Anda di halaman 1dari 16

Sinopsis 33

UPDATE REVIEW :
MOLA HIDATIDOSA DAN PENYAKIT TROFOBLAS GANAS

Manuel Hutapea

PROGRAM PENDIDIKAN KONSULTAN

SUBBAGIAN ONKOLOGI GINEKOLOGI

DEPT. / SMF. OBSTETRI & GINEKOLOGI

FK UNAIR / RSU DR. SOETOMO

SURABAYA , JULI 2012


Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
UPDATE REVIEW:
MOLA HIDATIDOSA DAN PENYAKIT TROFOBLAS GANAS

I. PENDAHULUAN
Penyakit trofoblas gestasional (gestational trophoblastic disease=GTD) adalah salah satu jenis tumor pada
manusia yang dapat disembuhkan meskipun adanya metastasis yang luas. Klasifikasi ini meliputi berbagai
spektrum tumor seperti mola hidatidosa (komplit dan parsial), mola invasif, placental site trophoblastic
tumor (PSTT), dan koriokarsinoma. Kelompok tumor ini berasal dari jaringan fetus dalam tubuh
ibu/maternal dan dibentuk oleh sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas, kecuali PSTT yang berasal dari
sitotrofoblas intermediate. Istilah gestational trophoblastic neoplasia (GTN) menggantikan istilah
korioadenoma destruens, mola metastasis, dan koriokarsinoma yang terdiagnosis secara histopatologi.
Meskipun kejelasan diagnosis histopatologi diperlukan, hal tersebut tidak penting untuk klasifikasi klinis
yang saat ini digunakan. PSTT adalah variasi bentuk GTD tetapi harus diklasifikasikan secara terpisah
karena mempunyai bentuk klinis yang berbeda dan penatalaksanaannya berbeda dengan GTD lainnya.

Meskipun GTN seringkali muncul dari kehamilan mola, dapat juga berasal dari abortus spontan atau
terapeutik, kehamilan ektopik, atau kehamilan aterm. Human chorionic gonadotropin (hCG) disekresikan
oleh tumor ini berperan sebagai petanda tumor yang sensitif dan berkorelasi sangat baik dengan
perjalanan klinis penyakit. Terlebih lagi, follow-up yang tepat secara pemeriksaan klinis dan pengukuran
kadar hCG memberikan hasil/outcome yang sangat baik.

II. SITOGENETIK, HISTOPATOLOGI, DAN GAMBARAN KLINIS GTD


Mola hidatidosa, suatu kelainan fertilisasi, dibagi menjadi komplit dan parsial. Keduanya mempunyai asal
sitogenetik, gambaran patologis, dan gambaran klinis yang berbeda. Telah diakui bahwa mola hidatidosa
komplit (complete hydatidiform mole=CHM) dihasilkan dari diandric diploidy, di mana telur selalu dibuahi
oleh sebuah sperma dan hilangnya komponen genetik haploid maternal 23x oleh mekanisme yang tidak
diketahui. Bila haploid paternal adalah 23X kemudian kromosom mengalami reduplikasi, komponen normal
kromosom 46 akan terbentuk. Zigot dengan genotip 46YY bersifat non-viable dan secara klinis tidak
dikenali. Sekitar 5% CHM berasal fertilisasi 2 sperma (dispermic) terhadap sebuah telur kosong (empty
egg) yang dapat menghasilkan genotip 46XX atau 46XY.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Partial hydatidiform mola (PHM) paling sering berasal dari 2 buah sperma membuahi sebuah telur dengan
retensi bagian haploid maternal, mengasilkan diandric triploidy. Untuk alasan yang tidak diketahui, PHM
dengan kromosom 69XYY sangat jarang. Sekitar 2/3 adalah 69XXX dan 1/3 adalah 69XXY. Tetraploid dari
PHM mengandung 3 bagian haploid paternal dan 1 bagian haploid maternal.

Mola hidatidosa komplit tanpa fetus berkembang dari pembuahan androgenik. Plasenta mengalami
perubahan hidatidosa dan hiperplasia trofoblastik, menghasilkan suatu mola dengan 20%-30%
kecendrungan menjadi ganas. Pengetahuan mola parsial telah meningkat sebagai penyebab kematian
fetus. Beberapa abortus trimester pertama berkaitan dengan triploidy dan mola parsial bila diperiksa secara
histologis dan dikonfirmasi dengan flowsitometri. Insiden terjadinya GTN pada mola parsial adalah 4%.
Gambaran mikroskopis mola parsial meliputi villi khorialis normal dan hidrofik dengan hiperplasia trofoblas
fokal ringan. Secara makroskopis, plasenta memperlihatkan campuran villi normal dan hidrofik. Pembuluh
darah fetus seringkali terlihat dengan inti eritrosit fetus di dalam pembuluh darah. Membran amnion normal
seringkali teridentifikasi meskipun bila fetus tidak ditemukan. CHM teridentifikasi secara makroskopis
dengan adanya villi khorialis yang edema dan bengkak tanpa terlihat adanya bagian-bagian fetus atau
membran amnion. Villi hidrofik seringkali dengan diameter 1-3 cm, memberikan gambaran vesikel seperti
buah anggur. Proliferasi sito dan sinsisiotrofoblas juga selalu ditemukan.

