Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kejang demam adalah jenis kejang yang paling umum ditemukan pada
anak-anak. Angka kejadian kejang demam di Swedia, Amerika Utara dan Inggris
sebesar 2-5%, terutama pada anak-anak berusia 3 bulan-5 tahun. Di Indonesia,
kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun. Penelitian
di Jepang mendapatkan angka yang lebih tinggi yaitu 7% (Tsuboi, 1986) dan 9,7%
(Maeda, 1993). Lumbantobing (1995) mengemukakan bahwa kejang demam lebih
sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan
1,25:1.
Kejang demam dipicu oleh proses infeksi ekstrakranium. Infeksi ini
menyebabkan naiknya suhu tubuh yang berlebihan (hiperpireksia) sehingga timbul
kejang. Penelitian Nelson dan Ellenberg (1978) serta Lewis (1979) menunjukkan
pencetus kejang demam terbanyak adalah infeksi saluran napas atas (38%), diikuti
dengan otitis media (23%), pneumonia (15%),gastroenteritis (7%), roseola
infantum (5%), dan penyakit non-infeksi (12%). Imunisasi juga dapat menjadi
penyebab kejang demam namun insidennya sangat kecil.
Kejang demam dikelompokkan menjadi kejang demam sederhana dan
kompleks berdasarkan manifestasi klinisnya yaitu lama kejang, frekuensi kejang,
dan sifat kejang. Kejang demam sederhana adalah kejang general (tanpa gerakan
fokal) yang berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi sekali selama
periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neurologis normal. Sebagian
besar kejang demam adalah kejang demam sederhana, namun kejang demam
dengan onset fokal, durasi berkepanjangan, atau yang terjadi lebih dari sekali pada
penyakit demam yang sama dianggap sebagai kejang demam kompleks. Klasifikasi
ini berpengaruh pada pengobatan dan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya
epilepsi di kemudian hari. Untuk membantu menegakkan diagnosis, berbagai
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Melalui pemeriksaan laboratorium dapat

1
dievaluasi sumber infeksi penyebab kejang demam. Pemeriksaan cairan
serebrospinal melalui lumbal pungsi dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis banding meningitis. EEG (elektroensefalografi) dan CT
scan juga dapat dikerjakan untuk mengetahui apakah ada kerusakan pada otak.
Penatalaksanaan kejang demam meliputi pemberian obat-obat
antikonvulsan untuk memberantas kejang dan antipiretik untuk menurunkan
demam. Untuk mencegah berulangnya kejang, dapat dilakukan pengobatan
profilaksis secara intermittent dan rumatan. Meskipun kejang demam memiliki
prognosis jangka panjang yang sangat baik, masih ada kemungkinan terjadi kejang
demam berulang dan epilepsi di kemudian hari, terutama pada anak yang memiliki
faktor risiko. Oleh karena itu para dokter harus merencanakan penatalaksanaan
dengan lebih matang.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Kejang Demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% anak yang
berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya (Millichap, 1968).

Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam


merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan, yang
berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat,
tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang simptomatik
lainnya.

2.1.1. Definisi Kejang Demam Kompleks

Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan onset fokal,


berlangsung lama (>10-15 menit), atau terjadi lebih dari satu kali dalam 24 jam
demam.

2.2.Epidemiologi
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya merupakan
kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi, angka kejadian
kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan di Jepang 9–10%.
Dua puluh satu persen kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi
antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam.2 Sekitar 30%
pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian meningkat menjadi
50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang
demam pertama kali adalah kompleks, 25% kejang demam kompleks menjadi

3
PGE2 yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga
terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di
hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan
eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABAergic, peningkatan
eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan kejang.

2.3. Etiologi

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak,


truma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan
gejala putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan,
sabagian kejang merupakan idiopatik.

