Anda di halaman 1dari 6

Judul Seminar : Cuba: Universal and Free Education, a Dream Came True for Cubans

Hari/Tanggal : Selasa, 5 Desember 2017

Pukul : 15.00 – 17.30 WIB

Tempat: Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP Universitas Indonesia

Pembicara : Michael Gonzales Castro (Sekretaris III di Kedutaan Besar Republik Kuba)

Moderator : Radhiyan Pasopati (FISIP UI 2014)

Pada hari Selasa, 5 Desember 2017 telah diadakan diskusi berjudul “Cuba: Universal
and Free Education, a Dream Came True for Cubans” di Auditorium Juwono Sudarsono,
FISIP Universitas Indonesia. Diskusi yang merupakan hasil kerja sama antara BEM FISIP UI,
PMII, PEKA UI, SEMAR UI, FMN UI, dan Kedutaan Besar Republik Kuba ini membahas
tentang sistem pendidikan di Kuba. Ada pun rangkaian acara dimulai dengan pemutaran dua
lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya dan La Bayamesa, dilanjutkan dengan sambutan dari
Giorgio Ramadhan selaku perwakilan dari panitia diskusi, Bhakti Eko Nughroho selaku
Koordinator Bidang Kemahasiswaan FISIP UI, dan Ali Zaenal Abidin selaku ketua BEM
FISIP UI 2017. Para perwakilan tersebut berharap diskusi ini dapat menjadi sebuah ajang
untuk saling belajar terkait sistem pendidikan yang ada. Setelah pemberian sambutan, acara
diskusi pun dimulai dengan Michael Gonzalez Castro (Sekretaris III di Kedutaan Besar
Republik Kuba) sebagai pembicara dan dipandu oleh Radhiyan Pasopati (FISIP UI 2014)
selaku moderator diskusi.

Di awal, Michael memaparkan bahwa Kuba, negara Amerika Latin yang secara
geografis terletak di Karibia Utara, telah melalui revolusi di bidang pendidikan untuk sampai
pada titik pendidikan yang gratis bagi semua orang. Beliau kemudian mengutip perkataan
dari Jose Marti yang berbunyi: being educated is the only way to be free. Perkataan ini
dianggap sebagai salah satu semangat yang mendasari bentuk sistem pendidikan di Kuba.

Sebelum kemenangan dari revolusi di bidang pendidikan, tingkat pendidikan di Kuba


terbilang rendah. Hal ini tercermin pada timpangnya perbandingan antara total populasi
dengan jumlah murid serta alokasi dana yang sedikit dari Pemerintah Kuba. Di tahun 1902,
terdapat kurang dari 10% populasi yang mengenyam pendidikan dan alokasi dana APBN pun
kurang dari 10%. Hingga tahun 1956/7, masih banyak daerah rural yang tidak memiliki
sekolah, pendidikan sekunder serta tersier tidak terjangkau bagi kalangan yang luas, dan
tenaga profesi pengajar pun terbilang minim. Meski konsep bahwa pendidikan merupakan
hak dari setiap orang telah ada pada masa ini, Pemerintahan Kuba sendiri masih sarat akan
korupsi serta penyalahgunaan dana publik yang juga membuat alokasi dana untuk pendidikan
tidak merata. Pendanaan dari Pemerintah Kuba pada masa ini lebih suka memfokuskan
pendanaan untuk sekolah-sekolah tertentu, sehingga terdapat banyak sekolah yang tidak
mengalami pemerataan terutama sekolah di daerah rural.

Akan tetapi, Kuba menemukan titik terang di mana terjadi peningkatan peserta
pendidikan yang drastis yaitu sebesar 400% dari tahun 1956/7 hingga 1964/5. Hal ini
dimungkinkan karena adanya masa kemerdekaan dari revolusi di bidang pendidikan di mana
terjadi reformasi pola pikir yang menyeluruh serta pendefinisian ulang terkait tujuan
pendidikan pada tahun 1959. Pendidikan tidak lagi di lihat menggunakan kacamata untung-
rugi semata, melainkan sebagai sarana untuk memanusiakan manusia.

