Anda di halaman 1dari 15

BAB 8

Unit Perawatan Intensif

Manajemen Tumor Otak

Simon Hanft, MD, Michael B. Sisti, MD

Seorang wanita berusia 52 tahun tanpa riwayat medis yang signifikan datang
dengan sakit kepala yang diikuti dengan jatuh tanpa riwayat penurunan
kesadaran. Beberapa hari kemudian, pasien terus mengeluh sakit kepala dengan
intensitas yang semakin meningkat. Pada saat datang, pasien mengeluh sakit
kepala hebat yang didahului kejadian jatuh kembali. Pada saat itu pasien dibawa
ke IGD terdekat, di mana hasil CT Scan kepala menunjukkan space-occupying
lesion (SOL), yang diduga merupakan meningioma parafalcine. Pasien lalu
mengalami kejang kemudian tidak sadar dengan pupil asimetris yang baru
ditemukan. Setelah mendapat mannitol, pasien lalu dipindahkan ke Neurologic
Intensive Care Unit (NICU) untuk intervensi lebih lanjut.

Sesampainya di NICU, pasien diintubasi dengan mata tertutup dan tidak


dapat mengikuti perintah. Pupil kanan berdiameter 5 mm dan tidak reaktif,
sedangkan pupil kiri berdiameter 3 mm dan reaktif; refleks kornea dan faring ada.
Pasien masih dapat melokalisasi lengan dan tungkai kanan dengan cepat,
sedangkan lengan kiri dan tungkai kiri fleksi terhadap rangsang nyeri. Tanda vital
saat sampai yaitu 37,60C, HR 91 x/m irama sinus, tekanan darah 120/67 mmHg
dan ventilasi mekanis terpasang untuk kontrol volume.

Apa langkah pertama dalam manajemen pasien ini?

Pasien ini dengan jelas menunjukkan tanda-tanda herniasi. Adanya penurunan


kesadaran dengan hilangnya patensi jalan napas membutuhkan ventilasi mekanis
sedangkan adanya tanda-tanda neurologis seperti pupil dilatasi dan tidak reaktif
dan posisi fleksi lengan dan tungkai kiri merupakan indikator kuat bahwa pasien
mengalami kompresi batang otak bagian kanan. Serangkaian tanda-tanda
neurologi ini merupakan masalah utama pada pasien dan membutuhkan perhatian
dokter yang merawat segera.

Hasil CT Scan kepala akan menunjukkan lokasi massa, sejauh mana


pergeseran garis tengah, edema, hidrosefalus, lesi perdarahan (kemungkinan
intraventrikular) dan tipe herniasi. Pada kasus ini, sebuah massa ukuran 5,5 x 5,6
x 5,7 cm, kalsifikasi, hiperdens terlihat di sepanjang falx superior anterior dengan
dikelilingi edema sedang dan menyebabkan efek massa pada cornu frontalis
kanan lebih besar dibandingkan kiri. Tidak ditemukan perdarahan ataupun
hidrosefalus. Sulcus berkurang yang menandakan adanya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) disertai infark akut pada lobus oksipital bilateral, kanan lebih
besar dibandingkan kiri, yang menunjukkan adanya proses herniasi transtentorial
(uncal) masih berlangsung.

Gambar 8-1. (Kiri) CT Scan kepala tanpa kontras menunjukkan massa hiperdens
yang besar pada garis tengah dengan kalsifikasi pada falx anterior, juga ditemukan
edema, kompresi bilateral pada cornu frontal (kanan lebih besar dibanding kiri)
dan menurunnya sulci yang menunjukkan peningkatan TIK. (Kanan) Dipenuhi
dengan cisternae dengan perubahan medial cornu termporal kanan yang
menunjukkan adanya herniasi uncal. Terdapat juga hipodensitas bilateral pada
lobus oksipital medial yang merupakan indikator infark arteri serebral posterior
bilateral akibat herniasi.
Intervensi medis segera bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial
pasien yang meningkat. Pertama, naikkan kepala tempat tidur minimal 300 untuk
mencegah obstruksi aliran balik vena. Kedua, hiperventilasi pasien dengan target
PaCO2 berkisar 25 sampai 30 mmHg yang akan menurunkan aliran darah otak
(Cerebral Blood Volume). Ketiga, pemberian obat-obat sedatif, analgetik, dan
agen paralitik yang dapat mengontrol agitasi dan pada kasus tertentu misalnya
propofol (mulai pada 10 mg/kg per menit) mengurangi aliran darah otak dan
memperlambat metabolisme otak yang akan membantu menurunkan tekanan
intrakranial.

