Anda di halaman 1dari 19

Journal Reading

Hipertensi Emergensi

Disusun oleh:
Celine Citra Surya
112013116

Pembimbing:
dr. Nuniek Endang, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RSUD TARAKAN JAKARTA PUSAT

PERIODE 15 JANUARI – 24 MARET 2018


Pendahuluan
Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatdaruratan dibidang neurovaskular yang
sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan
darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan
hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam
jiwa.1
Dua puluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipetensi krisis.
Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi dari 6,7% pada penduduk berusia
20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk
30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1-2% akan berlanjut menjadi hiperteni krisis.1
Dalam hal ini akan dibahas JNC 7. Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke
dalam tiga stadium klasifikai hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan
hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif.1

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 72

Definisi
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut.
Definisi yang paling sering dipakai adalah:
Hipertensi emergensi (darurat) adalah peningkatan tekanan darah sistolik > 180 mmHg
atau diastolic > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi
harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti
hipertensi intravena.1,2
Hipertensi urgensi (mendesak) adalah peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi
emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target.1,2

Anamnesis
Semua pasien dengan hipertensi berat harus dinilai tanda-tanda kerusakan organ akut.
Riwayat hipertensi penderita, rejimen yang sedang digunakan, dosis antihipertensi terakhir yang
digunakan dan kepatuhan minum obat. Sejarah penggunaan obat-obatan seperti (amfetamin,
kokain, monoamina oksidase inhibitor atau phencyclidine) juga harus ditanyakan. Penting untuk
diketahui bahwa bebrapa pasien dengan hipertensi kronis selalu memiliki tekanan darah tinggi.
Dalam faktanya, tekanan darah 120/80 mmHg terlalu rendah untuk pasien ini. Maka itu, diagnosis
untuk hipertensi emergensi tidak dapat didasarkan pada pembacaan tekanan darah tunggal mutlak,
tetapi didasarkan pada elevasi akut tekanan darah dari permulaan disertai dengan kerusakan
organ.3

Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah harus dievaluasi di kedua lengan dengan manset yang tepat. Pemeriksaan
fisik juga ditargetkan untuk mengidentifikasi kerusakan target organ. Pemeriksaan neurologis
terfokus pada perubahan status mental dan defisit neurologis fokal. Pemeriksaan juga dapat
dilakukan dengan menggunkan funduskopi untuk menilai eksudat, perdarahan, atau papil edema
yang mencirikan hipertensi ensefalopati. Pada pemeriksaan kardiovaskular dapat ditemukan bunyi
jantung gallop (S3 dan S4) dan murmur (misalnya aorta regurgitasi). Peningkatan pulsasi vena
jugular dan crackles pada lapangan paru yang mencirikan edema paru dan gagal jantung yang
terkompensasi. Pulsasi di bagian distal harus tetap dipalpasi di semua ekstremitas dan bila
ditemukan pulsasi yang tidak sama menimbulkan kecurigaan adanya diseksi aorta.3,4

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada.
Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis
dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran
dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi
ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.1
Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola,
perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal
jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau
hematuria bisa saja terjadi.1

Gambar 1. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan darioptik disc dengan margin kabur.1

Tabel 2. Hipertensi Emergensi1


Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram harus dilakukan untuk menilai hipertrofi pada ventrikel kiri, aritmia,
iskemia akut atau infak. Urinalisis harus dilakukan untuk menilai hematuria dan proteinuria.
Pemeriksaan profil metabolic dasar seperti ureum dan serum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal.
Biomarker jantung juga harus diperiksakan bila dicurigai adanya sindrom coroner akut.3,4

Radiologi
Pasien yang mengalami perubahan status mental atau defisit neurologi fokal harus
dilakukan Computed Tomography (CT) otak untuk menilai perdarahan atau infark. Foto rontgen
dada juga dilakukan untuk menilai adanya edema paru. Jiak dicurgai adanya diseksi aorta
(berdasarkan riwayat nyeri dada, denyut nadi tidak beraturan dan atau pelebaran mediastinum pada
tampilan rontgen), pencitraan aorta (CT angiogram/ MRI/ Transeofageal echocardiogram) harus
dilakukan segera.3,4

Etiologi dan Patofisologi


Faktor remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi
dan hipertensi urgeni masih belum dapat dipahami. Diduga kaena terjadinya peningkatan tekanan
darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vascular. Peningkatan tekanan darah yang
mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat
kerusakan vascular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi.1,2
Tabel 3. Keadaan yang berhubungan dengan Hipertensi Emergensi1