1. Intrakranial

 Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik


 Trauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra
ventricular
 Infeksi : Bakteri virus dan parasit
 Kelainan bawaan : Disgenesis, korteks serebri

2. Ekstrakranial
 Gangguan metabolic : Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesimia, gangguan elektrolit (Na dan K)
 Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom
putus obat
 Kelainan yang diturunkan : Gangguan metabolisme asam amino,
ketergantungan dan kekurangan asam amino

4
3. Idiopatik

Kejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5

(Lumbang Tebing, 1997)

2.4. Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam yang penting adalah demam. Selain itu
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan
khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama kira kira 33%
anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 %
anak mengalami recurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan
usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang
rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Jika kejang terjadi segera setelah demam atau jika suhu tubuh relatif rendah, maka
besar kemungkinannya akan terjadi kembali kejang demam. Risiko berulangnya
kejang demam adalah 10% tanpa faktor risiko, 25% dengan 1 faktor risiko, 50%
dengan 2 faktor risiko, dan dapat mencapai 100% dengan 3 faktor risiko.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang


antara lain:

 Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama


 Riwayat kejang demam dalam keluarga
 Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah
relatif normal
 Riwayat demam yang sering
 Kejang pertama adalah complex febrile seizure

5
2.5. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan


suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantara fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskular. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi yang dipecah menjadi CO2 dan air.

Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu
lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya. Kecuali ion klorida (CL-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan
diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATPase yang terdapat
pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh adanya:

1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselule.


2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium
maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadi lepasnya muatan

6
listrikc. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang
berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala
sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
terjadi apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
skeletal yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan
oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matamg” di kemudian hari,
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi
epilepsi.

2.6. Pengaruh Pada Tubuh Saat Kejang Terjadi

Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak. Sekitar 2,2% hingga 5% anak pernah mengalami
kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Sampai saat ini masih

7
terdapat perbedaan pendapat mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini
namun pendapat yang dominan saat ini kejang pada kejang demam tidak
menyebabkan akibat buruk atau kerusakan pada otak namun kita tetap berupaya
untuk menghentikan kejang secepat mungkin
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi
difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, sehingga terjadi
lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh
sel/membran sel di dekatnya dengan bantuan neurotransmiter, sehingga terjadi
kejang. Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat,
misalnya tonsilitis (peradangan pada amandel), infeksi pada telinga, dan infeksi
saluran pernafasan lainnya.
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak
akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang
berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat
menimbulkan kerusakan permanen dari otak.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang
kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya
tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkhontinensia (mengeluarkan air
kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas),
dan kulitnya kebiruan.

2.7. Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan


dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di

8
luar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis,
furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama
sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan
saraf. Pada Kejang demam kompleks terjadi kejang dengan onset fokal (parsial
satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial), berlangsung lama (> 15 menit
atau anak tidak sadar diantara 2 kejang), dan berulang ( lebih dari 1 kali dalam
waktu 24 jam dan anak sadar diantara 2 kejang).

2.8. Pemeriksaan Penunjang

1. Elektroensefalogram ( EEG )

Dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.

2. Pemindaian CT

Menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk mendeteksi
perbedaan kerapatan jaringan.

3. Magnetic resonance imaging ( MRI )

Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapanganmagnetik dan


gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang
itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT

4. Pemindaian positron emission tomography ( PET )

Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi


lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak

9
5. Uji laboratorium

a. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringksli sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan


2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi >18 bulan tidak dianjurkan

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal

b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit

c. Panel elektrolit

d. Skrining toksik dari serum dan urin

e. GDA

f. Kadar kalsium darah

g. Kadar natrium darah

h. Kadar magnesium darah

2.9. Penatalaksanaan

2.9.1. Penatalaksanaan Medikamentosa

1) Antipiretik

Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama


pengobatan adalah mencegah demam meningkat. Pemberian obat penurun
panas parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5

10
kali atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, sebanyak 3-4 kali. Penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan Reye Syndrome.

