Anda di halaman 1dari 10

Perlawanan di Sumatera: Perang Padri.

Perang Padri merupakan salah satu perlawanan yang


dilakukan oleh rakyat Indonesia, khususnya perlawanan
rakyat Sumatera dalam menentang kolonialisme barat.
Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat
pada tahun 1821–1837. Perang ini disebabkan oleh adanya
konflik antara para pembaru Islam (Kaum) Padri yang
sedang konfik dengan kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri
dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu
dipahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam,
tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang
kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang
berpakaian putih. Hal ini dikarenakan orang Sumatera Barat baru kembali dari
menunaikan ibadah haji (1803). Tokoh kaum Padri antara lain Haji Miskin, Haji
Sumanik, Haji Piabang, Tuanku nan Renceh, Dato’ Malim Basa (Imam Bonjol).
Sedangkan kaum adat dipimpin oleh Dato’ Sati yang kemudian meminta bantuan
Belanda.
Perang Padri terbagi menjadi beberapa tahap.
Tahap Pertama
Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan
pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Pasukan Padri menggunakan
senjata-senjata tradisional, seperti tombak, dan parang. Sedangkan Belanda dan
kaum Adat, menggunakan senjata-senjata lebih lengkap, modern seperti meriam
dan senjata api lainnya. Pertempuran ini memakan banyak korban. Di pihak
Tuanku Pasaman (pimpinan perang Padri) kehilangan 350 orang prajurit,
termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit kehilangan
pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan
diri ke Lintau dan melakukan perang Gerilya. Belanda kemudian membujuk kaum
Padri untuk berdamai.
Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka
Belandamengambil strategi damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari
1824tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri diwilayah
Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang.
Tahap Kedua (1825-1830)
Perjanjian Masang diingkari Belanda dengan menduduki tempat-tempat
yang dikuasai oleh kaum Padri. Maka kemudian perlawanan berkobar kembali.
Akan tetapi atas bujuk rayu Belanda kemudian dilakukan perjanjian ulang. Pada
tanggal 15 November 1825 diadakan perjanjian di Padang. Isi Perjanjian Padang
itu antara lain :
Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso,
Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem
agama di daerahnya.
Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang
melakukan perjalanan
Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
Perundingan terpaksa dilakukan oleh Belanda dikarenakan tentara Belanda
terfokus untuk menumpas perlawanan dari Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Tahap Ketiga (1830-1837)
Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan
Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan
kaum Padri. Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan
simpati dari kaum Adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatera
Barat akan meningkat. Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum
Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda.
Belanda kemudian mendatangkan tentara besar-besaran dari pulau Jawa.
Selain dengan operasi militer, Belanda juga menerapkan taktik winning the heart
kepada masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan.
Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat penghapusan pajak, kemudian
diberi gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga
diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis yang tidak akan
mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Kemudian
dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat
yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri.
Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan
perdamaian kepada para pemimpin Padri
Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25
Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang dapat meloloskan
diri melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol
sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia
dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai
meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.
PENGERTIAN PERANG PADRI

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau


(Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803
hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan
dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan
penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu
berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih.
Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena
para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal
dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat
Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang
murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan
baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat. (Mawarti,
Djoened PNN, 1984:169).
Sebab Awal Terjadinya Perang Padri
Pada awalnya perang Padri disebabkan pertentangan antara golongan Adat
dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha untuk merebut pengaruh di
masyarakat.
Kaum adat adalah orang-orang yang masih teguh dalam mempertahankan adat
didaerahnya sehingga mereka tidak berkenan dengan pembaharuan yang dibawa
oleh kaum Padri. Agama Islam yang dijalankan kaum adat sudah tidak murni,
tetapi telah terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan budaya setempat.
Kaum Padri adalah golongan yang berusaha menjalankan Agama Islam secara
murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Setealah kaum Adat mengalami kekalahan, mereka meminta bantuan kepada
Belanda yang akhirya konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri
dengan Belanda.
Periodesasi Gerakan Padri
Secara umum perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu :
A. Periode 1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat)
1. Sebab terjadinya Perang
Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah
menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H.
Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari Tanah Datar. Di Saudi Arabia
mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang
bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak
baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau
menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok
ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum Adat karena kebiasaan-
kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakatdi kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang dimaksud
sepertiperjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras,
tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan,
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.
kebiasaan ini semakin meluas dan mempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang
bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin
adat dan golongan bangsawan.
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan
diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat.
Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan
sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama
Perang Padri (1803 – 1821).
2. Jalanya Perang
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya
menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Paderi dipimpin Datuk
Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk
Bandaro meninggal karean terkena racun, selanjutnya perjuangan kaum
Padri dilanjutkan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang
kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol karena berkedudukan
di Bonjol. Tuanku Imam merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin dari
Kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan Pajang.
Dalam perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana.
Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena keluarga
kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar, sehingga kaum Adat
(penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup meminta bantuan
kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera
Barat).
Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda,
maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat
akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821).
Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama
mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
3. Pemimipin yang terlibat
 Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa,Tuanku Imam
Bonjol Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
 Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.

