Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Tindakan invasif seperti sectio caesaria
ini akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Peredaan nyeri pada persalinan merupakan permasalahan yang unik. Persalinan
terjadi sewaktu-waktu tanpa peringatan dan anestesia obstetrik dapat diperlukan segera
setelah pasien makan dalam jumlah besar. Muntah dengan aspirasi isi lambung
merupakan ancaman konstan yang memberikan morbiditas dan mortalitas ibu.
Penyakit-penyakit lainnya seperti preeklamsia, solusio plasenta, dan chorioamnionitis
semuanya mempengaruhi adaptasi fisiologis pada kehamilan, dan mempengaruhi
secara langsung pilihan obat-obat analgesia dan anestesia yang dipergunakan.
Penggunaan teknik dan medikasi untuk menurunkan nyeri pada obstetrik
memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai efek-efek yang terjadi untuk
menjamin keselamatan ibu dan bayinya.
Perdarahan antepartum adalah salah satu penyulit anestesi yang paling sering
terjadi pada anestesi persalinan. Penyebabnya termasuk plasenta previa, solusio
plasenta, dan ruptur uteri. Insiden dari plasenta previa adalah 0,5% dari kehamilan.
Plasenta previa paling sering terjadi pada pasien yang memiliki riwayat operasi caesar
atau miomektomi uterus. Selain itu, faktor resiko lainnya adalah multiparitas, usia
kehamilan, dan besarnya plasenta.
2

BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Ny. SK
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Sumatera Selatan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Veteran, No. 25, Sida Korsa, Kayuagung
No. RM : 49.15.90
MRS : 11 September 2017

II. Anamnesis ( Autoanamnesis tanggal 11 September 2017, pukul 10.50 WIB)


A. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Perdarahan hebat sejak 3 jam SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit
+ 1 bulan SMRS os datang ke bidan dengan keluhan keluar darah dari vagina,
warna merah segar sebanyak 1 duk pembalut, keluhan nyeri pada perut disangkal,
keputihan (-) namun pasien tidak kontrol.
Sejak + 6 jam SMRS Os mengeluh perdarahan hebat dari vagina warna merah
segar, banyaknya 3 duk pembalut, keluhan nyeri pada perut disangkal, keputihan
(-), pasien tidak berobat.
+ 3 jam SMRS os mengeluh perdarahan semakin banyak, banyaknya 5 duk
pembalut, warna merah segar, tidak disertai nyeri perut, keputihan (-) datang ke
bidan kemudian dirujuk ke RSUD Kayuagung.
3

B. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi makanan disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat operasi disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat penggunaan zat anestesi disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit serupa pada keluarga atau riwayat keganasan disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Pernafasan : 25 x/menit, reguler
Nadi : 105 x/m (isi dan tegangan cukup)
Suhu : 36,90C
BB : 70 kg

B. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Mata: Conjungtiva pucat (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, sentral
Diameter: 3mm/3mm. Edema palpebral (-),gigi palsu(-)
Hidung: Sekret, darah (-), deviasi septum (-)
Mulut:Mukosa bibir pucat (-) sianosis (-) atrofi papil lidah (-), buka mulut 3jari,
gigi goyang (-) ompong (-), gigi palsu (-), Malampati I, Faring/tonsil:Arkus faring
4

simetris, uvula ditengah, palatum mole (+), tonsil T1– T1 (-), detritus (-), kripta
tidak melebar, tidak mudah berdarah.
Leher: Jejas (-), deformitas (-), JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru: Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor, vesikuler (+)
normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung: BJ I-II (+) normal, HR = 105 x/menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:Datar, lemas, hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-), timpani.
Ekstremitas: akral hangat, pucat (-), edema (-)

C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (7/9/2017)
Hb : 10,7 gr/dl
Leukosit : 16.400 mm3
Trombosit : 192.000 mm3
Ht : 28 %

D. Diagnosis Kerja
Diagnosa Obgyn : G4P3A0 hamil 37 minggu belum inpartu dengan
Hemorrhagik Ante Partum ec Plasenta Previa Total
Janin Tunggal Hidup Preskep
Diagnosa Anestesi : G4P3A0 hamil 37 minggu belum inpartu dengan
Hemorrhagik Ante Partum ec Plasenta Previa Total
Janin Tunggal Hidup Preskep dengan tindakan Sectio
Caesarea ASA II

