia akan bertambah besar (reaksi berjalan cepat) jika :
1. Konsentrasi larutan ditambahkan.
2. Suhu reaksi dinaikkan.
3. Ditambahkan katalis pada reaksinya.
4. Sebenarnya masih ada faktor lain seperti luas permukaan, tekanan, dan lainnya
lagi, namun tidak dibahas pada praktikum ini.
56
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
57
DAFTAR PUSTAKA
Endahwati, Luluk. 2007. Kinetika Reaksi Pembuatan NaOH dari Soda Ash dan
Ca(OH)2. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik. Vol 7(2) : 57-58.
Hiskia, A. 1979. Elektrokimia dan Kinematika Kimia. Bandung : ITB Press.
Keenan, Charles W. 1979. Kimia Untuk Universitas. Jakarta : Erlangga.
More, John W. 2008. Chemistry The Molekular Science Third Edition. Canada :
Thomson Brooks.
Patiha. 2013. Penentuan Tetapan Laju Reaksi Balik dan Tetapan Kesetimbangan
dengan Pendekatan Fraksi Searah dan Hukum Laju Reaksi Maju. Jurnal
Penelitian Kimia. Vol 9(2).
Purba, Elida. 2012. Kajian Awal Laju Reaksi Fotosintesis Untuk Penyerapan Gas
CO2 Menggunakan Mikro Alga. Jurnal Rekayasa Proses. Vol 6(1) : 7-13.
Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Kimia Dasar. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Sukamto. 1989. Kimia Fisika. Jakarta : PT. Bhineka Cipta.
Sunarya, Yayan. 2002. Kimia Dasar II Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kimia
Terkini. Bandung : Alkemi Grafisindo Press.
58
LAMPIRAN
A. Pertanyaan Pra-Praktikum
1. Apa definisi ringkas dari (a) hukum laju, (b) tetapan laju, (c) orde reaksi,
(d) energi aktivasi ?
Jawab :
a. Hukum laju : persamaan yang menghubungkan laju reaksi
dengankonstanta laju dan konsentrasi reaktan.
b. Tetapan laju : tetapan perbandingan antara laju reaksi dan hasil kali
konsentrasi spesi yang mempengaruhi laju reaksi.
c. Orde reaksi : bilangan pangkat konsentrasi pada persamaan suatu laju
reaksi.
d. Energi aktivasi : energi kinetik minimum yang diperlukan oleh
partikel-partikel agar dapat bereaksi membentuk kompleks teraktivasi.
2. Apakah satuan tetapan reaksi untuk (a) reaksi orde nol, (b) reaksi orde
satu, (c) reaksi orde dua?
Jawab :a) reaksi orde nol = mol. l−1 s −1
b) reaksi orde satu = s −1
c) reaksi orde dua = l. mol−1 s −1
3. Belerang dioksida mereduksi HIO3 dalam larutan asam dengan reaksi :
3SO2 (g) + 3H2O(l) + HIO3 (aq) 3H2 SO4 (aq) + HI(aq)
Pada akhir reaksi, jika terdapat HIO3 berlebih. Zat ini dapat diambil
dengan larutan kanji. Senyawa HI dan HIO3 segera bereaksi membentuk I2
yang diserap oleh kanji dan menimbulkan warna biru. Dari percobaan
dapat diperoleh data :
(SO2 ) M ( HIO3 ) M t (detik)
14,6 x 10−4 3,60 x 10−3 25,8
7,31 x 10−3 3,60 x 10−3 52,8
14,6 x 10−4 7,21 x 10−3 12,6
Tentukan orde reaksi untuk setiap pereaksi dan orde keseluruhannya !
1
Jawab : r = t
r1 k (SO2 )x . ( HIO3 )y
=
r2 k (SO2 )x . ( HIO3 )y
59
52,8 (14,6.10−4 )x . ( 3,60.10−3 )y
=
52,8 (7,31.10−3 )x . ( 3,60.10−3 )y
2= 2x
x= 1
r1 k (SO2 )x . ( HIO3 )y
=
r2 k(SO2 )x . ( HIO3 )y
y=1
maka orde keseluruhannya = 1+1
= 2
60
B. Pertanyaan Pasca-Praktikum
1. Tuliskan persamaan reaksi pada percobaan C. Apakah H2SO4 dalam
percobaan ini dapat dikatakan sebagai katalis ?
Jawab : H2C2O4(aq) + 2KMnO4(aq) K2C2O4(aq) + 2MnO4(aq) + H2(g)
Bisa, karena sifat katalis yang bekerja efektif pada suhu optimum.
61
C. Dokumentasi Percobaan
1) Orde Reaksi dalam Reaksi Natrium Tiosulfat dengan Asam Hidroklorida
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4 :
62
3) Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reaksi
Gambar 5 Gambar 6
Gambar 7
Tabung direndam dalam air mendidih 100oC, reaksi selesai saat warna larutan
menjadi bening kembali)
63
4) Pengaruh Katalis Terhadap Laju Reaksi
Gambar 8 Tabung reaksi diberikan beberapa katalis (H2SO4& H2O), saat warna
berubah bening, reaksi telah selesai
D. Pengamatan Virtual
1) Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reaksi
64
1) Pengaruh Katalis Terhadap Laju Reaksi
65
PERCOBAAN IV
PENETAPAN MASSA MOLAR BERDASARKAN PENURUNAN TITIK
BEKU
I. Tujuan
1. Menetapkan titik beku cairan murni dan titik beku larutan dalam pelarut
yang bersangkutan.
2. Menetapkan massa molar berdasarkan penurunan titik beku.
II. Landasan Teori
Kata koligatif larutan berasal dari bahasa latin (colligare) yang berarti
berkumpul bersama. Sifat koligatif adalah sifat yang disebabkan hanya oleh
kebersamaan ( jumlah partikel ) −7 × 105 dan bukan oleh ukurannya. Zat terlarut
mempengaruhi sifat larutan dan besarnya pengaruh itu bergantung pada jumlah
partikel tersebut (Syukri, 1999).
Menurut Brady, (1999) sifat koligatif larutan adalah sifat larutan yang
disebabkan hanya oleh kebersamaan (jumlah partikel) dan bukan oleh ukurannya.
Ada empat sifat koligatif larutan, yaitu:
1. Penurunan Tekanan Uap Jenuh (ΔP)
2. Peningkatan Titik Didih (ΔTd)
3. Penurunan Titik Beku (ΔTb)
4. Tekanan Osmotik
Sifat koligatif larutan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sifat
larutan elektrolit dan sifat larutan nonelektrolit. Hal itu disebabkan karena zat
terlarut di dalam larutan elektrolit bertambah jumlahnya karena terurai menjadi
ion-ion, sedangkan zat terlarut pada larutan nonelektrolit jumlahnya tetap karena
tidak terurai menjadi ion-ion .Sesuai dengan hal tersebut, maka sifat larutan
nonelektrolit lebih rendah daripada sifat koligatif larutan elektrolit. Larutan
merupakan suatu campuran yang homogen dan dapat berwujud padatan ataupun
cairan. Akan tetapi, larutan yang paling umum dijumpai adalah larutan cair,
dimana suatu zat tertentu dilarutkan dalam pelarut berwujud cairan yang sesuai
hingga konsentrasi tertentu (Petrucci, 1987).
Dalam sifat koligatif larutan, dinyatakan bahwa titik beku larutan lebih
rendah jika dibandingkan dengan titik beku pelarut murni. Misalnya pada larutan
66
gula membeku dibawah temperatur 0°C. Sementara pelarutnya yaitu air,
membeku pada temperatur 0°C.
Titik beku latutan merupakan temperatur pada saat larutan setimbang
dengan pelarut padatannya. Larutan akan membeku pada temperatur lebih rendah
dari pada pelarutnya. Alat yang biasa dipakai untuk menetapkan harga ΔT ialah
alat yang disebut dengan beakman (Sukardjo, 2002).
Apabila zat terlarut bersifat tidak mudah menguap, maka tekanan uap dari
larutan selalu lebih kecil dari pada pelarut murninya. Jadi, hubungan tekanan uap
larutan dan tekanan uap pelarut bergantung pada konsentrasi zat terlarut dalam
larutan. Hubungan itu dimasukkan dalam Hukum Raoult yang menyatakan bahwa
tekannan uap suatu komponen yang menguap dalam larutan sama dengan tekanan
uap yang menguap murni yang dikalikan dengan fraksi mol komponen yang
menguap. Pada temperature yang sama, larutan memiliki tekanan yang lebih
rendah daripada pelarut murninya. Akibatnya titik beku larutan menjadi lebih
rendah jika dibandingkan dengan titik beku pelarut murninya. Air murni pada
tekanan 1 atm membeku pada 0°C. Besarnya penurunan titik beku hanya
ditentukan oleh jumlah partikel zat terlarut. Semakin banyak partikel zat terlarut,
maka akan semakin besar pula penurunan titik bekunya (Chang, 2004).
Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat terlarut digunakan
persamaan Raoult. Dimana suhu konstan dari asam asetat murni dijadikan sebagai
suhu akhir. Hasilnya semakin banyaknya zat terlarut yang ditambahkan, maka
titik bekunya akan semakin rendah (Rohayati, 2010).
Peningkatan titik didih dan penurunan titik beku dari suatu larutan
berbanding lurus dengan konsentrasi molal (m) dari larutan.Tiap pelarut
mempunyai konsentrasi tertentu yang spesifik (Petrucci, 1987).
Menurut Petrucci (1987), persamaan penurunan titik beku (ΔTb) adalah :
ΔTb = Kb×m
gr
ΔTb = Kb ×
Mr
Keterangan :
ΔTb : penurunan titik beku (k) Kb : tetapan kenaikan titik didih
Mr : massa molekul relatif
67
Dengan menggunakan penurunan rumus yang sama dengan yang
digunakan dalam kenaikan titik didih, diperoleh bahwa penurunan titik beku juga
sebanding dengan konsentrasi zat terlarut (molaritas). Maka diperoleh persamaan:
Tb = -Kb × m2
Dengan Kb sebagai konstanta krioskopik atau konstanta penurunan titik
beku dan m adalah molaritas larutan. Pada kenyataannya, persamaan diatas hanya
berlaku untuk larutan yang mengandung zat terlarut volatil (Bird, 1987).
Peralihan wujud zat ditentukan oleh suhu dan tekanan. Contohnya air pada
tekanan 1 atm mempunyai titik didih 100°C dan titik beku 0°C. Jika air
mengandung zat terlarut yang sukar menguap (misalnya gula) maka titik didihnya
akan lebih besar dari 100°C dan titik bekunya adalah lebih dari 0°C. Perbedaan
tersebut sebagai kenaikan titik didih dan penurunan titik beku (Syukri, 1999).
Satuan massa atom memberikan skala relatif dari massa berbagai unsur.
Tetapi, karena atom hanya mempunyai massa yang sangat kecil, tidak ada skala
yang dapat digunakan untuk menimbang satuan massa atom dalam satuan yang
terkalibrasi. Massa molar didefinisikan sebagai massa (dalam gram atau kilogram)
dari 1 mol entitas (seperti atom atau molekul) zat (Chang, 2005).
Pada tekanan tetap, titik beku suatu larutan encer berbanding lurus dengan
konsentrasi massa. Larutan semua zat terlarut yang tidak mengion dalam pelarut
yang sama mempunyai titik beku sama pada tekanan yang sama (Syukri, 1999)
Larutan yang mengandung zat terlarut tak volatil dapat menurunkan
tekanan uap pelarut. Semakin tinggi konsentrasinya maka semakin besar
penurunan tekanan uapnya. Biasanya bila berbicara tentang titik beku atau titik
didih, orang sepakat bahwa itu berlaku untuk kondisi 1 atm. Istilah yang lebih
eksak untuk titik itu adalah titik beku dan titik beku normal. Dalam lampiran kita
dapat mempunyai harga-harga Tf dan Tb untuk sejumlah zat. Metode untuk
menduga Tb biasanya kurang baik. Seperti yang diungkapkan oleh Bondi sfus
lebih besar bila molekul dapat memiliki sejumlah orientasi dalam fase cair
dibanding dalam wujud padatnya. Jadi sfus lebih kecil untuk molekul sferik, kauk
dan Tf lebih tinggi dari pada untuk molekul berukuran sama yang
anisometrik dan lentur. Bagaimanapun Eston mengusulkan penggunaan
metode interpolasi untuk mengkorelasikan titik-titik beku pada deret homolog.
68
Untuk deret seperti itu, ia membuat grafik (Tb Tf) / Tf Vs berat molekul. Kecuali
barang kali untuk anggota pertama deret grafik tersebut menghasilkan sebuah
garis lurus (Reis, 1999).
Perubahan suhu berbanding lurus dengan perubahan tekanan uap untuk
konsentrasi zat terlarut yang cukup rendah, penurunan titik beku berkaitan dengan
molalitas total melalui Tf=TfoT adalah tetapan positif yang hanya bergantung
pada sifat pelarut. Gejala penurunan titik beku menyebabkan kenyataan bahwa air
laut yang mengandung garam terlarut memiliki titik beku yang lebih rendah
daripada air segar. Larutan garam pekat memiliki titik beku yang lebih rendah
lagi. Pengukuran titik beku seperti halnya peningkatan titik didih yang dapat
digunakan untuk menentukan massa molar zat yang tidak diketahui.
Jika suatu zat berdisosiasi dalam larutan maka molalitas total semua spesies
yang ada (ionik atau netral) harus digunakan dalam perhitungan (Norman, 2001).
Terdapat empat sifat yang berhubungan dengan larutan encer atau kira-kira
pada larutan yang lebih pekat, yang tergantung pada jumlah partikel terlarut yang
ada. Jadi, sifat-sifat tersebut tidak tergantung pada jenis larutan. Keempat sifat
tersebut ialah penurunan tekanan uap, peningkatan titik didik, penurunan titik
beku, dan tekanan osmosis. Pada tahun1880-an kimiawan Prancis F. M. Raoult
mendapati bahwa melarutkan suatu zat terlarut mempunyai efek penurunan
tekanan uap dari pelarut. Banyak penurunan tekanan uap (P) terbukti sama
dengan hasil kali fraksi mol terlarut (XB) dan tekanan uap pelarut murni (PAo),
yaitu: P = XB.PAo Dalam dua larutan komponen, XA + XB = 1, maka XB =
1XA. Juga apabila tekanan uap pelarut di atas larutan dilambangkan PA, maka P
= PAoPA. Sehingga dapat ditulis kembali menjadi:PAo PA= (1XA) PAo
Dan penataan ulang persamaan ini menghasilkan bentuk yang umum dikenal
dengan Hukum Raoult. Hukum Raoult menyatakan bahwa “Tekanan uap pelarut
di atas suatu larutan (PA) sama dengan hasil kali tekanan uap pelarut murni (PAo)
dengan fraksi mol dalam larutan(XA)”. Apabila zat terlarut mudah menguap dapat
ditulis pula PB = XB.PBo (Petrucci, 1987).
