Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
com/2013/02/23/pemikiran-ekonomi-islam-klasik/
Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak
lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina.
Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu
terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw
dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para
cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas,
fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi,
pertumbuhan dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang
menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
a. Fase Pertama.
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyyah atau
abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang
dirintis oleh para fuqaha, diikuti oleh sufi dan kemudian filosof. Pada awalnya,
pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para
ahli mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut.Fokus fiqih
adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini, para fuqaha
mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran
dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah
(disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama ini antara lain diwakili
oleh:
Abu Yusuf mengusulkan dalam kitabnya al-Kharāj, bahwa pajak atas tanah pertanian
diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungannya tidak berdasarkan harga
tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya. Begitu pula dengan pajak
perniagaan digantikan dengan sistem zakat perniagaan.
Menurut Abu Yusuf, harta yang diperoleh dari hasil pajak tanah (kharāj) tidak
layak digabungkan dengan harta yang diperoleh dari hasil zakat. Karena harta
hasil pajak tanah adalah harta ”rampasan” untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan
harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an.
Pendapat Abu Yusuf yang mirip dengan aliran fisiokratisme yang dimotori oleh
Francis Quesnay (1694-1774 M), adalah pendapatnya yang kontroversial dalam
analisis ekonomi tentang masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang
penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadits Nabi Saw:
Diriwayatkan dari Anas, ia mengatakan bahwa harga pernah mendadak naik pada masa
Rasulullah Saw. Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga
untuk kami. Beliau menjawab, “sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, Penahan,
Pencurah, serta Pemberi rejeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana
salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan
harta.” Abu Yusuf menyatakan dalam kitab al-Kharāj, “tidak ada batasan tertentu
tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang
mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya
makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan
berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi
murah.” Namun di sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan
penawaran dalam penentuan harga.
Abu Yusuf menegaskan bahwa sumber ekonomi berada pada dua tingkatan; tingkatan
pertama meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini
paling kuat dan berproduksi secara mandiri. Tingkatan kedua ialah tenaga kerja.
Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti
perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.
Jika isi kitab al-Amwāl dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan nampak bahwa
Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pelaksanaan
dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan
sosial.
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat
harus dilakukan secara merata di antara 8 ashnāf dan cenderung menentukan suatu
batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting
adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimana
menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang bersamaan,
Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki
40 dirham atau 4 dinar (sekitar Rp. 9 juta) atau harta lainnya yang setara. Di
sisi lain, Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham atau 20
dinar (sekitar Rp. 46 juta) maka ia terkena kewajiban membayar zakat. Oleh
karena itu, pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya 3
kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu; pertama,
kalangan kaya yang terkena wajib zakat (≥ 200 dirham atau ≥ 20 dinar, yaitu
sekitar ≥ Rp. 46 juta); kedua, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat,
tetapi juga tidak berhak menerima zakat (40-200 dirham atau 4-20 dinar, yaitu
antara sekitar Rp. 9 juta – Rp. 46 juta); dan ketiga, kalangan penerima zakat (≤
40 dirham atau 4 dinar, yaitu sekitar Rp. 9 juta).
Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa
kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin
ketersediaan pasokan yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan
ekonomi adalah persyaratan awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi
untuk mencapai tujuan ini mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok
dan rumah untuk rakyat miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai
kapasitas dan imbalannya.
Tentang pajak, Nizam Al-Mulk tidak menyangkal bahwa sistem pajak yang baik
menjadi basis keuangan yang sehat. Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan
yang sehat bukanlah segala-galanya untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait
dengan persoalan pajak tanah, Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari
pembebanan (charge) oleh tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya membayar pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas
pengumpul pajak, bahkan mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak
karena hal tersebut merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam Al-
Mulk ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak para tuan tanah, dan menjadikan
pemerintah menjadi lebih berkuasa.
b. Fase Kedua.
Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal
sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya.
Para cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang
bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan
landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sisi lain, mereka juga menghadapi realitas
politik yang ditandai oleh dua hal; pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani
Abbasiyyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang
mayoritasnya didasarkan pada kekuatan ketimbang kehendak rakyat; kedua,
merebaknya tindakan korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi
moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial,
sehingga terjadi gap (jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase kedua ini antara lain diwakili oleh:
Al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut
dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya
pembagian kerja, koordinasi dan kerja sama. Ia menguraikan argumen tahapan
produksi ini dengan menggunakan contoh jarum (dalam Ihyā’, juz 4), senada dengan
contoh pabrik penitinya Adam Smith kurang lebih 6 abad kemudian.
Al-Ghazali menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara
khusus, ia memandang bahwa produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai
kewajiban sosial (fardh kifāyah). Dalam hal ini, pada prinsipnya, negara harus
bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang
kebutuhan pokok. Di samping itu, ia beralasan bahwa ketidakseimbangan antara
jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat
cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.