E. Terapi
Non Farmakologis
- RL gtt xx/menit
- O2 Nasal kanul 2-4 L/menit
5

- Pasien puasa (6 jam)


- Head up 30o
- Kontol gula darah /24 jam
- Pemasangan kateter urine
Farmakologis
- Tramadol 3 x 100 mg
- Seftriakson 2 x 1 (skin test)
- Omeprazole 2 x 40 mg
- Oksitoksin drip 2 x 40 IU
- Asam tranexamat 3 x 1 g
- Dexamethasone 10 mg

IV. Rencana Anestesi


a. Jenis pembedahan : Sectio Caesarea
b. Jenis anestesi : Anestesi Regional
c. Lama anestesi: : 15 menit
d. Lama tindakan : 2 jam 45 menit
e. Teknik anestesi : Anastesi spinal menggunakan bupivacaine 0,5%
f. Premedikasi :-
g. Medikasi tambahan :-

VI. Laporan anestesi durante operasi


a. Mulai anestesi : 11 September 2017 pukul 11:00 WIB
b. Lama anestesi : 15 menit
c. Lama operasi : 2 jam 45 menit
d. Premedikasi :-
e. Induksi :-
f. Medikasi tambahan :-
g. Relaksasi :-
h. Respirasi : Spontan
6

i. Posisi : Supinasi
j. Cairan Durante Operasi:
RL(input): 500 + 500 ml
Output (perdarahan): 700cc, cairan amnion 500 cc
k. Selesai operasi : 11 September 2017 pukul 13.45 WIB

V. Laporan anestesi post operasi


a. Analgetik : Ketoprofen 200 mg supposituria
b. VAS score :6
c. Perawatan : Bangsal Kebidanan

Sectio caesaria : Bayi tunggal hidup/laki-laki/3000 mg/ 47 cm/ APGAR score


8/9
7

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anestesi Spinal


3.1.1 Definisi Anestesi Spinal
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.

3.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal


Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah
papila mamae ke bawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-
3 jam.
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa terjadi
komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya
8

 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat


menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :


 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150
menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung
akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
 Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat
membuat pasien tidak nyaman.
9

3.1.3 Struktur Anatomi Vertebra

Gambar 1. Kolumna Vertebralis

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan lumbal
masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan koksigeus satu
sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga berat
kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3) memungkinkan
10

keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk perlekatan otot-otot, (5)
memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut
ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh suatu
persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung, kendati
hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan stabilitas
kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang berjalan di
dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan kekuatan masing-
masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis berjalan
mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen
akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting diperhatikan
bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5
11

Gambar 2. Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
 Kutis
 Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
 Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
 Ligamentum interspinosum
 Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.
12

 Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
 Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
 Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.

Gambar 4. Susunan Anatomi ligament vertebra

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan
vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis posterior
yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan posterior.
13

Gambar 5. Sistem Vaskular Medula Spinalis

3.1.4 Persiapan Anestesi Spinal


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan karena
terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi menjadi lama,
maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
 Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan terjadi
selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
14

 Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat


penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau
pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare),
dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

Gambar 6. Jenis Jarum Spinal


15

3.1.5 Obat-Obat Pada Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi
local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada
jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local bersifat
reversible.
Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid dan
golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya berbeda
pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah menghambat
pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi local
adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada
kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke
pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat
jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose.
Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur
dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis 20-
50mg(1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
 Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis
5-15mg(1-3ml).
16

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus diperhatikan
saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi
paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa terjadi
henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis yang
masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi, hingga
henti jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat
menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi
local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema.
Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur,
bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan
darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama
saat menggunakan obat anestesi lokal.

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
17

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat


berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat
vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga
subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid
pada anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi
akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal


18

3.1.6 Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500
ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik
biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan
serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke
dalam ruang arachnoid tersebut.
19

Gambar 7. Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Gambar 8. Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu
20

tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5 cm lateral dari garis
tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 9. Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom
di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien
dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan,
dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah
pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis akibat
spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan loading cairan.
Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan
darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.
21

Gambar 10. Lokasi Dermatom Sensoris

3.1.7 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Spinal


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
22

 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung


berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.