Dalam upaya mencapai hal tersebut, Pemerintah bersama dengan masyarakat bekerja
bersama dengan berbagai macam cara seperti pendirian 10.000 kelas pada Desember 1959,
pengalihan fungsi dari 69 fasilitas militer menjadi sekolah dengan kapasitas 40.000 murid,
serta berbagai program pendidikan salah satunya Volunteer Teacher Contingent yang
bertujuan untuk mengedukasi para petani di pedalaman. Pemerintahan pada saat ini juga
menasionalisasikan seluruh institusi pendidikan guna menekan ketimpangan yang disebabkan
oleh adanya institusi pendidikan swasta.

Di tahun 1961, muncul pula Cuban Literacy Campaign yang bertujuan untuk
menghilangkan buta huruf dalam kurun waktu 1 tahun. Program-program pendidikan pada
masa ini banyak mengerahkan sukarelawan untuk dibekali ilmu dan kemudian kembali
menyebarkan ilmunya ke berbagai penjuru dan kalangan di Kuba. Program-program tersebut
mampu menjangkau orang dari berbagai kalangan daerah, umur, kondisi mental maupun
fisik, bahkan 25.000 orang Haiti yang rata-rata tidak menggunakan Bahasa Spanyol sebagai
bahasa ibunya. Meski dihadapkan dengan berbagai tantangan seperti tekanan dari luar negeri
salah satunya berupa Invasi Teluk Babi, progam ambisius ini membuahkan hasil manis di
mana tingkat melek huruf di akhir tahun mencapai 96% dari 60-76% sebelum tahun 1959.
Dalam pidatonya pada 22 Desember 1961, Fidel Castro menyatakan bahwa ketidakpedulian
yang telah mengakar lama telah berhasil dikalahkan dan bahwa Kuba telah terbebas dari buta
huruf. Menurutnya, hal ini dimungkinkan karena adanya rasa murah hati serta persaudaraan
antara warga Kuba.
Dewasa ini, pendidikan yang dapat diperoleh di Kuba mencakup pendidikan formal
mau pun informal. Akan tetapi, pendidikan tersebut tidak hanya difokuskan bagi kalangan
tertentu saja melainkan bersifat menyeluruh. Mulai dari anak-anak usia dini yang difasilitasi
dengan Day Care Center, sekolah-sekolah seni mau pun olahraga, sekolah bagi penyandang
difabilitas, hingga adanya Principal University Centers yang dapat menjadi tempat bagi
orang-orang yang sedang bekerja atau terlalu tua untuk mengenyam pendidikan. Kualitas dari
pendidikan pun sangat diperhatikan di mana setiap daerah, termasuk di daerah terpencil,
memiliki minimal satu sekolah yang difasilitasi dengan minimal televisi dan komputer
masing-masing satu. Bahkan, terdapat sekolah yang hanya ditujukan bagi seorang siswa
sebagai wujud nyata dari pendidikan yang merata untuk semua. Di sini, Kuba sangat
memperhatikan nilai pendidikan yang adil bagi semua salah satunya dengan cara memastikan
pendidikan tersebut terjangkau ke daerah urban mau pun rural. Selain itu, Kuba juga
menerapkan sistem edukasi yang dekat dalam wujud perbandingan minimal satu orang guru
untuk dua belas orang murid.

Pada Dasarnya, Kuba menerapkan prinsip-prinsip dasar pendidikan seperti;

a) Prinsip karakter pendidikan universal dan kesetaraan.

b) Prinsip belajar dan bekerja

c) Prinsip partisipasi demokratis seluruh masyarakat dalam tugas pendidikan rakyat

d) Prinsip coeducation dan sekolah terbuka terhadap keragaman.

e) Prinsip membedakan perhatian dan integrasi sekolah.

f) Prinsip pendidikan gratis.