69
III. Prosedur Percobaan
3.1.2 Bahan
1. Batu es
2. Garam
3. Air
4. p-xilena
70
3. 2 Skema Kerja
3.2.1 Penetapan Titik Beku Pelarut Murni
Es, Air,Garam
Garam
Dirakit alat
Hasil
71
3.2.2 Penetapan Massa Molar Senyawa yang Tidak Diketahui
Hasil
72
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
Penetapan titik beku pelarut murni
Volume P-Xilena yang digunakan 25 ml
Waktu (detik) Suhu (0C) Keterangan
15 15
30 10
45 8
60 7
75 6
90 5
105 4
120 3,5
135 3
150 2
165 2
180 2
Warna P-Xilena berubah
195 2
menjadi keruh dan mulai
210 1
membeku
225 1
240 0
255 0
270 0
285 0
300 0
315 0
330 0
345 -1
360 -1
375 -1
390 -1
73
4.2 Pembahasan
Pada kali ini praktikan akan melakukan percobaan praktikum yang
berjudul penetapan massa molar berdasarkan penurunan titik beku penurunan titik
beku merupakan salah satu dari sifat koligatif zat atau larutan itu sendiri,
sementara sifat koligatif itu sendiri adalah sifat yang hanya dipengaruhi oleh
jumlah zat terlarut dan tidak dipengaruhi oleh jumlah dari zat pelarutnya.
Sedangkan penurunan titik beku tersebut merupakan selisih antara pelarut suatu
larutan yang telah mengandung zat terlarut dengan pelarut dalam keadaan murni
atau penurunan titik beku juga dapat dikatakan sebagai turunanya titik beku suatu
larutan yang disebabkan oleh zat terlarut dalam pelarut pada kondisi suhu yang
sama.
Praktikum kali ini Praktikan akan menggunakan zat p-xilena yang di
gunakan sebanyak 25 ml adapun wujut zat p-xilena yang kami dapat dalam
keadaan cair yang akan dilakukan untuk keperluan praktikum ini dalam hal ini
praktikan menggunakan zat p-xilena karena zat p-xilena merupakan zat turunan
dari benzena yang dapat dan memiliki tetapan titik beku yang diketahui sehingga
saat digunakan untuk percobaan p-xilena merupakan zat yang sangat cocok untuk
penetapan molar zat berdasarkan titik bekunya dan adapun alasan digunakan
garam saat pencelupan kedalam es dan es ditambahkan garam karena garam
sebagai katalis atau pencepat kelajuan dari pembekuan zat p-xilena dan efek yang
terjadi pada penambahan garam adalah penambahan garam yang sangat banyak
akan membantu zat untuk membeku ke dalam wujuf es lebih cepat sementara
untuk penambahan garam yang tidak terlalu banyak zat tersebut akan mengalami
pembekuan atau perubahan wujut p-xilena dari cair ke es lebih lambat dan ini
dapat mempengaruhi hasil yang didapat oleh praktikan
Dalam percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penurunan
titik beku dan untuk mengetahui tetapan massa molar zat p-xilena, dan dari hasil
percobaan yang kami dapat massa molaritas p-xilena tidak sama dengan hasil
yang terdapat pada literatur
Dalam larutan, zat juga mengalami proses dan larutan merupakan
campuran antara dua atau lebih suatu zat yang telah tercampur atau suatu zat
74
yang bercampur secara homogen atau tidak dapat dipisahkan lagi antara zat
pelarut dan zat terlarut.
Dalam percobaan kali ini yaitu menetapkan titik beku pelarut murni kami
lakukan langkah yang pertama menyiapkan tabung reaksi yang besar, gabus yang
telah dilubangi untuk tempat, termometer, gelas piala 600 ml dan batang
pengaduk. Dimasukan es batu yang telah dihancurkan dan garam kasar ke dalam
gelas piala, kami sediakan ruang untuk tabung reaksi agar tertancap diantara es
batu dan garam. Setelah itu diisilah tabung reaksi besar dengan p-xilena sebanyak
25 ml, lalu pasang penyumbat gabus yang telah disiapkan diselangi termometer.
Masukan tabung reaksi ke dalam gelas piala tadi yaitu tertancap disela-sela es
batu dan garam.
Setelah suhu ditermometer menunjukan derajat 18oC,diukur suhu nya tiap
15 detik berikutnya hingga p- xilena membeku atau hingga suhu konstan (tetap).
Didapatkan data setelah 15 detik dari derajat 18oC suhu turun menjadi 9 oC, 15
detik kemudian suhu kembali turun menjadi 4,5 oC begitu seterusnya hingga suhu
konstan pada 15 detik ke 17 dengan kuantitas -5 oC.
Sesuai data diperoleh grafik penetapan titik beku zat p- xilena:
Dengan sisi vertikal menunjukan perubahan suhu dan sisi horizontal
menunjukan penambahan waktu 15 detik berikutnya. Sesuai grafik ΔTf=titik
beku pelarut- titik beku larutan=0-(-5)=5oC. Jadi pada percobaan kali ini
didapatkan perubahan titik beku larutan sebesar 5oC.
Percobaan berikutnya adalah menetapkan massa molar senyawa yang tidak
diketahui pertama kali yang dilakukan adalah penimbangan massa tabung dan
diperoleh 39,49 gr, massa tabung dan senyawa 41,93 gr dan massa senyawa 2,44
gr. Senyawa X yang tadi ditimbang kemudian dimasukan dalam larutan p-xilena
dalam tabung reaksi lalu dikocok agar menjadi homogen atau zat terlarut
sempurna. Sebelumnya pastikan dulu suhu tabung reaksi kembali 18oC.
Digunakan cara menaikan suhu dari -5 oC ke 18 oC dengan menggenggam tabung
reaksi setelah suhu kembali 18 oC. Tabung kembali dimasukan disela-sela es dan
garam tadi, dengan hal dan cara yang sama setelah 15 detik suhu diukur adalah
16 oC, 15 detik berikutnya 10 oC, 15 detik berikutnya 7,5 oC dan begitu seterusnya
hingga suhu konstan di -0,5 oC yaitu pada 15 detik berikutnya yang ke 27.
75
Berdasarkan percobaan, dapatlah suatu grafik penurunan titik beku
senyawa X yakni:
p-xilena
20
15
10
Suhu (oC)
Suhu
5
0 y = -0.7279x + 7.5
165
105
120
135
150
180
195
210
240
0
15
30
45
60
75
-5 90
-10
Waktu (detik)
Setelah diplot kurva titik bekup-xilena berdasarkan data yang diperoleh waktu
pada sumbu horizontal dan sumbuh yang vertikal.
Dalam pencarian ΔTf dan Tf, seberapa jauh perubahan terjadi hanya
bergantung pada banyaknya zat yang dilarutkan dan pada tingkat disosiasi zat
terlarut. Perubahan titik beku dan titik didih tidak berkaitan dengan identitas
kimia zat yang bersangkutan, inilah kami simpulkan sifat sebagai koligatif atau
disebut sifat koligatif larutan.
Konsep diatas kami cari berdasarkan konsep ΔTf=Kf x m, dengan m =
molalitas x . Dengan Kf adalah tetapan titik beku molal dan M adalah konsentrasi
larutan dinyatakan dengan molal.
Jika dilihat dari hasil percobaan dan juga rumus yang telah ditetapkan,
massa zat terlarut yang digunakan untuk menghitung mol yang akan berpengaruh
pada penentuan titik didih dan titik beku. Semakin besar massa zat terlarut maka
semakin besar pula nilai penurunan titik beku. Hal ini menunjukkan bahwa massa
zat terlarut berbanding lurus dengan nilai penurunan titik beku. Sedangkan massa
zat pelarut juga berpengaruh dengan nilai penurunan titik beku. Semakin besar
nilai penurunan titik beku maka semakin kecil massa zat pelarut yang digunakan.
76
V. Kesimpulan dan saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa :
1. Titik beku cairan murni dan titik beku larutan dalam pelarut yang
bersangkutan dapat ditetapkan dengan pencatatan suhu tiap waktu secara
kontinu, menghasilkan tetapan yang dinyatakan:ΔTf=Kf x m.
dengan ΔTf=perubahan/ penurunan titik beku, Kf=tetapan titik beku
molal, m=molalitas dengan m=gr/mr x 1000/p dan p=ρ x v dimana
ρ=massa jenis/kerapatan. Atau ΔTf=Kf x bobot zat terlarut/ pelarut.
2. Menetapkan massa molar dan senyawa yang tidak diketahui berdasarkan
penurunan titik beku melalui percobaan yaitu dengan cara memasukan
suatu senyawa dalam larutan lain, dan diukur suhu tiap periode waktu
tertentu. Dinyatakan:
ΔTf=Kf x m m=gr/mr x 1000/v
massa molar dari gr/mr=n ,n= M vdapatlah M=Molar.
5.2 Saran
Titik beku cairan murni dan titik beku larutan dari setiap larutan
berbeda, dan dalam percobaan ini di gunakan p-xilena yang memiliki titik
beku cairan murninya diketahui dalam percobaan p-xilena pastikan
pengukuran suhu dan penggunaan garam tidak berlebihan atau terlalu
banyak.
77
DAFTAR PUSTAKA
Brady, J. 1999. Kimia untuk Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Erlanggga.
Bird, Tony. 1987. Kimia untuk Universitas. Jakarta : PT. Gramedia.
Chang, R. 2004. Kimia Dasar. Jakarta : Erlangga.
Norman, 2001. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Jakarta : Erlangga.
Petrucci, R.H. 1987. Kimia Dasar Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Rohayati. 2010. Penurunan Titik Beku Larutan. Jurnal Sains Kimia. Vol.2 (2).
Sastrawijya, Tresna. 1993. Kimia Dasar 2. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sukardjo. 2002. Kimia Fisika. Jakarta : Rineka Cipta.
Syukri, S. 1999. Kimia Dasar Jilid 2. Bandung : ITB.
78
LAMPIRAN
A. Pertanyaan Prapraktek
1. Sebanyak 1,20 gram senyawa yang rumusnya C8H8O dilarutkan dalam 15
ml sikloheksana, C6H12 (rapatan sikloheksana = 0,779gr/ml). Hitung
molaritas larutan ini!
Jawab:
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎C8 H8 O
n=
𝑀𝑟C8 H8 O
1,20 𝑔𝑟
= 120 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
= 0,01 mol
𝑛
𝑀= 𝑣
0,01
= 0,015
= 0,67 M
2. Hitung penurunan titik beku ∆𝑇𝑓 , larutan pada soal 1. Diketahui Kf = 20,0
km-1 !
Jawab : 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎C8 H8 O = ρ × v
= 0,779 × 15
= 11, 985 gram
∆𝑇𝑓 = 𝐾𝑓 × 𝑀
= 20 × 0,01
= 0,2oC
3. Asam asetat, HC2H3O2, terurai dalam air menjadi H+ dan C2H3O2-. Larutan
tersebut diberi label 0,100 m HC2H3O2 yang mempunyai titik beku hasil
pengukuran -0,190 °C. Hitung % penguraian HC2H3O2.
Jawab :
∆𝑇𝑓 = 𝑇𝑓𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 − 𝑇𝑓𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛
= 0 – (-0,190)= 0,190 oC
∆𝑇𝑓 = 𝑚 × 𝐾𝑓 × 𝑖
79
0,190 = 0,186 × 0,1 × (1 + (2 − 1)𝛼)
0,190 = 0,186 (1+𝛼)
(1 + 𝛼) = 1,02
𝛼 = 0,02
% = 𝛼 × 100%
= 0,02 × 100%
= 2%
80
B. Pertanyaan Pascapraktek
1. Apa efek yang akan terjadi pada perhitungan massa molar dari tiap
kemungkinan kesalahan berikut:
a. Sejumlah kecil p-xilena menguap selama percobaan
b. Zat asing terdapat pada p-xilena
Jawab:
a. Jika p-xilena menguap maka volumenya akan berkurang, dengan
demikian massa molarnya akan bertambah besar
b. Jika zat asing terdapat pada p-xilena, massa zat tersebut bertindak
sebagai pelarut. Dengan demikian massa molalnya akan berubah/
berkurang dan menyebabkan perubahan massa larutan
2. Diketahui 3,39 gram H2NCONH2, bila dilarutkan kedalam 98 gram
pelarut, titik beku larutan lebih rendah 7,8oC. Hitung tetapan titik beku
molal dari pelarut!
Jawab :
Diketahui : Tf= 7,80C
Mr= 60
Ditanya : Kf??
Jawab :
𝑔𝑟 1000
∆𝑇𝑓 = 𝐾𝑓 × ×
𝑀𝑟 𝑝
3,39 1000
7,8 = 𝐾𝑓 × ×
60 98
4586,4
𝐾𝑓 =
339
= 13,529
3. Sebanyak 88 gram zat dilarutkan dalam 393 ml benzena. Larutan
membeku pada -0,500C. Titik beku normal benzena 5,5. Kf = 5,120C/m.
Rapatan benzena 0,879 gram/ml. Hitung mr dari pelarut!
Jawab :
Diketahui : Tf = -0,50C
∆𝑇𝑓 = 5,5 − (−0,5)
∆𝑇𝑓 = 6°𝐶
81
Ditanya : Mr?
Jawab :𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 = ρ × v
= 0,879 × 393
= 345,447 gram
𝑔𝑟 1000
∆𝑇𝑓 = 𝐾𝑓 × ×
𝑀𝑟 𝑝
88 1000
6 = 5,12 × ×
𝑀𝑟 345,447
450560
𝑀𝑟 =
2072,602
= 217,38
4. Ketika 3,5 gram zat dilarutkan dalam 20 ml air, titik beku air turun hingga
-1,250C. Kf air= 1,860C/m. Hitung Mr!
Jawab :
Diketahui : massa = 3,5 gram
∆𝑇𝑓 = 0 − (−1,25) = 1,25°𝐶
Ditanya :Mr = ?
Jawab :
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 = ρ × v
= 1gr/ml × 20ml
= 20 gram
𝑔𝑟 1000
∆𝑇𝑓 = 𝐾𝑓 × ×
𝑀𝑟 𝑝
3,5 1000
1,25 = 1,86 × ×
𝑀𝑟 20
325,5
𝑀𝑟 =
1,25
= 260,4
82
C. Dokumentasi Percobaan
83
ANALISA KUALITATIF GUGUS FUNGSI (I)
I. Tujuan
1. Menentukan adanya ikatan rangkap pada suatu senyawa
2. Memahami sifat fisika alkohol dan fenol
3. Memahami reaksi-reaksi alkohol dan fenol
4. Memahami reaksi-reaksi yang membedakan alkohol dan fenol
II. Landasan Teori
Gugus fungsi adalah kedudukan kereaktifan kimia dalam molekul satu
kelompok senyawa dengan gugus fungsi tertentu menunjukkan gejala reaksi yang
sama. Kesamaan gejala reaksi tersebut dapat digunakan untuk mengelompokkan
senyawa (Matsjeh,1986).
Analisis kualitatif dari senyawa organik, yaitu identifikasi gugus
fungsionalnya. Senyawa organik yang diketahui gugus fungsionalnya dapat
diketahui pula golongannya karena setiap golongan senyawa organik mempunyai
sifat tertentu bergantung pada gugus fungsi yang dimilikinya (Fessenden, 1986).