B. Periode 1821 – 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan Belanda)

Sejak disetujuinya perjanjian antar kaum adat dengan Belanda mengenai


penyerahan kerajaan Minangkabau kepada Belanda pada tanggal 10 Februari
1821, hal ini menjadi tanda dimulainya keikutsertaan Belanda dalam melawan
kaum Padri.

Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi
menjadi tiga periode:

1. Periode I (Tahun 1821 – 1825)


Periode pertama ini ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh
daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi
menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan
tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah
pihak. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau,
sebaliknya Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar,
mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen) dan
Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah
luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami
kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara
Palam dan di Sulit Air.
Untuk itu, Belanda mulai mendekati kaum Padri ntuk melakukan
perdamaian dan pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda berhasil mengadakan
perdamaian dengan kaum Padri di Masang dan di daerah VI Kota, isinya: kedua
belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing. Adanyaperundingan ini
sebenaranya hanya menguntungkan pihak Belanda untk menunda waktu guna
memperkuat diri.
Setelah berhasil memperkuat pertahannanya, Belanda tidak mau mentaati
perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya.
2. Periode II (Tahun 1825 – 1850)
Pada periode ini ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Padri
perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda dalam keadaan sulit, sebab
baru memusatkan perhatiannya dan pengeriman pasukan untuk menghadapi
perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan
perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda
berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri tanggal 15 November 1825
di Padang, yang isinya:
• Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
• Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang
kembali dari pengungsian.
• Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan
dan berdagang.
• Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau,
Limapuluhkota, Telawas dan Agam.
3. Periode III (Tahun 1830-1838)
Periode ketiga ini ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak makin
menghebat. Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda
dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau.
Maka berkobarlah Perang Padri periode ketiga.
Belanda telah mengingkari Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar
di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik
diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda
menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda. Tuanku
Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat
direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat
dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan
tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
• Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
• Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa
sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme
mulai timbul dan menjiwai mereka masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang
nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat
serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan
Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan
siasat adu domba (devide et empera).
Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya yang menyerah kepada
Belanda waktu Perang Diponegoro ke Sumatera Barat untuk berperang melawan
orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa
Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari secara rahasia, Belanda
menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan
ke Bangkahulu.
Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja
di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
1. Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
2. Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
3. Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus
menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau
dari luar negeri.
4. Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang
melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.

Akhir Perang Padri

Di tahun 1835 kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran, hal


tersebut disebabkan ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh
paskan Belanda. Pada tanggal 11-16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda
berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng Bonjol dengan daerah
barat dan menembaki benteng Bonjol.

Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,.


Membaca situasi yang gawat ini, pada tanggal 10 Agustus 1837, Tuanku Imam
Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan bahwa
perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Belanda menduga bahwa ini
merupakan siasat dari Tuanku Imam Bonjol guna mengulur waktu, agar dapat
mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan
pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui
kekuatan musuh di luar benteng.

Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran


pada tanggal 12 Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk
dapat menduduki benteng Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang
sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh
berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan
lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan
benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda.

Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya
menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur,
Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun
1841 dipindahkan ke Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November
1864.

Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan


kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung
dipimpin oleh Tuanku Tambusi, namun Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan oleh
Belanda pada tanggal 28 Oktober 1838.

Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan


pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di
Sumatra Barat.