Tentang laba yang adil, secara tersirat Ibnu Taimiyyah memandang laba sebagai
penciptaan tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Ia mendefinisikan laba yang
adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan
tertentu, tanpa merugikan orang lain. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa para
pedagang tidak boleh menarik keuntungan dari pembeli yang tidak mengerti tentang
harga umum yang berlaku di pasar dari barang yang dibelinya. Selain itu, jika
ada orang miskin yang sangat membutuhkan untuk membeli beberapa barang guna
memenuhi kebutuhan hidupnya, maka penjual harus mengambil keuntungan yang sama
dengan keuntungan yang ia ambil dari pembeli yang lain yang tidak terlalu
membutuhkan sebagaimana orang miskin tersebut. Namun, pembeli tidak bisa
seenaknya saja menetapkan harga atas barang yang dibelinya. Oleh karena itulah,
setiap orang dapat meminta regulasi harga dari pemerintah.
Tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “harga yang sepadan
adalah harga standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang
dagangannya dan secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang sepadan dengan
barang-barang tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang
khusus.” Di sini ia menjelaskan bahwa harga yang sepadan adalah harga yang
dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara
kekuatan permintaan (demand) dengan penawaran (supply).
Tentang mekanisme pasar, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “naik dan turunnya
harga tidak selalu diakibatkan oleh kebijakan para penguasa atau pihak-pihak
tertentu. Terkadang hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau
penurunan impor barang-barang yang diminta.” Artinya, naik dan turunnya harga
ditentukan oleh pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Namun ketika
permintaan (demand) meningkat sementara persediaan (supply) tetap, maka harga
akan mengalami kenaikan. Ia menyebut kenaikan harga terjadi karena penurunan
jumlah barang atau peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah barang dapat
disebut juga sebagai penurunan persediaan (supply), sedangkan peningkatan jumlah
penduduk dapat disebut juga sebagai naiknya permintaan (demand). Suatu kenaikan
harga yang disebabkan oleh penurunan supply atau kenaikan demand dikategorikan
sebagai kehendak Allah. Dalam hal persediaan barang (supply), ia menyebutkan 2
sumber persediaan, yaitu produksi lokal dan impor barang-barang yang diminta.
Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
permintaan serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu; keinginan masyarakat
terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah, jumlah
peminat terhadap suatu barang, lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu
barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan, besar atau
kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual, dan tingkat
kepercayaan penjual terhadap pembeli.
Ibnu Taimiyyah juga membahas masalah regulasi harga. Tujuannya adalah untuk
menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Penetapan harga
harus dilakukan oleh pemerintah ketika terjadi kekurangan bahan pokok di tengah-
tengah masyarakat, sehingga tidak terjadi monopoli harga dan barang-barang
kebutuhan pokok. Namun untuk membuat regulasi harga ini, pemerintah terlebih
dahulu harus bermusyawarah dengan masyarakat yang mengerti persoalan harga bahan
pokok yang berlaku.
Tentang uang, Ibnu Taimiyyah menyebutkan 2 fungsi uang, yaitu sebagai pengukur
nilai dan media pertukaran. Ia juga menyatakan bahwa volume uang yang beredar
harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi. Hal ini untuk
menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang harus
sesuai dengan daya beli di pasar. Ia menyatakan bahwa penciptaan mata uang
dengan nilai nominal yang lebih besar dari pada nilai intrinsiknya, akan
menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta menimbulkan inflasi dan
perilaku pemalsuan mata uang.
Bagi Ibnu Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara
sosial dan internasional. Menurutnya, faktor produksi yang utama adala tenaga
kerja manusia. Ia menyatakan bahwa “tenaga manusia sangat penting untuk setiap
akumulasi laba dan modal … Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan
dicapai, dan tidak ada hasil yang berguna.” Karena itu, manusia harus melakukan
produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga
manusia. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa produksi agregat yang dihasilkan oleh
manusia yang bekerja secara bersama-sama adalah lebih besar dibandingkan dengan
jumlah total produksi individu dari setiap orang yang bekerja secara sendiri-
sendiri, dan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan mereka untuk
dapat tetap bertahan hidup. Ia menyatakan “apa yang dicapai melalui kerja sama
dari sekelompok manusia dapat memuaskan kebutuhan kelompok berkali-kali lebih
besar.” Teorinya tentang produksi agregat ini merupakan embrio suatu teori
perdagangan internasional. Dengan kegiatan produksi yang dilakukan secara
bersama-sama pada suatu daerah tertentu, maka hasil produksinya dapat diekspor
ke daerah lain yang membutuhkannya, sehingga terjadilah perdagangan antar
daerah.
Ibnu Khaldun membagi jenis barang menjadi dua, yaitu barang kebutuhan pokok dan
barang mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya
bertambah banyak, maka persediaan kebutuhan pokok akan mendapat prioritas.
Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan
berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah
meningkat. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkomentar bahwa memang pada mulanya
kemewahan dapat meningkatkan permintaan dan pendapatan sehingga meningkatkan
pembangunan dan memperkuat modal negara, namun hal demikian pada gilirannya akan
merusak moral dan melonggarkan batasan-batasan moral pada belanja. Moderasi akan
kehilangan akar dan digantikan dengan pola hidup extravagansa. Rakyat akan
cenderung mengumbar energi mereka pada barang-barang mewah. Manakala mereka
kesulitan untuk mendapatkan barang-barang ini lewat cara-cara yang benar, mereka
akan melakukan tindakan korupsi.
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan (negara) tidak tumbuh manakala ditimbun
dan disimpan. Ia akan tumbuh dan berkembang manakala dibelanjakan untuk
kepentingan masyarakat, untuk diberikan kepada yang berhak, dan menghapuskan
kesulitan. Kekayaan (negara) juga bergantung kepada pembagian tenaga kerja
(division of labor) dan spesialisasi; makin besar tingkat spesialisasi, makin
tinggi pertumbuhan kekayaan. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa kekayaan atau
kemakmuran suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang dan asset atau Sumber
Daya Alam yang dimiliki bangsa tersebut, akan tetapi peradabanlah yang
menentukannya. “Peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena jumlah
tenaga kerja yang banyak.” Jumlah tenaga kerja inilah yang menghasilkan barang
dan jasa yang pada gilirannya menghasilkan laba. Ia juga mengatakan bahwa jatuh
bangunnya suatu dinasti atau peradaban sangat tergantung pada kesejahteraan atau
kesulitan hidup manusia.
Tentang teori nilai, Ibnu Khaldun mengukur nilai suatu produk sama dengan jumlah
tenaga kerja yang dikandungnya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan teori nilai
dari Adam Smith tiga abad kemudian. Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari
hukum permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah
uang dinar dan dirham, yang menjadi standar moneter. Ia menjelaskan bahwa
pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama
mekanisme pasar berjalan normal. Tapi bila mekanisme pasar tidak berjalan
normal, maka pemerintah disarankan melakukan kontrol harga. Selain itu, Ia
menyatakan bahwa pada awalnya, harga-harga akan cenderung menurun seiring dengan
peningkatan dalam pembangunan dan produksi. Namun, jika permintaan terus
meningkat, sementara penawaran tidak mampu berpacu dengannya, kelangkaan pun
akan terjadi, sehingga menimbulkan peningkatan dalam harga barang dan jasa.
Akibatnya, harga-harga kebutuhan pokok cenderung meningkat lebih cepat daripada
harga barang-barang mewah, dan harga-harga di perkotaan lebih cepat merangkak
daripada di pedesaan. Dan selanjutnya, ongkos tenaga kerja juga ikut naik
seiring dengan naiknya pajak. Hal ini menyebabkan pembangunan menjadi turun,
begitu juga dengan kemakmuran dan peradaban.
c. Fase Ketiga.
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase
tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase
stagnasi. Pada fase ini, para ulama hanya menulis catatan-catatan para
pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi
masing-masing mazhab.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh:
Muhammad Abduh juga sangat mengecam perilaku zalim dalam ekonomi. Bahkan ia
menganggapnya sebagai jenis kezaliman yang paling kejam. Karenanya, orang kaya
yang mencintai hartanya hingga mereka kikir mengeluarkan hartanya demi
kemaslahatan umum, maka mereka itu betul-betul kafir (dalam arti kufur nikmat)
meskipun mereka sendiri menyebut diri mereka beriman.
Abduh mengingatkan akan bahaya yang menimpa masyarakat karena dominasi para
pemilik modal (kapitalis). Dalam hal ini, Abduh menganggap bahwa eksploitasi
harta melalui harta, atau menjadikan harta sebagai media untuk mendapatkan
keuntungan dengan cara mengeksploitasi kebutuhan orang lain, adalah termasuk
faktor mendasar yang menyebabkan riba diharamkan dalam Islam. Abduh
mengisyaratkan pernyataannya ini kepada bunga bank.
Muhammad Abduh setuju bahwa kemiskinan seseorang itu memang sudah menjadi
sunnatullah dalam lingkungan masyarakat. Artinya, kemiskinan itu disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya adalah karena faktor memang tidak mampu bekerja,
atau karena gagal berusaha, atau karena pengangguran dan malas, atau karena
faktor rendahnya pendidikan. Ia mengatakan, “jika kemiskinan seseorang memang
sudah menjadi sunnatullah, maka mengatasi kemiskinan itu pun juga harus dengan
sunnatullah, begitu juga halnya dengan kekayaan seseorang.” Maksudnya adalah
mengatasi masalah kemiskinan itu harus dengan mengatasi faktor-faktor
penyebabnya. Begitu juga jika seseorang ingin memperoleh kekayaan, maka ia harus
berusaha dan bekerja untuk memperolehnya.
Iqbal sangat prihatin terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia
menganggap semangat Kapitalis yang eksploitatif menjadi asing bagi Islam. Ia
menganggap bahwa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari
tugas pemerintahan Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk
menciptakan masyarakat yang adil.