Anda di halaman 1dari 4

Pengertian :

Japanese B encephalitis (JE), merupakan salah satu penyakit arbovirus yang bersifat
zoonosis dan dapat menyebabkan radang otak. Virus penyebab penyakit ini termasuk kelompok
arbovirus (arthropod born viruses) yakni virus yang dapat disebarkan melalui vektor biologi
serangga (arthropod) Penyakit ini disebabkan oleh virus JE dari Famili Flaviviridae. Nyamuk
telah diketahui memainkan peranan yang penting sebagai vektor penularan penyakit JE baik dari
hewan ke hewan maupun dari hewan ke manusia. Beberapa spesies nyamuk yang telah
dibuktikan bertindak sebagai vektor JE diantaranya adalah C. tritaeniorchynchus, C.
bitaeniorchynchus, C. vishnui, dan C. fuscocephalus (SIMPSON et al., 1974; BENARJEE et al.,
1978).

Etiologi:

Penyebab JE adalah virus RNA dari famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Virus JE
mempunyai kedekatan antigenik dengan virus West Nile, Murray Valley dan St. Louis ensefalitis.
Masing-masing menyebabkan penyakit pada manusia, tapi hanya JE yang menyebabkan
penyakit yang signifikan pada hewan.

Flavivirus terdiri dari sekitar 70 virus berdiameter 45-60 nm yang mempunyai genom
RNA positif untai tunggal. Virus JE berenvelop bahan lemak sehingga virus ini tidak tahan
terhadap bahan yang mengandung pelarut lemak selain itu juga dapat di lemahkan dengan radiasi
elektromagnetik,pemanasan dengan suhu yang tinggi, dan desinfektan.

Penyakit pada manusia :

JE merupakan penyakit infeksi yang menyerang sistem saraf pusat yang sangat umum,
mengakibatkan infeksi akut pada otak terutama pada anak-anak umur urang dari 15 tahun
(Tiwari et al., 2012). Penyakit JE pada manusia merupakan jalan akhir (dead end) dari siklus
penularan JE, akibat dari masa viremia pada manusia yang terjadi hanya beberapa jam saja
sehingga sulit atau tidak sempat untuk ditularkan kepada orang lainnya.

Penyakit Japanese B encephalitis umumnya terjadi secara sub klinis. Hal ini menunjukan
bahwa besarnya kasus infeksi tidak dapat dipastikan. Kasus akan terlihat sebagai kasus sistemik
tanpa menunjukan gejala neurologik. Sebagian besar manusia yang terinfeksi tidak menunjukkan
gejala klinis. Berdasarkan penelitian seroepidemiologi, didapat bahwa 1 kejadian klinis
dilaporkan untuk setiap 500 – 1.000 orang yang positif terinfeksi secara serologi.

Bentuk klinis JE yang sering terlihat adalah encephalitis dengan tingkat kematian 20-
50%. Masa inkubasinya 4-14 hari atau lebih. Penyakit umumnya berjalan cepat dengan gejala-
gejala berupa: hyperpyrexia, cephalgia yang meluas, muntah-muntah, serta diikuti manifestasi
cerebral dan meningeal berupa kekakuan pada leher, convulsion (pada anak-anak), confusion,
disorientasi, delirium, paresis, dan paralisis (Huang, 1982 dalam Acha and Szyfres, 1987).
Infeksi JE juga dapat mengakibatkan terjadinya Poliomyelitis-like acute flaccid paralysis.

Penyakit pada hewan :

Infeksi utama pada hewan adalah babi. Babi sebagai reservoir utama bagi virus banyak
dijumpai pada sebagian besar wilayah Asia seperti Jepang dan Taiwan. Babi bunting yang
terinfeksi, dapat menularkan virus pada fetusnya secara transplacenntal sehingga menimbulkan
terjadinya abortus, mummifikasiofetus, atau stillbirth. Pada babi jantan, virus JE dapat
menyebabkan terjadinya aspermia atau hypospermia. Babi jantan yang terserang dapat
mengalami edema pada testis dan nafsu birahinya menurun. Adana titer antibody JE yang tinggi
juga pernah dijumpai pada kuda, sapi, dan berbagai jenis unggas (Acha and Szyfres, 1987).

