(ABKC 3801 )
PEMANFAATAN LIGNIN DARI LIMBAH KULIT BUAH KAKAO
MENJADI PEREKAT
Disusun untuk Memenuhi Tugas Diskusi Kelompok Mata Kuliah Kimia Kayu dan
Pulp
Dosen Pembimbing:
Dra. Hj. Rilia Iriani, M. Si
Drs. Syahmani, M. Si
Rahmat Eko Sanjaya, M. Si
Oleh :
Arsil Maulana (A1C315043)
Aulia Ulfah (A1C315044)
Dwi Damayanti (A1C315046)
KELOMPOK V
Oktober, 2017
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Lignin ?
2. Masalah Lingkungan dari Limbah Kulit Buah Kakao?
3. Berapa Persen Kandungan Lignin dalam Kulit Buah Kakao?
4. Bagaimana Proses Pembuatan Lignin Menjadi Perekat ?
5. Bagaimana Proses Pengujian Pembuatan Lignin menjadi Perekat?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lignin.
2. Untuk mengetahui masalah lingkungan dari limbah kulit buah kakao.
3. Untuk mengetahui berapa persen kandungan lignin dalam kulit buah
kakao.
4. Untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan lignin menjadi perekat.
5. Untuk mengetahui bagaimana proses pengujian pembuatan lignin
menjadi perekat.
1.4 Manfaat
Dalam pengolahan makalah ini kita dapat menambah pengetahuan
dalam perkuliahan dan manfaat bagi pembaca bisa menjadi wawasan atau
pelengkap ilmu pengetahuan terkhusus tentang pulp dan bagaimana proses
pembuatannya dan pemanfaatannya.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Lignin
Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun
tumbuhan. Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya.
Lignin terutama terakumulasi pada batang tumbuhan berbentuk pohon dan
semak. Pada batang, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat komponen
penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak (seperti semen
pada sebuah batang beton).
Berbeda dengan selulosa yang terbentuk dari gugus karbohidrat,
struktur kimia lignin sangat kompleks dan tidak berpola sama. Gugus
aromatik ditemukan pada lignin, yang saling dihubungkan dengan rantai
alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Proses pirolisis lignin menghasilkan
senyawa kimia aromatis berupa fenol, terutama kresol.
3
karena itu lignin juga memiliki dampak langsung terhadap karakteristik
tanaman. Misalnya saja, lignin sangat berpengaruh pada proses pembuatan
pulp dan kertas. Kebutuhan bahan kimia untuk ‘memasak’ kayu dihitung
berdasarkan kandungan ligninnya. Kandungan lignin pada pakan ternak
ruminansia sangat perpengaruh pada kemudahan pakan itu untuk dicerna.
Pakan yang rendah kandungan ligninnya mudah dicerna oleh binatang.
Lignin merupakan salah satu komponen utaman penyusun kayu selain
selulisa dan hemiselulosa. Menurut FAO dari pertumbuhan hutan dunia per
tahun yang berkisar 7 milyar sampai dengan 9 milyar meter kubik biomassa,
dihasilkan 140 juta ton selulosa dan pulp dengan 50 juta ton lignin diperoleh
dalam bentuk residu. Sebagian besar (95%) residu lignin ini dikonsumsi
sebagai sumber energi pada proses pulping dan diperoleh kembali sebagai
senyawa kimia anorganik atau dibiarkan sebagai limbah. Hanya 1% dari
seluruh lignin yang dihasilkan di dunia telah diisolasi dan dijual, yang lain
dikenal sebagai indulin AT, lignosol SD-60, Diwatex XP-9 dan sebagainya.
4
Gambar 2. Pohon Kakao
Produksi kakao di Indonesia sekarang ini cukup meningkat karena
seiring dengan program pemerintah untuk meningkatkan pengembangan
tanaman kakao. Selama lima tahun terakhir ini produksi kakao terus
meningkat sebesar 7,14% pertahun atau 49,200 ton pada tahun 2004
(Suryana,2005). Jika proporsi lmbah kulit kakao mencapai 74% dari
produksi, maka limbah kulit buah kakao mencapai 36408 ton per tahun, maka
dari itu limbah kulit buah kakao merupakan suatu potensi yang sangat besar
untuk di manfaatkan.
5
C. Kandungan Lignin dalam Kulit Buah Kakao
Menurut Meldawati (Jurnal), kandungan dari kulit buah kakao adalah
sebagai berikut :
No. Nama Persen
1 Lignin 57,16%
2 selulosa 15,31 %
3 Hemiselulosa 5,35 %
6
formaldehida. Namun dalam reaksi polimerisasi tersebut berjalan tidak
sempurna. Untuk menyempurnakan polimerisasi tersebut, dalam prosesnya
dapat ditambahkan bahan lain sebagai kopolimer, seperti phenol/fenol atau
resorsinol sehingga membentuk polimer lignin phenol formaldehida atau
lignin resorsinol formaldehida (Santoso dkk, 2003).