Kesimpulan

Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau


(Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari
tahun 1803 hingga 1838. Perang ini berawal dari konflik internal antara kaum
adat dengan kaum Padri (orang-orang yang ingin meluruskan ajaran Islam).

Perang ini terjadi dalam dua periode, yaitu:1. Periode I 1803-1821


(Perlawanan kaum Padri dengan kaum Adat)

2. Periode II 1821-1838 (Perlawanan kaum Padri dengan Belanda).

Dalam perang melawan Belanda, dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

a) Tahap I 1821-1825 (meningkatnya perlawanan rakyat)


b) Tahap II 1825-1830 (perlawanan menurun, Belanda fokus pada perang
Diponegoro di Jawa Tengah)
c) Tahap III 1830-1838 (Kaum Padri mengalami kekalahan)
Akhir dari perang padri ditandai dengan semakin banyaknya wilayah
kekuasaan kaum padri yang jatuh ketangan Belanda, selain itu juga menyerahnya
Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah kepada Belanda Pada
tanggal 25 Oktober 1837.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan
pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di
Sumatra Barat.
Perang Padri pada awalnya adalah perang antara kaum ulama yang ingin memurnikan
kembali ajaran Islam di Sumatra Barat terhadap Kaum adat yang menentangnya.
1. Sebab-sebab Umum.
- Adanya pertentangan paham antara golongan Wahabi yang ingin memurnikan ajaran
agama islam dengan para golongan Tasawuf yang terdiri dari kaum bangsawan dan
pemangku adat.
- Ada kebiasaan buruk yang disahkan oleh kaum adat seperti minum minuman keras,
menyabung ayam, berjudi, merokok, dll.
- Adanya pertentangan antara hukum adat dengan hukum di agama Islam. Yaitu
diantaranya pada hukum adat menganut sistem kekerabatan Matrilineal sedangkan di
Islam Patrilineal.
- Terjadi perebutan pengaruh antara kaum adat dengan ulama.
- Adanya campur tangan bangsa barat dalam perebutan kekuasaan tersebut yaitu Inggris
dan Belanda.
2. Sebab khusus
Pertemuan antara kaum adat dengan ulama untuk menyelesaikan semua persoalan
selama ini di Kototangah. Karena usaha itu tidak berhasil, kaum adat di serang oleh kaum
ulama kemudian kaum adat meminta bantuan kepada Belanda di Padang pada tahun 1821.

3. Strategi Perang.
Pada tahun 1821-1825 perang terjadi antara kaum ulama dengan kaum adat yang dibantu
oleh Belanda. Kaum ulama menyerang benteng-benteng Belanda sehingga Belanda mengajak
berdamai pada tahun 1825 karena untuk memusatkan perhatian pada perang di Jawa. Kemudian
pada tahun 1830-1837 berkecamuk lagi perang di Minangkabau yang kini kaum ulama bersatu
dengan kaum adat untuk melawan Belanda. Perang dilakukan dengan perang gerilya dan
bertahan di benteng pertahanan.

4. Tokoh-tokoh.
1) Dari rakyat Minangkabau.
Tuanku lintau, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan
Cerdik, dan Tuanku Tambusay.
2) Dari pihak kolonial.
Kolonel Stuers,
5. Medan pertempuran.
Medan pertempuran hampir di semua wilayah Sumatra Barat, misalnya di Padang, Bukit
Tinggi, Pariaman, dll.
6. Akhir perang.
Setelah menghadapi tekanan-tekanan berat dari pihak belanda, akhirnya Tuanku Imam
Bonjol bersedia untuk melakukan perundingan dengan Belanda. Perundingan gagal karena
pihak Belanda telah melakukan persiapan untuk menyerang dan mengepung benteng tempat
Imam Bonjol bertahan. Karena perang yang berlarut-larut dan ketimpangan kekuatan,
akhirnya Tuanku Imambonjol menyerah beserta sisa pasukannya pada tanggal 25 Oktober
1837 kemudian beliau dibuang ke Menado dan wafat di sana.
7. Akibat perang.
1) Bidang politik.
Semakin jelas dan kokohnya kekuasaan Belanda atas daerah Sumatra Barat.
2) Bidang Ekonomi.
Monopoli semakin kuat terutama monopoli garam dan lada di Sumatra Barat.

Anda mungkin juga menyukai