Manifestasi klinis JE pada hewan berupa pyrexia, depresi, photophobia, muscular


tremors, incerdinasi, dan ataxia. Tingkat morbiditas pada sapi, kambing, dan domba biasanya
rendah.

Perkembangan JE di Indonesia:
Virus JE di Indonesia pertama kali berhasil di isolasi dari nyamuk yang berasal dari
daerah Bekasi-jakarta pada tahun 1972. Selanjutnya ditemukan pada sapi di daerah Jawa Timur
dan Bali dan selanjutnya menyebar di beberapa provinsi seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Irian Jaya, NTB, dan NTT.

Masaah JE pada hewan di Indonesia sampai saat ini belum menimbulkan masalah yang
besar. Hal ini disebabkan karena gejala klinis yang ditimbulkan pada ternak tidak menunjukkan
ciri-ciri yang khas sehingga tidak dapat terdiagnosis.oleh karena itu penelitian JE pada hewan
kuang mendapat perhatian.

Pathogenesis :

Penyebaran penyakit JE tidak dapat ditularkan melalui kontak Iangsung, tetapi harus
melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus JE . Masa inkubasi
pada nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi virus JE, selama hidupnya
akan menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan dan manusia (WINARNO, 2005) .

Umur vektor JE, nyamuk Culex, berkisar antara 14-21 hari dan jarak terbang Culex dapat
mencapai lebih dari 3 km (WINARNO, 2005) . Culex umumnya berkembang biak pada
genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti sawah dan saluran irigasinya, selokan yang
dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai (WINARNO, 2005) .

Pada babi, viraemia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi
dalam waktu 1 hingga 4 minggu. Virus JE dapat menembus plasenta tergantung pada umur
kebuntingan dan galur virus JE . Kematian janin dan mumifikasi dapat terjadi apabila infeksi JE
berlangsung pada umur kebuntingan 40-60 hari . Sedangkan infeksi JE sesudah umur
kebuntingan 85 hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit . Masa inkubasi JE pada manusia
berkisar antara 4 hingga 14 hari (DONG et al ., 2004) .
Diagnosis :

Agen penyebab di isolasi dari jaringan otak manusia yang mati atau dari fetus hewan.
Kadang juga dapat diisolasi dari cairan darah dan cairan cerebrospinal. Isolasi dapat dilakukan
melalui inokulasi pada mencit yang masih menyusu secara intraserebral. Anak mencit akan
mengalami gangguan saraf 4-14 hari pasca inokulasi (Soeharsono, 2002). Pada manusia,
diagnosis utama JE menggunakan uji serologi seperti ELISA, RT-PCR, hemagglutination
inhibition (HI), Neutralization (N), dan Complement fixation (CF).

Pencegahan :

Untuk mengurangi penyebaran penyakit JE pada ternak dan manusia, maka pemutusan
rantai penularan (virus, vektor nyamuk, dan induk semang) perlu dilakukan. Program
pencegahan utama adalah melalui vaksinasi. Untuk pencegahan pada manusia digunakan vaksin
biakan inaktif. Pemberian vaksin pada babi terutama pada babi dara sebelum dikawinkan, sangat
dianjurkan untuk mencegah terjadinya keguguran. Pencegahan kedua dengan menghambat
populasi vektor. Populasi vektor dapat dihambat dengan pemberian insektisida, larvasida, dan
predator. Insektisida dan larvasida dapat digunakan di sekitar pemukiman, kandang ternak, dan
sawah yang merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk yang baik. Namun cara ini dinilai
tidak terlalu efektif, karena biaya yang dikeluarkan tinggi, di samping munculnya resistensi
insektisida atau larvasida tersebut. Pencegahan ketiga, yang merupakan cara yang lebih aman
dan efektif untuk mencegah terjadinya transmisi dari nyamuk ke manusia atau hewan adalah
dengan memindahkan lokasi peternakan babi jauh dari lokasi persawahan.

Daftar pustaka

Sendowo indrawati dan Sjamsul bahri. 2005. PERKEMBANGAN JAPANESE ENCEPHALITIS


DI INDONESIA. Bogor: Wartazoa Vol . 15 No . 3

Anda mungkin juga menyukai