Banyak senyawa organik yang mempunyai gugus fungsi lebih dari satu,
khususnya senyawa organik : seperti alkaloid, terpenoid dan flavonoid. Gugus
fungsi adalah gugus yang akan memberikan karakteristik kepada senyawa
organik. Oleh karena itu, jika suatu molekul memiliki dua gugus fungsi berlainan
dengan jarak yang berjauhan maka senyawa ini akan mempunyai sifat-sifat atau
karakteristik dari masing-masing fungsi (Matsjeh, 1986).
Gugus fungsi merupakan kereaktifan kimia dalam molekul yang timbul
dari perbedaan keelektronegatifan antara atom yang berikatan. Jadi, ikatan
rangkap dua dan ikatan rangkap tiga merupakan gugus fungsi. Analisis kualitatif
ini menggunakan pereaksi kimia yang dapat bereaksi secara selektif dengan
gugus fungsional senyawa organik. Hasil reaksinya menghasilkan perubahan yang
dapat dengan mudah diamati (Fessenden, 1986).
Alkana merupakan senyawa hidrogen jenuh yang seluruh ikatannya
tunggal. Sebagai hidrokarbon jenuh, alkana memiliki jumlah atom H yang
maksimal. Alkana juga disebut parifin karena sukar bereaksi dengan senyawa-
senyawa lainnya. Sedangkan alkena adalah hidrokarbon yang mengandung ikatan
rangkap dua antara dua atom C berurutan. Alkena disebut juga hidrokarbon tidak
84
jenuh karena tidak mempunyai jumlah maksimum atom yang dapat ditampung
oleh setiap atom karbon pada rangkaian tersebut (Marwati, 2007).
Alkana memiliki 2 jenis ikatan kimia, yakni ikatan C-C dan C-H . katan C-
C dan C-H tergolong kuat karena untuk memutuskan kedua ikatan tersebut
diperlukan energi masing-masing sebesar 347 kJ/mol untuk C-C dan 413 kJ/mol
untuk H-H. Energi tersebut dapat diperoleh dari panas seperti dari pemantik api
pada pembakaran elpiji. Alkana memiliki ikatan C-C yang bersifat non polar dan
C-H yang dapat dianggap non polar karena beda keelektronegatifannya yang
kecil. Ini yang menyebabkan alkana dapat bereaksi dengan pereaksi non polar
seperti oksigen dan halogen. Sebaliknya, alkana sulit bereaksi dengn perekasi
polar/ionik seperti asam kuat , basa kuat dan oksidator permanganat ( Petrucci
,1992).
Semua alkana merupakan senyawa polar sehingga sukar larut dalam air.
Pelarut yang baik untuk alkana adalah pelarut non polar, misalnya eter. Jika
alkana bercampur dengan air, lapisan alkana berada di atas, sebab massa jenisnya
lebih kecil daripada 1. Pada suhu kamar, empat suku pertama berwujud gas, suku
ke 5 hingga suku ke 16 berwujud cair, dan suku diatasnya berwujud padat.
Semakin banyak atom C, titik didih semakin tinggi. Untuk alkana yang berisomer
(jumlah atom C sama banyak), semakin banyak cabang, titik didih semakin
kecil.Semua alkana tidak berwarna dan memiliki bau yang khas (Brady, 1999).
Menurut Petrucci, (1992) titik didih alkana meningkat seiring kenaikan
berat molekul. Hal ini dikarenakan meningkatnya gaya van der Waals sebanding
dengan kenaikan berat molekul. Cabang alkana menyebabkan penurunan luas
permukaan yang mengakibatkan penurunan gaya van der Waals. Itulah sebabnya
titik didih pentana > isopentana > neopentana. Titik leleh alkana tidak
menunjukkan keteraturan. Alkana dengan jumlah atom karbon genap memiliki
titik leleh lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai jumlah atom karbon ganjil.
Kecenderungan abnormal pada titik leleh mungkin karena alkana dengan atom
karbon ganjil memiliki atom karbon di sisi berlawanan. Jadi, alkana dengan atom
karbon genap dapat dikemas erat dalam kisi kristal membuat gaya tarik
antarmolekul menjadi lebih besar.
85
Alkana dapat digunakan sebagai Bahan Bakar, misal elpiji, kerosin, bensin
dan solar. Pelarut (petroleum eter dan nafta), Sumber hidrogen, Pelumas(alkana
dengan suhu tinggi ( jumlah atom karbon banyak ) misal C18H38. Bahan baku
organik, misal minyak bumi dan gas alam yang di gunakan untuk sintetis alkohol
dan asam cuka, bahan baku industri (Hart, 1990).
Alkohol adalah turunan hidroksil dari alkana R-H, maupun turunan alkil
dari air. Terdapat di alam, terutama dalam bentuk ester. Merupakan senyawa yang
banyak penggunaannya, terutama sebagai pelarut senyawa organik. Sifat fisis
alkohol adalah mempunyai titik didih yang tinggi dibandingkan alkana-alkana
yang jumlah atomnya sama. Hal ini disebabkan karena antara molekul alkohol
membentuk ikatan hidrogen. Dalam alkohol, semakin banyak cabang, semakin
rendah titik didihnya. Sedangkan dalam air, metanol, etanol, propanol mudah larut
dan hanya butanol yang sedikit larut (Brady, 1999).
Menurut Petrucci, (1992) alkohol memiliki kegunaan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu:
1. Bidang farmasi
Digunakan sebagai pelarut organik, contohnya etanol dan butanol
2. Bidang industri
Digunakan sebagai desinfektan, contohnya etanol dan metanol
3. Sebagai bahan bakar
Contohnya adalah spiritus (campuran etanol dan metanol)
Menurut Keenan dan Kleinfitler, (1980) alkohol memiliki sifat kimia dan
fisika, yaitu:
1. Sifat fisika
Berupa larutan/ cairan jernih, berbau khas, mendidih ditemperatur tinggi,
sangat larut dalam air karena adanya ikatan hidrogen antara gugus OH dan
molekul H2O.
2. Sifat kimia
Mengalami dehidrasi untuk membentuk alkena dan eter, oksidasi terkendali,
untuk menghasilkan aldehid dan keton.
Alkohol dapat digolongkan berdasarkan letak gugus hidroksilnya, yaitu
alkohol primer, sekunder dan tersier. Alkohol primer mempunyai gugus –OH
86
yang terletak pada atom C primer (atom yang hanya mengikat satu atom C
lainnya). Alkohol sekunder adalah alkohol yang gugus –OH-nya terletak pada
atom sekunder dan alkohol tersier dicirikan dengan gugus OH yang terletak pada
atom C tersier (Pettruci, 1992).
Semua alkohol primer dapat dioksida menjadi aldehid atau asam
karboksilat. Alkohol sekunder dapat dioksida menjadi keton saja. Sedangkan pada
alkohol tersier menolak oksidasi dengan larutan basa. Dalam larutan asam,
alkohol mengalami dehidrasi alkena yang dioksidasi (Fessenden, 1986).
Reaksi-reaksi yang terjadi dalam alkohol antara lain reaksi substitusi,
eliminasi, oksidasi dan esterifikasi. Dalam suatu alkohol, semakin panjang rantai
hidrokarbon maka semakin rendah kelarutannya. Bahkan, jika cukup panjang,
sifat hidrofob ini mengalahkan sifat hidrofil dari gugus hidroksil. Banyaknya
gugus hidroksil dapat memperbesar kelarutan dalam air (Hart, 1990).
Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna
yang memiliki bau khas. Kata fenol juga merujuk pada beberapa zat yang
memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan gugus hidroksil. Fenol memiliki
sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus
hidroksilnya. Dibandingkan dengan alkohol aromatik lainnya, fenol bersifat lebih
asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol dan NaOH, dimana alkohol
dapat melepaskan ion H+. Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara
satu-satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik yang mendelokalisasikan
beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan muatan dari anion pada
alkohol tersebut (Fessenden, 1986).
Pereaksi lucas dibuat dengan mereaksikan HCl pekat dengan ZnCl. Tes
lucas bertujuan membedakan antara alkohol primer, sekunder dan tersier.
Sedangkan senyawa besi (III) klorida adalah senyawa kimia komoditas skala
industri yang pada umumnya digunakan dalam pengolahan limbah, produksi air
minum serta sebagai katalis baik dalam bidang industri maupun laboratorium
(Petrucci, 1992).
87
III. Prosedur Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Tabung reaksi
2. Pipet tetes
3. Rak tabung reaksi
4. Batang pengaduk
5. Gelas piala 100 ml
6. Gelas piala 50 ml
7. Gelas ukur 100 ml
8. Gelas ukur 50 ml
9. Kaca arloji
3.1.2 Bahan
1. Bromine dalam CCl4
2. KMnO4
3. Etanol
4. Asam sulfat pekat
5. Alkana dan alkena
6. 2-butanol
7. Tersier butil alkohol
8. Fenol
9. Pereaksi lucas
10. Kertas pH
11. Asam asetat glasial
12. FeCl3
88
3.2 Skema Kerja
3.2.1Tes bromine
Larutan X
Hasil
Zat X
Dimasukkan 1 ml zat yang akan dianalisa ke dalam
tabung reaksi
Ditambahkan 2 ml air atau etanol
Ditambahkan tetes demi tetes larutan berair kalium
permanganat dan dikocok
Diamati tes posistif jika warna ungu dari reagen
hilang dan terbentuk endapan coklat, setelah
1 menit
Hasil
Hasil
89
3.2.4 Kelarutan dan keasaman
Hasil
Pereaksi Lucas 1 ml
Ditambahkan masing-masing 1 ml alkohol primer,
sekunder, dan tersier
Dikocok selama 30 detik
Dicatat waktu yang diperlukan oleh campuran
menjadi keruh atau memisah menjadi 2 lapisan
Hasil
Hasil
90
3.2.7 Reaksi esterifikasi
Hasil
91
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Alkana
4.1.1.1 Tes bayer
No Senyawa KMnO4 Keterangan
1 Heptana + air - Terjadi emulsi, warna tetap
2 Pentana + air - Tidak terjadi perubahan warna
3 Heptana + etanol + Warna menjadi coklat
4 Pentana +etanol + Warna menjadi coklat
4.1.2 Alkohol
4.1.2.1 Kelarutan dan keasaman
No Nama Zat Pengamatan Keterangan
1 Etanol pH = 6 Tidak ada perubahan warna
2 2- Butanol pH = 6 Tidak ada perubahan warna
3 Tersier Butanol pH = 6 Tidak ada perubahan warna
4 Fenol pH = 6 Tidak ada perubahan warna
92
4.1.2.3 Reaksi dengan FeCl3
No Nama Zat Pengamatan Keterangan
1 Etanol (-)
Warna menjadi bening, tapi tidak
2 2- Butanol (-)
ada cincin ungu
3 Fenol (-)
4.1.2.4 Esterifikasi
No Nama Zat Pengamatan Keterangan
1 Etanol (+) Berbau balon, warna bening
Menyengat, terbentuk 3 lapisan
2 2 – butanol (+)
(bening, ungu, cokelat)
Sangat menyengat, bening dan
3 T- butil alkohol (+)
coklat
93
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dibahas tentang dua buah prosedur, yaitu dengan
menggunakan alkena dan alkohol. Pada masing-masing sub judul dilakukan
beberapa uji yang dilakukan untuk memperlihatkan perbedaan antara beberapa
senyawa.
Pada sub judul alkena dan alkana dilakukan tiga buah pengujian pada
modul, salah satunya adalah tes bromine. Namun, uji bromine ini tidak dilakukan
karena tidak tersedianya bahan yang dibutuhkan (air brom). Bromine merupakan
zat sangat reaktif bila terkena cahaya dan gas yang dihasilkan pun beracun. Oleh
karena itu, jika percobaan ini dilakukan sebaiknya ditempat yang tidak terkena
cahaya secara langsung.
Tes bromine ini bertujuan untuk mengetahui atau mengamati reaksi
halogenasi hidrokarbon. Uji dikatakan positif (terbentuk gas HBr) jika kertas
lakmus biru berubah menjadi merah yang menandakan larutan tersebut bersifat
asam. Sifat asam tersebut berasal dari gas HBr tersebut. Atom H tersebut berasal
dari sampel hidrokarbon. Penambahan hidrokarbon tak jenuh (alkena) akan
memudarkan warna awal dari bromin, yaitu orange. Tes bromine bersifat positif
jika warna dari air brom pudar atau menghilang. Dengan kata lain, senyawa
alkena (hidrokarbon tak jenuh) akan menunjukkan hasil yang positif pada tes ini
dan senyawa alkana (senyawa jenuh) akan menunjukkan hasil yang sebaliknya.
Reaksi halogenasi atau reaksi substitusi pada senyawa bromine disebut sebagai
brominisasi.
Reaksi yang terjadi pada pada larutan hidrokarbon tidak jenuh atau alkena,
yaitu pentena dengan senyawa Bromine adalah sebagai berikut:
CH2CH(CH2)2CH3(aq) + Br2(l) → CH2ICHI(CH2)2CH3(aq)
Dari reaksi tersebut dapat dilihat bahwa senyawa yang awalnya tidak
jenuh atau berantai ganda berubah menjadi rantai tunggal saat diberikan air
bromin. Hal ini menunjukkan bahwa bromine dapat memutuskan rantai yang
semula ganda menjadi rantai tunggal. Dengan kata lain bromine akan bereaksi
dengan larutan yang berantai ganda dan akan memutuskan rantainya, sedangkan
pada rantai jenuh , yaitu alkana tidak terjadi reaksi karena tidak ada rantai karbon
yang dapat diputus dan digantikan oleh bromine itu sendiri.
94
Pengujian pertama yang dilakukan pada praktikum adalah tes bayer, yaitu
tes yang bertujuan mengidentifikasi adanya kereaktifan senyawa hidrokarbon
terhadap oksidator KMnO4 yang berperan sebagai katalis yang dapat
mempercepat jalannya reaksi. Pada tes bayer ini, senyawa hidrokarbon yang
digunakan adalah heptana dan pentana yang akan direaksikan dengan penambahan
air dan alkohol serta penambahan katalis.
Tes bayer dengan menggunakan senyawa hidrokarbon heptana dan
pentana tidak mengalami perubahan saat ditambahkan air. Warna ungu yang
berasal dari penambahan KMnO4 ini tidak menghilang dan ini menunjukkan
bahwa tidak ada reaksi yang terjadi pada penambahan heptana dan pentana
kedalam air dan ini juga dapat berarti tes yang dilakukan bernilai negatif. Tes
yang bernilai negatif ini menunjukkan bahwa pada senyawa pentana dan heptana
yang ditambahkan dalam air tidak menghasilkan ikatan rangkap.
CH3(CH2)5CH3(aq) + H2O(l) →
CH3(CH2)3CH3(aq) + H2O(l) →
Pentana dan juga heptana yang termasuk dalam senyawa alkana tidak larut
dalam air karena kedua larutan tersebut memiliki sifat yang berbeda. Air bersifat
polar sedangkan senyawa alkana bersifat nonpolar. Seperti yang sudah kita
pelajari, senyawa polar akan larut dalam senyawa yang polar juga begitu pula
sebaliknya. Jadi, jika dilihat memang benar bahwa alkana dan air tidak
menghasilkan reaksi (negatif).