3.1.8 Masalah Klinis Pada Anestesi Spinal


Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi
spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat
melakukan anestesi spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan
yang keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik,
kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan
LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan pada
jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau
diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf.
Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat
tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat
dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah
23

menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien


melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.

3.1.9 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
a. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac
output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan
harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat
vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien
yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba
biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam
keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi
dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-
15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan
cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.

b. Blok Tinggi atau Total


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan
dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini
adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak
24

diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi
arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling
sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi
darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel
lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic
interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran
darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini
tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti
jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih
serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan
positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan
normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

c. Komplikasi Sistem Respirasi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.
25

d. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi.
Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk menangani
komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan
ranitidine.

e. Nyeri Kepala (Puncture Headache)


Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi
epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum
yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri
kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda
dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48
jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di
area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia,
mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin
bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi
duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif
dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi
(secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen.
Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena
pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal
dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi
yang aktif seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament
26

dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma
suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa
waktu yang singkat saja.

h. Komplikasi Neuorologis
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam
waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan
fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan
biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah
regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa
regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit
sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi
pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi neurologic yang paling serius
adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan
setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi
proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia
dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama. Penggunaan
epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal
maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural
sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah
besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom
spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah
kelemahan motorik pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda
spinal. Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari nekrosis
27

iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam korda itu
sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai
darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri
yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang
berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi
aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya
sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal
menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi
kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior
atau pembuluh darah yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul
setelah anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara hematogen
yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal diberikan kepada
pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan terjadi penyebaran bakteri
ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia
merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis.
Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat,
nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami
infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi
komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu.

i. Komplikasi Traktus Urinarius


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen
merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
28

3.1.10 Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi Anestesi Spinal


Pencegahan
 Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
 Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
 Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
 Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood
patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang
epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam
waktu beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.

3.2 Fisiologi Cairan Tubuh


Cairan tubuh manusia didistrubusikan ke dalam 2 kompartemen, yaitu cairan
intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler sendiri dibagi menjadi dua
kelompok yaitu cairan intravaskuler dan juga cairan interstitial. Cairan-cairan ini akan
berpindah dengan bebas untuk mencapai keseimbangan dimana zat terlarut dalam nilai
osmolaritas.1
Jumlah cairan/air tubuh total atau Total Body Water (TBW) adalah 60% x berat
badan, terdiri dari cairan intrasel (ICF) 40% dan cairan ekstrasel (ECF) 20%. Cairan
ekstrasel terdiri dari cairan interstitial (ICF) 15% dan cairan intravaskular (IVF) 5% x
berat badan. Cairan intravaskular (5%BB) adalah plasma sel darah merah 3%. Jadi
terdapat darah 8% BB atau kira-kira sama dengan 65-70 ml/kg berat badan pada laki-
laki dan 55-65 ml/kg pada wanita. Total cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat
badan dan jenis kelamin. Air tubuh total maksimal pada saat lahir, kemudian berkurang
secara progresif dengan bertambahnya umur. Air tubuh total pada laki-laki lebih
banyak daripada perempuan dan pada orang kurus (650 ml/kg BB) lebih banyak
daripada yang gemuk (300-400 ml/kg BB). Distribusi cairan di dalam kompartemen
29

diatur oleh osmolaritas, distribusi Natrium dan distribusi koloid terutama albumin.
Osmolaritas dikontrol oleh intake cairan dan regulasi ekskresi air oleh ginjal.1
Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu1 :
a. Elektrolit
Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu
kation dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap kompartemen mempunyai
komposisi elektrolit tersendiri. Komposisi elektrolit plasma dan interstisial hampir
sama, kecuali didalam interstisial tidak mengandung protein.
b. Non elektrolit
Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel,
terdiri dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.
Ada dua mekanisme utama yang mengatur air tubuh yaitu pengaturan osmoler
dan pengaturan volume non osmoler.1
a. Pengaturan osmoler
1) Sistem osmoreseptor ADH
Pada saat volume CES berkurang, osmolaritas meningkat, mengakibatkan
pelepasan impuls dari osmoreseptor di hipotalamus anterior yang merangsang pituitari
posterior untuk melepas ADH. Penurunan volume CES juga merangsang pusat haus
yang juga menstimulasi pelepasan ADH. ADH mengakibatkan reabsorbsi Na dan air
pada tubulus distal dan tubulus kolektivus, sehingga menaikkan volume CES.
Peningkatan volumen CES akan memberikan umpan balik ke hipotalamus dan pusat
haus sehingga volume CES dipertahankan tetap.
2) Sistem renin aldosteron
Saat volume CES berkurang, makula densa akan melepaskan renin yang berperan
dalam pembentukan angiotensin I. Dengan converting enzim angiotensi I diubah
menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat, menstimulasi kortek
adrenal untuk mengeluarkan aldosteron, yang mengakibatkan reabsorbsi air dan Na
sehingga sirkulasi meningkat.
30