Intervensi selanjutnya adalah penggunaan terapi hiperosmosis, biasanya


menggunakan infus kontinu dengan saline hipertonik bersama bolus saline
hipertonik 23,4% (30 ml), disertai pemberian mannitol standar (25% cairan
diberikan pada 0,25 sampai 1g/kg). Cairan tersebut bekerja dengan meningkatkan
osmolalitas serum yang akan menarik air dari jaringan ekstraseluler ke serum
yang mengurangi pembengkakan otak. Target osmolalitas serum biasanya lebih
dari 320mOsm/L dan target level natrium plasma pada pasien seperti ini biasanya
150 sampai 155 dengan pemantauan natrium setiap 4-6 jam, karena level natrium
yang lebih dari 155 belum membuktikan adanya menfaat medis. Efek samping
dari terapi hiperosmolar adalah ketidakseimbangan elektrolit (contohnya
hipokalemia), edema paru (terjadi karena ekspansi volume intravaskular dengan
cepat), koagulopati, dan hemolisis intravaskular. Walaupun gambaran radiografi
lesi menunjukkannya sebagai massa extra-aksial seperti meningioma, massa
tersebut dapat menyebabkan edema vasogenik yang sebaiknya ditatalaksana
dengan steroid intravena, segera berikan dexamethasone 10 mg bolus dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 8-32 mg/hari. Dexamethasone bekerja dengan
mengurangi permeabilitas kapiler serebral.

Adanya kejang baru yang terjadi kemungkinan menyebabkan herniasi


(kejang meningkatkan tekanan intrakranial sementara karena peningkatan aliran
darah serebral), pasien seharuskan dirawat menggunakan obat-obatan antiepilepsi
seperti fenitoin (dosis loading 20 mg/kg) atau Keppra (dosis loading 1 g).
Pemasangan monitor tekanan intrakranial pada pasien ini masih dalam
perdebatan. Biasanya untuk pasien dengan gejala klinis peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan skor GCS kurang dari 8 wajib dilakukan pemantauan
tekanan intrakranial secara invasif. Karena pasien ini telah diketahui adanya
massa intrakranial yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, indikasi
pemasangan monitor TIK kurang kuat karena operasi segera dapat membuang
sumber peningkatan TIK. Apabila pasien akan distabilisasi untuk waktu yang
lebih lama, misalnya jika lesi tidak dapat direseksi atau pada kasus truma otak
yang jelas, maka pemasangan monitor TIK jelas berguna. Pada kasus ini, maka
dari itu, monitor TIK tidak dipasang segera karena adanya rencana operasi
dekompresi darurat.

Setelah intervensi tersebut, pupil kanan pasien menjadi reaktif dan


berdiameter sama dengan pupil kiri, dan bagian tubuh kiri pasien menjadi
lebih kuat dengan stimulasi salam. Apa tujuan manajemen sekarang?

Intervensi awal pada pasien bertujuan untuk menurunkan TIK, namun hanya
menyelesaikan sebagian masalah yaitu edema dan kejang yang berkontribusi
terhadap sindrom herniasi. Langkah selanjutnya diarahkan ke reseksi lesimassa
intrakranial. Jika pasien sudah distabilkan, MRI kepala dengan atau tanpa kontras
harus dilakukan untuk memperjelas lokasi, tipe, dan hubungan anatomisnya
dengan struktur sekitarnya termasuk vaskularisasi yang berhubungan dengan
tepat. Penelitian ini juga membantu dalam memutuskan apakah embolisasi
preoperatif perlu dilakuka, karena kemungkinan merupakan meningioma dengan
vaskularisasi yang baik.

MRI otak dilakukan dengan magnetic resonance angiography (MRA) kepala


dan leher, menunjukkan sebuah 5,6 x 7,1 x 4,9 cm memperjelas massa pada
falcine anterior secara heterogen dengan nekrosis internal disertai edema
vasogenik signifikan dan efek massa, hal ini menyimpulkan suatu meningioma
parafalcine besar. Sulci dan ventrikel lebih melebar pada cornu frontal kanan
dibanding kiri. Terdapat restriksi diffusion-weighted imaging (DWI) pada lobus
terporalis medial dan oksipital bilateral yang menunjukkan adanya infark akut
akibat kompresi arteri serebral posterior selama kejadian herniasi yang terjadi.

