Seorang wanita berusia 52 tahun tanpa riwayat medis yang signifikan datang
dengan sakit kepala yang diikuti dengan jatuh tanpa riwayat penurunan
kesadaran. Beberapa hari kemudian, pasien terus mengeluh sakit kepala dengan
intensitas yang semakin meningkat. Pada saat datang, pasien mengeluh sakit
kepala hebat yang didahului kejadian jatuh kembali. Pada saat itu pasien dibawa
ke IGD terdekat, di mana hasil CT Scan kepala menunjukkan space-occupying
lesion (SOL), yang diduga merupakan meningioma parafalcine. Pasien lalu
mengalami kejang kemudian tidak sadar dengan pupil asimetris yang baru
ditemukan. Setelah mendapat mannitol, pasien lalu dipindahkan ke Neurologic
Intensive Care Unit (NICU) untuk intervensi lebih lanjut.
Gambar 8-1. (Kiri) CT Scan kepala tanpa kontras menunjukkan massa hiperdens
yang besar pada garis tengah dengan kalsifikasi pada falx anterior, juga ditemukan
edema, kompresi bilateral pada cornu frontal (kanan lebih besar dibanding kiri)
dan menurunnya sulci yang menunjukkan peningkatan TIK. (Kanan) Dipenuhi
dengan cisternae dengan perubahan medial cornu termporal kanan yang
menunjukkan adanya herniasi uncal. Terdapat juga hipodensitas bilateral pada
lobus oksipital medial yang merupakan indikator infark arteri serebral posterior
bilateral akibat herniasi.
Intervensi medis segera bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial
pasien yang meningkat. Pertama, naikkan kepala tempat tidur minimal 300 untuk
mencegah obstruksi aliran balik vena. Kedua, hiperventilasi pasien dengan target
PaCO2 berkisar 25 sampai 30 mmHg yang akan menurunkan aliran darah otak
(Cerebral Blood Volume). Ketiga, pemberian obat-obat sedatif, analgetik, dan
agen paralitik yang dapat mengontrol agitasi dan pada kasus tertentu misalnya
propofol (mulai pada 10 mg/kg per menit) mengurangi aliran darah otak dan
memperlambat metabolisme otak yang akan membantu menurunkan tekanan
intrakranial.
Intervensi awal pada pasien bertujuan untuk menurunkan TIK, namun hanya
menyelesaikan sebagian masalah yaitu edema dan kejang yang berkontribusi
terhadap sindrom herniasi. Langkah selanjutnya diarahkan ke reseksi lesimassa
intrakranial. Jika pasien sudah distabilkan, MRI kepala dengan atau tanpa kontras
harus dilakukan untuk memperjelas lokasi, tipe, dan hubungan anatomisnya
dengan struktur sekitarnya termasuk vaskularisasi yang berhubungan dengan
tepat. Penelitian ini juga membantu dalam memutuskan apakah embolisasi
preoperatif perlu dilakuka, karena kemungkinan merupakan meningioma dengan
vaskularisasi yang baik.
Setelah operasi reseksi, apa yang menjadi perhatian dan tujuan post
operatif?
Terdapat dua poin waktu penting dalam kasus: (1) selama jangka waktu post
operatif, di mana pasien tercatat kembali ke status neurologis awal dan (2)
beberapa jam setelahnya pasien mengalami penurunan status neurologis
dibandingkan kondisi preoperatif. Hal ini mengarah pada suatu proses aktif yang
dapat mencakup adanya perkembangan suatu hematoma, stroke, atau kejang baru.
Langkah pertama dalam evaluasi perubahan neurologis pada pasien tumor post
operatif adalah melakukan CT Scan kepala tanpa kontras. Pada kasus ini, CT Scan
menunjukkan hemoragi yang cukup besar pada daerah reseksi dengan perluasan
ke intraventrikular. Adanya hematoma dan kondisi klinis pasien merupakan
indikasi untuk intervensi pembedahan darurat untuk evakuasi. Pasien lalu dibawa
kembali ke kamar operasi untuk operasi kedua dan hematom dievakuasi. CT Scan
post operatif kedua menunjukkan pembuangan seluruh hematom dan perbaikan
hemoragi intraventrikular. Setelah operasi kedua, pasien perlahan kembali ke
status neurologis awal sebelum operasi dalam waktu 2-4 jam.
