BAB 1 ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Thorax ............................................................................... 2
2.1.1 Anatomi.................................................................................................................. 2
2.2 Mekanisme trauma ............................................................................................. 5
2.3 Klasifikasi .......................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 25
i
BAB 1
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi
a. Dinding Thorax
Dinding thorax terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot, dan tulang.
Kerangka dinding thorax membentuk sangkar dada osteokartilaginous yang
melindungi jantung, paru-paru, dan beberapa organ rongga abdomen.
Kerangka thorax terdiri dari vertebra thoracica dan discus intervertebralis,
costae dan cartilago costalis, serta sternum.
2
Gambar 2. Otot-otot pernapasan pada dinding dada
b. Traktus Respiratorius
Traktus respiratorius dibedakan menjadi dua, yaitu traktus
respiratorius bagian atas dan bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas
terdiri dari cavum nasi, nasofaring, hingga orofaring. Sementara itu, traktus
respiratorius bagian bawah terdiri atas laring, trachea, bronchus (primarius,
sekundus, dan tertius), bronchiolus, bronchiolus respiratorius, ductus
alveolaris, dan alveolus.
Paru-paru kanan terdiri atas 3 lobus (superior, anterior, inferior),
sementara paru-paru kiri terdiri atas 2 lobus (superior dan inferior). Masing-
masing paru diliputi oleh sebuah kantung pleura yang terdiri dari dua
selaput serosa yang disebut pleura, yaitu pleura parietalis dan visceralis.
Pleura visceralis meliputi paru-paru termasuk permukaannya dalam fisuran
sementara pleura parietalis melekat pada dinding thorax, mediastinum dan
diafragma. Kavum pleura merupakan ruang potensial antara kedua lapis
pleura dan berisi sedikit cairan pleura yang berfungsi melumasi permukaan
pleura sehingga memungkinkan gesekan kedua lapisan tersebut pada saat
pernafasan.
b. Fisiologi
3
Proses inspirasi jika tekanan paru lebih kecil dari tekanan atmosfer.
Tekanan paru dapat lebih kecil jika volumenya diperbesar. Membesarnya
volume paru diakibatkan oleh pembesaran rongga dada. Pembesaran rongga
dada terjadi akibat 2 faktor, yaitu faktor thoracal dan abdominal. Faktor
thoracal (gerakan otot-otot pernafasan pada dinding dada) akan
memperbesar rongga dada ke arah transversal dan anterosuperior, sementara
faktor abdominal (kontraksi diafragma) akan memperbesar diameter vertikal
rongga dada. Akibat membesarnya rongga dada dan tekanan negatif pada
kavum pleura, paru-paru menjadi terhisap sehingga mengembang dan
volumenya membesar, tekanan intrapulmoner pun menurun. Oleh karena
itu, udara yang kaya O2 akan bergerak dari lingkungan luar ke alveolus. Di
alveolus, O2 akan berdifusi masuk ke kapiler sementara CO2 akan berdifusi
dari kapiler ke alveolus.
Sebaliknya, proses ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih
besar dari tekanan atmosfer. Kerja otot-otot ekspirasi dan relaksasi
diafragma akan mengakibatkan rongga dada kembali ke ukuran semula
sehingga tekanan pada kavum pleura menjadi lebih positif dan mendesak
paru-paru. Akibatnya, tekanan intrapulmoner akan meningkat sehingga
udara yang kaya CO2 akan keluar dari peru-paru ke atmosfer.
4
2.2 Mekanisme trauma
Adapun proses mekanisme trauma yang dapat terjadi pada trauma thorax
antara lain:
1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab
trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan
(akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi
juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak
dari trauma tersebut).Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata
dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti
senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan
mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas
dibandingkan besar lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat
trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ
dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb)
masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada
dinding thoraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan
pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya
deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki
jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama,
diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-
organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai
titik tumpu atau porosnya.
4. Blast injury
5
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak
langsung dengan penyebab trauma seperti pada ledakan bom.Gaya
merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.
Mekanisme cedera dapat dikategorikan sebagai berikut yang kecepatan
rendah, sedang, dan tinggi.
1. Kecepatan rendah termasuk penusukan (misalnya, luka tusuk karena
pisau), yang hanya mengenai struktur jaringan sekitar yang ditusuk.