b. Pengaturan non osmoler


Semua respon hemodinamik akan mempengaruhi reflek kardiovaskuler, yang
juga akan mengatur volume cairan dan pengeluaran urin. Jika terjadi hipovolemia,
reflek intratorak, reflekreseptor presor ekstratorak dan respon iskemik pusat akan
mengaktifkan mekanisme hipotalamik dan sistem nervus simpatis.

3.3 Terapi Cairan


3.3.1 Terapi Cairan Preoperatif
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan
cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan
darah.Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi
dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan
pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut ini:

Tabel 1. Estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan

Berat kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:
40+20+5=65 ml/jam

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat
diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa.Untuk
70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam atau 880 ml. ( Pada
kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal).
31

Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperative.


Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan diare sering dihubungkan.

3.3.2 Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan penggantian
deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan intraoperative ( darah,
redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis cairan intravena tergantung
dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan
darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat
digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk
pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan cairan
kristaloid atau koloid untuk memelihara volume cairan intravascular ( normovolemia)
sampai bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan
darah dapat diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada
Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21-24%).2
Hb <7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen
tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang
berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan
jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam prakteknya,
banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang
hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang
diharapkan.3

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Volume Darah2


Usia Volume Darah
Neonates
Premature 95 Ml/Kg
Full-Term 85 Ml/Kg
Infants 80 Ml/Kg
Adults
Men 75ml/Kg
WOMAN 65 ML/KG
32

Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood
cell.Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan
perkiraan volume darah ( Tabel 2). Pasien dengan hematocrit normal biasanya
ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka.
Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan . Perlu
diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat
dihitung sebagai berikut2 :
 Estimasi volume darah dari Tabel 2.
 Estimasi volume sel darah merah ( RBCV) hematocrit preoperative (
RBCVpreop).
 Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume
darah normal .
 Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika . hematocrit 30%;
RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.
 Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

Contoh:
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa
banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?
Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.
RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan
darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan
hematocrit hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk
menghitung banyaknya darah yang hilang,contoh pada penyakit jantung dimana
diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.
33

Tabel 3. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan2


Derajat Dari Trauma Jaringan Penambahan Cairan
Minimal (Contoh Hernioraphy) 0 – 2 Ml/Kg
Sedang ( Contoh Cholecystectomy) 2 – 4 Ml/Kg
Berat (Contoh reseksi Usus) 4 – 8 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: ( 1) satu unit sel darah merah
sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang dewasa);
dan ( 2) 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan
hematocrit 10%.

Tabel 4. Estimasi Kelenjar Darah atau Dasar Kondisi Inisial Presentasi


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah Sampai 750 cc 750-1500 cc 1500-2000 cc >2000 cc
Kelenjar Darah sampai 15% 15-30% 30-40% >40%
Denyut Nadi <100 100-120 120-140 >140
Tekanan Sistolik Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi Normal Menurun Menurun Menurun
meningkat
Frekuensi Napas 14-20 20-30 30-40 >35
Urine Output >30 20-30 5-15 Tidak ada
SSP Mental Agak Gelisah Cukup Gelisah Sangat Gelisah Lethargic
Resusitasi Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
Inisial darah darah

Menggantikan hilangnya cairan redistribusi dan evaporasi


Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat
manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan.
Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut Tabel 3, berdasarkan pada
apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat2.
34

3.3.3 Terapi Cairan Postoperasi


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini4:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan
air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24
jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena
adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan
transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH
yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3
hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan
umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150
mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5
gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila
perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan
1°Csuhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
- humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan


yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya
diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan
nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
35