Masih tentang tes bayer, senyawa hidrokarbon pentana dan heptana juga
ditambahkan kedalam larutan etanol. Hal ini dilakukan untuk membandingkan
hasil yang diperoleh dari perlakuan pertama dan perlakuan kedua. Pada
penambahan etanol, kedua reaksi tersebut mengalami reaksi yang ditandai dengan
adanya perubahan warna. Warna KMnO4 yang semula ungu berubah menjadi
coklat pada kedua sampel. Etanol dapat berfungsi sebagai pelarut yang dapat
mengoksidasi suatu senyawa. Seperti pada percobaan ini, senyawa hidrokarbon
pentana dan heptana telah dioksidasi oleh etanol dan mengakibatkan warna
larutan berubah menjadi coklat akibat reaksi yang terjadi. Tes bayer dan etanol
menghasilkan hasil yang positif dan menunjukkan pula bahwa dalam reaksi antara
etanol dan heptana ataupun pentana menghasilkan ikatan rangkap.
95
etanol merupakan senyawa yang dapat dijadikan sebagai pelarut. Dalam
percobaan ini etanol berfungsi untuk melarutkan senyawa hidrokarbon pentana
dan heptana. Antara kedua senyawa ini terjadi reaksi dikarenakan kedua senyawa
ini memiliki sifat yang sama, yaitu nonpolar. Etanol dan juga senyawa
hidrokarbon alkana bersifat nonpolar, sehingga dapat dengan mudah bereaksi dan
mengakibatkan hasil percobaan menjadi positif yang ditandai dengan adanya
perubahan warna larutan menjadi coklat yang disebabkan pengoksidasian KMnO4.
Percobaan selanjutnya yang dilakukan adalah mereaksikan sampel dengan
asam sulfat pekat. Senyawa yang digunakan adalah heptana dan pentana juga.
Penambahan heptana pada asam sulfat pekat tidak memberikan perubahan atau
dengan kata lain tidak ada reaksi yang terjadi antara keduanya. Dengan demikian
pengujian ini bernilai negatif dan berarti pula tidak ada ikatan rangkap pada
penambahan heptana dan asam sulfat pekat tersebut.
Sebaliknya, pada penambahan pentana pada asam sulfat pekat bisa
menyebabkan terjadinya reaksi, yaitu ditandai dengan perubahan larutan menjadi
keruh dan dapat dikatakan bahwa ada reaksi (pengujian positif) pada senyawa
hidrokarbon pentana.
CH3(CH2)3CH3(aq) + H2SO4(aq)→ CH3(CH2)2CHCH3(aq)+ H2O(l)
↓
SO3H
Sebelum asam sulfat tersebut diteteskan pada senyawa hidrokarbon,
terlebih dahulu asam sulfat pekat tersebut didinginkan terlebih dahulu dengan
menggunakan air es. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar asam sulfat pekat
tersebut tidak merusak ikatan hidrokarbon pada senyawa yang diujikan. Hal ini
dikarenakan ikatan pada senyawa hidrokarbon akan rusak pada suhu tinggi.
Prosedur selanjutnya yang dilakukan adalah dengan menggunakan
senyawa alkohol sebagai sampel. Percobaan pertama yang dilakukan adalah
kelarutan dan keasaman dengan senyawa alkohol yang dipakai adalah etanol, 2-
butanol, tersier butanol dan fenol.
Dalam percobaan pertama ini keempat sampel yang digunakan tidak
mengalami perubahan saat ditambah air dan juga dikocok. Warna larutan ini tetap
bening. pH keempat sampel ini ditentukan dengan menggunakan indikator
96
universal. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, keempat sampel tersebut
memiliki pH 6 yang menunjukkan bahwa keempatnya memiliki sifat asam.
Seharusnya fenol memiliki pH yang lebih rendah (lebih asam) jika dibandingkan
dengan ketiga larutan lainnya karena anion yang dihasilkan oleh fenol distabilkan
dengan muatan negatifnya disebar oleh cincin aromatik. Untuk tingkat keasaaman
ketiga sampel lainnya rendah karena tetapan dielektrik yang dimilikinya rendah
dan sampel tersebut kurang mampu mendukung ion dalam larutan daripada
molekul air, sehingga tingkat keasamannya jauh lebih rendah.
Kesalahan yang terjadi pada penentuan keasaman fenol kemungkinan
dikarenakan tabung reaksi yang digunakan tidak sepenuhnya bersih, sehingga
berkemungkinan besar sisa larutan sebelumnya masih tersisa sehingga
mempengaruhi nilai pH. Hal yang semacam ini dapat menyebabkan hasil
pengujian yang didapat tidak akurat dan tidak sesuai dengan seharusnya.
Percobaan selanjutnya adalah pengujian lucas dengan menggunakan
sampel etanol, 2-butanol dan tersier butanol. Pereaksi lucas yang digunakan
adalah campuran dari ZnCl2 yang berfungsi sebagai katalis asam lewis dan HCl
yang berfungsi sebagai pelarut yang melarutkan alkohol dan menyumbangkan Cl -
pada pembuatan alkil klorida. Dan Cl2 berfungsi sebagai katalisator pada pereaksi
lucas. Pada praktikum ini tidak dilakukan pembuatan pereaksi lucas, melainkan
pereaksi lucas tersebut sudah disediakan dan siap untuk dipakai. Hal ini dilakukan
karena jika dilakukan pembuatan pereaksi lucas maka waktu yang dibutuhkan
untuk praktikum akan lebih lama. Jadi, untuk mempersingkatnya digunakan
pereaksi lucas yang siap diguunakan.
Pada alkohol primer (etanol) tidak terjadi perubahan atau hasil pengujian
bernilai negatif. Alkohol primer tidak bereaksi dengan pereaksi lucas. Untuk 2-
butanol yang merupakan alkohol sekunder larutan berubah menjadi keruh saat
dilakukan pemanasan dan kembali setelah pemanasan diberhentikan. Hal ini
menunjukkan bahwa alkohol sekunder bereaksi lambat pada pereaksi lucas dan
pemanasan dapat mempercepat reaksi tersebut. Oleh karena itu, saat pemanasan
dihentikan alkohol tersebut kembali seperti semula.
Sebaliknya, pada alkohol tersier, yaitu tersier butanol dengan hasil
pengujian positif yang ditandai dengan larutan yang menjadi keruh. Pada alkohol
97
tersier, reaksi yang berlangsung terbilang cepat. Dengan bantuan pereaksi lucas
inilah dapat dibedakan sampel yang termasuk alkohol primer, sekunder dan juga
tersier. Alkohol primer tidak bereaksi pada pereaksi lucas, sedangkan untuk
alkohol sekunder terjadi reaksi pada penambahan lucas, tetapi reaksi yang terjadi
berlangsung lambat. Untuk sampel yang termasuk alkohol tersier juga terjadi
reaksi dan sampel tersebut bereaksi cepat pada pereaksi lucas. Dengan
penggunaan pereaksi lucas ini dapat diketahui suatu sampel tersebut adalah
alkohol primer, sekunder ataupun tersier.
Percobaan selanjutnya adalah dengan FeCl3 yang juga menggunakan
sampel etanol, 2-butanol dan fenol. Pengamatan dari ketiga sampel tersebut
menunjukkan hasil yang negatif dengan warna larutan yang kuning serta tidak ada
cincin ungu disalahsatu sampel yang digunakan.
Etanol dan 2-butanol berwarna kuning bening saat ditambah FeCl3. hal ini
menandakan bahwa etanol dan 2-butanol tidak bereaksi dengan FeCl3 atau dapat
dikatakan pengujian bernilai negatif. Hasil pengamatan ini sesuai dengan literatur,
dimana alkohol tidak bereaksi dengan FeCl3(Sudarmo, 2006). Pada sampel fenol,
seharusnya larutan yang dihasilkan memiliki cincin berwarna ungu karena fenol
yang memiliki substituen OH- yang menyebabkan terjadinya cincin ungu.
Kesalahan ini mungkin terjadi karena ketidak telitian praktikan saat melakukan
setiap langkah prosedurnya.
Percobaan terakhir adalah esterifikasi. Sampel yang digunakan adalah
etanol, 2-butanol dan juga tersier butil alkohol yang direaksikan dengan asam
asam asetat.
Untuk sampel etanol yang bereaksi dengan asam asetat dihasilkan larutan
berbau dan berwarna bening. Reaksi yang terjadi pada kedua sampel ini adalah:
Senyawa lain yang diuji menghasilkan hasil yang positif. Untuk 2-butanol
reaksi ditandai dengan bau larutan menjadi menyengat dan terbentuk tiga lapisan
pada larutannya, yaitu kuning, ungu dan coklat.
CH3(CH2)3OH(aq) + CH3COOH(aq) →CH3COO(CH2)3CH3(aq) + H2O(g)
98
Pada tersier butil alkohol juga terjadi reaksi dengan asam asetat yang
ditandai dengan bau larutan yang sangat menyengat dan terdapat dua lapisan,
yaitu bening dan juga coklat.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
(CH3)3OH(aq) + CH3COOH(aq) →(CH3)3C = CH2(aq) + 3H2O(g)
Dari hasil pengamatan dan reaksi yang terjadi dapat dilihat bahwa reaksi
antara tersier butil alkohol ini menghasilkan H2O dalam bentuk gas atau bisa
disebut uap air yang berbau menyengat dan menandakan adanya reaksi yang
terjadi.
Pada percobaan esterifikasi ini digunakan asam kuat, yaitu asam sulfat
sebagai katalis. Sebagai katalis, asam sulfat ini memiliki fungsi untuk
mempercepat laju reaksi yang terjadi atau mempercepat terbentuknya ester.
Setelah dilakukan penambahan katalis, pemanasan juga dilakukan dengan
tujuan yang sama, yaitu mempercepat jalannya reaksi. Reaksi esterifikasi atau
reaksi pembuatan ester tidak seperti reaksi biasa karena selain membutuhkan
katalis, juga dibutuhkan pemanasan yang berfungsi untuk menghomogenkan
larutan(refluksi).
Ada yang hanya dapat bereaksi jika ditambahkan katalis yang berupa asam
kuat, contohnya adalah seperti pada percobaan ini. Senyawanya tidak akan
bekerja jika tidak diberikan katalis, walaupun dilakukan pemanasan. Oleh karena
itu, pada percobaan ini dilakukan penambahan katalis agar senyawa yang
digunakan aktif bereaksi dan dilakukan pemanasan agar dapat terlihat reaksi yang
terjadi, yaitu dapat diketahui dari bau gas yang dihasilkannya.
Jika dilihat dari hasil pengamatan, ketiga sampel yang digunakan tersebut
dapat bereaksi dengan asam asetat dan percobaan ini menunjukkan semua data
menghasilkan hasil yang positif. Hasil positif ini menunjukkan bahwa ketiga
sampel tersebut dapat menghasilkan senyawa ester dengan cara esterifikasi yang
dilakukan dengan bantuan katalis dan juga pemanasan.
Sebagai tambahan, pada uji esterifikasi ini yang diamati adalah bau dari
larutan tersebut. Hal ini dilakukan karena sifat khas yang dimiliki oleh senyawa
ester adalah bau atau aromanya yang khas (menyengat). Sifat inilah yang
membuat ester banyak digunakan sebagai pengharum sintesis.
99
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa ;
1. Tidak ada ikatan rangkap pada heksana dan pentana berdasarkan tes
bromine, tes bayer dan reaksi dengan H2SO4 pekat.
2. Alkohol mudah larut dalam air, berbau khas dan fenol sedikit larut dalam
air dan sangat berbau.
3. Alkohol bereaksi dengan asam asetat dalam reaksi esterifikasi dan FeCl3
hanya bereaksi pada fenol.
4. Alkohol bereaksi dengan natrium dan tidak bereaksi dengan basa,
sedangkan fenol tidak bereaksi dengan natrium dan bereaksi dengan
basa.
5.2 Saran
Dalam percobaan mengenai gugus fungi satu digunakan preaksi Lukas
yang pertama kali harus di buat dulu oleh praktikan pastikan saat pem buatan
dengan menggunakan preaksi Lukas harus hati-hati karena larutan dari
preaksi Lukas terdapat kandungan HCl pekat
100
DAFTAR PUSTAKA
101
LAMPIRAN
A. Pertanyaan Prapraktek
a. Alkena
1. Apa yang dimaksud dengan senyawa alkena, dan berikan 3 buah
contohnya?
Jawab :Senyawa alkena adalah senyawa hidrokarbon tak jenuh yang
memiliki 1 ikatan rangkap 2 (-C═C-). Alkena disebut juga olefin
(pembentuk minyak) dengan rumus umum C2H2n. Contohnya adalah C2H4
(etena), C3H6 (propena), C4H8 (Butena).
2. Jelaskan beberapa uji yang dapat dilakukan untuk uji senyawa alkana.
Jawab :Uji Bayer merupakan suatu uji untuk menunjukkan kereaktifan
heksana, benzene, dan sikloheksana terhadap oksidator KMnO4 sebagai
katalis. Pada uji bayer ini dilakukan dengan mencampurkan larutan
alkohol absolute dan larutan KMnO4. Larutan KMnO4 mengoksidasi
senyawa tak jenuh. Alkena dan senyawa aromatic umumnya tidak reaktif
dengan KMnO4.
Ketika uji/ reaksi berjalan, warna ungu KMnO4 hilang dan berubah
menjadi endapan KMnO4 coklat. Warna ungu dari ion permanganate
digantikan oleh endapan coklat dari mangan dioksida. Reaksi ini dapat
digunakan untuk membedakan alkena dan alkana yang umumnya tidak
bereaksi.
b. Alkohol
1. Jelaskan sifat fisika alkohol dan fenol.
Jawab :
Alkohol : a. mempunyai titik didih lebih tinggi dibandingkan alkena
b. semakin banyak atom C semakin tinggi titik didihnya
c. BD nya lebih tinggi dari alkena, tetapi lebih rendah dari air
Fenol : a. mempunyai sifat antiseptic, beracun, mengikis
b. memberikan zat-zat warna
102
2. Tuliskan reaksi-reaksi yang membedakan antara alkohol dan fenol.
Jawab :
Alkohol
a) Bereaksi dengan asam karboksilat membentuk ester
b) Bereaksi dengan oksidator kuat
- Alkohol primer membentuk aldehida kemudian oksida selanjut
membentuk asam karboksilt
- Alkohol sekunder membentuk keton
- Alkohol tersier tidak bereaksi
c) Beraksi dengan logam atau hidrida reduktor kuat seperti Na atau NaH
membentuk R-ONa(Natrium alkoksida)
d) Etanol dengan asam kuat membentuk etilen dan air
e) Bereaksi dengan asam halida membentuk alkil halide
f) Berekaasi dengan PX3 membentuk alkil halide
g) Bereaksi dengan asam sulfat membentuk alkil hidrosulfat
Fenol
a) Bereaksi dengan asam nitrat membentuk p-nitrofenol
b) Bereaksi dengan gas halogen membentuk 2,4,6 trihalfenol
c) Bereaksi dengan basa kuat seperti NaOH membentuk garam fenoksida
B. DokumentasiPercobaan
103
A. ALKENA
1. Tes Bayer (KMnO4)
B. ALKOHOL
104
Kelarutan dan Keasaman
Pengujian Lucas
105
Reaksi esterifikasi
106
PERCOBAAN VI
I. Tujuan
1. Mempelajari dan menerapkan teknik titrasi untuk menganalisis contoh
yang mengandung asam.