2. Kecepatan sedang, seperti luka tembus karena peluru dari sebagian
besar jenis pistol dan senapan angin yang mana ditandai dengan
gambaran dekstruksi jaringan yang lebih ringan jika dibandingkan
cedera karena kecepatan tinggi
3. kecepatan tinggi yaitu seperti cedera yang diakibatkan oleh rifle dan
dari senjata api militer.10
Berdasarkan ada tidaknya gangguan pada kontinuitas jaringan trauma
toraks, mekanime trauma thorax dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu;
1. Trauma tumpul
Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks, terutama
disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast
injuries dan sekitar <10% memerlukan operasi torakotomi.
Tiga jenis trauma tumpul yang menyebabkan trauma toraks adalah kompresi,
robekan, dan ledakan. Trauma kompresi toraks seperti fraktur iga terjadi
tekanan yang menumpu dada melebihi kekuatan rongga toraks. Area dinding
dada yang paling lemah ditemukan didaerah 60° dari sternum, dimana iga-iga
didaerah tersebut lebih datar dan kurang ditopang. Seringkali kompresi tulang
iga akan mengalami fraktur di dua tempat yaitu di daerah 60° dari sternum
dan bagian posterior.2 Kompresi anteroposterior dapat pula menyebabkan
gangguan costochondral, yang menghasilkan suatu keadaan sterna
flail.3Robekan akan menyebabkan cedera jaringan dan vascular. Sebagai
respon terhadap percepatan dan perlambatan, jaringan dan pergerakan
vascular organ dibatasi oleh gabungan anatomi dan perkembangannya. Oleh
sebab itu, jika kekuatan regang dari keseluruhan jaringan terlampaui, maka
6
dapat terjadi robekan atau ruptur. Kemampuan untuk menahan regangan
inilah yang bertanggung jawab atas satu-satunya cedera toraks yang
mematikan: transeksi aorta. Karena aorta difiksasi oleh ligamentum
arteriosum dan oleh tulang vertebra di bawahnya, maka penghubung yang
membuat aorta dapat lebih mobile dan statisnya aorta desenden menjadi
lokasi tersering yang mengalami gangguan. Robekan yang terjadi di dalam
parenkim paru dapat berupa laserasi, hematoma, kontusio, atau
pneumatocele.4Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah
kontusio paru. Cedera ledakan paru primer terjadi ketika tekanan gelombang
yang meghantam dinding dada dan menciptakan suatu perbedaan tekanan
antara udara-jaringan sekitarnya. Semakin besarnya perbedaan tekanan, maka
akan semakin besarnya kekuatan tekanan yang akan ditransmisikan ke paru-
paru. Berat ringannya cedera paru adalah bergantung jarak jauh dekatnya
korban dari sumber ledakan.5Ledakan dalam ruang tertutup lebih parah,
karena tekanan gelombang dipantulkan kembali ke pasien, yang malah
memperhebat stimulus aslinya. Karakteristik patologi dari cedera ledakan
pada paru adalah suatu kontosio dengan adema dan perdarahan
alveoli.6,7Cedera ledakan sekunder dihasilkan dari beberapa objek yang
berhamburan akibat ledakan hebat, yang kemudian mengenai pasien. Cedera
tersier disebabkan oleh individu yang sedang dipindahkan. Cedera yang
berhubungan dengan luka bakar, agen yang terinhalasi, dan yang
berhubungan dengan tergencet bangunan yang kolaps secara sekunder.
2. Trauma Tembus
Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung
akibat penyebab trauma terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca,
dsb) atau peluru dan sekitar 85% luka tembus dada dapat ditanggulangi
dengan tube thoracostomy dan terapi suportif. Luka yang masuk atau keluar
dari putting atau bagian bawah skapula akan menyebabkan perforasi dari
kubah diafragma. Jenis luka tembus yang seperti ini harus dipikirkan adanya
kemungkinan keterlibatan organ2 di abdomen.
7
Selain mekanisme trauma yang mendasari, terdapat faktor lain yang
mempengaruhi beratnya kerusakan pada trauma thorax, antara lain:
1. Sifat jaringan tubuh
Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi
sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti
adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat
dibanding bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau
sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang
kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.
2. Lokasi
Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita
kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah
pre-kordial.
3. Arah trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan
dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi.Perlu
diingat adanya efek “ricochet” atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh
manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat
memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga
kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
2.3 Klasifikasi
Trauma thorax dapat terbagi menjadi trauma pada dinding dada dan trauma
pada pleura/paru.
A. Trauma dinding dada
1. Fraktur Iga
Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan
trauma tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang
mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit,
sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga
IV-X (mayoritas terkena).
8
Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra
abdomen. Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau
spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma
traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis,
a/v subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur
klavikula. Pada iga I-III biasanya membutuhkan energi yang sangat besar
untuk terjadinya fraktur sehingga cukup jarang ditemukan.
9
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif
(analgetika)
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks,
pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,
hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
a. Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
b. Bronchial toilet
c. Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
d. Cek Foto Ro berkala
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti:
pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan
yang mengancam jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca
operasi/tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro
berkala), sehingga dapat menghindari morbiditas/komplikasi.
Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang
umumnya akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat.
2. Fraktur klavikula
Fraktur klavikula cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai
trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi bahu ).Lokasi fraktur
klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah). Pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya deformitas dan nyeri pada lokasi trauma. Pada foto
Rontgen tampak fraktur klavikula
Penatalaksanaan
1. Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian
analgetika.
2. Operatif : fiksasi internal
Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan
pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia.
3. Fraktur sternum
10
Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang (5-8%).
Umumnya terjadi pada pengendara sepeda motor yang mengalami
kecelakaan.Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang
cukup besar. Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum dan
sering disertai fraktur iga.Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa
kelainan yang serius, seperti: kontusio/laserasi jantung, tamponade
perickardial, kontusio paru dan perlukaan bronkhus atau aorta.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri terutama di area sternum
dan krepitasi. Pada pemeriksaan Rontgen toraks lateral ditemukan garis
fraktur, atau gambaran sternum yang tumpang tindih dan pada pemeriksaan
EKG ditemukan 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda
trauma jantung).
Penatalaksanaan :
1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian
analgetika dan observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung
2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan
tindakan operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire,
sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di
mediastinum.
B. Trauma pleura dan jaringan rongga thorax
1. Pneumothorax
a. Definisi
Pneumothorax merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada
kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara
sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada.
Laserasi paru akibat trauma tumpul merupakan penyebab tersering dari
pneumotoraks.
b. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di
antara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum
pleura normal berisi sedikit cairan serous jaringan. Tekanan intrapleura
11
selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura
membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap :
fase inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan intrapleura : -
9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3
s/d -6 cmH2O.
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan
permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara didalam
rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan
ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak
mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika penumotoraks
terjadi, suara nafas menurun pada lesi yang terkena dan pada perkusi
hipersonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan
diagnosis. 11
c. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, pneumothorax dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Pneumothorax spontan
Pneumothorax spontan merupakan pneumothorax yang terjadi tiba-
tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari.
Pneumothorax jenis ini dibagi lagi menjadi pneumothorax primer
(tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun
sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Faktor resiko terjadinya pneumotorax spontan antara lain:
- Pria Insidensinya sama antara pneumothorax primer dan sekunder,
namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan
perbandingan 6:1.
- Perokok: resiko pneumothorax spontan akan meningkat pada
perokok berat dibanding non perokok.
12
- Usia muda: Pneumothorax spontan sering terjadi pada usia muda,
dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40
tahun)
- Kehamilan
- Pneumototax familial
2. Pneumothorax didapat dapat dibedakan menjadi pneumototax traumatik
dan iatrogenik.
Pneumothorax iatrogenik dapat terjadi pada beberapa keadaan seperti
berikut:
a. Biopsi pleural/transthoracal
b. Thoracentesis
c. Pemasangan kateter vena sentral
d. Anastesi nervus intercostal
e. Tracheostomy
f. Resusitasi kardiopulmoner
g. Penggunaan NGT
13
Gambar 4. Pneumothorax akibat fraktur costae
Berdasarkan gejala klinisnya, pneumotorax dapat dibedakan menjadi
pneumotorax sederhana dan tension pneumotorax.
1. Pneumotorax sederhana
Pada pneumotorax sederhana tidak terjadi perluasan yang berkembang di
paru. Paru menjadi kolaps dengan berbagai derajat variasi. Diagnosis kadang
sulit didapatkan dari pemeriksaan fisik. Pada palpasi dapat ditemukan
emfisema subkutan dan fraktur iga.
Kelainan ini dapat ditemui dengan pemeriksaan X-Rays, namun pada posisi
supine terkadang kelainan menjadi tidak jelas. Pada x-rays akan terlihat salah
satu bagian yang radioluscent dibanding bagian sebelahnya. Sulkus yang
dalam menandakan adanya pneumotorax anterior.
18
akan memberikan suatu indikasi timing/waktu untuk melakukan intubasi
dan ventilasi.11
4. Hemotorax
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan
oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra
torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hematoraks. Biasanya
perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. 11
Gambar . Hemotorax
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada
tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko
terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai
dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau
cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap
kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.11
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya
indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume
darah yang keluar dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai
patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam
untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus
menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan.11
19
- Hemotorax masif
Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat
menyebabkan gangguan usaha bernapas akibat penekanan paru – paru
dan menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan yang banyak dan
cepat akan lebih mempercepat timbulnya hipotensi dan syok dan akan
dibahas lebih lanjut pada bagian sirkulasi.11
Hemotoraks massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat > 1500 cc di
dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah
menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya
hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher,
jika disertai tension pneumotoraks. Jarang terjadi efek mekanik dari
darah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mediastinum
sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai
suara napas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang
mengalami trauma.
22
tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang tinggi yaitu
sekitar 50%. 11
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila
penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada
resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini
menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan
pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk
mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis.
Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang
tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indikasi
untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid.
Tindakan alternatif lain, adalah dengan melakukan operasi jendela
perikard atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah.
Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi
penderita memungkinkan.11
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung
pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan
cardic output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk
tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini
menggunakan plastic-sheated-needle atau insersi teknik Seldinger
merupakan cara yang paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih
gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring
EKG dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase
gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium)
atau terjadinya disritmia.11
7. Trauma diafragma
Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosis pada sisi kiri,
karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanan
sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya
ruptur diafragma kanan. Sementara itu adanya usus, gaster atau selang
diagnostik mempermudah mendeteksi pada hematortaks kiri. Prevalensi
23
sesungguhnya (untuk kejadian sisi kiri atau kanan) belum diketahui.
Trauma tumpul menghasilkan robekan besar yang menyebabkan
timbulnya herniasi organ abdomen. Sedangkan trauma tajam
menghasilkan perforasi kecil yang sering memerlukan waktu bisa sampai
tahunan untuk berkembang menjadi hernia diafragmatika.11
Perlukaan ini bisa terlewatkan pada awalnya jika salah
menginterpretasikan foto toraks sebagai elevasi diafragma, dilatasi gaster
akut, penumohemotoraks lokal atau hematom subpulmonal. Jika curiga
adanya laserasi pada diafragma kiri, selang gaster harus dipasang. Bila
selang gaster tampak didalam rongga toraks pada foto toraks, maka tidak
diperlukan pemeriksaan spesial dengan kontras. Kadang, diagnosis tidak
dapat ditegakkan dengan foto ronsen ataupun setelah pemasangan selang
dada pada hemitoraks kiri. Pada keadaan ini pemeriksaan gastrointestinal
bagian atas dengan kontras harus dilakukan jika diagnosis masih ragu-
ragu/tidak jelas. Bila ditemukan cairan peritoneum keluar dari selang
dada juga dapat mengkonfirmasi diagnosis. Prosedur minimal invasif
endoskopi (torakoskopi) dapat membantu dalam mengevaluasi diafragma
pada kasus-kasus yang diagnosisnya sulit ditegakkan.11
Ruptur diafragma kanan jarang terdiagnosa pada periode awal setelah
trauma. Hepar sering mencegah terjadinya herniasi dari organ abdominal
lainnya masuk ke rongga toraks. Gambaran elevasi diafragma kanan pada
x-ray toraks mungkin dapat ditemukan. Ruptur diafragma sering
ditemukan secara kebetulan, karena operasi untuk trauma abdominal lain.
Terapinya adalah penjahitan langsung.11
24
DAFTAR PUSTAKA
25
11. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support. Ikatan
Ahli Bedah Indonesia. 1997
26