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan


danpasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berabgai tingakatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka
akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap ada pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otal akan mengeluarkan oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun.
Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti
mual, menguap, dan sinkop.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurba, sehingga pengurangan aliran
darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi.
Tabel 4. Patofisiologi Hipertensi Emergensi

Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah denhan mengadakan perubahan pada resistemsi terhadap aliran darah dengan
berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka
akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70
mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal,
maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan
sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang
autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran
darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).1

Gambar 2. Kurva autoregulasi pada tekanan darah1

Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara
grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung
menggeser autoregulasi ke arah normal.1
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting
MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25%
dalam beberapa menit atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan
darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan
dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya.
Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien
dengan infark serebri akut ataupun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan
lebih lambat (6-12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100
mmHg.1

Pendekatan Diagnosis
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin
diminum, kepatuhan minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine.
Riwayat penyakit yang menyertaidan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi.
Tanda-tanda defisit neurologic harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran,
hemiparesis dan kejang.1,3
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan
urinalisa.Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien
dengan sesak nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri
dan hipertrofi ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan
alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi:1,3
Tabel 5. Alur pendekatan diagnosik pada Hipertensi1

Penatalaksanaan
Literatur yang ada tentang hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi tidak memberikan
bukti kuat mengenai tingkat penurunan tekanan darah yang harus dicapai dalam rangka
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Sampai saat ini belum ada uji coba terkontrol
secara acak untuk menilai klinis, membandingkan perbedaan penurunan tekanan darah diantara
pasien yang mengalami hipertensi emergensi.1
Pengaturan tekanan darah secara serebral diubah secara hipertensi pada keadaan darurat
Oleh karena itu telah dipostulasikan bahwa pengurangan tekanan darah secara cepat menyebabkan
perfusi serebral berkurang yang mengakibatkan kerusakan organ akhir. Oleh karena itu,
pemantauan hemodinamik arterial invasif di tempat perawatan intensif dengan penggunaan obat-
obatan anti-hipertensi intravena singkat yang dititrasi direkomendasikan pada situasi ini.1
Pedoman praktek klinis berdasarkan JNC 7 menunjukkan bahwa berarti tekanan darah
arterial harus dikurangi <25% di dalam pertama 2 jam dan sampai sekitar 160 / 100-110 mmHg
selama 6 jam ke depan. Pada diseksi aorta merupakan situasi klinis khusus dianjurkan untuk
mengurangi tekanan darah hingga kurang dari 120 mmHg dalam waktu 20 menit . Pilihan
antihipertensi terjadi berdasarkan disfungsi organ target, ketersediaan, kemudahan administrasi,
budaya institusional dan preferensi dokter.1