Pada tahap ini, keputusan embolisasi preoperatif harus dilakukan. Resiko


embolisasi tumor dengan ukuran seperti ini (yang baru-baru ini menyebabkan
herniasi signifikan) dapat menyebabkan hemoragi atau iskemik; keduanya dapat
terjadi pada daerah intratumor atau peritumor yang salah satunya dapat
mengakibatkan kejadian herniasi kembali. Tidak ada pedoman ketat untuk
membuat keputusan ini, maka dari itu hal ini bergantung pada angiografer serebral
dan ahli bedah saraf mengenaik keamanan dan menfaatnya. Keuntungan
embolisasi adalah untuk meminimalisir perdarahan intraoperatif dengan
menginjeksi partikel (biasanya polivinil alkohol) ke pembuluh darah besar
ekstrakranial. Pada kasus ini, keputusan dibuat untuk mengorbankan embolisasi
untuk melakukan reseksi terbuka darurat di kamar operasi.

Gambar 8-2. MRI otak dengan kontras (potongan aksial)menunjukkan adanya


massa heterogen parafalcine, terdapat area nekrosis pada aspek frotal kanan tumor
dengan edema (lebih buruk di bagian kanan). Gambaran MRI lesi menunjukkan
meningioma subtipe ganas, dan hasil akhir patologi mengonfirmasi hal ini. (WHO
grade II, meningioma atipikal)
Gambar 8-3. MRI otak, diffusion-weighted imaging (DWI). Terdapat difusi
terrestriksi pada lobus temporalis medial bilateral dan juga pada lobus oksipital
bilateral yang menunjukkan adanya kompresi arteri serebral posterior akibat
herniasi yang baru terjadi.

Setelah operasi reseksi, apa yang menjadi perhatian dan tujuan post
operatif?

Pasien mengalami kraniotomi bicoronal untuk reseksi meningioma parafalcine.


Operasi berjalan dengan lancar, dengan catatan sinus sagitalis superior
dikorbankan karena sudah diinvasi tumor dan tidak paten lagi. Reseksi total dapat
dicapai dan pasien kembali ke ICU untuk perawatan post operatif.

Pasien kembali ke ICU terventilasi, dipertahankan infus saline hipertonik


3% dipertahankan, IV Decadron dan IV Dilantin. CT Scan post operatif sudah
dilakukan dan menunjukkan pembuangan menyeluruh meningoma namun dengan
edema residual yang relatif signifikan. Sekarang sumber utama peningkatan TIK
pasien sudah dihilangkan sehingga dapat memulai penyapihan (weaning) salin
hipertonik sambil mengingat bahwa masih terdapat sisa edema sedang maupun
berat. Hal ini harus dilakukan dengan lambat dan bertahap untuk menghindari
edema serebral mengulang kembali yang potensial menyebabkan herniasi kembali
dengan pemantauan natrium setiap 4-6 jam secara teratur. Mulai dengan
mengurangi laju salin hipertonik 3% dengan target natrium 10 mEq dalam waktu
24 jam pertama. Langkah selanjutnya adalah menukar salin hipertonik dari 3%
menjadi 2%, dengan tetap menjaga target natrium di atas 140 dalam 24 jam
selanjutnya. Setelah setidaknya 48 jam post operasi barulah dapat mengubah ke
normal saline dengan target natrium dalam rentang normal (135-145) pada hari-
hari selanjutnya di ICU.

Decadron dapat duturunkan perlahan selama 2 minggu karena tingkat


keparahan edema dan tipe lesi jinak ekstrakranial, sedangkan level Dilantin pasien
harus dipertahankan stabil minimal 1 bulan dan dapat menjadi 3-6 bulan karena
pasien mengalami kejang. Terdapat pilihan lain untuk beralih ke Keppra dari
Dilantin karena efek samping yang lebih ringan dengan persetujuan dokter
neurologi. Penyapihan ventilator dan intervensi perawatan intensif lainnya
bergantung pada dokter neurologi perawatan gawat darurat.
Seorang wanita berusia 71 tahun dengan riwayat asma dan hipotiroid mengalami
hambatan kognitif yang progresif dalam waktu 2-3 minggu dan kelemahan tubuh
sebelah kiri yang memburuk. Pencitraan yang dilakukan di rumah sakit lain
menunjukkan adanya massa pada lobus frontal kanan sehingga dirujuk untuk
pembedahan. MRI otak dengan dan tanpa kontras menunjukkan adanya massa
besar pada lobus frontal kanan dengan ring enhancement; massa meluas sampai
ventrikel lateral kanan dan melewati garis tengah ke lobus frontal kiri. Pasien
menjalani operasi kraniotomi pada lobus frontal kanan dan dilakukan reseksi
subtotal pada glioma maligna. Setelah operasi pasien dirawat di NICU dan
kembali ke status neurologis awal dalam waktu 2 jam setelah ekstubasi.