2. Menstandarisasi larutan penitrasi.
3. Menstandarisasi larutan NaOH.
4. Menggambarkan kurva titrasi.
5. Menentukan ketetapan kesetimbangan asam lemah.
6. Menjelaskan pentingnya pengendalian pH, terutama pada sistem fisiologi
tubuh.
7. Menguraikan cara mempertahankan pH dalam berbagai macam
penggunaan.
8. Mengenal dengan baik beberapa larutan buffer dari sistem tertentu dan
bagaimana mereka berfungsi.
107
Titrimetri atau analis volumetrik adalah salah satu cara pemeriksaan
jumlah zat kimia yang luas pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena beberapa
alasan. Pada satu sisi cara ini menguntungkan karena pelaksanaannya mudah dan
cepat, ketelitian dan ketepatannya cukup tinggi. Pada sisi lain, cara ini
menguntungkan karena dapat digunakan untuk menentukan kadar berbagai zat
yang mempunyai sifat berbeda-beda (Harizul, 2002).
Menurut Khopkar, (2008) mengukur volume larutan adalah jauh lebih
cepat dibandingkan dengan menimbang berat suatu zat dengan suatu metode
gravitimetri. Analisis volumetri juga dikenal dengan metode titrimetri, dimana zat
yang akan dianalisa dibiarkan bereaksi dengan zat lain yang konsentrasinya telah
diketahui. Syaratnya adalah reaksi harus berlangsung cepat, kuantitatif dan tidak
ada reaksi samping. Selain itu juga jika reagen penitrasi yang diberikan berlebih
maka harus dapat diketahui dengan suatu indikator. Metode volumetrik secara
garis besar dapat dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu :
1. Titrasi asam basa yang meliputi reaksi antara asam dan basa baik kuat maupun
lemah.
2. Titrasi redoks adalah titrasi yang meliputi hampir semua reaksi redoks.
3. Titrasi pengendapan adalah titrasi yang meliputi pembentukan endapan.
4. Titrasi kompleksometri atau kelatometri sebagian besar meliputi titrasi EDTA
(Ethylenediaminetetraacetic acid).
Menurut Lehninger, (1993) untuk larutan basa konsentrasi harus melebihi
konsentrasi H+ dalam suatu larutan. Ketidakseimbangan tersebut dapat dibuat
melalui dua cara berbeda, yaitu:
1. Basa dapat dibuat berupa hidroksida, yang hanya dapat berdisosiasi untuk
menghasilkan ion O-.
2. Bisa dilakukan dengan mengekstraksi satu ion H+ dari suatu molekul H2O,
menyisakan satu ion OH-.
Jika ditambahkan H+ atau OH- kedalam buffer, akibatnya adalah perubahan kecil
pada nisbah konsentrasi relatif asam dan anionnya karena juga hanya sedikit
sistem buffer dengan penambahan sejumlah kecil asam atau basa diimbangi
dengan tepat oleh peningkatan komponen lainnya. Jumlah komponen buffer tidak
berubah yang berubah hanya nisbahnya.
108
Menurut Keenan (1990), suatu larutan yang mengandung suatu asam
lemah plus satu garam dari asam itu atau suatu basa lemah plus satu garam dari
basa kuat, sistem semacam ini disebut dengan larutan buffer (penyangga) karena
sedikit penambahan asam kuat atau basa kuat hanya mengubah sedikit pH nya.
Contoh :
H+ + C2H3O2 -
HC2H3O2
Dari reaksi diatas ternyata pH nya tidak berubah dengan nyata. Sebaliknya jika
ion hidrogen yang ditambahkan untuk membentuk lebih banyak molekul hidrogen
asetat yang bersifat basa. Larutan buffer standar dapat dibuat dari asam lemah dan
garam dari asam lemah tersebut. Suatu persamaan yang mudah dipakai telah
tersedia untuk menghitung pH dari larutan semacam itu atau untuk menghitung
angka banding asam terhadap garamnya yang diperlukan untuk memperoleh
larutan dengan pH yang di inginkan. pH suatu buffer yang mengandung asam
lemah dapat dihitung sebagai berikut :
[H+] = Ka
-log [H+] = -log Ka-log
pH = pKa-log
pH = pKa + log
Titrasi yang melibatkan asam basa digunakan secara luas dalam pengendalian
analitik banyak produk komersial, dan penggunaan asam basa mempunyai
pengaruh penting atas proses-proses metabolisme dalam sel hidup. Walaupun zat-
zat dengan sifat asam dan basa telah dikenal selama ratusan tahun, perlakuan
kesetimbangan asam basa kuantitatif baru dapat dilakukan setelah 1887, sejak
Arrhenuis mempresentasikan teorinya tentang penguraian elektrolit. Dalam
larutan berair, menurut Arrhenius asam terurai menjadi ion-ion hidrogen dan
anion, sedangkan basa terurai menjadi ion-ion hidroksida dan kation; (Day dan
Underwood, 2002).
Asam (yang sering diwakili dengan rumus umum HA) secara umum
merupakan senyawa kimia yang bila dilarukan dalam air akan menghasilkan
larutan dengan pH lebih kecil dari 7. Dalam definisi modern, asam adalah suatu
zat yang dapat memberi proton (H+) kepada zat lain (basa), atau dapat menerima
pasangan elektron bebas dari suatu basa. Basa adalah senyawa kimia yang bila
109
dilarutkan dalam air memiliki pH besar dari 7, dapat menetralkan basa, dan
bersifat kaustik atau dapat merusak kulit (Amanda dan Dewi, 2013).
Suatu asam Bronsted-Lowry didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat
memberikan ion hidrogen, dan sebuah basa Bronsted-Lowry adalah suatu zat yang
dapat menerima ion hidrogen. Dalam reaksi asam-basa Bronsted-Lowry, ion
hidrogen diperoleh dari asam ke basa. Sebagai contoh, bila asam asetat dilarutkan
ke dalam air,
CH3COOH(aq) + H2O(l) CH3COO-(aq) + H3O+(aq)
110
III.Prosedur Percobaan
3.1.1 Alat
1. Botol plastik 500 mL
2. Neraca
3. Buret 50 mL
4. Erlenmeyer 250 mL
5. Pipet tetes
6. Pipet ukur
7. Alat pH meter
8. Statif
9. Labu ukur 250 mL
10. Gelas piala
11. Tabung reaksi
3.1.2 Bahan
1. NaOH 1,6 gram
2. Air suling
3. Indikator fenolftalein
4. Kalium hidrogen ftalat(KHP) 0,35gr dan 5,1gram
5. Asam cuka
6. Larutan buffer ber pH 5
7. Larutan HCl 0,01M dan 0,1 M
8. Larutan NaOH 0,01M
9. Indikator universal
10. Larutan HCl 1M
11. Larutan natrium asetat NaC2 H3 O2 1M
12. Larutan NH4 OH 1M
13. Larutan NH4 Cl 1M
14. Larutan asam asetat HC2 H3 O2 1M
15. Larutan NaOH 1M
111
3.2 Skema Kerja
-Dihitung M NaOH
Hasil
-Dihitung rata-rata hasil
112
3.2.2.2Standarisasi larutan NaOH 0,1M dengan KHP
0,35gr KHP
-Dilarutkan
- Dihitung m naoh
Hasil
- Dilakukan standarisasi lagi, jika perbedaan lebih
dari 0,001M
3.2.3 Menentukan persentase asam asetat dalam cuka
2 mL Asam Cuka
berubah warna
Hasil
-Diulangi percobaan, jika perbedaan hasil lebih
dari 0,05%
113
3.2.4 Potensiometri
5,1gr KHP
-Dipipet sebanyak 50 mL
-Dimasukkan ke buret
Hasil
-Dipasang alat seperti gambar
114
3.2.5.2Penentuan pH Larutan Bukan Buffer Setelah Ditambah Asam
Air Suling, HCl,dan NaOH
NH4 OH 1M+NH4 Cl 1M
115
3.2.6.3 Penentuan pH Larutan Buffer Setelah Penambahan Asam
Larutan Buffet dan Larutan Buffer
-Ditentukan pH larutan
-Ditentukan pH larutan
116
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Data Percobaan
117
6 Volume NaOH awal 0 mL 0 mL 0 mL
7 Volume NaOH akhir 17,3 mL 17,7 mL 17,2 Ml
8 Volume NaOH terpakai 17,3 mL 17,7 mL 17,2 Ml
9 Molaritas larutan NaOH 0,116 M 0,113 M 0,116 M
Molaritas larutan NaOH
10 0,115 M
rata-rata
118
1) Ulangan 1 (pH awal, pembacaan buret awal, mL)
No. Volume NaOH (mL) pH awal pH akhir
1 0 3,61
2 10 4,07
3 20 4,42
4 30 4,70
5 35 4,87
6 40 5,09
7 45 5,51
8 46 5,6
3,61
9 47 5,74
10 48 5,94
11 49 6,27
12 50 8,34
13 51 9,75
14 52 10,11
15 55 10,65
16 60 10,88
119
2) Ulangan 2 (pH awal, pembacaan buret awal, mL)
No. Volume NaOH (mL) pH awal pH akhir
1 0 3,20
2 10 3,71
3 20 4,10
4 30 4,43
5 35 4,61
6 40 4,85
7 45 5,13
8 46 5,26
3,20
9 47 5,33
10 48 5,47
11 49 5,26
12 50 6,50
13 51 9,13
14 52 9,74
15 55 10,27
16 60 10,57
120
E. Percobaan Pengendalian Buffer
pH (keasaman)
Setelah Setelah
Larutan
Awal penambahan penambahan
HCl NaOH
A Larutan bukan Buffer
1. Air 7 1 12
2. NaOH 11 1 12
3. HCl 1 1 12
B Larutan Buffer
1. Campuran asam
5 5 5
asetat dan natrium asetat
2. Campuran amonium
hidroksida dan 10 10 10
amonium klorida
4.1.2 Perhitungan
mol HCl = M. V
= 0,1 × 25 × 10-3
= 0,0025 mol
MNaOH1 . VNaOH1 = MHCl . VHCl nNaOH1 = MNaOH1 . VNaOH1
nNaOH1 = 0,09 × 28,5 × 10−3
MNaOH1 . 28,5 mL = 0,1 M .25 mL
nNaOH1 = 2,565 × 10−3 mol
2,5
MNaOH1 = M
28,5
121
2,5
MNaOH2 = M
24,9
MNaOH2 = 0,1 M
MNaOH3 = 0,1 M
122
B. Standarisasi dengan KHP
massa 0,35 gr
nKHP = = gr = 0,002 mol
Mr 204 ⁄mol
n 0,002 mol
MKHP = V = 25×10−3 L = 0,08 M
2
MNaOH2 = M
17,7
nNaOH3 = MNaOH3 . VNaOH3
MNaOH2 = 0,113 M
nNaOH3 = 0,116 × 17,2 × 10−3
MNaOH3 . VNaOH3 = MKHP . VKHP nNaOH3 = 1,9952 × 10−3 mol
2
MNaOH3 = M
17,2
MNaOH3 = 0,116 M
123
C. Menentukan % Asam asetat dalam Cuka
CH3COOH, Mr = 60 gr/mol
Rx :
massa cuka = ρ × V
gr
= 1,008 ⁄mL × 2 mL
= 2,016 gr
mol cuka = mol NaOH
Mcuka . Vcuka = MNaOH . VNaOH
MNaOH . VNaOH
Mcuka =
Vcuka
Ulangan 1
MNaOH .VNaOH1
Mcuka1 = Vcuka
Mcuka1 = 3,215 M
124
mpraktek1
% massa1 = × 100%
mteori
0,386
% massa1 = × 100%
2,016
% massa1 = 19,15 %
Ulangan 2
MNaOH .VNaOH2
Mcuka2 = Vcuka
0,376
% massa2 = × 100%
2,016
% massa2 = 18,65 %
Ulangan 3
MNaOH .VNaOH3
Mcuka3 =
Vcuka
125
nCH3 COOH3 = 0,1 × 62,6 × 10−3
nCH3 COOH3 = 6,26 × 10−3
nCH3 COOH3 = 0,00626 mol
0,376
% massa3 = × 100%
2,016
% massa3 = 18,65 %
%1 +%2 +%3
% massa rata − rata = 3
126
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan percobaan titrimetri dan pengendalian pH.
Titrimetri dilakukan untuk mengetahui molaritas larutan NaOH dengan
menggunakan dua larutan standar yaitu larutan HCl dan KHP. Standarisasi larutan
NaOH dilakukan dengan menggunakan dua larutan asam yang berbeda, dimana
HCl adalah asam kuat dan KHP adalah asam lemah. Dilakukan dengan dua
larutan standar asam yang berbeda untuk mengetahui reaksi antara NaOH dengan
larutan yang memiliki tingkat keasaman yang berbeda. Titrimetri lebih dikenal
dengan titrasi. Pada proses titrasi digunakan indikator yang menjadi acuan kapan
titik akhir dari titrasi tersebut dicapai. Selain itu dilakukan juga percobaan
mengenai pengendalian pH untuk mengetahui perbedaan larutan buffer dan buffet
(bukan buffer). Larutan buffer adalah larutan yang dapat mempertahankan harga
pHnya pada kondisi apapun, baik asam maupun basa.
4.2.1 Standarisasi dengan Larutan HCl
Percobaan standarisasi larutan NaOH dengan larutan HCl, larutan HCl
berperan sebagai titran dan larutan NaOH sebagai titrat. HCl berperan sebagai
larutan standar yang diketahui konsentrasinya yaitu 0,1 M. Pada standarisasi ini
digunakan indicator fenolftalein (PP). Indikator PP memiliki interval pH 8,3 –
10,0. Perubahan warnanya yaitu pada suasana asam tidak berwarna dan pada
suasana basa berwarna merah. Perubahan warna indikator PP dari tidak berwarna
menjadi warna merah menandakan bahwa titrasi telah mencapai titik akhirnya.
Reaksi yang terjadi pada standarisasi NaOH dengan HCl yaitu:
HCl(aq) + NaOH(aq) NaCl(aq) + H2O(l)
Standarisasi dilakukan tiga kali percobaan agar hasil percobaan yang
didapat memiliki nilai kebenaran yang tinggi. Setiap percobaan digunakan 25 ml
HCl 0,1 M. NaOH yang digunakan pada pengulangan pertama yaitu 28,5 ml dan
diperoleh molaritas atau konsentrasi NaOH 0,09 M. Pengulangan kedua NaOH
yang digunakan 24,9 ml dan didapat konsentrasi NaOH 0,1 M. Pengulangan
ketiga volume NaOH yang digunakan yaitu 25,2 ml dan diperoleh konsentrasi
NaOH 0,1 M. Jadi konsentrasi rata-rata larutan NaOH yaitu 0,096 M.