Hingga hari ini, dari total populasi di Kuba sejumlah 11 juta orang, lebih dari 10%
nya telah mengenyam pendidikan. Kuba pun memperoleh berbagai prestasi seperti menjadi
satu-satunya negara di tahun 2015 yang mencapai target-target dari World Education Forum
di Dakar tahun 2000 silam, performa terbaik kedua di Amerika Latin terhadap layanan untuk
anak-anak dan keenam di dunia dalam negara-negara yang dipilih dalam reportase tersebut,
menjadi satu dari 24 negara yang pendaftaran untuk sekolahnya mencapai 80%, adanya
gender parity di bidang pendidikan, serta menduduki peringkat ke-28 sebagai negara yang
telah mencapai pendidikan untuk semua orang. Kuba juga melakukan aksi solidaritas dan
kolaborasi dengan membuka pendidikan bagi warga negara lain serta membantu proses
literasi di 28 negara dengan semangat yang Fidel Castro sebut ‘we share what we have’.

Berbagai prestasi di bidang pendidikan ini salah satunya disokong oleh investasi
negara yang menjadikan pendidikan nomor satu. Selain itu, dalam struktur Pemerintahan
terdapat pula komisi-komisi yang senantiasa mengkaji tentang keberlangsungan serta kualitas
pendidikan di Kuba.

Setelah pemaparan dari Michael, terdapat tambahan dari audiens yaitu Dr. Nur Iman
Subono, M.Hum, Dosen Ilmu Politik FISIP UI speliasisasi Amerika Latin. Beliau
menyatakan rasa senangnya akan keberadaan diskusi semacam ini karena pada umumnya
yang hadir adalah pembicara dari Amerika Serikat. Kemudian, beliau memaparkan sedikit
materi tentang bagaimana Kuba dapat menjadi negara seperti yang kita ketahui sekarang.

Selepas revolusi di bidang pendidikan, Fidel Castro selaku kepala pemerintahan


memberi prioritas bagi tiga hal yaitu pendidikan, perumahan, dan kesehatan. Ketiga hal ini
menjadi harga mati dan menunjukkan konsistensi hingga kini di mana ada upaya supaya
semua orang dapat mendapatkan pendidikan, rumah, dan pelayanan kesehatan yang layak.
Beliau juga mengenal salah seorang mahasiswa kedokteran dari Indonesia yang
berkesempatan mengenyam pendidikan di Kuba. Menurut beliau, pendidikan kedokteran di
Kuba sangat hebat dan ideologis. Selain itu, beliau juga kagum terhadap kekuatan yang
dimiliki Kuba sehingga bisa bertahan dan mengalahkan berbagai bentuk tekanan dari luar.
Seperti misalnya, Kuba juga pernah dihadapkan dengan Invasi Teluk Babi yang meski telah
dibiayai oleh CIA tetap mengalami kegagalan. Di tambah lagi, pernah muncul upaya Presiden
Amerika Serikat John F. Kennedy pada tahun 1997 yang menawarkan bantuan besar-besaran
kepada 10 negara di Amerika Latin dengan syarat harus memutuskan hubungan diplomatik
dengan Kuba di mana pada akhirnya hanya Meksiko yang menolak tawaran tersebut.
Sehingga menurut Beliau, semangat Kuba dapat dipelajari dan dipetik.

Selanjutnya dalam sesi diskusi dilontarkan beberapa pertanyaan dari tiga peserta yaitu
Yoyok dari Kelompok Belajar Buruh, Divar dari FMN UI, dan Vincent.