Gambar 8-16. CT Scan kepala potongan aksial tanpa kontras. (kiri) Terdapat
hipodensitas besar pada hemisfer cerebellum kiri yang secara langsung di bawah
daerah kraniotomi yang menunjukkan suatu retraksi atau infark. Ventrikel
keempat tampak paten pada potongan ini namun bergeser dari kiri ke kanan.
Terdapat dilatasi cornu temporal yang mengarah pada hidrosefalus. (kanan) Cornu
frontal dilatasi, ventrikel ketiga tampak bulat dan dilatasi, cornu temporal yang
membesar yang sebelumnya ditemukan merupakan tanda radiografi adanya
hidrosefalus dini.
Gambar 8-17. CT Scan kepala potongan aksial tanpa kontras. Resolusi interval
yang signifikan pada pembengkakan cerebellum posterior. Ventrikel keempat
sekarang pada garis tengah dan tampak paten daripada CT Scan sebelumnya.
Cornu temporal walapun dilatasi namun tampak lebih kecil dibandingkan CT
sebelumnya.
Pertimbangan Kritis
Ada dua tahap dalam perawatan intensif pasien dengan tumor otak yaitu
preoperatif dan postoperatif.
Pasien dengan herniasi pasa saat preoperatif membutuhkan stabilisasi medis
darurat dengan bantuan agen hiperosmolar, kortikosteroid, dan intervensi
lainnya yang bertujuan untuk menurunkan TIK (seperti hiperventilasi, sedasi).
Pembedahan merupakan hal yang penting dan secara potensial bersifat kuratif
jika pasien sudah stabil secara medis.
Pencitraan preoperatif yang terbaik seharusnya (biasanya MRI) dilakukan jika
memungkinkan pada pasien-pasien tersebut untuk membantu dokter bedah
saraf untuk mencapai reseksi maksimum dan aman.
Pasien dengan tumor pada fossa posterior pasti memiliki masalah hidrosefalus
pada preoperatif atau postoperatif, dengan pemasangan EVD jika diperlukan.
ETV merupakan teknik pembedahan lain dalam tatalaksana hidrosefalus karena
kompresi tumor pada ventrikel keempat dalam jangka panjang.
Pasien yang dicurigai mengalami apopleksia pituitari harus menjalani CT Scan
emergensi dilanjutkan dengan pemberian hidrokortison apabila dijumpai bukti
radiologis adanya hemoragi ke dalam lesi di sella turcica.
MRI harus dilakukan pada pasien apopleksia dengan tujuan untuk dekompresi
darurat secara pembedahan.
Pasien dengan penemuan neurologis sekunder ataupun lesi metastasi hemoragi
harus diberikan Decadron dan memulai terapi profilaksis antiepilepsi.
MRI dengan kontras sangat berguna untuk mendeteksi adanya neoplasma
namun terbatas jika terdapat perdarahan.
Jika lesi metastasis hemoragi lebih besar dari 3 cm, simtomatik, dan pada
daerah yang dapat direseksi, pasien harus menjalani operasi reseksi segera.
Hematom postoperatif berhubungan dengan adanya tumor residual, pasien
dengan bakat perdarahan yang diketahui dan pada tipe tumor yang mudah
terjadi perdarahan.
Pembedahan fossa posterior sering mencakup retraksi cerebellum yang dapat
menimbulkan pembengkakkan dan kompresi pada ventrikel keempat yang
menyebabkan terjadinya hidrosefalus.
Dokter terapi intensif harus menanyakan luasnya reseksi (misal lamanya
operasi), dan kemungkinan pembuangan vena serebral, keduanya dapat
menyebabkan pembengkakakn serebri dan diikuti dengan hidrosefalus.
Fenomena kerusakan retraksi juga berlangsung ke daerah supretentorium, yang
dapat menimbulkan pembengkakkan yang menyerupai stroke.
CT Csan kepala tanpa kontras merupakan modalitas yang aman dan cepat
dalam mendiagnosis hampir seluruh komplikasi postoperatif, karena itu
seharusnya digunakan secara bebas oleh dokter kapanpun terdapat penurunan
neurologis posoperatif.
Jika CT Scan terbatas, MRI dapat berguna, misalnya mendeteksi infark dini
postoperatif.