127
4.2.2 Standarisasi dengan KHP
Standarisasi larutan NaOH dengan KHP. KHP atau Kalium hidrogen flalat
(KHC8H4O4) yang digunakan 0,35 gram yang dilarutkan dengan 25 ml aquades.
Stelah KHP larut dilakukan titrasi dengan NaOH sebagi titrat dan larutan KHP
sebagi titran. Indikator yang digunakan yaitu indikator fenolftalein. KHP yang
digunakan berupa zat padat putih yang dilarutkan dalam air. KHP termasuk
kedalam golongan asam lemah yang artinya memiliki derajat ionisasi (α) yaitu
antara 0 < α < 1 atau terionisasi sebagian. Reaksi yang terjadi antara NaOH
dengan KHP yaitu:
NaOH(aq) + KHC8H4O4(aq) KNaC8H4O4(aq) + H2O(l)
Perubahan yang terjadi setelah mencapai titik akhir titrasi yaitu dari
larutan tidak berwarna menjadi larutan yang berwarna merah. Pengulangan
pertama NaOH yang digunakan yaitu 17,3 ml sehingga konsentrasi NaOH yaitu
0,116 M. Pengulangan kedua NaOH yang digunakan 17,7 ml diperoleh
konsentrasi NaOH 0,113 M. Dan pengulangan ketiga digunakan larutan NaOH
sebanyak 17,2 ml sehingga konsentrasi NaOH yaitu 0,116 M. Konsentrasi rata-
rata NaOH yaitu 0,115 M.
4.2.3 Menentukan Persentase Asam asetat dalam Cuka
Titrimetri juga bisa digunakan untuk menetukan persentase asam asetat
dalam cuka. Cuka memiliki dua komponen utama yaitu air dan asam asetat. Asam
asetat berada pada golongan asam lemah. Namun asam asetat pekat juga bersifat
korosif dan dapat menyerang kulit. Berdasarkan literatur kadar atau persentase
asam asetat dalam cuka yaitu 4 – 18% . Dalam percobaan ini asam asetat
bertindak sebagai titran dan larutan NaOH dengan konsentrasi 0,1 M sebagai
titrat. Reaksi antara NaOH dengan cuka yaitu:
NaOH(aq) + CH3COOH(aq) CH3COONa(aq) + H2O(l)
Titrasi CH3COOH dengan NaOH menggunakan indikator fenolftalein
yang tak berwarna pada suasana asam dan berwarna merah pada suasana basa.
Pengulangan pertama digunakan digunakan NaOH sebanyak 64,3 ml dan
persentase asam asetat dalam contoh yaitu 19,5%. Pengulangan kedua dan ketiga
diperoleh hasil yang sama yaitu NaOH yang digunakan 62,6 ml dan persentase
asam asetat dalam contoh yaitu 18,65%. Sehingga diperoleh persentase asam
128
asetat rata-rata yaitu 18,82%. Dapat disimpulkan bahwa semakin besar volume
NaOH yang digunakan maka semakin besar persentase asam asetat dalam cuka.
4.2.4 Potensiometri
Percobaan selanjutnya yaitu potensiometri. Potensiometri adalah suatu
cara analisis berdasarkan pengukuran beda potensial dari suatu sel elektrokimia.
Pada sel elektrokimia berhubungan dengan pengionisasi suatu senyawa kimia.
Metode potensiometri digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu ion (ion
selektif elektroda), pH suatu larutan, dan menentukan titik akhir titrasi. Pada
percobaan ini potensiometri digunakan untuk menentukan pH suatu larutan atau
disebut dengan titrasi potensiometri. Proses ini dapat dilakukan dengan bantuan
elektroda indikator dan elektroda pembanding yang sesuai. Dengan demikian,
kurva titrasi yang diperoleh dengan menggambarkan grafik pH terhadap volume
pentiter yang ditambahkan. Pada kurva terdapat kenaikan grafik yang tajam yang
disekitar titik ekuivalen. Titik akhir potensiometri dapat dideteksi dengan
menetapkan volume pada saat terjadi perubahan pH yang relative besar jika
ditambah titrat.
Potensiometri dilakukan dua kali pengulangan. Pada potensiometri dibuat
kurva titrasi asam basa. Berikut kurva titrasi asam basa antara KHP dengan
NaOH:
129
3,61 dan titik akhir titrasi pada penambahan 50 ml NaOH dengan pH 8,34. Pada
pengulangan kedua pH awal yaitu 3,20 dan titik akhir titrasi pada penambahan 51
ml NaOH dengan pH 9,13. Sebelum mencapai titik akhir titrasi dilalui terlebih
dahulu titik ekuivalen, dimana asam dan basa yang bereaksi tepat habis atau ion
H+ dan OH- telah habis bereaksi. Pada kondisi awal larutan yang berperan sebagai
titran mempunyai ion H+ yaitu KHP. Saat titrasi dengan menambahkan NaOH
yang memiliki ion OH- menyebabkan berkurangnya ion H+. Saat di titik
ekuivalen ion H+ dan OH- tepat habis bereaksi. Saat titik akhir titrasi yang tersisa
yaitu ion OH-. Ion H+ dan OH- yang bereaksi membentuk H2O.
4.2.5 Larutan bukan-Buffer
Selanjutnya yaitu percobaan pengendalian larutan buffer. Buffer atau
larutan penyangga adalah larutan yang dapat mempertahankan pHnya walaupun
ditambahkan dengan sedikit asam ataupun sedikit basa. Larutan buffer adalah
campuran dari asam lemah atau basa lemah dengan konjugasinya atau dengan
garamnya, yang membentuk keseimbangan. Percobaan ini juga melakukan
pengendalian pH pada larutan buffet atau larutan yang tidak dapat
mempertahankan pH, setelah penambahan sedikit asam ataupun sedikit basa.
Pengujian larutan bukan buffer yang pertama yaitu air suling yang
memiliki pH awal 7. Setelah ditambah dengan HCl pH berubah menjadi 1, pH
naik karena H+ dari H2O bertambah jumlahnya dari ionisasi HCl yang
menyebabkan jumlah H+ naik dan pH turun. H2O ditambah NaOH pH naik
menjadi 12 karena jumlah H+ dari H2O lebih sedikit dari jumlah OH- milik NaOH
sehingga pH naik. Selanjutnya NaOH yang memiliki pH awal 11 akan mengalami
penurunan pH menjadi 1 setelah penambahan HCl. Pada penambahan HCl ini
membentuk garam seperti reaksi berikut:
NaOH(aq) + HCl(aq) NaCl(aq) + H2O(l)
pH menjadi turun karena jumlah H+ dari HCl lebih banyak dari OH- milik NaOH.
Selanjutnya ditambahkan dengan NaOH sehingga meningkat jumlah ion OH-
sehingga pH naik menjadi 12. Selanjutnya HCl yang pH awal 1 akan tetap 1
setelah ditambahkan dengan HCl namun pH naik setelah penambahan NaOH
karena jumlah OH- dari NaOH lebih banyak dari H+ milik HCl sehingga pH naik
menjadi 12, reaksi yang berlangsung yaitu:
130
HCl(aq) + NaOH(aq) NaCl(aq) + H2O(l)
4.2.6 Larutan Buffer
1) Larutan Buffer Asam
Selanjutnya pengendalian pH larutan buffer. Percobaan pertama
menggunakan buffer asam yaitu asam asetat dan natrium asetat,
CH3COOH(aq) CH3COO- + H+
CH3COONa(aq) CH3COO- + Na+
pH awal yaitu 5, setelah penambahan HCl pH tetap 5 dan setelah penambahan
NaOH pH tetap 5. Hal ini dikarenakan jika ditambah HCl (asam) , ion H+ bereaksi
dengan CH3COO- membentuk CH3COOH (kesetimbangan bergeser ke kiri, maka
jumlah H+ dalam larutan tetap), jika jumlah ion H+ dalam larutan tetap maka
pHnya dapat dipertahankan tetap 5. Pada buffer ini yang bereaksi dengan HCl
yaitu CH3COONa sesuai dengan reaksi berikut:
HCl(aq) + CH3COONa(aq) NaCl(aq) + CH3COOH(aq)
Kemudian larutan buffer ditambahkan dengan 1 ml NaOH pHnya tetap 5,
dikarenakan jika ditambah basa maka ion OH- akan bereaksi dengan H+ maka
membentuk H2O atau air sehingga kesetimbangan bergeser ke kanan, maka
CH3COONa terurai menjadi CH3COO- dan H+. Ion H+ diikat oleh ion OH-,
ditutupi kembali dari penguraian ion sehingga jumlah ion H+ tetap dan pH tetap.
Reaksi yang berlangsung sebagai berikut:
NaOH(aq) + CH3COOH(aq) CH3COONa(aq) + H2O(l).
2) Larutan Buffer Basa
Percobaan selanjutnya pengendalian pH larutan buffer basa yaitu NH4OH
dan NH4Cl. NH4OH dan NH4Cl dapat diuraikan sebagai berikut:
NH4OH(aq) NH4+ + OH-
NH4Cl(aq) NH4+ + Cl-
pH awal dari larutan buffer ini yaitu 10. Larutan buffer ini dapat mempertahankan
pHnya tetap 10 setelah ditambah 1 ml HCl atau pun ditambahkan 1 ml NaOH.
pH tetap 10 setelah penambahan HCl dikarenakan ion H+ dari HCl akan
mengikat ion OH- sehingga kesetimbangan bergeser ke kanan. Hal ini
menyebabkan konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Disamping itu
penambahan ini menyebabkan berkurangnya komponen basa (NH3) , bukan ion
131
OH-. HCl yang ditambahkan bereaksi dengan basa NH3 membentuk ion NH4+,
sesuai dengan reaksi berikut:
HCl(aq) + NH3(aq) NH4Cl(aq)
pH tetap 10 setelah penambahan NaOH dikarenakan kesetimbangan
bergeser ke kiri. Sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Basa NaOH
yang ditambahkan bereaksi dengan komponen asam (NH4+) membentuk basa NH3
dan H2O atau air. Larutan buffer ini ditambah NaOH bereaksi sesuai dengan
persamaan rekasi berikut:
NaOH(aq) + NH4Cl(aq) NH3(aq) + NaCl(aq) + H2O(l)
Larutan penyangga NH3 dan NH4Cl ini merupakan larutan penyangga
basa. Yang mempengaruhi dalam mempertahankan pH larutan yaitu ion H+ dari
asam dan ion OH- dari basa. Jadi buffer akan mempertahankan pH walaupun
ditambah asam maupun basa.
Secara keseluruhan, baik buffer asam maupun basa sama-sama
membuktikan bahwa larutan buffer dapat mempertahankan harga pHnya pada
kondisi apapun seperti pada percobaan dimana saat kedua buffer (asam dan basa)
ditambahkan HCl maupun NaOH, pHnya tidak berubah yaitu masih 5 untuk asam
dan 10 untuk basa. Sehingga larutan buffer ini dibutuhkan dan ada dalam tubuh
manusia. Sebenarnya harga pH larutan buffer dapat berubah, hanya saja nilai
perubahannya sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat pada indikator universal.
Sebagai penjelasan, larutan buffer dapat mempertahankan harga pHnya
karena larutan buffer mengandung pasangan asam dan basa konjugasi yang mana
bila direaksikan dengan asam, maka komponen basanya yang akan bereaksi,
begitupun saat direaksikan dengan basa, maka komponen asamnya yang akan
bereaksi. Begitu juga untuk buffer basa, prinsipnya sama saja. Penjelasan ini telah
dibuat persamaan reaksinya seperti yang ada diatas.
132
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Titrasi asam-basa adalah suatu proses pencampuran/penetralan suatu
larutan asam oleh basa atau sebaliknya.
2. Standarisasi dilakukan untuk mengkaji kekuatan konsentrasi larutan
penetralan atau larutan NaOH hasil pengenceran.
3. Penggambaran kurva titrasi untuk melihat titik ekuivalen larutan.
4. Pentingnya pengendalian pH dalam tubuh ialah untuk menghindari
penyakit akibat pH yang kurang atau lebih.
5. Mempertahankan pH dapat digunakan buffer.
6. Buffer asam dapat mengendalikan ion OH- membentuk air. Buffer basa
dimana H+ akan mengikat OH- sehingga konsentrasi OH- terjaga.
5.2 Saran
133
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, N. W, Yulita dan Dewi. P Sri Utami. 2013. Klasifikasi Sifat Asam Basa
dengan Menggunakan Indikator Alam. Jurnal Kimia Analisis. Vol 1 (2) :
11-23.
Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi Edisi 2. Jakarta: Erlangga.
Day. R A dan Underwood. 2004. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.
Harizul, Rivai. 2002. Azas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Ibnu, Sodiq. 2005. Kimia Analitik. Malang: JICA.
Keenan. 1990. Kimia Untuk Universitas. Jakarta: Erlangga.
Khopkar, S. M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Lehninger. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Erlangga.
Oxtoby, David. W, Gillis, H. P dan Nachtred, Norman H. 2001. Prinsip-Prinsip
Kimia Modern Edisi Ke-4 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
134
LAMPIRAN
M NaOH = mol
V
= 0,0033 mol = 0,07 M
0,0336 L
135
4. Jelaskan apa yang di maksud dengan kurva titrasi asam basa,titik
ekuivalen,standarisasi,larutan standar primer,pH,pH meter !
Jawab :
Kurva titrasi asam basa adalah grafik percobaan pH dari titrasi asam
lemah oleh basa kuat.
Titik ekuivalen adalah titik dimana pada titik tersebut mol H+ sama
dengan mol OH- yang ditunjukkan sama dengan nilai.
Standarisasi adalah pengukuran konsentrasi larutan dengan larutan
yang konsentrasinya diketahui secara tepat.
Larutan standar primer adalah larutan yang dibuat dengan ketelitian
tinggi.
pH adalah konsentrasi ion H+ dalam larutan.
pHmeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur pH larutan.
136
M1V1 = M2V2
1. V1 = 0,1.50 ml
V1 = 5 ml
Jadi, cara membuat larutannya ialah 5 mL HCl + 45 mL air suling.
7. Apakah larutan bufer itu? dan mengapa larutan bufer itu penting?
Jawab :Larutan buffer adalah larutan yang ditambah sedikit asam maupun
basa tidak merubah pHnya. Larutan bufer sangat penting karena dapat
mempertahankan pHnya sebab mengenai ion garam kesetimbangan asam
lemah dan kesetimbangan air.
8. Berilah definisi untuk asam lemah dan basa lemah?
Jawab :Asam lemah yaitu asam yang dalam air mengalami ionisasi sebagian
(α < 1). Sedangkan basa lemah adalah basa yang dalam air mengalami
ionisasi sebagian (α < 1).
9. Jelaskan dengan persamaan reaksi ,bagaimana larutan natrium sianida
(NaCN) dengan hidrogen sianida(HCN) berfungsi sebagai larutan buffer ?
