Anda di halaman 1dari 40

A.

Pengantar

Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali
dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan
pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah didapat di tengah masyarakat.
Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini
belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan
kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan
tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu
diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang
keimanan.

Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak


akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai
keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan
tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.

Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan
pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak
pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai
keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan
selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern. Mungkin mereka merasa ada
yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari
sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu
spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran
spiritualitas Islam.

Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana
yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun
kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis
yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam
hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai
ajaran akidah yang benar dan lurus.

Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan
muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi.
Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas
kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari
dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang
tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat
pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.

B. Siapakah Tuhan itu?


Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai
untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa


mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan
ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda
(mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di


dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya
untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin,
1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia
tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an
setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan
mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim
harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam
hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan


1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep


yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun
batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam
literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan
adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat
menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens.
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme
adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh
negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan
gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu
dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera,
tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai


adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu
yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut
kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut,
manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis
dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,


karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari
yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu
sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya,
ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain
sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.


Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia
meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu
dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah)
bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme.


Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam
tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan


oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan
orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan
sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada
wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak
datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut
diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang
dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan
bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme
dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993:
26-37).

2. Pemikiran Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu


kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa
Tuhan mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak
ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa
manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di
kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat
Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap
para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun
(Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan
masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai
kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai
pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan
Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu


Bakar, yaitu persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar
(pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan
garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok
mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul,
karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak
diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3),


ketegangan politik menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang
diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi
penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib.
Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai
khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah
berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan
dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan darah,
menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang
berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok
Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat
Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling
bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh
pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan
pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang
tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar,
namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama
disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut
dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi
tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2)
Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya,


mereka tidak segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok
yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut
Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak
Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah
dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali
dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan
ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44
ُ َ‫َنوُرِفاَكْلا ُمُه َكِئ‬
‫لوأَف ُهَّللا َلَزْ َنأ اَمِب ْمُكْحَي ْمَل ْنَمَو‬
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa
yang diturunkan Allah (Al-Quran), maka mereka dalah
orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan


kelompok lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan.
Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari
peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry.
Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan
pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan
pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat
tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka
dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka
itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan
orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan
hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan
perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah
bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan


yang dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta
pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban,
bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan
diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian
tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil.
Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam
perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah
komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata
Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil
bersama beberapa orang yang sependapat dengannya memisahkan
diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang
tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala
Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari
kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok
MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi
Islam).
Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan
dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang
diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti
Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah
terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan


kewajiban-kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia
berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib
memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban
lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal
manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan
ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa


Tuhan mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha
kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat
dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang
yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia
menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki.
Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di
sebagaian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu


setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi
dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun
(hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua
kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu)
dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah
seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai
berikut:

‫حي اًد َادْ َنأ ِهَّللا ِنوُد ْنِم ُذ ِ هخ َتي ْنَم ِس هانلا َنِمَو‬
ُ ِ ‫ِهَّللا ِبُحَك ْمُهَنوُّب‬
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai
tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu
sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah


menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka.
Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan,
baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah
(sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan
kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama
Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat
Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah,
kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap.
Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep
ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah
mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep
ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan
yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam


dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai
berikut;

‫نل ُو َقيَل َرَمَقْلاَو َسْمهشلا َرهخَسَوَض ْ َرْْلاَو ِتاَوَمهسلا َقَل َخ ْنَم ْم ُ َهتْ َلأَس ْنِئَلَو‬
ُ ‫ُهَّللا ه‬
‫ى َنأَف‬
‫َنوُكَف ْ ُؤي ه‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang


menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan matahari
dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum
tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang
baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi
segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu
Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalamsurat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan
lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan
pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta
Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

Kepustakaan

1. Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan


Sari Insan, 1989), h. 16-21, 54-56.

2. Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu


Semesta, 2001), h. 28-39.

3. Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.

4. Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah,


1981), h. 9-11.

5. Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung:


Penerbit Pustaka, 1983), h. 39-101.

6. Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h.


67-77.

7. Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,


1996), h. 55-152.
Tuhan ialah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, di agungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kegembiraan atau
rahmatnya dan juga merupakan sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya bila
melanggar perintahnya.

Ibnu Taimayah memberikan definisi tuhan sebagai sesuatu yang dipuja dengan
penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, takut dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertakwa kepada-Nya
untuk keselematan dirinya di dunia dan akherat, dan juga tempat untuk meminta
perlindungan kepada-Nya.

1. Filsafat ketuhanan dalam Islam

Filsafat adalah study tentang seluruh fenomena kehidupan dan


pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.
Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat
untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam
sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafat, mutlak diperlukan logika
berpikir dan logika bahasa.

Sedangkan Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan


pendekatan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis. Bagi orang
yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan
menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat
Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang
Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara
absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi
manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.
Dalam filsafat Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan
Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan
Hakim bagi semesta alam.

Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan


Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha
Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husna artinya:
"nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan
yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha
Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling
terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman)
dan "Maha Penyayang" (ar-rahim)

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga
Tuhan yang personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat
nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika
mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang
lurus, “jalan yang di ridhoi-Nya.”

Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama
yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan
Yahudi
Filsafat ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan
yang berdasar al-Qur’an dan hadits secara harafiah dengan sedikit
spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya,
dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran
mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.
Filsafat ketuhanan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits

Menurut para mufasir(ahli agama), melalui hadis al-Qur’an (Al-’Alaq [96]:1-5),


Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia
berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an
adalah wahyu Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan
“penuturan Allah tentang diri-Nya”

Selain itu menurut Al-Qur’an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri
manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A’raf [7]:172).

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak


Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Al-A’raf [7]:172).

Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji
keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi
saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah
bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam
kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini dalam
surah Az-Zumar [39]:8

artinya : Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan)
kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan
memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang
pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu,
dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan
kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni
neraka" surah Az-Zumar [39]:8.

dan surah Luqman [31]:32.

Artinya : Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka
menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala
Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka
tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari
ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (surah
Luqman [31]:32).

Filsafat Tuhan berdasar spekulasi

spekulasi adalah membuat suatu keputusan dengan pengetahuan dan pengalaman


yang kita miliki dan keyakinan untuk mendapatkan yang diinginkan, dengan
pemikiran yang matang walaupun kadang hasil yang diterima tidak sesuai harapan.

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan
tersebut belum sampai mengubah Al-Qur’an. Pendekatan yang bersifat spekulatif
untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari berfikir rasional hingga
agnostisisme (ada teorinya) dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan
dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.

2. Keimanan dan Ketaqwaan serta Implementasi Iman dan Taqwa dalam


kehidupan Modern

a. Keimanan
Iman secara etimologi : “at-Tashdiq”1[1] (pembenaran). Akar katanya :
“amina – yu’manu – amanan” (percaya). Iman secara terminologi : Keyakinan bulat
yang dibenarkan oleh hati, dikrarkan oleh lidah dan dimanifestasikan dalam amalan
dengan penuh keyakinan tanpa ada keraguan mengenai doktrin yang datang dari Allah
dan Rasulullah SAW, sedangkan iman dalam arti umum imam adalah percaya dan
meyakini bahwa Allah SWT adalah tuhan semesta alam.

Pertama-tama kita beriman kepada Allah Iman itu melahirkan tata nilai
berdasrkan ketuhanan Yang Maha Esa ( rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai
oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.

Keimanan yang dimiliki oleh tiap-tiap individu manusia di alam dunia ini
berbeda-beda. Bahkan dalam suatu Hadits disebutkan bahwa keimanan seseorang itu
bisa meningkat dan berkurang. apabila seseorang muslim berkurang keimanannya
atau berkurang kegiatan ibadah yang dilakukan maka ia jatuh kafir
(na’udzubillahimindzaalik) dan untuk menjaga keimanan tersebut maka ia dianjurkan
untuk tetap menjaga keimanannya.