Resorsinol memiliki ketahanan terhadap degradasi dan kegagalan ikatan
serta lebih cepat mengering bila dibandingkan phenol. Resorsinol membentuk
kopolymer yang baik dengan formaldehid pada suhu kamar. Kelemahan
utama pada perekat resorsinol adalah harganya yang mahal. Dalam
pembuatan perekat atau pemilihan perekat, pengetahuan tentang sifat bahan
penyusun maupun bahan yang akan direkatkan sangatlah penting.
Karakterisasi pada perekat LPF (lignin phenol formaldehid) maupun LRF
(lignin resorsinol formaldehid) yang meliputi antara lain viskositas, pH
(derajat keasaman), berat jenis, daya kerekatan, dll. Viskositas sangatlah
penting dalam pembuatan perekat. Apabila perekat terlalu pekat, maka akan
sulit untuk dioleskan dan menyebabkan olesan perekat pada permukaan bahan
yang akan direkatkan tidak rata dan memberikan garis rekat yang sangat
tebal, sebaliknya bila terlalu encer, perekat akan menembus bahan yang akan
direkatkan sehingga memberikan daya rekat yang kurang (Karina,
Indratmoko HP, Puslitbang Fisika Terapan LIPI Bandung).
Membuat perekat lignin resorsinol formaldehid dan lignin phenol
formaldehid dengan pembanding perekat komersial. Sifat fisik dan kimia
antara perekat lignin phenol formaldehid dan perekat komersial yang ada
menunjukkan karakteristik yang sama melalui uji viskositas, uji kekuatan
tarik, analisis SEM (Ibrahim dkk, 2007).
Lignin dapat dihasilkan dari limbah proses delignifikasi pulp, pada
penelitian ini filtrat lignin berasal dari kulit buah kakao yang didelignifikasi
menggunakan alkohol. Filtrat ini kemudian diproses kembali untuk dapat
diambil endapannya dengan menggunakan proses pengasaman dengan asam
sulfat sehingga lignin powder yang dihasilkan berupa lignosulfonat. Lignin
tersebut dihaluskan dengan ukuran 100 mesh untuk kemudian dapat diproses
7
lagi menjadi bahan baku pembuatan perekat lignin fenol formaldehid dan
lignin resorcinol formaldehid.
Pembuatan perekat Lignin Resorcinol Formaldehide dan Lignin
Phenol Formaldehide dilakukan dengan menggunakan metode Y. (Bedard dan
B. Riedl, 1990). Pembuatan dengan metode tersebut diketahui menghasilkan
perekat dengan distribusi berat molekul yang tinggi, kohesi perekat dan adesi
kayu yang baik (J.S.M. Kazayawoko, 1992).
Pada proses pembuatan perekat LPF formaldehid digunakan sebagai
pengikat gugus hidrolik pada penol sehingga membentuk Ortho,para-
hydroxymethylphenol dengan reaksi dibawah ini :
8
Lignin Formaldehid Ortho-hydroxymethyllignin
9
Sedangkan untuk pembuatan perekat Lignin Resorcinol Formaldehid,
formaldehid diadisi dengan Risorcinol kemudian dikondensasi dan
direaksikan kembali dengan formaldehid membentuk ikatan silang senyawa
polimer resorcinol formaldehid. Dimana senyawa tersebut telah siap untuk
bereaksi dengan lignin membentuk lignin resorcinol formaldehid.
10
etanol 40%, disaring. Ambil 200 ml larutan lignin ditambahkan H2SO4 2N
sampai pH 2 diaduk dan saring, kemudian filtrat dibuang, dan endapannya
dilarutkan dengan NaOH 0,5N diaduk dan saring lagi filtrat dibuang, endapan
diberi H2SO4 2N sampai pH 2 dan saring lagi filtrat dibuang, endapannya di
cuci dengan air panas dan air dingin sampai pH netral, kemudian dioven pada
suhu 50 oC selama 1 jam, baru dihaluskan sampai dengan ukuran partikel 100
mesh, dihasilkan lignin powder.
b. Membuat Perekat LRF dan LPF
Variabel-variabel yang digunakan adalah :
Kondisi yang ditetapkan :
Phenol 50 gram, Resorsinol 50 gram, Formaldehid (37%) 100 mL
Kondisi yang berubah :
Lignin Powder (%) : 10 ; 15; 20; 25; 30
Phenol 50 gr atau resorsinol 50 gr dilarutkan dalam aquadest 6 ml
diaduk-aduk lalu ditambahkan larutan formaldehid 37% sebanyak 100 ml dan
ditambahkan (substitusi) lignin 10,15,20,25 dan 30% berdasarkan massa
phenol atau resorsinol, diaduk. Kemudian ditetesi perlahan–lahan NaOH 50%
sebanyak 5 ml dan diaduk. Kemudian dipanaskan sampai suhu 80°C selama
30 menit, lalu suhu diturunkan sampai 30-40°C, dan ditambahkan NaOH 50%
dengan diteteskan sebanyak 5 ml dan NH4OH 30% 4 ml. Selanjutnya
percobaan tersebut dapat diulangi lagi pada substitusi lignin sesuai dengan
variabel, dengan perekat komersial sebagai pembanding.