Koriokarsinoma adalah keganasan yang sangat anaplastik berasal dari komponen trofoblas. Tidak tampak
adanya villi khorialis. Secara makroskopis, tumor tampak merah, pada potongan melintang tampak
granuler dengan perdarahan fokal dan nekrosis sentral. Secara histologis, lesi tersusun oleh campuran sel-
sel sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas dengan mitosis abnormal, sel-sel besar dengan inti multipel, serta
area dengan nekrosis dan perdarahan yang luas. Sel-sel ini secara cepat menginvasi miometrium dan
pembuluh darah uterus, dan metastasis secara sistemik terjadi akibat penyebaran secara hematogen. Hal
ini bisa terjadi dari berbagai tipe kehamilan. Sekitar 50% terjadi dari mola hidatidosa dan sisanya
terdistribusi di antara berbagai bentuk kehamilan seperti kehamilan aterm, abortus atau kehamilan ektopik.
Paru-paru dan vagina adalah lokasi tersering dari metastasis, diikuti oleh sistem saraf pusat, ginjal, hepar,
dan traktus gastrointestinal.

Placental site trophoblastic tumor (PSTT) adalah neoplasma invasif lokal yang berasal dari sel-sel
intermediate. Tumor ini sangat jarang, disusun oleh sel-sel trofoblas intermediate yang mensekresikan

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
human placental lactogen (hPL) dan sejumah kecil hCG. Secara histopatologis, terdapat invasi miometrium
lokal dari sel-sel trofoblas intermediate dan terkadang ditemukan metastasis secara sistemik. Diagnosis
PSTT harus dipertimbangkan pada kasus-kasus refrakter terhadap terapi standar. Histerektomi adalah
pilihan terapi pada sebagian besar kasus.

Tabel 1. Perbedaan mola hidatidosa komplit (CHM) dan parsial (PHM).

Komplit Parsial
Karyotype Diploid (46XX atau 46XY) Triploid (69XXX, 69XXY, 69XYY)
Embrio Tidak ada Ada
Villi Hidrofik Sedikit hidrofik
Trofoblas Hiperplasia difus Hiperplasia fokal ringan
Sel-sel darah merah fetus Tidak ada Ada
β-hCG (mIU/mL) Tinggi (> 50.000) Sedikit meningkat (< 50.000)
Frekuensi keluhan* Sering Jarang
Risiko GTN 20-30% 4%

* Hiperemesis, hipertiroidism, pembesaran uterus berlebihan, anemia,


dan preeklampsia onset dini.

III. MOLA HIDATIDOSA


III.1. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko
Insiden GTD bervariasi luas di berbagai daerah di dunia. Sebagai contoh, insiden kehamilan mola di
Jepang (2 per 1000 kehamilan) telah dilaporkan 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan insiden di Eropa
(0,6-1,1 per 1000 kehamilan). Variasi insiden GTD ini mungkin berkaitan dengan pelaporan berbasis
populasi dengan pelaporan berbasis rumah sakit. Sementara penelitian di Turki berbasis rumah sakit dan
terdapat variasi luas dari insiden yang dilaporkan (1,2-10,7 per 1000 kehamilan) yang memerlukan
penelitian berbasis populasi untuk menentukan insiden GTD yang sebenarnya. Berdasarkan penelitian
berbasis rumah sakit, frekuensi GTD secara umum sangat tinggi dan juga terdapat variasi regional yang
luas. Penelitian epidemiologi telah dilaksanakan untuk menentukan frekuensi mola hidatidosa di suatu
daerah terpencil di Turki. Dari penelitian ini frekuensi mola hidatidosa lebih rendah dibadingkan dengan
frekuensi yang dilaporkan oleh sebagian besar penelitian-penelitian berbasis rumah sakit. frekuensi mola
hidatidosa per 1000 kelahiran hidup dan per 1000 kehamilan masing-masing adalah 0,83 dan 0,64.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Faktor-faktor risiko mola hidatidosa yang berkaitan secara bermakna dengan keadaan klinis adalah riwayat
kehamilan mola sebelumnya dan usia ibu hamil. Wanita-wanita dengan riwayat mola hidatidosa
mempunyai risiko 4-5 kali lebih tinggi untuk terjadinya mola hidatidosa pada kehamilan berikutnya. Wanita-
wanita dengan usia reproduksi yang “ekstrim” juga berada pada risiko tinggi untuk terjadinya mola
hidatidosa. Asupan yang rendah karoten dan vitamin A telah dilaporkan dari suatu penelitian kasus-kontrol
yang mungkin berkaitan dengan mola hidatidosa komplit. Faktor-faktor diet mungkin bisa menjelaskan
variasi insiden mola hidatidosa komplit di berbagai daerah. Informasi sangat terbatas berkaitan dengan
faktor-faktor risiko mola hidatidosa parsial. Tidak terdapat hubungan antara usia maternal, faktor-faktor
diet, dan risiko terjadinya mola hidatidosa parsial.