Gambar 8-14. Gambar T1-weighted potongan aksial dengan kontras. Terdapat


massa besar pada lobus frontal inferior dextra dengan enhancement heterogen
yang meluas ke cornu frontal kanan dan melewati corpus callosum ke substansia
alba periventrikular lobus frontal kiri. Terdapat pergeseran garis tengah sekitar 4
mm.

Sekitar 6 jam setelah ekstubasi, pasien dicatat perawat menjadi semakin


letargi, bicara terputus-putus, dan disorientasi. Pemeriksaan post operasi
menunjukkan pasien mengantuk namun dapat dengan mudah dibangunkan;
orientasi nama, tempat, waktu baik; bicara lancar; dan kekuatan 4/5 pada tubuh
bagian kiri. Sekarang, pasien tidur dan sulit dibangunkan; orientasi nama saja;
bicara terputus-putus; dan sedikit mengangkat bagian kiri tubuh dengan rangsang
nyeri.

Apa yang seharusnya dilakukan?

Terdapat dua poin waktu penting dalam kasus: (1) selama jangka waktu post
operatif, di mana pasien tercatat kembali ke status neurologis awal dan (2)
beberapa jam setelahnya pasien mengalami penurunan status neurologis
dibandingkan kondisi preoperatif. Hal ini mengarah pada suatu proses aktif yang
dapat mencakup adanya perkembangan suatu hematoma, stroke, atau kejang baru.
Langkah pertama dalam evaluasi perubahan neurologis pada pasien tumor post
operatif adalah melakukan CT Scan kepala tanpa kontras. Pada kasus ini, CT Scan
menunjukkan hemoragi yang cukup besar pada daerah reseksi dengan perluasan
ke intraventrikular. Adanya hematoma dan kondisi klinis pasien merupakan
indikasi untuk intervensi pembedahan darurat untuk evakuasi. Pasien lalu dibawa
kembali ke kamar operasi untuk operasi kedua dan hematom dievakuasi. CT Scan
post operatif kedua menunjukkan pembuangan seluruh hematom dan perbaikan
hemoragi intraventrikular. Setelah operasi kedua, pasien perlahan kembali ke
status neurologis awal sebelum operasi dalam waktu 2-4 jam.

Dokter terapi intensif neurologi penting untuk mengetahui pasien-pasien


tumor post operatif yang beresiko tinggi mengalami komplikasi perdarahan.
Pasien ini mengalami reseksi subtotal dengan pertimbangan ukuran dan perluasan
tumor ke kontralateral. Dengan adanya sisa tumor, sangat sulit untuk mencapai
hemostasis pada jaringan sekitar tumor walaupun sudah dilakukan strategi
koagulasi intraoperatif yang optimal seperti pada kasus. Maka dari itu, penting
bagi dokter terapi intensif neurologi untuk menanyakan kepada dokter bedah saraf
terkait luasnya reseksi, perdarahan intraoperatif, kerapuhan jaringan tumor, dan
kemungkinan untuk mengorbankan arteri atau vena penting, (cabang arteri serebri
media distal, sinus sagitalis superior). Seluruh masalah intraoperatif dapat
menyebabkan hemoragi post operatif seperti yang terjadi pada kasus, atau stroke
post operatif.
Gambar 8-15. CT Scan kepala potongan aksial tanpa kontras. A. Terdapat
kumpulan bayangan hiperdens pada daerah reseksi yang mengarah ke hematom
post operatif dan dijumpai pergeseran garis tengah. B. Perluasan hemoragi ke
ventrikel lateral kanan. C. CT Scan kepala tanpa kontras segera setelah operasi
menunjukkan evakuasi hematom berhasil dilakukan.
Seorang laki-laki berusia 26 tahun tanpa riwayat medis sebelumnya mengeluh
sakit kepala yang hilang timbul disertai pusing dan kehilangan pendengaran
sebelah kiri dalam 1-2 bulan terakhir. Pencitraan di rumah sakit lain menunjukkan
massa sebesar 3 cm pada sudut cerebellopontine yang kemungkinan merupakan
suatu neuroma. Dengan pertimbangan ukuran lesi, adanya kehilangan
pendengaran, dan kesehatan pasien, pasien dirujuk untuk dilakukan pembedahan.
Pasien menjalani kraniektomi pada suboksipital retrosigmoid kiri untuk reseksi
neuroma dengan lancar.