Jawab :
NaOH + HCN NaCN + H2O
HCN H+ + CN-
NaCN Na+ + CN-
Jika ditambah asam, ion H+ bereaksi dengan CN- membentuk HCN
(kesetimbangan bergeser ke kiri, maka jumlah H+ dalam larutan tetap). Jika
ditambahkan basa, ion OH- bereaksi dengan H+ membentuk H2O
(kesetimbangan bergeser ke kanan, maka HCN terurai menjadi CN- dan H+).
Ion H+ di ikat oleh OH- ditutupi kembali dari penguraian ion sehingga jumlah
H+ tetap.
10. Sebutkan beberapa pasangan larutan buffer yang sifat fisiologisnya sama
benar ?
Jawab :
NH4OH + HCl NH4Cl + H2O
HC2H3O2 + NaOH HC2H3O2 + H2O
CH3COOH+ NaOH CH3COONa + H2O
KH2PO4OH + HCl H2KPO4 + H2O
137
B. Pertanyaan Pasca Praktek
1. Apakah hasil standarisasi larutan NaOH dengan menggunakan larutan HCl
dan KHP memberikan hasil yang sama? Bila tidak, berikan komentar
anda!
Jawab :Iya, keduanya memberikan hasil yang sama yaitu 0,1 M.
2. Komentari hasil analisis asam asetat dalam contoh cuka yang anda
kerjakan!
Jawab :Berdasarkan percobaan, saat volume NaOH lebih besar dari
lainnya, maka pada volume itu bobot serta persen massa asam asetat dalam
cuka juga lebih besar dari pada ulangan lainnya, % rata-rata yaitu 18,82%.
3. Agar titrasi untuk contoh kedua dan ketiga berjalan dengan cepat tindakan
apa yang anda lakukan?
Jawab :Dengan terus menggoyangkan Erlenmeyer dan memperbesar
lubang keran/kecepatan tetesan NaOH.
4. Agar titik titrasi mendekati titik ekuivalen, bagaimana caranya dan
bagaimana pula pengamatannya untuk titrasi ini?
Jawab :Dengan terus menggoyangkan Erlenmeyer dan memperkecil
kecepatan tetesan NaOH dari buret, dan dilarutkan hati-hati serta teliti.
Pengamatannya saat warna berubah menjadi pink konstan.
5. Dari semua prosedur percobaan, mengapa indikator begitu penting dalam
titrasi?
Jawab :Karena indikator dapat berubah warna saat pH larutan berubah,
jadi indikator dapat menunjukkan saat titrasi telah mencapai titik
akhir/selesai.
6. Jika ftalat pada bagian B titrasinya berlebihan dengan NaOH, apakah
kekeliruan dalam bobot KHC8H4O4 pada bagian B atau asam asetat pada
cuka menghasilkan hasil yang positif atau negatif? Jelaskan pendapat
anda!
Jawab :Jika titrasi pada bagian B berlebihan volume NaOHnya, tidak akan
berpengaruh pada hasil asam asetat pada cuka karena keduanya memiliki
percobaan yang berbeda.
7. Selesaikan persamaan berikut:
KHC8H4O4 + NaOH
138
Jawab :
KHC8H4O4(aq) + NaOH(aq) NaKC8H4O4(aq)+ H2O(l)
8. Hitunglah molaritas larutan asam asetat dalam gambar 9.1 jika 25,0 ml
larutan itu sudah dititrasi dengan larutan NaOH 0,101 M!
Jawab :
Vasam asetat = 25 mL
MNaOH = 0,101 M
VNaOH = 27,02 mL
Masam asetat x Vasam asetat = MNaOH x VNaOH
Masam asetatx 25 mL= 0,101 M x 27,02mL
2,729
Masam asetat= 25
M
Masam asetat= 0,109 M
9. Indikator apa yang baik digunakan bila percobaan titrasi no.1 dilakukan
tanpa pH meter?
Jawab : Indikator universal dan pp.
10. Jelaskan pengaruh penambahan larutan asam atau basa terhadap pH
(keasaman) larutan buffer!
Jawab :Tidak ada pengaruhnya, karena larutan buffer dapat
mempertahankan harga nya (pH nya) dalam suasana apapun baik
asam/basa.
11. Jelaskan dengan persamaan reaksi, mengapa larutan natrium asetat dengan
asam asetat berfungsi sebagai larutan buffer!
Jawab :CH3COOH(aq)+ NaOH(aq) CH3COONa(aq) + H2O(l).
Asam lemah Garam dari asam lemah
Asam lemah dan garamnya yang tersisa dari reaksi membentuk larutan
buffer.
12. Apa yang disebut kapasitas buffer? Jelaskan dengan contoh!
Jawab :Kapasitas buffer adalah ukuran kemampuan larutan penyangga
dalam mempertahankan pHnya dan tergantung hasil dari konsentrasi
komponen-komponen yang ada yang dilarutkan tersebut baik secara
absolut maupun reaktif. Contohnya kapasitas buffer asam asetat adalah
4,76.
139
C. Dokumentasi Percobaan
1) Titrasi asam-basa
Gambar 1 Gambar 2
140
2) Potensiometri
Gambar 4 Gambar 5
Potensiometri,titrasi KHP pH larutan bukan -buffer; air,
dengan NaOH HCl, dan NaOH
Gambar 6 Gambar 7
pH larutan buffer asam pH larutan buffer basa
yaitu 5 sebelum dan yaitu 10 sebelum dan
sesudah penambahan sesudah penambahan
asam dan basa asam dan basa
141
PERCOBAAN VII
I. Tujuan
1. Membuat larutan standar asam dan basa dalam berbagai konsentrasi.
2. Mengukur pH larutan dengan berbagai konsentrasi.
3. Memilih indikator yang sesuai dengan pH.
4. Mengukur pH larutan dengan menggunakan pH meter.
II. Landasan Teori
Asam (sering diwakili dengan rumus umum HA) secara umum merupakan
senyawa kimia yang apabila dilarutkan dalam air akan menghasilkan larutan
dengan pH lebih kecil dari 7.
Arhenius mendefinisikan bahwa asam adalah senyawa yang apabila
dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion H+, sedangkan basa adalah senyawa
yang apabila dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion OH-.
HCl + H2O → H+ + Cl- + H2O
NH4OH → NH4+ + OH-
Teori arhenius ini memiliki kelemahan yaitu teori ini hanya terbatas pada
larutan dengan pelarut air, walaupun asam dan basa sebehennarnya juga terdapat
pada larutan dengan pelarut bukan air. Sifat asam dan basa suatu larutan
bergantung nilai relatif = [H3O+] dan [OH-] bila [H3O+] < [OH-] maka larutan
bersifat basa, jika [H3O+] = [OH-] maka larutan bersifat netral, dan jika [H3O+] >
[OH-] maka larutan bersifat asam (Bird, 1985).
pH merupakan derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan
tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan. pH didefinisikan sebagai
kologaritma aktifitas ion Hidrogen [ H+ ] yang terlarut. Koefisien aktifitas ion
hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan
pada perhitungan teoritis. Namun apabila elektroda yang digunakan dikalibrasi
sesuai dengan konsentrasi ion hidrogen, hal demikian mungkin saja terjadi. Salah
satu caranya dengan mentitrasi asam kuat yang konsentrasinya diketahui pada
keberadaan konsentrasi elektrolit yang relatif tinggi (Keenan, 1984).
Air merupakan elektrolit yang sangat lemah. Alat penguji elektrolit
sederhana yang digunakan untuk menunjukkan hantaran listrik melalui air murni.
142
Air dapat murni asal digunakan potensial yang agak besar. Air dapat menghantar
listrik kerena terisolasi menjadi ion H+ dan ion OH-, menurut reaksi
kesetimbangan :
H2O(l) → H+(aq) + OH-(aq)
Kc = [ H+ ] [ OH-]
Oleh karena itu H2O dianggap konstan maka hasil perkalian kc [ H2O] adalah
merupakan suatu konstanta yang disebut tetapan kesetimbangan air ( kw ).
Kw = [ H+ ] [ OH-].
Apabila kedalam air murni ditambahakan suatu asam, maka [ H+ ] akan
bertambah, tetapi hasil perkalian [ H+ ] [ OH-] tetap sama dengan kw. Hal ini
terjadi karena kesetimbangan bergeser kekiri yang menyebabkan pengurangan [
OH-]. Kesetimbangan juga akan bergeser jika kedalam air ditambahkan suatu
basa. Dilaboratorium, indikator yang sering digunakan selain kertas lakmus adalah
fenolftalein (PP), metil merah (MM), metil jingga (MJ), bromtimol biru (BTB),
dan lain-lain. Dan, jika ion yang berasal dari senyawa sedikit larutan dapat
memasuki reaksi asam basa dengan H3O+ atau OH-, maka kelarutan senyawa akan
dipengaruhi oleh pH ( Foster, 2000 ).
Menurut Horale (2004), pengukuran pH larutan dapat dilakukan dengan
beberapa indikator yaitu :
1. Indikator tunggal
Indikator kertas lakmus merah dan biru fungsinya hanya untuk
membedakan larutan yang dituju itu bersifat asam atau basa.
2. Indikator universal
Dengan kertas indikator universal, dapat mengetahui pH larutan tersebut
dengan cara mencelupkan sepotong indikator universal kedalam larutan.
Perubahan warna kertas indikator tersebut dicocokkan dengan tabel warna yang
mempunyai trayek PH dari 0 sampai 14.
3. pH meter
pH meter adalah suatu alat yang dapat digunakan sebagai pengukur pH
larutan. pH meter memiliki elektroda jika dicelupkan kedalam larutan dapat
mengukur ion hidrogen. Nilai pH larutan terlihat pada skala pH meter.
143
Dalam Hendayana(1994), menurut penelitian yang akurat diketahui bahwa
air (H2O) ternyata memiliki sedikit sifat elektrolit. Artinya air dapat juga
terionisasi menghasilkan ion H+ dan OH, dengan harga α yang sangat kecil sekali
yaitu 32×10-8.
Perhitungan yang sangat cermat menunjukkan bahwa dalam 1 liter air
murni terdapat ion H+ dan OH- masing-masing menunjukkan sebanyak 0.0000001
mol atau 10-7 mol.
[ H+ ] = [ OH-] = 10-7 M
Hasil kali [ H+ ] dan [ OH-] dalam air selalu konstan dapat ketetapan air ( kw ).
Kw = [ H+ ] [ OH-].
Pada tahun 1909, Sorenson mengemukakan persamaan: Px = - log x
Dengan demikian diperoleh : pH : - log [ H+ ]
: pH : - log [ OH-]
: pH : - log Ka
Kw = [ H+ ] [ OH-] = 10-14
Log Kw = log [ H+ ] + log [ OH-] = -14
-log Kw = - log [ H+ ] - log [ OH-] = 14
PKw = pH + pOH = 14
Larutan netral
Larutan asam
Larutan basa
Makin kecil harga pH, larutan makin bersifat asam. Sebaliknya makin
tinggi harga pH, larutan bersifat basa.
Untuk mengetahui sifat asam atau basa suatu zat yang tidak dapat
dilakukan langsung dengan mencicipi atau memegangnya. Mencicipi atau
memegang zat secara langsung dapat sangat berbahaya. Contohnya asam sulfat
(H2SO4) yang dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai accuzuur ( air aki ).
Bila tangan atau kulit terkena asam sulfat akan melepuh seperti luka bakar dan
bila terkena mata akan menyebabkan kebutaan. Cara yang tepat untuk
menentukan sifat asam atau basa suatu zat adalah dengan menggunakan zat
petunjuk yang disebut indikator. Indikator asam-basa adalah zat yang dapat
berbeda warna jika dalam lingkungan asam atau lingkungan basa (Sukardjo,2009).
144
pH meter adalah suatu alat yang dapat digunakan sebagai pengukur pH
larutan. pH meter memiliki elektroda jika dicelupkan kedalam larutan dapat
mengukur ion hidrogen. Nilai pH larutan terlihat pada skala pH meter.
Pengukuran pH larutan dengan menggunakan pH meter lebih akurat dibandingkan
dengan indikator lainnya. pH meter dapat juga digunakan untuk menentukan titik
akhir titrasi asam basa pengganti indikator. Alat ini dilengkapi dengan elektroda
gelas dan elektroda kalomel (SEE). Hal yang harus diperhatikan dalam
menggunakan elektroda-elektroda ialah cairan dalam elektroda harus selalu dijaga
lebih tinggi dari larutan yang diukur ( Hendayana, 1994 ).
Senyawa – senyawa organik yang dapat digunakan sebagai indikator
dalam proses titrasi mempunyai karakteristik yaitu senyawa memberikan
perubahan warna terhadap perubahan suasana pH larutan. Perubahan warna dapat
terjadi melalui proses keseimbangan bentuk molekul dan ion dari senyawa
indikator tersebut (Nuryanti, 2010).
Indikator asam basa biasanya dibuat dalam bentuk larutan. Dalam titrasi
asam basa, sejumlah kecil larutan indikator ditambahkan ke dalam suatu larutan
yang dititrasi dalam bentuk lain kemudian dikeringkan. Jika kertas ini dibasahi
dengan larutan yang sedang diuji, terjadi warna yang dapat digunakan sebagai
penentuan pH larutan. Kertas ini disebut dengan kertas pH. Indikator asam basa
umumnya digunakan jika penentuan pH yang teliti perlu terlalu dipikirkan.
Namun pengukuran pH yang paling tepat dilakukan adalah dengan alat ukur yang
disebut PH meter. Nilai pH suatu larutan dapat diukur secara tepat. Instrumen ini
terdiri dari suatu elektroda yang terbuat dari bahan – bahan khusus ( Petrucci,
1987 ).