Wujud Iman Menurut Hasan Al Banna, ruang lingkup keimanan :


1. Illahiah [sesuatu yang berkenaan dengan “Ilah” yaitu : Wujud Allah, nama-nama
dan sifat Allah, perbuatan Allah]
2. Nubuwwah [sesuatu yang berkenaan dengan Nabi atau Rasul, termasuk kitab
suci dan mukjizat mereka]
3. Ruhaniyah [sesuatu yang berkaiatn dengan metafisik ; malaikat, jin, iblis, setamn
dan ruh]

Makna Iman
Iman yang dimaknai dengan arti “percaya”, tidaklah salah. Pemberian arti
“percaya” kepada iman itu tidaklah salah, tetapi tidak mencakup keseluruha
maknanya. Karena itu, iman yang membawa rasa aman dan membuat orang
mempunyai “amanat” lebih baik dari pada hanya sekedar “percaya” akan adanya
Allah.

b. Taqwa
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah, yang berarti takut, menjaga,
memelihara dan melindungi. Sesuai dengan makna etimologis tersebut, maka taqwa
dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan
ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten ( istiqomah ), sedangkan pengertian
takwa dalam arti umum adalah mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Karakteristik orang – orang yang bertaqwa, secara umum dapat dikelompokkan
kedalam lima kategori atau indicator ketaqwaan.

1. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab – kitab dan para nabi. Dengan kata lain,
instrument ketaqwaan yang pertama ini dapat dikatakan dengan memelihara fitrah
iman.
2. Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak yatim, orang – orang
miskin, orang – orang yang terputus di perjalanan, orang – orang yang meminta –
minta dana, orang – orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi
kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua ini, dapat
disingkat dengan mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan melalui
kesanggupan mengorbankan harta.
3. Mendirikan solat dan menunaikan zakat, atau dengan kata lain, memelihara ibadah
formal.
4. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan diri.
5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang, atau dengan kata lain
memiliki semangat perjuangan.

Dalam kehidupan modern ini, iman dan taqwa sangat diperlukan untuk
menguatkan landasan hidup bagi manusia. Misalnya, dalam hal pendidikan, pekerjaan,
keluarga, masyarakat, pergaulan, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya saat ini
banyak orang yang mengaku beriman tetapi mereka jarang sekali menerapkan iman
dan ketaqwaan mereka dalam kehidupan. Sedangkan mereka sendiri mengaku sebagai
umat Islam yang beriman dan bertaqwa terhadap Allah SWT.

Kehidupan modern telah membuat sebagian masyarakat lupa akan hakikat


manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang wajib beriman dan bertaqwa
kepada-Nya. Mereka sibuk mencari kepuasan dan kenikmatan duniawi. Mereka lebih
mementingkan kebutuhan materi dibandingkan dengan kebutuhan rohani. Semua rela
mereka korbankan hanya untuk memenuhi hawa nafsu mereka.

c. Implementasi Iman dan Taqwa dalam kehidupan Modern

Implementasi Iman itu mencakup tiga hal :

1. Ikrar dengan hati artinya menyakini bahwa tuhan itu memang ada.
2. Pengucapan dengan lisan, mengucapkan 2 kalimat syahadat
3. Pengamalan dengan anggota badan misalnya menjalan sholat, zakat.

Implementasi Takwa itu mudah diucapkan/ ditulis tapi sangat SULIT


dilaksanakan. tapi itulah tantangan yang diberikan kepada kita untuk hidup didunia..

Cara Menjalankannya
> Pahami secara mendalam dan laksanakan kewajiban 5 Rukun Iman & 6 Rukun
Islam.
> dan segeralah bertobat apabila salah & khilaf.