3.4. Perdarahan Antepartum


3.4.1 Definisi dan Klasifikasi Perdarahan Antepartum
Pendarahan antepartum adalah pendarahan pada jalan lahir setelah kehamilan 20
minggu. Klasifikasi pendarahan antepartum yaitu:
1. Plasenta previa
2. Solusio plasenta
3. Perdarahan antepartum yang tidak jelas sumbernya (idiopatik)

3.4.2 Plasenta Previa


Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen
bawah rahim, yang menyebabkan tertutupnya sebagian atau seluruh pembukaan jalan
lahir (ostium uteri internum).
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu adalah:
1. Plasenta previa totalis: bila seluruh pembukaan tertutup oleh plasenta.
2. Plasenta previa lateralis: bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh
plasenta.
3. Plasenta previa marginalis: bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan jalan lahir.
4. Plasenta previa letak rendah: bila plasenta berada 3 – 4 cm di atas pinggir
pembukaan jalan lahir.
Diagnosis plasenta previa dapat ditegakkan dengan:
1. Anamnesis – adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih dari 20
minggu, dan berlangsung tanpa sebab yang jelas.
2. Pemeriksaan luar – sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka
kepala belum masuk pintu atas panggul.
3. Inspekulo – adanya darah dari ostium uteri externum.
4. USG – menentukan letak plasenta.
36

5. Menentukan letak plasenta secara langsung – dengan perabaan melalui kanalis


servikalis, tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak.

Tatalaksana Plasenta Previa


1. Konservatif
Perawatan konservatif berupa istirahat, memberikan hematinik dan spasmolitik
untuk mengatasi anemia, memberikan antibiotik bila ada indikasi, dan
pemeriksaan USG, Hb, dan hematokrit.
 Kehamilan kurang dari 37 minggu
 Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal)
 Tempat tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh
perjalanan selama 15 menit)
2. Penanganan aktif bila
 Perdarahan banyak tanpa memandang usia kehamilan
 Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
 Anak mati
Bila tidak terjadi perdarahan selama 3 hari melalukan perawatan konservatif
maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan.
Bila timbul perdarahan segera dibawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan
hubungan kontak intim.
Pada penanganan aktif, di mana tidak memungkinkan dilakukan sectio Caesarea
maka dilakukan pemasangan cunam Willet atau versi Braxton Hicks.

3.4.3 Solutio Plasenta


Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta pada
implantasi normal sebelum janin lahir. Solutio plasenta dapat diklasifikasikan
berdasarkan tanda klinis dan derajat pelepasan plasenta.
37

1. Ringan – Perdarahan kurang dari 200 mL, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang dari 1/6 bagian permukaan,
kadar fibrinogen plasma lebih dari 120 mg%.
2. Sedang – Perdarahan lebih dari 200 mL, uterus tegang, terdapat tanda pra-
renjatan, gawat janin, atau janin mati, pelepasan plasenta 1/4 hingga 2/3 bagian
permukaan, kadar fibrinogen plasma 120 – 150 mg%.
3. Berat – Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin
mati, pelepasan plasenta bisa terjadi lebih dari 2/3 bagian atau keseluruhan.

Penatalaksanaan solutio plasenta tergantung dari berat atau ringannya kasus.


Dilakukan istirahat, pemberian sedatif, lalu ditentukan apakah gejala semakin progresif
atau akan berhenti. Bila proses berhenti secara gradual, penderita dimobilisasi. Selama
perawatan dilakukan pemeriksaan Hb, fibrinogen, hematokrit, dan trombosit.
Pada solutio plasenta sedang dan berat, maka penatalaksanaan bertujuan untuk
mengatasi renjatan, memerbaiki anaemia, menghentikan perdarahan, juga
mengosongkan uterus secepat mungkin. Penatalaksanaannya meliputi:
1. Pemberian transfusi darah
2. Amniotomi
4. Oksitosin
5. Pertimbangkan sectio Caesarea
Bila diagnosis solutio plasenta secara klinis sudah dapat ditegakkan, berarti
perdarahan yang terjadi telah paling sedikit 1000 mL. Oleh karena itu transfusi darah
minimal 1000 mL harus segera diberikan. Ketuban segera dipecahkan dengan maksud
untuk mengurangi regangan dinding uterus dan untuk memercepat persalinan,
diberikan infus oksitosin 5 IU dalam 500 mL dekstrosa 5%.