Yoyok dari Kelompok Belajar Buruh melontarkan dua pertanyaan. Pertama, tentang
bagaimana pendidikan di Cuba dapat mengatasi rasisme dan seksisme mengingat fakta bahwa
negara-negara di Amerika Latin cenderung patriarkis dan pernah ada masa di mana Kuba
sangatlah rasis. Kedua, terkait sistem beasiswa dari Kuba dan bagaimana penerimanya dapat
bertahan di Kuba karena beasiswa yang diberikan hanya berjumlah Rp 60.000. Michael
menyatakan bahwa benar faktanya Kuba pernah terjebak dalam masa yang sangat rasis
sebelum revolusi. Akan tetapi, kemunculan prinsip 'semua untuk semua' setelah revolusi
membantu meminimalisir hal tersebut melalui langkah-langkah institusional. Langkah ini
diwujudkan dengan menghapus aturan-aturan yang bersifat diskriminatif serta apabila
berbicara tentang seksisme, porsi dan representasi perempuan di Parlemen ditingkatkan.
Hingga akhirnya setelah melalui proses yang panjang, kurang lebih 50 tahun kemudian kita
dapat melihat masyarakat Kuba yang terintegrasi. Sedangkan perihal sistem beasiswa,
Michael menyatakan bahwa Kuba telah berusaha memberikan apa yang dapat diberikan
seperti melalui fasilitas berupa penyediaan makanan, tempat tinggal, serta segala macam
kebutuhan pokok untuk penerima beasiswa.

Divar dari FMN UI menanyakan mengenai edukasi politik di Kuba dan seberapa
besar akses keleluasaan edukasi politik di kuba bagi khalayak luas. Michael menyatakan
bahwa tidak ada edukasi politik yang terdoktrin di Kuba. Meski pengetahuan umum
contohnya tentang bahaya globalisasi disebarluaskan, pendidikan yang ada ditujukan untuk
membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mempelajari apa yang ingin mereka pelajari,
tak terkecuali kapitalisme. Karena dari situlah manusia dapat menentukan pilihan, tanpa
mengetahui kapitalisme masyarakat Kuba pun tidak dapat mengkritiknya. Sehingga,
permasalahannya disini bukan perihal sosialisme atau kapitalisme melainkan pengembangan
manusia dan memanusiakan manusia.

Vincent melontarkan dua pertanyaan. Pertama, mempertanyakan guna liberalisasi


pendidikan apabila pada akhirnya orang-orang memilih untuk bekerja di sektor privat. Kedua,
tentang kesahihan kualitas pendidikan di Kuba apabila dilihat dari standar kualitas
pendidikan yang umum digunakan di dunia internasional. Michael menyatakan bahwa pada
tahun 2009, Kuba membuka lisensi kepada sektor privat. Akan tetapi, hal ini tidak semata-
mata berarti bahwa perusahaan besar maupun multinasional dapat masuk seleluasanya.
Pembukaan lisensi ini dapat dilihat sebagai pengadaan peluang perkerjaan lain bagi
masyarakat. Di Kuba sendiri, ada ahli-ahli ekonomi yang menjadi supir taksi. Hal ini tidak
berarti mereka rendah, karena supir taksi sendiri pun merupakan penggerak ekonomi. Setiap
orang di Kuba berpendidikan, tak terkecuali supir taksi, dan menjadi hal yang wajar apabila
seseorang ingin mencari sumber penghasilan yang baru. Dalam suatu hari, seseorang dapat
menjadi insinyur ataupun dokter di pagi hari kemudian menjadi supir taksi di sore hari.
Kemudian terkait pertanyaan kedua, Michael menyatakan bahwa seringkali kita terjebak pada
standar pendidikan yang terlalu kuantitatif. Seperti contohnya, Programme for Internasional
Student Assessment (PISA) yang menguji kemampuan siswa-siswi di dunia dalam bentuk uji
tertulis. Menurut Michael, kualitas pendidikan dapat dilihat dari indikator lain yang lebih
representatif. Salah satu contohnya adalah tingkat penyebaran HIV/AIDS dari ibu ke anak di
mana Kuba telah dinyatakan bebas dari penyebaran tersebut di tahun 2009, dan bahwa Kuba
dapat mengembangkan Vaksin untuk Kanker paru-paru. Di sini, prestasi Kuba dalam bidang
pendidikan bukan semata-mata tentang angka yang tinggi melainkan pendidikan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

Pada akhir sesi, Radhiyan selaku moderator menyimpulkan bahwa di Kuba,


pendidikan yang terjangkau bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Pendidikan menjadi hal
yang fundamental untuk mencapai kemerdekaan bagi masyarakat Kuba, begitu pun juga
pendidikan memberikan arti bagi kemerdekaan itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai