Sudah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat dan media massa, kenaikan harga
BBM sudah tidak bisa dielakkan lagi. Satu sisi dengan pertimbangan subsidi yang membengkak
perlu dikendalikan agar tidak menguras APBN, sedangkan disisi lain kalau terjadi kenaikan pasti
akan berdampak pada kenaikan kebutuhan hidup serta yang akan paling merasakan dampak
tersebut adalah rakyat klas bawah.
Kebijakan eksplorasi dan eksploitasi energi, sampai saat ini masih menitikberatkan pada
energi fosil yang pada saatnya akan habis. Kebijakan energi harusnya diarahkan pada konservasi
energi untuk meningkatkan efisiensi energi pada sisi pemanfaatannya, demikian halnya dengan
diversifikasi energi dengan tujuan meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran
energi nasional. Demikian dikatakan Ketua Program Studi Teknik Energi Terbarukan Jurusan
Teknik Politeknik Negeri Jember (Polije) Muh. Nuruddin, ST, M.Si dalam seminat energi di
Gedung Serbaguna Soetrisno Widjaja Sabtu kemarin (1/11/2014).
Menurut Ketua Laboratorium Teknik Energi Terbarukan Yuana Susmiati. S.TP, M.Si,
salah satu sumber energi yang sangat potensial dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai energi
alternatif adalah Bioetanol. Sumber bahan baku pembuatan Bioetanol dapat berasal dari bahan
baku yang mengandung glukosa atau gula, pati dan bahan belignoselulosa. “Sumber bahan baku
Bioetanol dari bahan bergula adalah Tebu, Aren dan Sorgum Manis, yang dari bahan baku
berpati berasal dari Sagu, Ubi Kayu, Ubi Jalar dan Jagung, sedangkan sumber bahan baku
berlignoselulosa yaitu Jerami, Bagas dan Onggok”, cetus Yuana Susmiati dalam ketika menjadi
narasumber seminar energi Sabtu kemarin.
Bioetanol merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena memiliki angka
oktan yang lebih tinggi dibanding premium. “Angka oktan Bioetanol sebesar 115, sedangkan
premiun 88 dan pertamax sebesar 98”, ungkap Yuana Susmiati dengan mantap. Bioetanol dapat
dipergunakan sebagai aditif untuk menggantikan TEL atau MTBE yaitu yang berfungsi sebagai
aditif peningkat nilai oktan yang mengandung timbal dan karsinogenik. “Penggunaan Bioetanol
dapat mengurangi efek gas rumah kaca karena siklus emisi gas rumah kaca lebih rendah 14-19%
dibandingkan dengan premium
Sebagai langkah edukasi kepada peserta seminar dengan harapan dapat disebarkan
pemahaman dan pengetahuannya kepada masyarakat sekitarnya, maka dilakukan workshop
pembuatan bioetanol yang berasal dari Singkong. Bahan yang harus disiapkan adalah Singkong 5
kg, Urea, NPK, ekstrak kecambah kedelai, air dan ragi. “Langkah pertama Singkong diparut
untuk memperkecil ukuran dan mempersingkat reaksi, selanjutnya dijemur selama 2 hari sampai
kering”, papar Yuana Susmiati. Selanjutnya parutan Singkong yang telah kering di blender dan
dipanaskan dalam suhu 115oC dalam waktu 2 jam dan selanjutnya didinginkan untuk proses
gelatinasi.
Tahap berikutnya dicampurkan ekstrak kecambah kedelai untuk memecah zat tepung
menjadi gula sederhana atau glukosa dan proses berikutnya larutan tersebut dipanaskan selama 2
jam dalam suhu 38oC lalau didiamkan selama 24 jam untuk proses fermentasi selama 5 hari.
“Untuk memperoleh bioetanol dilakukan melalui proses destilasi”, imbuh Yuasa Susmiati.
Destilasi merupakan proses pemisahan etanol dari media fermentasi berdasarkan perbedaan titik
didih. Sedangkan suhu destilasi yang optimal sebesar 78oC. Proses destilasi sederhana akan
menghasilkan etanol dengan kemurnian 70%, sedangkan untuk memperoleh kadar etanol dengan
kemurnian 95% perlu dilakukan destilasi bertingkat atau destilasi rektifikasi.
Seiring dengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting
sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan
terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang
signifikan. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme
Gasoholº campuran bioetanol kering/absolut terdena-turasi dan bensin pada kadar alkohol
s/d sekitar 22 %-volume.
Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni. BEX º gasohol berkadar bioetanol X
%-volume.
Bahan Baku
Nira bergula (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira aren,
nira siwalan, sari-buah mete
Bahan berpati: a.l. tepung-tepung sorgum biji (jagung cantel), sagu, singkong/gaplek, ubi
jalar, ganyong, garut, umbi dahlia.
Bahan berselulosa (Þ lignoselulosa):kayu, jerami, batang pisang, bagas, dll. Sekarang
belum ekonomis, teknologi proses yang efektif diperkirakan akan komersial pada dekade
ini !
Pemanfaatan Bioetanol
Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor berbahan bakar bensin; digunakan
dalam bentuk neat 100% (B100) atau diblending dengan premium (EXX)
Gasohol s/d E10 bisa digunakan langsung pada mobil bensin biasa (tanpa mengharuskan
mesin dimodifikasi).
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara
langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet
sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum
(grain sorghum) disamping bahan lainnya.
Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi
menjadi beberapa proses, yaitu:
2. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana
(glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang
diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan
menghasilkan etanol dan CO2.
Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu
optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh
mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan
fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan.
Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam tangki
mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan
menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.
Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu
dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses
distilasi.
3. Pemurnian / Distilasi
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan
etanol). Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air adalah 100 C (Kondisi standar).
Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar
etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95
% volume.
Prosentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam tabel
berikut ini:
Peralatan Proses
Peralatan penggilingan
Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
External Heat Exchanger
Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
Tangki Penampung Bubur
Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
Boiler, termasuk system feed water dan softener
Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting
Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu biasanya disebut dengan bio-
ethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam
rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan
tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bio-
ethanol atau gasohol. Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan
tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu
pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga
didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku
tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga
meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan
baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol.
Mengacu dari penjelasan tersebut, disusunlah makalah yang berjudul “Teknologi Proses
Produksi Bio-Ethanol”
Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati
atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut
air. Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi
bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau Karbohidrat Dan Tetes
Menjadi Bio-Ethanol
Kandungan
Bahan Baku Gula Jumlah Hasil Perbandingan
Dalam Bahan Konversi Bahan Baku
Baku dan
(Kg) (Liter)
Ubi
Kayu 1000 250-300 166.6 6,5:1
Ubi
Jalar 1000 150-200 125 8:1
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan
zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan
kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan,
sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga
proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa
enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan
penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula
menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses
produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
H2O
(C6H10O5)n -------------------------! N C6H12O6 (2)
enzyme
(pati) (glukosa)
Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati
atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa,
namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit,
sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun
teknik produksi ethanol/bio-ethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun
ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik
tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca
energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai
teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga
tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan
dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen.
Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel.
Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
• Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai
mencapai temperature 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam.
Temperatur 95oC tersebut
dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai
2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada
suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast
atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini
dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air
enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan,
sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzyme
termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi
aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 130oC akan
terbentuk tri- phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu
tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas
termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC. Selain itu, tingginya
temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek,
sebagai contoh pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan
pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981).
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian
ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan
menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.
2.2 Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol
(alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini,
biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi
tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat.
Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan
bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu
ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan.
Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara
lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan
aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai
35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik,
ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing)
CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat
diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang
dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga
untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu
proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan
beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column.
Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume
ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada
temperatur tertentu (pengukuran).“ Berdasarkan BKS Alkohol Spiritus, standar temperatur
pengukuran adalah 27,5o C dan kadarnya 95,5% pada temperatur 27,5 o C atau 96,2% pada
temperatur 15o C (Wasito, 1981).
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian
sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat
mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.
2.3. Distilasi :
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari
95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai
kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan
air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian
diembunkan kembali.
Untuk memperoleh bio-ethanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang
umum disebut fuel based ethanol, masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen
yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara destilasi biasa, oleh karena itu untuk
mendapatkan fuel grade ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut dengan cara Azeotropic
destilasi.
2.3 Biaya Produksi per Liter Bioetanol Berbahan Baku Ubi Kayu
Biaya produksi meliputi biaya investasi yang dihitung biaya bunga dan pengembalian
investasi, biaya operasi dan perawatan serta biaya bahan.
Biaya investasi fasilitas produksi bio-ethanol ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2.
Total 7.380.000
Dengan kapasitas produksi yang sebesar 8000 lityer per hari, dan pabrik bekerja selama 320
hari dalam 1 tahun, umur hidup alat 15 tahun, biaya operasi – perawatan sebesar 1.5% (tidak
termasuk bahan baku dan utilitas) dan bunga bank 10 %, maka metoda perhitungan double
decline diperoleh biaya investasi dan pengembalian sebesar Rp. 972 per liter bio-ethanol.
Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk mengkonversi ubi kayu menjadi 1 liter bio-ethanol
dibutuhkan sekitar 6,5 kg ubi kayu, sehingga apabila harga ubi kayu sebesar Rp 180 per kg
(B2TP, 2005) akan dibutuhkan biaya ubi kayu sebesar Rp 1.384,5. Selain ubi kayu, pada
konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat menjadi bio-ethonal
dibutuhkan bahan pembantu proses pembuatan glukosa dan bahan pembantu proses peragian
atau fermentasi gula menjadi ethanol yang jenis, konsumsi, dan biayanya ditunjukkan pada
Tabel 3.
Total biaya pemakaian bahan baku, bahan pembantu dan utilitas yang ditunjukkan pada Tabel
3, ditambah dengan biaya investasi serta operasi-perawatan adalah merupakan merupakan
biaya produksi per liter bio-ethanol.
Tabel 3. Biaya Bahan Per Liter Bio-Ethanol
Utilitas
- Air, L 20,5 0,75 15,4
- Uap Air, Kg 5,1 170 867
- Listrik, kwh 1,3 150 195
Biaya produksi tidak termasuk pajak dan keuntungan adalah Rp. 2400 + Rp. 976 = Rp. 3376
per liter.
Harga bio-ethanol sangat tergatung dari biaya bahan baku, karena sensitif terhadap iklim,
perdagangan sebagai bahan baku tepung tapioka dan lain-lain.
• Rencana pengembangan lahan untuk tanaman penghasil bahan baku bio-ethanol yang
dibuat oleh Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan belum terkait langsung
dengan rencana pengembangan bio-ethanol di sektor energi;
• Rencana Pemerintah dalam pengembangan energi dan instrumen kebijakan yang
diperlukan dalam pengembangan bio-ethanol belum terkait langsung dengan rencana
dari para pihak pelaku bisnis bio-ethanol dan pengelola lahan pertanian yang sangat
luas untuk menghasilkan bahan baku; dan
• Ketidakpastian resiko investasi dalam komersialisasi pengembangan bio-ethanol dan
belum terbentuknya rantai tata niaga bio-ethanol.
Agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan Pemerintah mengenai
pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan, kebijakan insentif bagi
pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan pemanfaatan bio-ethanol, sehingga
ada kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik dalam bisnis bio-ethanol.
Dalam upaya pengembangan bio-ethanol diperlukan adanya beberapa langka yang harus
dilakukan, yaitu:
Komponen rantai tata niaga bio-ethanol dimulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi
bio-ethanol anhydrous, pencampuran bio-ethanol dengan premium hingga ke pemasaran.
Dengan adanya peraturan yang baik, konsisten, dan mendukung yang dapat dijadikan
pegangan bagi para stakeholder akan dapat mendorong berjalannya tata niaga bio-ethanol.
Tata niaga bio-ethanol dapat berjalan sesuai yang diharapkan apabila ada kejelasan potensi
pasar bio-ethanol. Potensi pasar bio-ethanol dapat diperkirakan berdasarkan perkiraan
kebutuhan bio-ethanol yang disepakati oleh semua pihak yang terkait dan dituangkan dalam
road map teknologi bio-ethanol, sehingga mendorong minat pengusaha dalam
mengembangkan produksi bio-ethanol di Indonesia. Komponen rantai tata niaga bio-ethanol
ditunjukkan pada Gambar 2.
4. KESIMPULAN
3. Sampai saat ini belum ada sinergi yang diwujudkan dalam satu dokumen rencana strategis
yang komprehensif dan terpadu, sehingga akan timbul beberapa kendala yang harus
diselesaikan. Namun agar kendala tersebut dapat diatasi harus didukung adanya kebijakan
Pemerintah mengenai pertanian dan kehutanan yang terkait dengan peruntukan lahan,
kebijakan insentif bagi pengembangan bio-ethanol, tekno-ekonomi produksi dan
pemanfaatan bio-ethanol, sehingga ada kejelasan informasi bagi pengusaha yang tertarik
dalam bisnis bio-ethanol.
DAFTAR PUSTAKA
1. BPPT, Kajian Lengkap Prospek Pemanfaatan Biodiesel Dan Bioethanol Pada Sektor
Transportasi Di Indonesia. 2005.
2. Balai Besar Teknologi Pati-BPPT, Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-Ethanol Sebagai Bahan
Bakar Alternatif Terbarukan, 27 Januari 2005.
3. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional
2005-2025, Pola Pikir Pengelolaan Energi Nasional, 2005.
JURNAL INTERNASIONAL:
Abstrak :
Karena lokasi subtropis Taiwan, penelitian ini menyelidiki jejak air dari empat tanaman
energi (jagung, ubi jalar, tebu dan sorgum manis), dan satu tanaman pangan (padi), untuk
menetapkan data tapak air dari daerah subtropis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ubi jalar
memiliki jejak air terkecil, diikuti oleh tebu dan sorgum manis, dan jagung memiliki jejak air
tanaman energi terbesar, meskipun jejak air beras jauh lebih besar, hasilnya konsisten dengan
jejak air global rata-rata. untuk tanaman ini Komponen air hijau menyumbang lebih dari 50%
keseluruhan jejak air untuk semua tanaman energi kecuali jagung, menunjukkan bahwa proses
budidaya tanaman energi ini lebih bergantung pada air hujan, sehingga memenuhi kriteria seleksi
masukan rendah. Jejak air beras sekitar 13 kali lebih besar dari pada ubi jalar dan 8,8e10,4 kali
tebu, menunjukkan ketidakefisienan sumber daya relatif untuk mengolah padi sebagai tanaman
pangan. Jejak air untuk tebu, jagung, dan ubi jalar Taiwan lebih baik dibandingkan dengan yang
ada di 3 negara pro-ducing teratas (Brasil, Amerika Serikat dan China), karena jejak air untuk
jagung yang dibudidayakan Taiwan hanya 62% dari itu untuk jagung ditanam di Amerika Serikat
Perbandingan jejak air tanaman energi di daerah iklim, subtropis, dan zona iklim tropis
mengindikasikan bahwa budidaya tebu relatif lebih efisien di daerah tropis dan subtropis, karena
ketergantungannya yang besar pada air hujan, sedangkan jagung dan sorgum manis berkinerja
lebih baik di daerah beriklim sedang dan subtropis. .
1. Perkenalan
Ketersediaan sumber air merupakan faktor kunci dalam pengembangan tanaman bioenergi. Penelitian
terkini tentang dampak lingkungan dan keberlanjutan tanaman energi sebagian besar berfokus pada
manfaat pengurangan gas rumah kaca, efisiensi energi, dan ekonomi biaya produksi, serta penilaian dan
pilihan tanaman energi potensial (Davis et al., 2009), sementara beberapa studi berfokus pada
penggunaan air yang efisien untuk tanaman energi. Sebagian besar penelitian ini menggunakan metode
Life Cycle Assessment (LCA) atau metode footprint air untuk menyelidiki efisiensi penggunaan air oleh
tanaman energi. "Manual Foot-print Air: State of Art 2009" (Hoekstra et al., 2009) adalah metode ilmiah
pertama untuk analisis water footprint (WF), sehingga memberikan laporan berikutnya dengan dasar
umum untuk perbandingan penggunaan air. . Hoekstra dkk. (2009) mendefinisikan WF sebagai indikator
berbasis konsumsi air berdasarkan sumber air, termasuk WF hijau, biru, dan abu-abu. Jefferies et al.
(2012) membandingkan perbedaan antara LCA dan WF dalam penilaian konsumsi air, dan
mengindikasikan bahwa LCA menghitung satu nomor dari setiap kategori dampak untuk
menggambarkan dampak potensial dari keseluruhan siklus kehidupan. Sementara itu, pendekatan WF
mengemukakan tingkat konsumsi air di lapangan, dan memungkinkan penyelidikan mendalam terhadap
alokasi sumber daya air dan komposisi yang berbeda.
WF tanaman energi dapat bervariasi dengan wilayah budidaya geografis yang berbeda. Gerbens-Leenes
dkk. (2009) rata-rata data in-ternasional dari 12 jenis tanaman energi yang digunakan untuk produksi
bioelectricity, bioetanol, dan biodiesel, untuk membandingkan pertunjukan WF hijau dan biru. Namun,
nilai rata-rata yang disajikan dalam penelitian mereka hanya memberikan perbandingan untuk WF dari
tanaman energi yang berbeda, dan tidak mempertimbangkan perbedaan budidaya pada garis lintang
yang berbeda. Hernandes dkk. (2014) mempelajari WF hijau dan biru untuk produksi bioetanol dan bio-
diesel menggunakan tebu Brasil, dan menemukan hasil bervariasi di antara wilayah yang berbeda.
Mereka menganggap perbedaan ini berbeda-ences di zona iklim dan sistem irigasi pertanian.
Sejak Taiwan bergabung dengan WTO, pemerintah telah menyesuaikan struktur produksi beras dengan
membiarkan lahan bera, yang mana menghasilkan lahan bera yang sangat meningkat. Pemerintah
menganggarkan USD 333 juta per tahun untuk mensubsidi penyitaan, yang mengakibatkan sumber daya
lahan terbuang dan perkembangan kegiatan ekonomi pedesaan yang stagnan. Dalam beberapa tahun
terakhir, pemerintah Taiwan telah bertekad untuk mengaktifkan lahan bera. Rasio swasembada beras
lebih dari 90%, dan petani sering menganggap beras sebagai prioritas pertama saat mengaktifkan lahan
bera. Namun, periode curah hujan dan distribusi yang tidak merata adalah masalah yang mengancam
sumber air di Taiwan. Membandingkan curah hujan di musim kemarau (dari bulan November sampai
April) dengan musim penghujan (dari bulan Mei sampai Oktober), tingkat curah hujan di wilayah selatan,
yang merupakan wilayah pertanian utama di Taiwan, adalah 1: 9 (Yang, 2010 ), artinya berisiko tinggi
terhadap budidaya tanaman. Dalam perspektif global, total WF gabah adalah 1325 m3 / ton dan
memiliki perkolasi ekstra 1025 m3 / ton (Chapagain dan Hoekstra, 2011). Total WF beras lebih tinggi dari
pada tebu dan jagung masing-masing 210 m3 / ton dan 1222 m3 / ton (Mekonnen dan Hoekstra, 2010).
Oleh karena itu, dalam perspektif air, apakah padi merupakan tanaman yang cocok untuk lahan bera
yang aktif memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Sebagian besar penelitian sebelumnya melakukan analisis WF global terhadap tanaman energi, namun
beberapa penelitian telah berfokus pada WF regional baru-baru ini; Namun, hanya sedikit penelitian
yang memiliki perhitungan total total WF. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi
penggunaan sumber daya air dalam budidaya jagung, ubi jalar, tebu, dan tanaman energi sorgum manis,
serta potensi budidaya tanaman energi dalam kondisi kekurangan air, melalui analisis dan pembahasan
WF. dari tanaman energi Selain itu, studi ini membandingkan WF tanaman energi dengan tanaman
pangan padi di dalam area budidaya yang sama, yang memberikan saran kebijakan untuk mengaktifkan
lahan bera di Taiwan, seperti yang terlihat dari perspektif sumber daya air. Selanjutnya, literatur yang
relevan menunjukkan bahwa WF tanaman energi dan biofuel terkena dampak oleh zona iklim regional;
Namun, sebagian besar penelitian semacam itu dilakukan di daerah beriklim sedang dan tropis, dengan
sedikit penelitian yang meneliti WF tanaman energi di bawah zona iklim subtropis. Karena Taiwan
berada di zona iklim subtropis, studi ini juga membandingkan WF tanaman energi yang ditanam di
Taiwan subtropis dengan yang ditanam di negara-negara penghasil utama. Selain itu, ia menetapkan
sumber data tanaman energi subtropis untuk perbandingan dan analisis WF di antara tanaman energi
beriklim sedang, subtropis, dan tropis.
2.1. Bahan
Bahan penelitian, dan semua data yang diperoleh untuk konstruksi parameter dilakukan melalui
penyelidikan lapangan. Dimana data mestic tidak tersedia, literatur internasional dirujuk. Investigasi
lapangan untuk jagung, tebu, dan beras dikumpulkan dari tahun 2007 sampai 2011, sedangkan data
untuk ubi jalar dan sorgum manis dikumpulkan dari tahun 2007 sampai 2008. Data dikumpulkan dari
koperasi layanan pengolahan tanaman besar dan
tabel 2
Daerah budidaya dan jumlah aktual air irigasi untuk jagung, ubi jalar, tebu, sorgum manis, dan nasi di
Taiwan. Jumlah air irigasi aktual diperhitungkan untuk keseluruhan periode tanam setiap tanaman.
Taiwan Sugar Corp. (TSC); dan sebagian besar pekerjaan lapangan dilakukan di kabupaten Yunlin,
Tainan, dan Chiayi di Taiwan tengah dan selatan. Item survei meliputi wilayah budidaya dan periode
budidaya tanaman energi, aplikasi pupuk, dan hasil panen (Tabel 1). Untuk menilai dampak skala
budidaya, data untuk tebu dikumpulkan dari TSC dan petani kecil. Etanol diproduksi dengan cara
fermentasi jus (tebu dan sweet sor-ghum), biji-bijian (jagung), dan umbi (ubi jalar). Tingkat
konvergensi etanol didasarkan pada percobaan sebelumnya (Su et al., 2014).
Musim tanam yang tepat berbeda untuk setiap tanaman (Tabel 1). Di Taiwan selatan, jagung dan ubi
jalar ditanam pada musim kemarau di musim gugur. Sorgum manis memiliki jangka waktu tumbuh
kurang dari empat bulan, membuatnya cocok untuk ditanam di musim semi dan musim gugur. Tebu
yang baru ditanam memiliki masa tumbuh sekitar 18 bulan. Setelah dipanen, ia akan menghasilkan
tunas kecil yang akan terus tumbuh, dan tebu yang gulung ini bisa dipanen setelah 12 bulan,
sehingga tebu dapat dipanen dua kali dalam 2,5 tahun. Oleh karena itu, penelitian ini menghitung
WF jagung, ubi jalar pada musim gugur, dan sorgum manis dengan menggunakan data rata-rata
pada musim semi dan musim gugur untuk analisis. Beras bisa ditanam dua kali setahun di Taiwan;
Namun, untuk memungkinkan perbandingan antara energi dan tanaman pangan, studi ini
menganalisis data WF dari panen kedua.
Tanaman evapotranspirasi (ET0) dan curah hujan efektif (Peff) dihitung dengan menggunakan data
suhu, kelembaban, sinar matahari, dan curah hujan lokal dari tahun 2007 sampai 2011 dari Biro
Cuaca Pusat; sedangkan irigasi aktual dianalisis dengan data rata-rata periode (lihat Tabel 2).
Koefisien tanaman (Kc) adalah indikator konsumsi air selama seluruh periode pertumbuhan setiap
tanaman, dan dapat diukur dengan menggunakan pengamatan lysimeters atau rumah kaca. Ini di-
dicator bervariasi dengan varietas tanaman, periode pertumbuhan dan iklim. Dalam penelitian ini,
koefisien tanaman ditetapkan berdasarkan penelitian lokal sebelumnya (Shih et al., 1982; Shih dan
Chang, 1993; Shih dan Hwang, 1994) (Tabel 3).
2.2. Metodologi
Berdasarkan "Manual Footprint Air: State of the Art 2009"
(Hoekstra et al., 2009) dan update yang lebih baru, "The Water
Manual Penilaian Jejak: Menetapkan Standar Global "
(Hoekstra et al., 2011), WF dihitung, sebagai berikut:
WFtotal ¼ WFgreen þ WFblue þ WFgrey (1)
Batas sistem dalam penelitian ini ditetapkan menurut
sudut pandang produsen untuk memperkirakan baik langsung maupun tidak langsung
penggunaan air selama tahap budidaya tanaman energi, seperti
serta konsumsi air untuk produksi etanol (Gambar 1). air
Digunakan dalam kilang bioetanol dapat terus digunakan kembali, dan dengan demikian,
hanya menyumbang 1% dari total konsumsi air (Gerbens-
Leenes et al., 2009); Oleh karena itu, hal itu diabaikan dalam perhitungan WF.
Software CROPWAT 8.0 diaplikasikan pada data meteorologi
dari Biro Cuaca Pusat untuk menghitung evapotranspirasi tanaman
dan curah hujan efektif, yang kemudian digunakan untuk membangun
WF hijau dan biru dari berbagai tanaman.
Mengingat bahwa air yang terkandung dalam tanaman hanya 0,1% e
1% dari total evapotranspirasi, itu diabaikan, dan WFgreen
ditetapkan sama dengan jumlah evaporasi air hijau saja
(Hoekstra et al., 2009), dan dihitung dengan menggunakan Persamaan. (2). DimanaWFgreen
didefinisikan sebagai WF hijau (m3 / ton), ETc, tot adalah penguapan total
(mm / periode), Peff, tot adalah presipitasi total efektif (mm / periode),
A adalah areal tanam (ha), dan Y adalah hasil panen (ton)
Gambar 1. Batas sistem bioetanol WF. Batas sistem mencakup penggunaan air langsung dan tidak
langsung selama tahap budidaya tanaman energi, bersama dengan air
konsumsi untuk kilang etanol.
Gambar 2. Total WF energi dan tanaman pangan yang dibudidayakan di berbagai kabupaten di Taiwan.
WF total termasuk WF hijau, biru, dan abu-abu.
tanaman, dan sorgum manis adalah tanaman dataran tinggi, sementara budidaya padi di Taiwan sangat
bergantung pada irigasi (Yang, 2010).
Konsisten dengan temuan Mekonnen dan Hoekstra (2010), tebu memiliki WF abu-abu terendah dari
semua tanaman energi, menunjukkan bahwa hal itu menghasilkan tingkat polusi air terendah, diikuti
oleh sorgum manis dan ubi jalar, sementara jagung memiliki WF abu-abu terbesar (lihat Tabel 4).
Analisis menunjukkan bahwa jagung jelas menggunakan volume pupuk per ton terbesar (lihat Tabel 1),
sehingga memerlukan penggunaan air yang lebih besar untuk mencairkan polutan agar memenuhi
standar kualitas lingkungan, menghasilkan WF abu-abu yang lebih besar.
3.2. Total jejak air
Menambahkan WF hijau, biru, dan abu-abu bersama-sama menghasilkan total WF untuk tanaman
energi Taiwan. Hasilnya menunjukkan manis kentang lebih unggul dari tebu, yang lebih unggul dari
jagung (lihat Tabel 4 dan Gambar 2), yang konsisten dengan Mekonnen dan Hoekstra (2010).
Berdasarkan produksi satu ton tanaman, total WF untuk ubi jalar adalah 96e118 m3, berlawanan
dengan 187e204 m3 untuk tebu TSC, dan 213e251 m3 untuk tebu petani. Jagung memiliki total WF
669e704 m3, yang sebagian besar disebabkan oleh WF abu-abu tinggi. Budidaya padi menghasilkan WF
hijau dan biru yang besar, sehingga WF keseluruhannya lebih besar daripada tanaman energi, dengan
produksi ton beras menghasilkan WF total 13 kali lebih besar dari pada ubi jalar, dan 8,8e10,4 kali tebu.
WF untuk budidaya tanaman pangan dan energi yang sama di berbagai zona di Taiwan tengah dan
selatan sebagian besar serupa, terutama karena kedua lokasi tersebut berada pada garis lintang yang
sama dan memiliki zona iklim serupa.
Analisis konsumsi, berdasarkan produksi liter etanol, menunjukkan bahwa ubi jalar paling efisien
Dalam hal komposisi WF, jagung memiliki proporsi air biru tertinggi, menyumbang 34e44% dari total
WF-nya, sedangkan komponen WF hijau memakan lebih dari 50% WF sosis manis, sorgum manis, dan
tebu, yang menunjukkan bahwa pemupukan tanaman energi ini lebih bergantung pada air hujan alami,
membuat mereka lebih cocok untuk memenuhi kriteria seleksi dengan masukan rendah. Seperti yang
terlihat pada Gambar 3, tebu menunjukkan kinerja terbaik dalam hal ini. Dibandingkan dengan
tanaman energi, komposisi beras WF sangat miring oleh WF biru (63% e83%), yang mengindikasikan
ketergantungannya yang besar pada irigasi buatan. WF hijau menyumbang 83e85% dari total WF untuk
tebu TSC, dibandingkan dengan 45e57% yang ditanam oleh petani, yang disebabkan oleh
ketergantungan yang relatif rendah pada irigasi. Sementara itu, dari tanaman energi, tebu memiliki WF
abu-abu yang relatif rendah, yang mengindikasikan dampak lingkungannya yang berkurang.
3.3. Perbandingan jejak air untuk tanaman energi yang ditanam di Taiwan dan di negara-negara
penghasil utama
Hasil penelitian menunjukkan bahwa WF dari tebu, jagung, dan ubi jalar Taiwan lebih kecil dari
tanaman sejenis yang ditanam di negara-negara penghasil utama, dengan jagung Taiwan yang memiliki
WF hanya 62% lebih besar dari jagung yang ditanam di AS (lihat Tabel 6). Perbandingan antara WF hijau
dan biru gabungan untuk tebu, dalam penelitian ini dan sebelumnya, menemukan bahwa tebu yang
ditanam oleh TSC dan petani di Taiwan memiliki jumlah WF yang lebih kecil daripada yang ditanam di
negara-negara penghasil utama, dan lebih kecil dari pada tebu yang ditanam di Brasil (230 m3)
(Gerbens-Leenes et al., 2008). Babel dkk. (2011) dan Kongboon dan Sampattagul (2012) mengevaluasi
total WF untuk tebu yang ditanam di berbagai wilayah di Thailand. Tanpa mempertimbangkan WF abu-
abu, tebu Thailand mengungguli tebu Taiwan; Namun, hasilnya dibalik untuk gabungan WFs hijau, biru,
dan abu-abu.
Demikian pula, tanpa mempertimbangkan WF abu-abu, jagung Taiwan-tumbuh memiliki WF lebih kecil
(405e483 m3 / ton) daripada negara-negara penghasil utama (lihat Tabel 6), termasuk 2 produsen
teratas, Amerika Serikat (782 m3 / ton ) dan China (1179 m3 / ton) (Gerbens-Leenes et al., 2008). Hal
ini terutama karena jagung Amerika ditanam pada musim hujan, berlawanan dengan musim kemarau
di Taiwan, di mana ia hanya membutuhkan irigasi dua kali selama tahap menabur dan berbunga, dan
karena musim tanam lebih pendek daripada di zona beriklim sedang, maka secara keseluruhan
konsumsi air berkurang. Sangat sedikit
Tabel 6
Perbandingan WF untuk tanaman energi yang ditanam di Taiwan dan negara-negara utama
lainnya. Peringkat sesuai dengan jumlah WFgreen dan WFblue, di mana rangking yang lebih
kecil menunjukkan a
WF yang lebih kecil. Kongboon dan Sampattagul (2012) dan Babel dkk. (2011) hanya menilai
WF tebu di daerah tertentu di Thailand, dan tidak dapat mewakili keseluruhannya
dari Thailand, dan dengan demikian dikecualikan. Di Taiwan, bioetanol diproduksi dengan
menggunakan sari manis sorgum, dan dengan demikian, menimbulkan aWF yang secara
signifikan berbeda dari sorgum manis.
gandum di Cina dan India. Tebu didasarkan pada hasil tahunan rata-rata, sedangkan tanaman
lainnya didasarkan pada hasil pada periode pertumbuhan.
literatur telah memeriksa WF untuk etanol yang dihasilkan dari ubi jalar. Studi ini menemukan
bahwa WF untuk etanol yang diproduksi oleh ubi jalar Taiwan jauh lebih rendah dari nilai rata-
rata global 329 m3 (Mekonnen dan Hoekstra, 2010), mungkin karena hasil panen kentang di
Taiwan rata-rata sekitar 14,5e41,0 ton per hektar , yang jauh lebih tinggi dari rata-rata global
16,4 ton per hektar. Sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan bioethanol yang diproduksi
dengan menggunakan biji sorgum manis, penelitian ini menilai bioetanol yang dihasilkan
menggunakan sari sorghum manis, menghasilkan perbedaan hasil yang signifikan.
3.4. Perbandingan jejak air untuk tanaman energi tumbuh di zona iklim yang berbeda
Seperti ditunjukkan pada Tabel 7, gabungan WF hijau dan biru untuk sug-misterius yang tumbuh
di daerah tropis dan subtropis lebih kecil daripada yang ditanam di daerah beriklim sedang
(misalnya di Amerika Serikat), dan analisis komposisi WF menunjukkan bahwa komposisi WF
Tebu tropis dan subtropis didominasi oleh komponen air hijau, yang konsisten dengan temuan
sebelumnya (Gerbens-Leenes et al., 2008; Mekonnen dan Hoekstra, 2010). Ketergantungan berat
pada irigasi memberikan kontribusi yang kuat terhadap ukuran WF biru di daerah beriklim
sedang (Gerbens-Leenes et al., 2008). Nepal terletak di sub-tropis; Namun, WF tebu yang
dibudidayakan di sana lebih besar daripada yang ditanam di daerah beriklim sedang atau rata-
rata global, terutama karena curah hujan rata-rata tahunan yang tinggi (1500 mm), seiring dengan
rendahnya tingkat teknologi dan produktivitas pertanian, berakibat pada tingkat air yang sangat
buruk. gunakan efisiensi (Shrestha et al., 2013).