III.2. Gejala dan Tanda


Mola hidatidosa harus diduga pada wanita-wanita dengan keluhan perdarahan pervaginam pada
pertengahan awal kehamilan, keluarnya vesikel, hiperemesis gravidarum yang berlebihan, atau
preeklampsia yang mulainya sebelum usia kehamilan 24 minggu. Perdarahan pervaginam adalah keluhan
yang paling sering dari mola hidatidosa komplit. Jaringan mola mungkin terpisah dari desidua dan merusak
arteri spiralis, sehingga jumlah darah yang banyak dapat meregangkan kavum uteri. Anemia selalu
berkaitan dengan perdarahan pervaginam yang banyak, yang terjadi pada sepertiga pasien mola
hidatidosa.
Mual dan muntah, seringkali berlebihan, tetapi sulit dibedakan dengan keluhan yang sering terjadi sewaktu
kehamilan normal. Pembesaran uterus yang berlebihan adalah salah satu tanda klasik dari mola hidatidosa
komplit. Hal ini seringkali berkaitan dengan kadar hCG yang tinggi. Saat ini, ukuran uterus yang berlebihan
terlihat saat diagnosis pada sepertiga sampai setengah pasien-pasien dengan mola hidatidosa komplit.
Pada beberapa kasus, uterus lebih kecil dari yang diharapkan. Kista teka lutein multipel yang
menyebabkan membesarnya satu atau kedua ovarium terjadi pada 15%-30% dari wanita-wanita dengan
kehamilan mola. Kista teka lutein ovarium akibat dari kadar hCG serum yang tinggi, menyebabkan
hiperstimulasi ovarium. Hilangnya kista memerlukan waktu beberapa minggu sejalan dengan menurunnya
kadar hCG setelah evakuasi uterus. Operasi selalu diindikasikan bila terjadi ruptur dan perdarahan, atau
bila ovarium yang membesar menjadi terinfeksi. Kasus-kasus dengan kista luteun ovarium mempunyai
tendensi untuk menjadi ganas atau salah satu dari spektrum GTN.
Preeklampsia pada trimester pertama atau awal trimester kedua diketahui terjadi pada lebih dari sepertiga
kasus mola hidatidosa komplit. Bukti klinis hipertiroid akibat produksi tirotropin oleh jaringan mola terjadi

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
pada 10% pasien-pasien dengan mola hidatidosa. Manifestasi klinisnya menghilang setelah evakuasi
jaringan mola. Bila hipertiroid dicurigai sebelum induksi anestesi untuk evakuasi mola, obat-obat beta-
adrenergik dan obat-obat anti-tiroid harus diberikan bila diperlukan, karena tindakan anestesia dapat
mencetuskan terjadinya thyroid storm.

Embolisasi jaringan trofoblas mengakibatkan distress respirasi terjadi pada 2% dari kasus. Kasus-kasus ini
mengeluh nyeri dada, sesak nafas, takipneu, dan takikardia. Auskultasi dada akan terdengar ronchi yang
difus dan rontgen dada memperlihatkan adanya infiltrat paru bilateral. Kegagalan respirasi dapat terjadi
akibat dari embolisasi trofoblas atau komplikasi kardiopulmoner akibat thyroid storm, preeklampsia, dan
penggantian cairan yang masif.

III.3. Diagnosis
Di pusat pelayanan kesehatan di mana terdapat ultrasonografi (USG), karakteristik adanya gambaran
vesikel multipel (pada USG terlihat echogenik campuran seperti badai salju/snow storm) pada mola
hidatidosa komplit dapat teridentifikasi pada trimester pertama sebelum perdarahan bercak dari vagina
atau keluarnya vesikel secara kasat mata. Tidak ditemukan adanya fetus. Diagnosis dini mola parsial lebih
kompleks dan tidak terlalu sering. Ultrasonografi dapat memperlihatkan ruang-ruang kistik bersifat fokal
pada plasenta dan peningkatan diameter transversal dari sakus gestasional. Fetus dapat terlihat pada usia
kehamilan yang lebih besar.
Kekhasan dari GTD adalah kemampuannya untuk menghasilkan hCG. Hormon ini dapat dideteksi dalam
serum atau urin hampir pada semua kasus mola hidatidosa atau GTN. Monitoring secara hati-hati kadar β-
hCG sangat diperlukan untuk diagnosis, terapi, dan follow-up semua kasus penyakit trofoblas.
Gambaran yang sangat mendukung diagnosis ke arah mola hidatidosa antara lain:
1. Pembesaran uterus yang tidak sesuai dengan usia kehamilan.
2. Perdarahan pervaginam irreguler, mulai dari fleks-fleks sampai difus, mulai setelah bulan
kedua kehamilan.
3. Tidak ada bagian-bagian fetus pada palpasi abdomen pada saat bagian-bagian fetus sudah
ada dan bisa diraba.
4. Tidak ada denyut jantung fetus pada saat usia kehamilan memungkinkan untuk mendengarkan
denyut jantung fetus.
5. Gambaran USG yang khas.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
6. Pembesaran kistik ovarium.
7. Kadar β-hCG yang tinggi.

III.4. Terapi
Pada kedua bentuk mola hidatidosa, baik CHM maupun PHM, setelah diagnosis dan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang seperti complete blood count (CBC), β-hCG, dan rontgen dada, dilakukan
evakuasi isi kavum uteri menggunakan kuret hisap (suction curettage) dilanjutkan dengan kuret secara
tajam. Oksitosin intravena harus diberikan sewaktu dan setelah tindakan evakuasi. Berbeda dengan mola
parsial, di mana ukuran fetus tidak memungkinkan untuk dilakukan kuret hisap, terminasi secara medis
dapat digunakan. Namun, pasien-pasien ini berada pada risiko tinggi untuk terjadinya persistent
trophoblastic disease.

Pada pasien-pasien yang menginginkan sterilisasi, histerektomi abdominal dengan mola masih diuterus
(mola in situ) dapat dipertimbangkan. Pengulangan evakuasi secara rutin setelah diagnosis kehamilan
mola tidak direkomendasikan. Pada kehamilan kembar dengan fetus yang viable dan kehamilan mola pada
yang satunya, kehamilan dimungkinkan untuk dilanjutkan. Follow-up secara hati-hati merupakan hal yang
sangat penting setelah evakuasi kehamilan mola, untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang berisiko
berkembang menjadi ganas. Pengulangan pemeriksaan kadar β-hCG setiap minggu harus dilakukan
sampai kadar negatif 3 kali berturut-turut, yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar β-hCG
setiap bulan sebanyak 6 kali, sejalan dengan dilakukannya pemeriksaan pelvis. Pemeriksaan rontgen dada
diindikasikan bila terdapat kenaikan kadar β-hCG.
Penggunaan kontrasepsi harus dipertimbangkan, idealnya menggunakan kontrasepsi pil, dan pasien
disarankan untuk mencegah kehamilan sampai kadar β-hCG normal selama 6 bulan. Pemeriksaan USG
sedini mungkin harus dilakukan pada kehamilan setelah evakuasi mola, karena risiko terjadinya kehamilan
mola berikutnya sebesar 1%-2%.

III.5. Indikasi Terapi


Telah diterima secara luas indikasi terapi setelah evakuasi mola adalah:
 Gambaran penurunan kadar β-hCG yang abnormal (kurang dari 10% atau kadar β-hCG yang
meningkat atau menetap sebanyak 3 kali pemeriksaan dalam periode waktu lebih dari 2
minggi).

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
 Keadaan kadar β-hCG yang rebound, yaitu meningkat kembali setelah mengalami penurunan
yang bermakna.
 Diagnosis histologis koriokarsinoma atau placental site trophoblastic tumor.
 Adanya metastasis.
 Kadar β-hCG yang tinggi (lebih dari 20.000 mIU/mL lebih dari 4 minggu setelah evakuasi).
 Menetapnya kadar β-hCG 6 bulan setelah evakuasi.

IV. GESTATIONAL TOPHOBLASTIC TUMOR (GTT)


Prosedur diagnostik untuk penentuan stadium GTT mulai dengan pemeriksaan kadar β-hCG dan rontgen
dada untuk mendeteksi metastasis paru-paru. Bila hasil rontgen dada bersih atau tidak ada tanda-tanda
metastasis, diagnosis tumor non-metastasis bisa ditegakkan. USG pelvis bermanfaat untuk mendeteksi
penyebaran penyakit dalam uterus. Bila terdapat metastasis paru, diindikasikan untuk melakukan CT-scan
otak dan abdomen. CT-scan paru bisa mendeteksi adanya metastasis paru yang tidak terdeteksi dengan
rontgen paru pada 40% pasien dengan GTT. USG hepar mungkin dapat mendeteksi metastasis yang
dicurigai pada pemeriksaan CT-scan. Rasio kadar β-hCG dalam cairan serebrospinal dengan serum yang
lebih besar dari 1:60 lebih sensitif dalam mendeteksi metastasis otak atau serebral. Bila terjadi perdarahan
gastrointestinal, diindikasikan untuk melakukan endoskopi traktus gastrointestinal bagian atas dan bawah.
Pemeriksaan arteriografi juga bermanfaat. Bila terjadi hematuria, diindikasikan untuk melakukan
pemeriksaan IVP dan sistoskopi.

IV.1. KLASIFIKASI DAN STADIUM


Faktor-faktor prognosis bermanfaat untuk keputusan memberikan terapi sejak era kemoterapi berlaku
untuk GTT. Kriteria ini dimulai oleh Kammod untuk klasifikasi klinik NIH yang digunakan secara luas di
Amerika Utara. Kelompok risiko tinggi (prognosis jelek) tidak bisa disembuhkan dengan obat tunggal dan
memerlukan terapi kombinasi. Selanjutnya, Bagshawe mengembangkan sistem skoring yang kompleks
dari faktor-faktor prognosis. Klasifikasi ini kemudian diadopsi oleh World Health Organization (WHO) pada
tahun 1983 yang digunakan secara luas sebagai sistem skoring prognosis. Sistem stadium menurut
anatomi telah diadopsi oleh FIGO pada tahun 1982, dengan 2 faktor risiko ditambahkan pada tahun 1992.
Analisis multivariat menemukan sistem skoring menurut WHO adalah prediktor yang paling kuat untuk
survival, diikuti oleh klasifikasi menurut NIH dan klasifikasi stadium menurut FIGO.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Namun, penelitian terakhir menyimpulkan bahwa sistem FIGO yang telah direvisi mampu menyeleksi
pasien yang akan memberikan respon jelek terhadap kemoterapi obat tunggal. Bahkan saat ini telah
digunakan kombinasi sistem stadium menurut FIGO dan sistem skoring menurut WHO.
Tabel 2. Sistem skoring menurut WHO

Catatan: Total skor: 0 – 4 = risiko rendah; 5 – 7 = risiko menengah; ≥ 8 = risiko tinggi


Tabel 3. Kombinasi klasifikasi stadium menurut FIGO dan sistem skoring WHO

Catatan: Total skor ≤ 7 = risiko rendah; > 7 = risiko tinggi

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
IV.2. Terapi
IV.2.1. Pasien-pasien risiko rendah
Pemberian kemoterapi untuk GTN harus diseleksi menggunakan sistem skoring WHO yang dimodifikasi
dikombinasikan dengan stadium menurut FIGO. Terdapat 2 katagori utama berdasarkan sistem ini, yaitu
GTN risiko rendah dan GTN risiko tinggi.
Untuk pasien-pasien dengan skor prognosis WHO ≤ 6 dan stadium FIGO I, II, dan III, kemoterapi dengan
obat tunggal adalah pilihan utama, baik dengan methotrexate maupun dactinomycin. Histerektomi, pada
kasus-kasus tertentu dapat digunakan sebagai terapi primer untuk pasien-pasin dengan tumor non-
metastasis yang telah mempunyai cukup anak atau tidak mengharapkan fertilitas lagi. Operasi dilakukan
pada kebanyakan pusat pelayanan sewaktu pemberian kemoterapi tunggal untuk mengeradikasi
metastasis yang tidak terlihat (occult) dan mengurangi risiko penyebaran atau implantasi tumor. Obat
kemoterapi tunggal dengan methotrexate atau dactinomycin adalah terapi pilihan untuk pasien-pasien yang
ingin mempertahankan fertilitasnya.

Methotrexate 0,4 mg/kg (maksimal 25 mg) secara intravena atau intramuskuler setiap hari selama 5 hari
untuk setiap seri pengobatan adalah metode yang diterima secara luas. Regimen lain adalah methotrexate
1 mg/kg secara intramuskuler pada hari ke-1, 3, 5, dan 7 dengan kalsium leukoverin 0,1 mg/kg pada hari
ke-2, 4, 6, dan 8 sebagai alternatif. Keuntungannya adalah berkurangnya toksisitas tetapi kerugiannya
adalah meningkatnya biaya dan ketidaknyamanan pasien. Setiap seri diulang setiap 14 hari tergantung
pada toksisitas. Methotrexate juga dapat diberikan sebagai dosis mingguan, 30 mg/m2 secara
intramuskuler.

Dactinomycin 12 μg/kg secara intravena setiap hari selama 5 hari setiap 2 minggu (maksimal 500 μg/hari)
adalah regimen alternatif dan terapi primer untuk pasien-pasien dengan penyakit hepar dan ginjal atau
kontraindikasi pemakaian methotrexate. Sebagai alternatif lain, dactinomycin 1,25 mg/m 2 secara intravena
setiap 2 minggu menambah kenyamanan pasien. Etoposide 200 mg/m 2 peroral setiap hari selama 5 hari
setiap 12-14 hari ditemukan lebih efektif dan kurang toksik. Namun, efek samping terutama alopesia
mengurangi penggunaannya secara luas. Bahkan beberapa data akhir-akhir ini menemukan adanya kaitan
dengan tumor sekunder.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Kemoterapi diubah dari methotrexate ke dactinomycin bila kadar β-hCG menetap atau toksisitas
mengurangi pemberian kemoterapi yang adekuat. Dengan berkembangnya metastasis atau peningkatan
kadar β-hCG, kombinasi kemoterapi harus dimulai. Terapi harus diteruskan 1-2 seri kemoterapi setelah
kadar β-hCG normal. Sekitar 85-90% pasien-pasien dengan penyakit non-metastasis sembuh dengan
regimen kemoterapi yang pertama. Sementara yang lainnya memberikan respon terhadap obat-obat
alternatif, sedangkan kemoterapi kombinasi sangat jarang diperlukan.

Untuk penyakit-penyakit risiko rendah yang mengalami metastasis, obat kemoterapi tunggal diberikan
seperti halnya penyakit non-metastasis. Bila terjadi resisten terhadap kemoterapi tunggal, diberikan
kemoterapi kombinasi. Sekitar 30-50% pasien-pasien pada katagori ini akan mengalami resistensi
terhadap kemoterapi awal dan memerlukan terapi obat alternatif. Histerektomi mungkin diperlukan untuk
mengeradikasi fokus-fokus penyakit resisten di uterus. Sekitar 5-15% pasien akan memerlukan terapi
kombinasi dengan atau tanpa operasi untuk mencapai kesembuhan.

IV.2.2. Pasien-pasien risiko tinggi


Untuk pasien-pasien dengan stadium FIGO IV dan skoring WHO ≥ 7 (GTN risiko tinggi) dikenal sulit untuk
ditangani dan memerlukan kemoterapi kombinasi dengan pemakaian tindakan operasi dan radioterapi
secara selektif. Kelompok ini meliputi pasien-pasien dengan metastasis ke otak, hepar, traktus
gastrointestinal, di mana komplikasi perdarahan masif bisa muncul lebih awal sejak munculnya penyakit
tersebut. Pasien-pasien ini juga sering mengalami resistensi obat setelah kemoterapi yang lama. Terapi
harus diberikan oleh tenaga medis yang berpengalaman khususnya di pusat gestational trophoblastic
disease atau oleh ahli ginekologi-onkologi.

Standar regimen kemoterapi adalah EMA/CO (etoposide, dactinomycin, dan methotrexate, dengan
vincristine dan cyclophosphamide). Newlands dkk. melaporkan 5-YSR sebesar 86%. Faktor-faktor
prognosis yang jelek adalah metastasis hepar, metastasis otak, persalinan aterm pada kehamilan
sebelumnya, dan interval yang lama dari kehamilan sebelumnya dengan diagnosis. Resistensi obat terjadi
pada 17% pasien, di mana 70% di antaranya memerlukan terapi tambahan seperti kemoterapi dan operasi.
Tindakan operasi meliputi pengangkatan lokasi tumor yang menimbulkan resistensi obat (seperti uterus,
lobus paru, bagian tertentu dari otak) diikuti dengan kemoterapi. Regimen yang sering digunakan untuk
penyakit yang resisten adalah EP/EMA (etoposide, cisplatin, etoposde, methotrexate, dactinomycin).

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Terdapat sedikit laporan tentang terapi dengan obat-obat antikanker baru. Paclitaxel menghasilkan remisi
pada sebagian kecil kelompok pasien dengan resisten GTT. Pendekatan lain pada pasien-pasien dengan
penyakit yang refrakter adalah pemakaian G-CSF dan kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan terapi
sumsum tulang. Cisplatin, vinblastin, dan bleomycin juga efektif sebagai terapi second-line. Metastasis
sistem saraf pusat diklasifikasikan sebagai mucul secara dini (sebelum terapi) atau lambat (selama atau
setelah terapi). Survival wanita-wanita dengan metastasis terjadi dini adalah 80% dan yang terjadi lambat
adalah 25%. EMA/CO dengan dosis methotrexate tinggi sampai 1 g/m 2 seringkali digunakan. Pada kasus
di mana terdapat lesi permukaan sistem saraf pusat, tindakan kraniotomi dengan eksisi kemudian diikuti
kemoterapi EMA/CO memberikan hasil yang baik. Radioterapi dengan concurrent kemoterapi telah
digunakan untuk metastasis ke sistem saraf pusat dengan 5-YSR sebesar 50%.

IV.3. Operasi
IV.3.1. Histerektomi
Histerektomi sebagai terapi primer mola hidatidosa telah dilakukan pada beberapa pusat pelayanan.
Wanita-wanita dengan mola hidatidosa dapat mengalami perdarahan masif baik pada saat diagnosis
maupun setelah evakuasi uterus. Terkadang kondisi perdarahannya mengancam nyawa sehingga
histerektomi menjadi tindakan yang rasional terlebih lagi pada wanita-wanita yang jumlah anaknya sudah
cukup. Namun, histerektomi tidak mengurangi pentingnya monitoring lanjutan. Histerektomi juga
diindikasikan untuk kasus-kasus dengan kelainan ginekologi sebelumnya dan dipertimbangkan sebagai
GTN yang kemoresisten dalam penatalaksanaannya. Pada pasien-pasien dengan GTN yang terlokalisir di
uterus, angka kesembuhannya mencapai 100% dengan kemoterapi dan histerektomi serta mengurangi
jumlah siklus pemberian kemoterapi.
Meskipun histerektomi berperan penting dalam penatalaksanaan GTD yang persisten, evakuasi uterus
kedua dapat menjadi pilihan terapi yang bermanfaat untuk pasien-pasien dengan penyakit trofoblas yang
persisten, yang diduga tidak memerlukan pemberian kemoterapi segera, di mana kadar hCG < 1500 IU/L.
Pasien-pasien dengan penyakit trofoblas yang persisten pada hasil pemeriksaan histologis dari spesimen
evakuasi uterus yang kedua sangat memerlukan kemoterapi. Namun, morbiditas yang berkaitan dengan
evakuasi uterus yang kedua perlu diperhitungkan. Rasionalitasnya adalah untuk mengontrol perdarahan
pervaginal yang masif setelah pemberian kemoterapi dan menangani GTD yang kemoresisten, di mana
lesinya terlokalisir di uterus.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Pada suatu penelitian terbaru yang meneliti peran histerktomi pada pasien-pasien dengan GTD
menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan tindakan histerektomi untuk mengatasi perdarahan yang
mengancam jiwa selama 30 tahun terakhir.

Pendekatan operasi konservatif juga dipertimbangkan pada wanita-wanita yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya. Di antara pasien-pasien usia reproduksi, repair primer ruptur uterus atau reseksi
uterus segmental adalah modalitas terapi yang dapat dipilih. Embolisasi secara selektif pmbuluh darah
besar yang mensuplai uterus dapat dilakukan dengan intervensi radiologis untuk mengurangi perdarahan
uterus. Metastasis juga bisa terlihat sebagai nodul vagina. Nodul-nodul ini dapat menyebabkan perdarahan
masif pada beberapa kasus. Biopsi nodul ini bisa membahayakan karena perdarahan yang terjadi akibat
biopsi sulit diatasi dan harus dicegah kecuali sangat diperlukan kejelasan hasil histopatologisnya.

IV.3.2. Operasi-operasi lain


Placental site trophoblastic tumors (PSTT) telah diketahui kurang respon terhadap kemoterapi dan bila
kemoterapi diindikasikan, harus diberikan kemoterapi kombinasi. Pada kasus-kasus di mana tidak ada
bukti penyakit metastasis, tindakan histerektomi dapat memberikan kesembuhan.

Operasi juga digunakan untuk menangani penyakit metastasis. Torakotomi dengan reseksi segmental paru
seringkali dilakukan selain histerektomi untuk menghilangkan fokus-fokus yang resisten terhadap obat-obat
kemoterapi. Hepatektomi parsial juga dilakukan pada penatalaksanaan GTD persisten. Kraniotomi tidak
sering dilakukan sebagai terapi primer. Namun, operasi emergensi diperlukan untuk mencegah perdarahan
otak atau menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. CT-scan otak sangat penting untuk diagnosis
akhir. Kadar hCG dalam cairan serebrospinal juga dapat untuk mendiagnosis metastasis otak. Metastasis
ke sistem saraf pusat yang tersembunyi dapat dinilai dengan memeriksa rasio kadar hCG dalam plasma
dengan dalam cairan serebrospinal. Rasio yang normal bila tidak ada metastasis adalah >60:1 dan
seringkali <60:1 pada kasus-kasus dengan metastasis otak. Kasus-kasus dengan metastasis sistem saraf
pusat atau dengan indeks prognosis skroing WHO risiko tinggi, memerlukan 12,5 mg methotrexate melalui
injeksi intratekal.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
IV.4. Terapi radiasi
Radiasi otak dan hepar digunakan oleh beberapa pusat pelayanan sebagai adjuvant terhadap kemoterapi
untuk menangani kasus-kasus dengan metastasis. Radiasi whole-brain 3000 cGy selama 10 hari harus
diberikan bersamaan dengan kemoterapi pada kasus-kasus dengan metastasis otak. Pada kasus-kasus
metastasis hepar, radiasi 2000 cGy selama 10 hari dapat digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi.

Remisi komplit didefinisikan sebagai hasil pemeriksaan kadar hCG normal sebanyak 3 kali berturut-turut
dengan interval seminggu. Setelah remisi, kadar hCG harus dimonitoring setiap 1-2 minggu untuk 3 bulan
pertama, setiap 2-4 minggu untuk 3 bulan berikutnya, dan setiap 1-2 bulan sampai 1 tahun pertama follow-
up. Selain akurasi pengukuran kadar hCG, jumlah sel-sel tumor sebanyak 104 yang masih ada dapat
memberikan hasil pengukuran kadar hCG yang normal. Banyak penelitian merekomendasikan pemberian
2-4 siklus kemoterapi pemeliharaan setelah kadar hCG mencapai normal, tergantung pada faktor-faktor
risiko yang ada pada pasien.