3.4.4 Vasa Previa


Vasa previa adalah keadaan di mana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi
dengan vilamentosa pada selaput amnion. Etiologi vasa previa masih belum jelas. Vasa
previa dapat didiagnosis secara klinis melalui pemeriksaan dalam vagina. Diraba
38

pembuluh darah pada ketuban. Pemeriksaan dalam juga dapat dilakukan dengan
inspekulo atau amnioskopi. Bila sudah terjadi perdarahan, maka akan diikuti dengan
denyut jantung janin yang tidak beraturan, deselerasi atau bradikardi, khususnya bila
perdarahan terjadi ketika atau beberapa saat setelah selaput ketuban pecah. Darah ini
berasal dari janin dan untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan tes Apt dan tes
Kleihauer-Betke serta hapusan darah tepi.
Penatalaksanaan vasa previa sangat bergantung pada status janin. Bila ada
keraguan tentang viabilitas janin, tentukan lebih dahulu umur kehamilan, ukuran janin,
maturitas paru, dan pemantauan kesejahteraan janin dengan USG dan kardiotokografi.
Bila janin hidup dan cukup matur dapat dilakukan sectio Caesarea segera namun bila
janin sudah meninggal atau immatur, dilakukan persalinan per vaginam.
39

BAB IV
PEMBAHASAN

Ny. SK, 38 tahun, G4P3A0 hamil 37 minggu belum inpartu ke UGD RSUD
Kayuagung dengan hemorrhagik antepartum (HAP) ec plasenta previa totalis. Pasien
mengalami perdarahan hebat sejak 3 jam SMRS, warna merah segar, banyaknya
mencapai 5 duk pembalut, tanpa disertai nyeri. Pada pemeriksaan fisik di IGD
didapatkan TD 110/70 mmHg, nadi 105x/menit, RR 24x/menit dan suhu 36,90C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kepala, leher, thorax, abdomen, dan ekstremitas dalam
batas normal. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil Hb 10,7
g/dL dan hematrokit 28%. Maka dari itu, status anestesi pasien adalah ASA II, di mana
pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dan tidak ada keterbatasan
fungsional)
Pemilihan jenis antestesi pada Ny. SK yaitu anestesi regional karena beberapa
pertimbangan seperti ibu masih dalam keadaan sadar, refleks protektif masih ada,
sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung sangat kecil. Selain itu, ibu juga
tidak menerma banyak masam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin,
anestesi regional ini memiliki efek depresi yang minimal teadap janin.
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan, kehilangan
cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan darah.
Terapi preoperatif berupa penggantian pada kebutuhan maintenance. Ny. SK dengan
berat badan 70 kg, perhitungannya kebutuhan cairannya adalah 40 + 20 + 50 = 110
ml/jam.
Pada pasien dengan perdarahan ditambah dengan tindakan SC, hal yang
dikhawatirkan adalah terjadinya syok hemoragik. Terapi cairan intraoperatif berupa
penggantian pada kebutuhan cairan dengan kristaloid dosis 30 cc/kgBB, pada Ny. SK
dengan berat badan 70 kg, maka cairan yang diberikan sebanyak 2100 cc yang setara
dengan 700 cc darah yang hilang ( perbandingan 1 : 3 darah : kristaloid). Maka dari itu,
terapi cairan berupa koloid ataupun transfusi darah tidak dilakukan.
40

DAFTAR PUSTAKA

1. Boulton TB, Blogg CE. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC: Jakarta. Hal 7-8.
2. Dobson MB. 1994. Anaesthesia at the district hospital. WHO. EGC: Jakarta
3. Edward, M.W. 1992.Premedication. Dalam D.E. Longnecker dan F.L Murphy.
Introduction toAnesthesia. Saunders, Philadephia
4. Jusrafli, J, Said A. Latief. 1989.Anestesi Umum. dalam :Anesthesiologi. FKUI:
Jakarta,.Hal. 34-7, 93-102.
5. Lennon, P. 1993.Administration of General Anesthesia. Dalam J.K. Davison, W.P
Eckhard danD.A. Perese. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachussetts
General Hospital. Little Brown, Boston
6. Morgan, G.E. dan Mikhail, M.S. 2013.Clinical Anesthesiology. Appleton and
Lange, Stamford
7. Sunatrio, S. 2000. Resusitasi Cairan. FKUI: Jakarta. Hal 43-55.

Anda mungkin juga menyukai