Hasil jagung di daerah beriklim sedang (Amerika Serikat, Kanada, Prancis dan China) lebih
tinggi daripada di daerah lain, jagung beriklim sedang memiliki gabungan WF hijau dan biru
yang lebih rendah (lihat Tabel 8), relatif terhadap
yang tumbuh di daerah tropis (India, Indonesia, Thailand dan Brasil) dan subtropis (Nepal) (Gerbens-
Leenes et al., 2008), dan jagung secara konsisten terbukti cocok untuk budidaya di daerah beriklim
sedang. India terletak dekat dengan Khatulistiwa dan mengalami tingkat hujan, kelembaban, dan suhu
tinggi, daerah mana yang kondusif bagi penyimpanan air hujan di dalam tanah, sehingga memberi
jagung India tumbuh hijau WF secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan negara- mencoba
(Mekonnen dan Hoekstra, 2011). Lebih jauh lagi, karena keadaan dasar sistem irigasi dan teknologi
pertanian di India dan Nepal, WF relatif lebih tinggi daripada di negara lain (Gerbens-Leenes et al.,
2009; Shrestha et al., 2013).
Gabungan WFs hijau dan biru dari sorgum manis yang ditanam di daerah beriklim sedang dan subtropis
lebih kecil daripada yang ditanam di daerah tropis (Gerbens-Leenes et al., 2008), dan Tabel 9
menunjukkan bahwa, terlepas dari zona iklim, gabungan WFs yang manis sorgum didominasi oleh
komponen hijau. Di daerah tropis yang relatif lembab (Brasil dan India), WF hijau lebih besar dari pada
daerah beriklim sedang (Prancis, Kanada, Amerika Serikat, dan China) dan subtropis (Taiwan).
4. Kesimpulan
Meski curah hujan rata-rata per tahun di Taiwan lebih dari 2000 mm, Taiwan tercatat sebagai negara
kelangkaan air. Penelitian ini bertujuan untuk membangun basis data untuk WF lima tanaman
subtropis, berdasarkan jagung, ubi jalar, tebu, sorgum manis, dan padi yang ditanam di Taiwan. Analisis
per ton produksi tanaman pangan menunjukkan bahwa ubi jalar memiliki WF terkecil, diikuti oleh tebu,
sorgum manis, dan jagung, yang konsisten dengan nilai WF rata-rata global, seperti yang dilaporkan
oleh Mekonnen dan Hoekstra (2010). Namun, menghitung konsumsi air per liter produksi etanol harus
pertimbangkan efisiensi konversi relatif dari berbagai tanaman energi, dengan hasil yang menunjukkan
bahwa etanol yang dihasilkan dari kentang manis memiliki WF terkecil, diikuti oleh jagung, tebu, dan
sorgum manis.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah Taiwan harus mempertimbangkan tanaman energi
mengenai perencanaan produksi untuk mengaktifkan lahan bera dan daerah penurunan tanah, yang
disebabkan oleh pemompaan air tanah. Analisis WF dapat memperluas lingkup penelitian kelangkaan
air tradisional. Dengan mengevaluasi WF, ia dapat menawarkan informasi yang cukup bagi pengambil
keputusan di bawah konteks pengelolaan sumberdaya air. Konsumsi sumber air dan indeks
pencemaran air akan dipresentasikan dengan analisis WF. Komponen air hijau menyumbang lebih dari
50% dari total WF untuk ubi jalar, sorgum manis, dan tebu di Taiwan, yang mengindikasikan bahwa
tanaman ini lebih bergantung pada air hujan alami, membuatnya lebih sesuai untuk seleksi,
berdasarkan pada rendahnya kadar air, kriteria masukan WF beras 13 kali lebih besar dari pada ubi
jalar, dan 8,8e10,4 kali tebu, menunjukkan bahwa padi yang ditanam di Taiwan adalah konsumen
sumber air yang relatif lebih berat. Sementara itu, tebu memiliki WF abu-abu terendah dari semua
tanaman dalam penelitian ini, yang menyiratkan bahwa tebu memiliki dampak minimal terhadap
pencemaran air. Oleh karena itu, dalam perencanaan lahan kosong dan sumber air, kentang manis dan
tebu harus diberi prioritas dibandingkan jenis energi dan tanaman pangan lainnya, karena lebih cocok
untuk budidaya di daerah terbatas air.
WF dari tebu, jagung, dan pojok tato yang dibudidayakan Taiwan lebih kecil daripada negara-negara
penghasil utama, dengan jagung menggunakan hanya 62% air yang dibutuhkan untuk jagung yang
ditanam di AS. Etanol yang dibuat dengan sari sorghum manis buatan Taiwan juga menggunakan air
yang mengandung sedikit air daripada etanol yang diproduksi di luar negeri dari biji sor-ghum yang
manis. Memeriksa perkembangan tanaman energi dari sudut pandang masing-masing WF
menunjukkan bahwa, untuk mengoptimalkan konsumsi sumber daya air, budidaya tebu harus
dipromosikan di daerah tropis dan subtropis, sementara jagung harus ditanam di daerah beriklim
sedang, dan sorgum manis harus tumbuh di daerah beriklim sedang dan subtropis.