V. PLACENTAL SITE TROPHOBLASTIC TUMORS


Placental site trophoblastic tumors (PSTT) adalah jenis GTT yang jarang dan sering terdiagnosis setelah
dilatasi dan kuretasi missed abortion, tetapi bisa juga terjadi setelah kehamilan aterm dan mola hidatidosa.
PSTT mempunyai prilaku klinis dengan spektrum yang luas, dari sembuh secara sendiri sampai persisten
atau bahkan mengalami metastasis sangat agresif. Metastasis ke paru, hepar, kavum peritoneum, dan otak
adalah lokasi metastasis yang tersering. Sumber PSTT adalah sel-sel trofoblas intermediate yang
mempunyai gambaran histologis yang khas. Terapi optimal untuk PSTT non-metastasis adalah
histerektomi. Outcome pasien-pasien dengan PSTT non-metastasis adalah sangat baik dengan tindakan
histerektomi. Sementara pasien-pasien dengan penyakit lanjut mempunyai angka survival hanya 30%.
Kemoterapi pada kelompok pasien dengan penyakit lanjut sangat mengecewakan, meskipun remisi
dengan regimen EMA/CO pernah dilaporkan.

VI. KEHAMILAN SETELAH DIAGNOSIS GTD


Kehamilan berikutnya setelah GTD tidak meningkatkan risiko komplikasi kehamilan seperti kelahiran
preterm, kelainan atau lahir mati. Kehamilan-kehamilan harus diperiksa secara dini dengan USG dan kadar
β-hCG karena terdapat risiko kekambuhan GTD sebesar 1%-2%.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
Penelitian-penelitian terbaru merekomendasikan bahwa semakin singkat periode follow-up pasca mola
bersifat rasional untuk pasien-pasien dengan kehamilan mola komplit dan parsial. Pada kasus-kasus di
mana kehamilan terjadi sebelum follow-up pasca mola lengkap (< 1 tahun), kehamilan dapat dilanjutkan.
Sebagian besar kehamilan berakhir dengan outcome yang baik, tetapi terdapat risiko kecil kekambuhan
yang terlambat terdiagnosis.

VII. KONDISI-KONDISI KHUSUS


Sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap kualitas hidup, pasien-pasien dengan mola hidatidosa
dan GTT risiko rendah akan memperoleh manfaat terhadap rujukan ke pelayanan suportif. Pasien-pasien
dengan risiko menengah dan risiko tinggi paling baik memperoleh penanganan di pusat terapi kanker yang
menyediakan ahli dalam terapi obat-obat kemoterapi dan penanganan toksisitas yang ditimbulkannya.
Pasien juga disarankan untuk memperoleh penanganan dari pekerja sosial, ahli nutrisi, dan dukungan
spiritual sesuai dengan pilihan pasien.

VIII. REKOMENDASI
1. Kuretasi hisap (suction curettage) adalah metode yang paling ideal untuk evakuasi mola
hidatidosa. Surveillance pasca tindakan dengan mengukur kadar β-hCG adalah hal yang
sangat penting.
2. Pasien-pasien risiko rendah dengan penyakit non-metastasis dan metastasis harus diterapi
dengan kemoterapi obat tunggal, baik methotrexate maupun dactinomycin.
3. Pasien-pasien risiko tinggi harus selalu diterapi dengan kemoterapi kombinasi EMA/CO
dengan penggunaan secara selektif tindakan operasi dan radioterapi. Kemoterapi alternatif
dengan EP/EMA dan operasi harus digunakan pada penyakit yang resisten.
4. Placental site trophoblastic tumor yang non-metastasis harus diterapi dengan histerektomi,
sedangkan penyakit yang mengalami metastasis harus diterapi dengan kemoterapi, paling
sering dengan EMA/CO.
5. Para pasien harus disarankan untuk mencegah kehamilannya sampai kadar β-hCG normal
selama 6 bulan sejak evakuasi kehamilan mola dan selama 1 tahun setelah kemoterapi untuk
GTT. Kontrasepsi pil kombinasi adalah pilhan yang aman digunakan oleh pasien-pasien
penderita GTT.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas
DAFTAR PUSTAKA:

1. Berkowitz RS, Goldstein DP. Molar pregnancy and gestational trophoblastic neoplasms. In:
Barakat RR, Perelman RO, Markman M, Randall M. Principles and Practice of Gynecologic
Oncology. 5th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. 2009: 876-891.
2. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic neoplasia. In: Berek JS, Hacker NF. eds.
Berek and Hacker’s Gynecologic Oncology. 5th edition. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia. 2010: 594-612.
3. Gerulath AH. Gestational Trophoblastic Disease. J Obstet Gynaecol Can 2002; 24(5): 434-439.
4. Ozalp SS, Oge T. Gestational trophoblastic diseases. In: Ayhan A, Reed N, Gultekin M, Dursum P,
eds. Textbook of Gynecologic Oncology. Gunes Publishing. Turkey. 2012: 492-498.

Sinopsis 33. Update review : Mola hidatidosa dan Penyakit trofoblas ganas

Anda mungkin juga menyukai