11
F. Hasil dari Pengujian
Pada Gambar terlihat bahwa grafik makin lama makin naik, ini
disebabkan substitusi lignin ke dalam perekat LRF dan LPF yang semakin besar
menyebabkan viskositas perekat makin besar (kental). Hal ini disebabkan
terjadinya reaksi antar lignin dengan formaldehid, sehingga reaksi tersebut akan
menyebabkan terjadinya pertambahan berat molekul dan akan meningkatkan
viskositasnya. Maka semakin besar substitusi lignin makin rendah kandungan
formaldehidnya (Karina, 1995). Pada LRF untuk substitusi lignin 30%
viskositasnya yaitu 7,26 melebihi viskositas perekat komersial yaitu sebesar 6,55.
Viskositas perekat merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi daya
rekat. Hasil penelitian untuk viskositas yang mendekati perekat komersial untuk
LRF pada substitusi lignin 15% yaitu sebesar 6,45. Sedangkan untuk LPF
viskositas yang mendekati perekat komersial terletak pada substitusi lignin 30%
yaitu 5,60. Bila perekat viskositasnya makin besar maka perekat tersebut akan
lebih cepat mengeras karena kandungan air yang ada didalam perekat tersebut
sedikit. Bila dilihat dari hasil penelitian maka perekat LRF lebih cepat mengeras
dari pada LPF , hal ini dapat dilihat dari viskositas hasil analisis, untuk perekat
LRF lebih besar dari LPF.
12
Gambar 9. Hubungan antara pH terhadap substitusi lignin untuk perekat Lignin
Resorsinol Formaldehid dan Lignin Phenol Formaldehid.
Hasil pengukuran menunjukkan pH perekat LRF dan LPF lebih besar dari
pada pH perekat komersial, terlihat dari hasil analisis bahwa makin besar
substitusi lignin menyebabkan perolehan pH makin menurun (lebih bersifat
asam). Hal ini disebabkan penambahan lignin dengan resorsinol dan formalde-hid
akan meningkatkan derajad keasaman pada perekat tersebut. Dalam pembuatan
perekat LRF maupun LPF ditambahkan NaOH, berfungsi sebagai katalis untuk
mempercepat reaksi antara lignin, resorsinol dan formaldehid atau lignin, phenol
dan formaldehid. Menurut Pizzi dalam Harisyah M. (2009), pH diatas 3
mengakibatkan proses pereaksi-an semakin cepat, sehingga adanya NaOH
tersebut menyebabkan pengaktifan lignin dengan resorsinol dan formaldehid dan
begitu juga lignin dengan phenol dan formaldehid.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, analisis pH dengan
menggunakan pH meter untuk perekat LRF berkisar 9.5–10,2 sedangkan untuk
perekat LPF diperoleh pH antara 8,3–8,9 , sedangkan pada perekat komersial pH
nya 4,4. Bila melihat dari data persyaratan standar phenol formaldehid cair untuk
perekat kayu lapis pH(25 oC) yaitu antara 10,0–13,0.
Jadi hasil penelitian masih sesuai untuk perekat LRF, sedangkan LPF tidak
sesuai dengan standar dan lebih bersifat asam, demikian juga pada perekat
13
komersial. Tetapi untuk interaksi antara perekat dengan kayu pHnya antara 8–11
(Harisyah, 2009).
Gambar 10. Hubungan antara densitas terhadap substitusi lignin untuk perekat
Lignin Resorsinol Formaldehid dan Lignin Phenol Formaldehid.
14
didapatkan daya rekat 3,42 kg/cm2. Sedangkan pada LPF viskositas yang
mendekati perekat komersial terletak pada substitusi lignin 30% didapatkan daya
rekat 0,15 kg/cm2 dan untuk lem komersial daya rekatnya sebesar 3,65 kg/cm2
15
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
1. Lignin adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan yang
berfungsi sebagai bahan pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga
suatu pohon bisa berdiri tegak
2. Kandungan dari kulit buah kakao adalah lignin sebesar 57,16%, selulosa
sebesar 15,31%, dan hemiselulosa 5,35%.
3. Pembuatan perekat Lignin Resorcinol Formaldehide dan Lignin
Phenol Formaldehide dilakukan dengan menggunakan metode Y yang
menghasilkan perekat dengan distribusi berat molekul yang tinggi, kohesi
perekat dan adesi kayu yang baik.
4. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, analisis pH dengan
menggunakan pH meter untuk perekat LRF berkisar 9.5–10,2 sedangkan
untuk perekat LPF diperoleh pH antara 8,3–8,9 , sedangkan pada perekat
komersial pH nya 4,4.
5. Bila melihat dari data persyaratan standar phenol formaldehid cair untuk
perekat kayu lapis pH(25 oC) yaitu antara 10,0–13,0. Jadi, hasil penelitian
masih sesuai untuk perekat LRF, sedangkan LPF tidak sesuai dengan
standar dan lebih bersifat asam, demikian juga pada perekat komersial.
16
DAFTAR PUSTAKA
17