2) Antikonvulsan

- Antikonvulsan Intermitten

Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena atau per rektal. Kadar diazepam tertinggi dalam
darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diberikan secara intravena,
dan tercapai dalam waktu 5 menit bila diberikan secara per rektal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk
memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis
5 mg pada anak dengan berat badan <10 kg, 10 mg untuk berat badan anak
>10 kg.

- Antikonvulsan Rumatan

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis


terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang di kemudian hari. Pengobatan jangka panjang kejang
demam diberikan bila ada lebih dari satu keadaan berikut:

1. kejang demam lebih dari 15 menit,

2. adanya defisit neurologis yang jelas baik sebelum maupun sesudah kejang
misalnya serebral palsi, retardasi mental, atau mikrosefal,

3. kejang demam fokal,

4. adanya riwayat epilepsi dalam keluarga

11
Dipertimbangkan apabila kejang demam pertama pada umur dibawah 12
bulan, kejang berulang dalam 24 jam, kejang demam berulang atau ≥4 kali per
tahun.

Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah fenobarbital,


sodium valproat/asam valproat, dan fenitoin. Fenobarbital dengan dosis 3-4
mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Efek samping dari pemakaian fenobarbital
jangka panjang yaitu perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus
tidur dan kadang-kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.

Sodium valproate / asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari


dibagi dalam 2-3 dosis. Namun, obat ini harganya jauh lebih mahal
dibandingkan dengan fenobarbital dan gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan
hepar, pankreatitis.

Fenitoin diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan


gangguan sifat berupa hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak
atau kurang memuaskan. Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka
panjang ini dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi.
Menghentikan pemberian antikonvulsi kelak harus perlahan-lahan dengan jalan
mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan. Pengobatan diberikan selama 1 tahun
bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

12
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan kejang

Demam

2.9.2. Penatalaksanaan Non Medikamentosa

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orangtua. Pada


saat kejang sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Beberapa hal yang dikerjakan saat pasien kejang dirumah:

13
1) tetap tenang dan tidak panik,
2) kendurkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher,
3) bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung,
4) walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam
mulut,
5) ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang,
6) tetap bersama pasien selama kejang,
7) berikan diazepam rektal, tetapi jangan diberikan bila kejang telah berhenti,
8) bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih

2.10. Diagnosa Banding

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus


dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak). Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis,
ensefalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk
menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu
dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana
atau kejang demam kompleks.

2.11. Prognosa

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik.

- Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah


dilaporkan .
- Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal

14
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang
berulang, baik umum maupun fokal.

2.12. Komplikasi

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya


dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lebih lama
(>15 menit) yaitu:
1. Kerusakan otak
2. Retardasi mental
3. Biasanya disertai apnoe, hipoksemia, hiperkapnea, asidosislaktat, hipotensi
artrial, suhu tubuh makin meningkat.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan onset fokal, berlangsung
lama (>10-15 menit), atau terjadi lebih dari satu kali dalam 24 jam demam.

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak,


truma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan
gejala putus alcohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan,
sabagian kejang merupakan idiopatik ( tidak diketahui etiologinya ).

Penatalaksanaan pada pasien dengan kejang demam yaitu dengan pemberian


antikonvulsan intermitten, antikonvulsan rumatan, antipiretik serta edukasi kepada
keluarga pasien.

16
DAFTAR PUSTAKA

Deliana, Melda. 2002. Tatalaksana Kejang Demam Pada Anak. Jakarta: Jurnal Sari Pediatri,
Volume 4, No 2, September 2002:59-62

Fadli Arif, Rifqi. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Jurnal CDK-232/ vol. 42
No. 9, Tahun. 2015

Murindah, Dewi. 2014. Hubungan antara Kadar Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α)
Plasma dengan Kejang Demam pada Anak. Jakarta: Jurnal Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol.
28, No. 2.

Nindela, Rini. 2014. Karakteristik Penderita Kejang Demam di Instalasi Rawat Inap Bagian
Anak Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang. Palembang: Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan, Volume 1, No. 1, Oktober 2014:41-45

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.


Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

17
18

Anda mungkin juga menyukai