Setelah dirawat 24 jam post operatif di NICU, pasien dipindahkan ke


bangsal. Pasien dalam status neurologi normal, namun kehilangan pendengaran
sebelah kiri yang stabil dengan wajah sebelah kiri tampak sedikit jatuh yang baru
terjadi. Pada hari ketiga post operasi, pasien menjadi semakin letargi sepanjang
hari. Pada saat pemeriksaan, pasien sedang tidur namun dapat dibangunkan
dengan rangsang taktil; orientasi nama, tempat, dan tahun baik namun harus
distimulasi untuk tetap bangun; saraf kranial baik kecuali kelemahan otot wajah
sebelah kiri; dan kekuatan otot normal pada kedua tungkai pada pemeriksaan
motorik. CT Scan kepala darurat tanpa kontras menunjukkan hipodensitas pada
hemifer cerebellum kiri; kompresi dan near total effacement pada ventrikel
keempat; hidrosefalus terkait ventrikel lateral, ventrikel ketiga, dan cornu
termporal; tidak ditemukan hemoragi.

Apa langkah selanjutnya untuk perawatan pasien?

Gejala klinis pasien menunjukkan adanya hidrosefalus dan CT Scan


mengkonfirmasi diagnosis ini. Retraksi pada area cerebellum selama operasi dapat
menyebabkan pembengkakan nantinya, yang sama dengan proses terjadinya
stroke iskemik. Pembengkakkan dapat terjadi selama beberapa hari sebelum
menyebabkan kompresi signifikan pada ventrikel keempat, yang menyebabkan
hidrosefalus obstruktif. Operasi fossa posterior sering berhubungan dengan
retraksi cerebellum dan pada pendekatan tertentu, berhubungan dengan
pengorbanan beberapa vena cerebellaris. Edema yang terjadi dapat menjadi cukup
signifikan untuk menyebabkan obstruksi pada level ventrikel keempat, yang
mengarah ke hidrosefalus yang dapat dilihat pada kasus. Hidrosefalus yang tidak
diintervensi akan berkembang menjadi herniasi dan kematian, dan indentifikasi
keadaan ini merupakan suatu emergensi klinis.

Gambar 8-16. CT Scan kepala potongan aksial tanpa kontras. (kiri) Terdapat
hipodensitas besar pada hemisfer cerebellum kiri yang secara langsung di bawah
daerah kraniotomi yang menunjukkan suatu retraksi atau infark. Ventrikel
keempat tampak paten pada potongan ini namun bergeser dari kiri ke kanan.
Terdapat dilatasi cornu temporal yang mengarah pada hidrosefalus. (kanan) Cornu
frontal dilatasi, ventrikel ketiga tampak bulat dan dilatasi, cornu temporal yang
membesar yang sebelumnya ditemukan merupakan tanda radiografi adanya
hidrosefalus dini.

Pasien ini seharusnya segera dipindahkan ke NICU untuk pemasangan


External Ventricular Drainage (EVD). Selain untuk menyelamatkan nyawa,
pemasangan EVD juga direkomendasikan untuk meningkatkan dosis Decadron
pasien untuk membantu mengatasi edema post operatif; saline hipertonik juga
merupaka pilihan tambahan (ataupun mannitol) dengan target natrium lebih dari
140 (atau osmolalitas serum lebih dari 320 pada mannitol). Pada kasus ini, dosis
Decadron pasien ditingkatkan dari 6 mg oral tiap 6 jam menjadi 10 mg oral tiap 6
jam, dan salin hipertonik 2% dimulai 75 ml per jam melalui infus. Setelah
pemasangan EVD, tingkat pasien membaik secara signifikan. EVD dipertahankan
pada 20 cm H2O di atas EAM untuk 2-3 hari selama pasien disapih kembali ke
dosis Decadron 6 mg oral tiap 6 jam dan transisi dari 2% salin hipertonik menjadi
salin normal. Parameter penyapihan spesifik sama dengan yang dilakukan pada
kasus-kasus sebelumnya. Ketika evaluasi kembali CT Scan kepala tanpa kontras
menunjukkan resolusi yang cukup dari pembengkakan cerebellum dan patensi
ventrikel keempat, EVD dilepas dan pasien dipertimbangkan sudah siap untuk
dipindahkan ke bangsal. Karena EVD dipertahankan pada level tinggi di atas
EAM, penyapihan tidak diperlukan pada kasus ini.