Tatalaksana Farmakologis
Terdapat beberapa obat dalam penanganan hipertensi emergensi:2,3
Sodim nitroprusside. Sodium nitropruside bersiat arterial dan vasodilator vena. Hasilnya
nampak pada penurunan pre load dan after load. Obat ini mudah di titrasi dan efeknya reversible.
Namun, hal itu menyebabkan penurunan perfusi serebral dengan bertambahnya tekanan
intracranial, dan karena itu harus hati-hati digunakan dalam hipertensi ensefalopati. Pada pasien
dengan penyakit coroner karena menyebabkan penurunan perfusi ke aliran darah coroner sekunder
secara signifikan. Dalam tes control secara acak dengan pasien infark miokard akut dan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri, penggunaan nitropruside dalam 9 jam setelah onset
nyeri dada mengakibatkan peningkatan kematian. Sejak saat itu, agen yang poten dengan onset
yang cepat harus digunakan dengan pemantauan tekanan darah yang intensif.
Nitroprusside mengandung 44% sianida menurut beratnya. Ekskresi dari sianida dalam
bentuk tiosianat membutuhkan hati dan ginjal yang fungsinya adekuat . Mengingat potensi
toksisitas sianida dan kebutuhan untuk aktif, pemantauan hemodinamika invasif, tidak digunakan
sering sebagai agen pertama pilihan dalam keadaan hipertensi emergensi.
Labetalol. Labetalol adalah gabungan alfa adrenergic dan non selektif penghambat
reseptor beta adrenergik. INi memiliki onset yang cepat dalam 2-5 menit setelah pemberian IV dan
efeknya bertahan sekitar 2-4 jam. Ini dapat diberikan secara bolu atau kontinyu dengan injeksi
intravena tanpa pemantauan tekanan darah secara intensif. Efek samping yang dapat terjadi adalah
bradikardia karena efek pemblokiran beta. Ini mengurangi resistensi vascular, tetapi
mempertahankan aliran darah serebral dan coroner. Oleh karena itu dianjurkan oleh American
Stroke Association untu pengelolaan hipertensi pada pasien yang menerima tissue Plasminogen
Activator (tPA) untuk stroke. Hal ini sering digunakanpada kehamilan pada hipertensi emergensi
karena kandungan lipid larut dan tidak melewati barrier plasenta.
Fenoldopam. Fenoldopam berkerja pada dopamine perifer-1 reseptor yang menghasilkan
vasodilatasi perifer terutama pada ginjal, jantung dan splanik. Meski menurunkan tekanan darah
tetepi obat ini meningkatkan perfusi ginjal. Dalam beberapa penelitian membandingkan
fenoldopam dengan antihipertensi lainnya pada hipertensi emergensi, terjadi peningkatan
creatinine clereance. Oleh karena itu, ini dapat menjadi obat yang berguan pada pasien dengan
keadaan hiperensi emergensi yang berhubungan dengan gagal ginjal akut.
Nicardipin. Nicardipin adalah dihidropiridin generasi kedua calcium channel blocker. Ini
bekerja pada kalsium tipe-L calcium channel blocker yang menyebabkan relaksasi dari otot halus
arteriolar peripheral.
Clevidipin. Clevidipin adalah dihidropiridin generasi ketiga calcium channel blocker,
disetujui oleh FDA pada tahun 2008 untuk manajemen keadaan hipertensi emergensi. Ini
menghambat calcium ekstraseluler masuk melalui saluran L, merelaksasi otot halus arteriolar yang
menyebabkan penurunan resistensi vascular, meningkatkan stroke volume dan cardiac ouput.
Clevidipin memiliki onset kerja yang cepat (< 1 menit) dan akhir kerja clevidipin mudah dititrasi.
Clevidipin di metabolisme dalam bentuk tidak aktif oleh esterase dalam darah dan ekstravaskular
maka itu, tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan ginjal dan disfungsi hepar.
Keamanan dan kemanjuran clevidipin dinilai dalam evaluasi pengaruh clevidipin ultra
short acting dalam pengobatan pasien dengan hipertensi berat. Di antara 126 pasien ang
diperesentasikan ke ruang gawat darurat atau perawatan intensif unit dengan krisis hipertensi
(81% mengalami kerusakan organ akhir), 90% dari pasien yang diobati dengan clevidipin
mencapai tekanan darah targer dalam waktu 30 menit (rata-rata tercapai dalam 10,9 menit).
Tekanan darah turun lebih rendah dari target yang telah ditentukan hanya terjadi pada 2 pasien.
Pada studi tentang khasiat Clevidipin dalam penilaian sebagai pre operatif antihipertemsi pada
bedah jantung dan evaluasi clevidipin pada percobaan pengobatan hipertensi perioperatif yang
dilakukan secara acak. Percobaan menunjukkan clevidipin menjadi obat yang aman dalam
hipertensi urgensi pada pasien pasca bedah jantung.
Hydralazin. Hydralazin adalah vasodilator arteriolar langsung. Hydralazin sering
digunakan sebagai antihipertensi pada pasien yang peningkatan tekanan darah asimptomatik.
Periode laten 5 – 15 menit diikuti penurunan tekanan darah yang cepat, dengan efek yang bertahan
hingga 10 jam. Obat ini tidak direkomendasikan dalam hipertensi krisis karena efek antihipertensi
yang sulit diprediksi dan sulit untuk dititrasi. Obat ini sering digunakan pada hipertensi krisis pada
kehamilan karena tidak teratogenik dan meningkatkan aliran darah uterus.