145
III. Prosedur Percobaan
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Tabung Reaksi
2. Batang Pengaduk
3. Pembakar Spirtus
4. Label
5. Pipet Tetes
6. Rak Tabung Reaksi
7. Alat Ektroda/pH Meter
8. Labu Ukur
3.1.2 Bahan
1. HCl 0,01M
2. Air Suling
3. NaOH 0,01M
4. Larutan Cuka
5. Sari Buah Anggur/Jeruk
6. Shampo
7. Detergen cair
8. Minuman Berkarbonat
9. Soda Kue
10. Tablet Aspirin
11. Air Mendidih
12. Fenolftalein
13. Asam Salisilat
14. Metil Jingga
15. Ammonia Untuk Keperluan Rumah Tangga
146
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Daerah asam, pH 2 sampai 6
Diambil 1 ml larutan pH 2
Diaduk pelan-pelan
Didapatkan larutan pH 3
Dipipet 1 ml larutan pH 3
Hasil
147
3.2.3 Daerah basa, pH 8 sampai 12
Diaduk pelan-pelan
148
3.2.4 Petunjuk pH berbagai zat
Dipipet
149
IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil
4.1.1 Data Percobaan
A. Pengukuran pH daerah asam, netral, dan basa
Hasil
Jenis Indikator
Pengukura pH
n pH (standar)
MJ MM BTB PP KA
Standar
Merah Kuning
1,85 2 Merah Bening Bening
muda muda
Merah
3 3 Jingga Kuning Bening Bening
muda
Merah
4,7 4 Jingga Hijau Bening Bening
muda
Merah Biru
7,7 5 Jingga Bening Bening
muda kehijauan
Merah Biru
7,8 6 Jingga Bening Bening
muda kehijauan
Merah Biru
6,2 7 Jingga Bening Bening
muda kehijauan
Merah Hijau
6,91 8 Jingga Bening Bening
muda muda
Merah Hijau
7,8 9 Jingga Bening Bening
muda muda
Merah
9,6 10 Jingga Biru Ungu Bening
muda
Merah
10,23 11 Jingga Biru Ungu Bening
muda
Merah
11,38 12 Jingga Biru Ungu Bening
muda
150
1. Trayek pH indikator : Metil Jingga (MJ) = 3,1-4,4
2. Trayek pH indikator : Metil Merah (MM) = 4,4-6,2
3. Trayek pH indikator : Bromtimol Biru (BTB) = 6,0-7,6
4. Trayek pH indikator : Fenolftalein (PP) = 8,3-1,0
5. Trayek pH indikator : Kuning Alizarin (KA) = 10,0-12,0
B. Petunjuk pH berbagai zat
Nama Jenis Indikator
pH Ket
Sampel MJ MM BTB PP KA
Merah
Aspirin Merah Kuning Bening Bening ≤ 3,1 Asam
muda
Hijau
Shampo Jingga Ungu Hitam Hitam ≤ 4,4 Asam
lumut
Larutan Merah
Merah Kuning Bening Bening ≤ 3,1 Asam
cuka muda
Merah Ungu 8 ≤ 𝑝𝐻
Soda kue Jingga Biru Bening Basa
muda muda ≤ 10
3,1
Detergen Merah Bening Bening
Jingga Hijau ≤ 𝑝𝐻 Asam
cair muda kebiruan kebiruan
≤ 4,4
151
4.1.2 Perhitungan
A. Menghitung pH asam
pH Molaritas(M) Konsentrasi H+ Nilai pH
pH = - log [H + ]
2 HCl = 0,01 M [H + ] = 10−2 = - log 10−2
=2
V1.M1 = V2.M2 pH = - log [H + ]
3 1 x 0,01 = 10 x M2 [H + ] = 10−3 = - log 10−3
M2 = 0,001 M =3
V1.M1 = V2.M2 pH = - log [H + ]
4 1 x 0,001 = 10 x M2 [H + ] = 10−4 = - log 10−4
M2 = 0,0001 M =4
V1.M1 = V2.M2 pH = - log [H + ]
5 1 x 0,0001 = 10 x M2 [H + ] = 10−5 = - log 10−5
M2 = 0,00001 M =5
V1.M1 = V2.M2 pH = - log [H + ]
6 1 x 0,0001 = 10 x M2 [H + ] = 10−6 = - log 10−6
M2 = 0,000001 M =6
152
B. Menghitung pH basa
pH Molaritas(M) Konsentrasi H+ Nilai pH
pOH = - log [OH − ]
= - log 10−2
12 NaOH = 0,01 M [OH − ] = 10−2 =2
pH = 14 – pOH
= 14 – 2 = 12
pOH = - log [OH − ]
V1.M1 = V2.M2 = - log 10−3
11 1 x 0,01 = 10 x M2 [OH − ] = 10−3 =3
M2 = 0,001 M pH = 14 – pOH
= 14 – 3 = 11
pOH = - log [OH − ]
V1.M1 = V2.M2 = - log 10−4
10 1 x 0,001 = 10 x M2 [OH − ] = 10−4 =4
M2 = 0,0001 M pH = 14 – pOH
= 14 – 4 = 10
pOH = - log [OH − ]
V1.M1 = V2.M2 = - log 10−5
9 1 x 0,0001 = 10 x M2 [OH − ] = 10−5 =5
M2 = 0,00001 M pH = 14 – pOH
= 14 – 5 = 9
pOH = - log [OH − ]
V1.M1 = V2.M2 = - log 10−6
8 1 x 0,0001 = 10 x M2 [OH − ] = 10−6 =6
M2 = 0,000001 M pH = 14 – pOH
= 14 – 6 = 8
153
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengukuran pH daerah asam, netral, dan basa
Pengukuran pH dilakukan untuk daerah asam, daerah netral dan daerah
basa. Juga dilakukan untuk beberapa sampel. Indikator yang digunakan adalah
Metil jingga (MJ), Metil merah (MM), Bromtimol biru (BTB), fenolftalein (PP),
dan Kuning alizarin (KA).
Pada daerah asam digunakan larutan standar HCl 0,01 M dengan pH 2.
Berdasarkan pengukuran pada pH meter, larutan ini ber- pH 1,85. Dalam prosedur
akan dibuat pH dari 3-6 dengan setiap kali pengenceran 10 kali. Maksudnya
adalah, volume yang digunakan adalah 10 kali volume awal. Pada saat pembuatan
larutan digunakan air suling mendidih, tujuannya untuk mengusir CO2, selain itu
air mendidih pH-nya mendekati netral pH 7. Larutan dengan variasi pH ini diuji
lagi dengan pH meter sebelum ditetesi indikator.
Hasil pengukuran pH 2-7 berdasarkan pH meter dari larutan yang dibuat
adalah 1,85 ; 3 ; 4,7 ; 7,7 ; 7,8 ; dan 6,2. Untuk larutan pH 7 digunakan air
mendidih tanpa dicampur zat lain. pH 6,2 merupakan pengukuran yang kedua
kali. Pada awalnya larutan pH 7 diukur dengan pH meter adalah 7,9 namun karena
kesalahan pada saat penambahan indikator, maka larutannya pun diganti.
Pada larutan pH 2 setelah penambahan indikator, berwarna merah untuk
MJ, dan warna jingga untuk larutan pH 3- pH 7. Pada literatur untuk indikator MJ,
jika pH ≤ 3,1 maka warnanya merah, jika diantara pH 3,1-4,4 maka warnanya
jingga. Maka hasil percobaan ini sesuai dengan data literatur.
Untuk indikator MM akan memberikan warna merah muda untuk pH 2-7,
semakin kecil pH-nya warna larutan semakin muda. Pada literatur, jika pH ≤ 4,4
maka larutan berwarna merah dan pH ≤ 6,2 memberikan warna kuning. Pada
indikator tidak ditemukan larutan berwarna kuning, sehingga hasil percobaan
sesuai literatur.
Untuk indikator BTB akan memberikan warna kuning pada pH 2 dan pH
3, warna hijau untuk pH 4 dan biru kehijauan untuk pH 5-7. Pada literatur, jika pH
≤ 6,0 perubahan warnanya kuning dan pH ≥ 7,6 perubahan warnanya biru, maka
seharusnya pada pH 2-6 larutan berwarna kuning. Sedangkan, pada larutan pH 4
saja sudah menunjukkan perubahan warna hijau.
154
Untuk indikator PP dan KA memberikan warna yang sama pada larutan
pH 2-7, yaitu bening. Sudah diketahui, bahwa warna indikator PP pada larutan
asam adalah bening dan pada basa adalah merah muda. Hal ini sudah sesuai
dengan hasil yang didapatkan. Sedangkan untuk KA akan dibahas menyeluruh di
daerah basa.
Pembuatan larutan untuk daerah basa hampir sama dengan daerah asam,
hanya saja digunakan larutan basa NaOH 0,01 M untuk diencerkan. pH awal
larutan ini adalah 12. Jika dibandingkan pH larutan yang dibuat dengan hasil uji
pH meter untuk larutan pH 8-12 adalah 9,1 ; 7,8 ; 9,6 ; 10,23 ; dan 11,38. Dapat
diketahui bahwa pH awal larutan ini saja tidak tepat 12, hal ini disebabkan larutan
mungkin sudah terkontaminasi dengan zat lain atau wadah yang digunakan untuk
menampung larutan yang kurang bersih dan meninggalkan zat lain yang dapat
mempengaruhi komposisi larutan.
Untuk penambahan indikator pada larutan basa, pada indikator MJ pada
pH 8-12 memberikan warna jingga, hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa pada suasana basa, MJ akan memberikan warna orange atau
jingga. Pada indikator MM juga memberikan warna yang sama untuk pH 8-12
yaitu warna merah muda. Ternyata hal ini berlainan dengan literaur yang
mencantumkan bahwa warna larutan yang dihasilkan indikator MM pada suasana
basa adalah kuning.
Pada indikator BTB, warna larutan pada pH 8 dan pH 9 adalah hijau muda
dan pada pH 10-12 adalah biru. Data indikator BTB ini lebih memungkinkan
karena seharusnya warna larutan pada suasana basa adalah biru, untuk
ketidaksesuaian pH 8 dan pH 9 dikarenakan pH larutan ini pada uji pH meter
adalah dalam suasana asam. Pada indikator PP, pH 8 dan pH 9 masih
menunjukkan warna bening, karena data uji pH meter menunjukkan larutan ber-
pH asam, sedangkan untuk pH 10-12 sudah sesuai dengan literatur. Untuk data
Kuning alizarin sendiri, pada literatur menunjukkan warnanya pada suasana basa
adalah orange atau merah, suasana asam adalah kuning. Namun berdasarkan
percobaan, baik pada daerah asam ataupun basa indikator ini tidak menunjukkan
adanya perubahan warna. Sehingga, mungkin kesalahan terjadi pada indikatornya.
155
Terdapat ketidaksesuaian antara pH larutan yang dibuat dengan saat diuji
pH meter. Adapun faktor-faktor penyebab perbedaan ini. Pertama, alat yang
dalam kondisi tidak baik sehingga menyulitkan dalam membaca skala pH yang
terus berubah-ubah. Kedua, pada saat mencuci alatnya kurang bersih sehingga
masih ada sisa-sisa zat atau larutan dari penambahan sebelumnya yang akan
mempengaruhi pH larutan. Ketiga, kesalahan dalam mengukur larutan yang akan
ditambahkan karena perbedaan 1 ml saja sangat berarti dan alat yang digunakan
kurang teliti.
4.2.2 Petunjuk pH berbagai zat
Untuk pengujian pH berbagai sampel. Sampel pertama yaitu aspirin.
Berdasarkan percobaan, dengan indikator MJ larutan berwarna merah, MM
berwarna merah muda, BTB berwarna kuning, PP dan KA berwarna bening.
Maka larutan aspirin pada percobaan ini memiliki pH ≤ 3,1. Pada literatur, tablet
aspirin bersifat netral, namun aspirin ini merupakan senyawa asam dengan nama
asam asetilsalisilat atau asam 2 asetil benzoat atau C9H8O4.
Sampel kedua yaitu shampoo, warna shampoo yang digunakan adalah
hitam. Larutan ini ditambah MJ, berwarna jingga dengan MM berwarna ungu,
karena pengaruh warna awal shampoo seharusnya larutan ini berwarna
kemerahan, BTB berwarna hijau dan dengan PP dan KA berwarna hitam, karena
warna awal shampoo seharusnya larutan ini berwarna bening. Berdasarkan hal ini
shampoo memiliki pH basa, namun seiring berkembangnya pengetahuan mulailah
tercipta shampoo yang menyesuaikan pH alami kulit kepala yakni ± 5,5.
Shampoo ber-pH lebih tinggi akan merusak kulit kepala, jadi wajar bila
disimpulkan shampoo ini ber- pH asam.
Sampel ketiga adalah larutan cuka, dengan MJ berwarna merah, MM
berwarna merah muda, BTB berwarna kuning, PP dan KA berwarna bening.
Maka pH larutan cuka ini ≤ 3,1. Hal ini sesuai dengan literatur, pH larutan cuka
± 2,4 dan bersifat asam. Cuka yang digunakan adalah jenis cuka makan.
Sampel keempat adalah soda kue, dengan indikator MJ berwarna jingga,
MM berwarna merah muda, BTB berwarna biru, PP berwarna ungu bening dan
KA berwarna bening. Sebenarnya pH soda kue yang digunakan sedikit
membingungkan, karena sebagian indikator memberikan warna asamnya dan
156
sebagian memberikan warna basanya. Jadi, bahan pengembang di pasaran ada 2
jenis yaitu baking soda dan baking powder . baking soda merupakan Natrium
bikarbonat murni sehingga pH-nya adalah pH basa murni. Sedangkan baking
powder adalah Natrium bikarbonat yang telah dicampuri zat lain sehingga bersifat
lebih asam. Perbedaan dan penggunaan disesuaikan dengan bahan makanan.
Sampel kelima adalah detergen cair, dengan indikator MJ berwarna
jingga, MM berwarna merah, BTB berwarna hijau, PP dan KA berwarna bening.
Maka detergen cair memiliki pH antara 3,1-4,4. Berdasarkan literatur, detergen
bersifat sangat basa, pH-nya 9,5-12 dan bersifat korosif sehingga terasa panas bila
mengenai tangan. Detergen yang bersifat basa kuat dapat menyebabkan terjadinya
iritasi kulit, mungkin untuk sampel detegen cair yang digunakan tidak
mengandung sifat basa yang sangat kuat, sehingga warna indikatornya lebih
cenderung ke warna asam.
157
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Untuk membuat larutan standar asam dan basa dalam berbagai konsentrasi
maka dilakukan pengenceran.
2. pH larutan pada percobaan diuji dengan indikator sebagai berikut :
Metil jingga, rentang pH 3,1 – 4,4
Metil merah, rentang pH 4,4 – 6,2
Bromtimol biru, rentang pH 6,0 – 7,6
Fenolftalein, rentang pH 8,3 – 10,0
Kuning alizarin, rentang pH 10,0 – 12,0
3. Jika pH larutan lebih kecil dari rentang pHnya, maka indikator akan
memberikan warna asamnya, sebaliknya jika pH larutan lebih besar rentang
pHnya, maka indikator akan memberikan warna basanya.
4. Beberapa pH larutan yang dibuat berbeda dengan saat diuji dengan pH meter
karena kurang ketelitian dalam membuat larutan.
5.2 Saran
Pada percobaan ini banyak digunakan larutan dengan kisaran volume di
bawah 10 ml. Oleh karena itu lebih baik jika gelas ukur yang digunakan adalah
yang sesuai karena pada saat berlangsung praktikum, gelas ukur yang tersedia
dalam ukuran yang melebihi sehingga menyulitkan dalam percobaan.
158
DAFTAR PUSTAKA
159
LAMPIRAN
0,01 mol
= 10 L
-3
= 10 M
[H+]= x . Ma maka, pH = - log [H+]
= 1 . 10-3 = - log [10-3]
= 10-3 = 3- log 1
pH = 3
4. Bagaimana hubungan antara [H+] dan [OH-] dalam larutan air, jika [H+] =
10-4 M ?
Jawab : hasil kali antara [H+] dengan [OH-] dinamakan Kw yang bernilai
tetapan 10-14. Jadi,
Kw = [H+] . [OH-]
Kw 10-14
[OH-] = [ +]
= -4
H 10
= 10-10
160
B. Pertanyaan Pasca Praktikum
161
C. Dokumentasi Percobaan
1) Daerah asam pH 2 sampai 6
162
2) Daerah netral pH 7
163
4) Petunjuk pH berbagai zat
Gambar 12. Larutan aspirin + indikator Gambar 13. Larutan shampo+ indikator
Gambar 14. Larutan soda kue + indikator Gambar 15. Larutan cuka + indikator
164