Dokter terapi intensif neurologis penting untuk mempertahankan bahwa


pasien-pasien tumor post operatif yang menjalani pendekatan ke fossa posterior
dan kemungkinan retraksi yang akan menyebabkan hidrosefalus obstruktif.
Walapun komplikasi ini mungkin membutuhkan berhari-hari untuk terjadi,
kerusakan yang lebih parah dan lainnya seperti stroke dapat terjadii dan akan
mengarah pada terjadinya hidrosefalus yang lebih cepat disertai gejala yang
menyertainya. Ambang batas CT Scan kepala tanpa kontras seharusnya rendah
dan penggunaan kortikosteroid dan agen hipertonik memegang peranan penting.

Gambar 8-17. CT Scan kepala potongan aksial tanpa kontras. Resolusi interval
yang signifikan pada pembengkakan cerebellum posterior. Ventrikel keempat
sekarang pada garis tengah dan tampak paten daripada CT Scan sebelumnya.
Cornu temporal walapun dilatasi namun tampak lebih kecil dibandingkan CT
sebelumnya.
Pertimbangan Kritis

 Ada dua tahap dalam perawatan intensif pasien dengan tumor otak yaitu
preoperatif dan postoperatif.
 Pasien dengan herniasi pasa saat preoperatif membutuhkan stabilisasi medis
darurat dengan bantuan agen hiperosmolar, kortikosteroid, dan intervensi
lainnya yang bertujuan untuk menurunkan TIK (seperti hiperventilasi, sedasi).
 Pembedahan merupakan hal yang penting dan secara potensial bersifat kuratif
jika pasien sudah stabil secara medis.
 Pencitraan preoperatif yang terbaik seharusnya (biasanya MRI) dilakukan jika
memungkinkan pada pasien-pasien tersebut untuk membantu dokter bedah
saraf untuk mencapai reseksi maksimum dan aman.
 Pasien dengan tumor pada fossa posterior pasti memiliki masalah hidrosefalus
pada preoperatif atau postoperatif, dengan pemasangan EVD jika diperlukan.
 ETV merupakan teknik pembedahan lain dalam tatalaksana hidrosefalus karena
kompresi tumor pada ventrikel keempat dalam jangka panjang.
 Pasien yang dicurigai mengalami apopleksia pituitari harus menjalani CT Scan
emergensi dilanjutkan dengan pemberian hidrokortison apabila dijumpai bukti
radiologis adanya hemoragi ke dalam lesi di sella turcica.
 MRI harus dilakukan pada pasien apopleksia dengan tujuan untuk dekompresi
darurat secara pembedahan.
 Pasien dengan penemuan neurologis sekunder ataupun lesi metastasi hemoragi
harus diberikan Decadron dan memulai terapi profilaksis antiepilepsi.
 MRI dengan kontras sangat berguna untuk mendeteksi adanya neoplasma
namun terbatas jika terdapat perdarahan.
 Jika lesi metastasis hemoragi lebih besar dari 3 cm, simtomatik, dan pada
daerah yang dapat direseksi, pasien harus menjalani operasi reseksi segera.
 Hematom postoperatif berhubungan dengan adanya tumor residual, pasien
dengan bakat perdarahan yang diketahui dan pada tipe tumor yang mudah
terjadi perdarahan.
 Pembedahan fossa posterior sering mencakup retraksi cerebellum yang dapat
menimbulkan pembengkakkan dan kompresi pada ventrikel keempat yang
menyebabkan terjadinya hidrosefalus.
 Dokter terapi intensif harus menanyakan luasnya reseksi (misal lamanya
operasi), dan kemungkinan pembuangan vena serebral, keduanya dapat
menyebabkan pembengkakakn serebri dan diikuti dengan hidrosefalus.
 Fenomena kerusakan retraksi juga berlangsung ke daerah supretentorium, yang
dapat menimbulkan pembengkakkan yang menyerupai stroke.
 CT Csan kepala tanpa kontras merupakan modalitas yang aman dan cepat
dalam mendiagnosis hampir seluruh komplikasi postoperatif, karena itu
seharusnya digunakan secara bebas oleh dokter kapanpun terdapat penurunan
neurologis posoperatif.
 Jika CT Scan terbatas, MRI dapat berguna, misalnya mendeteksi infark dini
postoperatif.

Anda mungkin juga menyukai