Tabel 6. Obat-obatan yang digunakan pada Hipertensi Emergensi3

Penatalaksanaan khusus untu Hipertensi Emergensi


Neurogenic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke iskemik akut.
American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 mmHg pada
hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130 mmHg.
Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal
untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus
MAP dipertahankan > 130 mmHg.1,3
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemikakut
pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang
telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner.
Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β-blocker (labetalol dan esmolol) secara
IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi
seperti nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan
darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit.5
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan
secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat.
Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari
pemberian nitroprussidedalam terapi gagal ginjal.1,3
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat
obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan
kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya
hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan
kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium
nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-
blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali
klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi yang telah
dijelaskan di atas.1,3

JNC 8
Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi:6
1. Pada populasi umum berusia ≥ 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekana darah
dimulai jika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg
dengan target sistolik < 150 mmg dan target diastolik < 90 mmHg)
Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, jika teraoi farmakologis hipertensi menghasilkan
tekana darah sistolik lebih rendah (misalnya <140 mmHg) dan ditoleransi baik tanpaefek
samping kesehatan dan kualitas hidup, dosistidak perlu disesuaikan
2. Pada populasi umum < 60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunakan tekanan darah
dimulai jika tekanan darah diastolic ≥90 mmHg dengan target tekanan darah diastolic <90
mmHg (untuk usia 30-59 tahun)
3. Pada popuasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan darah
dimulaijika tekanan darash sistolik ≥140mmHg
4. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah
≥90 mmHg dengan target tekanan arah diastolik <90 mmHg.
5. Pada populaso berusia ≥18 tahun, denan diabetes, terapi farmakologs untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90
mmHg.
6. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi antihipertensi
aawal sebaikna mencaku diuretk tipe thiazide, calcium channel blocker (CCB),
angiotensinconverting enzyme inhibitor (ACEI), atau angiotensin receptor blocker (ARB).
7. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi antihipertensi awal
sebaiknya mencakup diuretic tipe thiazide atau CCB.
8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi antihipertensi awal (atau
tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau ARB untuk meningkatkan outcome ginkal. Hal ini
berlaku untuk semua pasien penyakit hinjal kronik dengan hipertensi terlepas dai rasa tau staus
diabetes.
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahanakan target tekanan darah.
Jika target tejanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan, tingkatkan dosis obat awal
atau tamabahkan obat kedua dari salah satu kelas yang direkomendasikan dalam rekomendasi
6 (thiazide type diuretic, CCB, ACEI, atau ARB). Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-
sama pada satu pasien.
Tabel 7. Algoritma Hipertensi JNC 86
Tabel 8. Tatalaksana pada JNC 86

Tatalaksana Non Farmakologis


Modifikasi gaya hidup
Rekomendasi manajemen gata hidup untuk pasien dengan hipertensi ringan (rata-rat
tekanan darah 140-159/60), beresiko rendah terhadap penyakit kardiovaskular dan tidakada
komorbiditas (lihat tabel 9). Manfaat pengobatan farmakologis pada kelompok hipetensi ringan
tidak diketahui, dan mungkin tidak lebih besar daripada potensi bahaya (misalnya meningkatnya
risiko terjatuh). Dalam tinjauan sistemis terbaru, perawatan dengan obat-obatan pada pasien ini
tidak mengurangi total kematian pasien, total kejadian kardiovaskular, penyakit jantung coroner
atau stroke, bila dibandingkan dengan pengobatan plasebo. Sedangakan manfaat pengobatan gayaa
hidup (misalnya berhenti merokok. Peningkatan aktivitas fisik, menjaga dan merawat tubuh,
makan makanan seimbang, dan pemantauan asupan garam) dengan kelompok pasien ini telah
didokumentasikan (lihat tabel 10).4

Tabel 9. Pengaruh gaya hidup pada Tekanan darah4

Tabel 10. Rekomendasi terapi farmakogis hipertensi dengan komplikasikomorbiditas4


Daftar Pustaka

1. Devicaesaria A. Medicinus scientific jurnal of pharmacrutical development and medical


application. 2014; 27(3).9-16.
2. Larios KC, Diaz JF, Arias-Morales CE, Bergese SD.Hypertensive emergency: An updated
review. SciMedcentral. 2015; 3(2). 1029-32.
3. Mallid J, Pneumetsa S, Lotfi A. Management of hypentensive emgergencies. Hypertension
open access. 2013;2(2).1-5.
4. Hypertension diagnosis and management. BCGuidelines.ca.British Columbia Ministry of
Health. 2016; 1-6
5. Wijaya I, Siregar P. Hypertensibe crises in the adolescent: evaluationod suspected
renovascular hypertension. Acta Medica Indonesia- The Indonesian Journal of Internal
Medicine. 2013; 45(1).49.
6. Muhadi. JNC 8: Evidence based Guideline Penanganan pasien hipertensi dewasa. CDK-236.
2016; 43(1).54-9.

Anda mungkin juga menyukai