Manfaat Implementasi iman dan Takwa


Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini
dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.

a. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda


b. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
c. Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan.
d. Iman memberikan ketentraman jiwa
e. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah)
f. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konseku
g. Iman memberikan keberuntungan
h. Iman mencegah penyakit.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Makalah ini merupakan pemenuhan tugas Pendidikan Agama Islam yang

memang harus terpenuhi sebagai nilai tambahan yang sudah ditentukan oleh

pengajar disamping itu juga makalah ini sangat bermanfaat bagi pembaca karena

pada makalah ini sedikit/banyaknya terdapat ilmu yang dapat diambil sebagai

pengetahuan atau wawasan.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang diberikan kesempurnaan

dibandingkan makhluk lain, maka dari itu ada beberapa manusia yang memang

menggunakan akalnya untuk mengkaji hal-hal yang belum ada sebagai rasa

keingintauan seperti halnya pada makalah ini juga akan mengkaji yaitu

diantaranya tentang filsafat Ketuhanan dalam Islam, keimanan dan ketakwaan,

yang berisi dari berbagai sumber, agar makalah ini ada nilai banding dengan

makalah lain.

1.2. Rumusan Masalah

Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai

berikut:

1. Siapa Tuhan itu?

2. Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.

3. Konsep Ketuhanan Islam.

4. Bukti-bukti adanya Tuhan.


5. Definisi Iman dan Takwa

6. Proses terbentuknya Iman dan Takwa

7. Tanda-tanda orang beriman dan bertakwa

8. Serta Korelasi antara keimanan dan ketakwaan.

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah nilai dan memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama

Islam.

2. Mengetahui bagaimana kosep Ketuhanan dalam Islam.

3. Mengetahui filsafat Ketuhanan dalam Islam

4. Mengkaji siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan dalam Islam, serta

sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.

5. Mengetahui penjelasan iman dan takwa, proses terbentuknya iman dan

takwa, tanda-tanda orang yang beriman dan bertakwa, dan korelasi antara

keimanan dan ketakwaan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Filsafat Ketuhanan Islam

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata

Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta

terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani


mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap

hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan

menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa

filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan

akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.2[1]

Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah

mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM),

yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut.

Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi

kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan.

Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan

pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.

Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini

harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah Swt, kecintaan,

pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang

harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim yang tidak terpisah

dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.

Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi muslim dan sebagian orang

yang menyebut kecerdasan spiritual yang ditindak lanjuti dengan kecerdasan

sosial. Inti ketaatan tidak dinilai menurut Allah Swt, bila tidak ada nilai pada

aspek sosial.

2[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta,
1990, Hlm. 45.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual

(QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada

ranah emosi tetapi didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal

tersebut insya Allah menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum:

30).

Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan

Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat

Muslim.

2.1.1. Siapa Tuhan Itu?

Lafal Ilahi yang artinya Tuhan,3[2] menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan

dan dipentingkan manusia, misalnya dalam surat Al-Furqon: 43 yang artinya:

“Apakah engkau melihat orang yang menghilangkan keinginan-keinginan

pribadinya?”

Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berijisim, azali, dan

pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak

mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya, Ia ada tanpa

diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain sementara yang lain

membutuhkan-Nya.4[3]

Orang menyediakan hawa nafsunya, yang dipuji dalam hidupnya, berarti telah

berbuat syirik yang sebenarnya menurut Islam hawa nafsu harus tunduk kepada

3[2] Agung, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,


http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/ konsep-ketuhanan-dalam-islam/,
01 Oktober 2013, Pukul 20.03 WIB.
4[3] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam, PT. Raja Grofinda Bersada,
Jakarta, Hlm. 129-130.
kehendak Allah Swt. Dalam surah Al-Qoshos: 38, lafal Ilah dipakai oleh Fir’aun

untuk dirinya sendiri, yang artinya:

“Dan Fir’aun berkata, wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian

mempunyai Ilah selain diriku”

Bagi manusia, Tuhan itu bisa dalam bentuk konkret maupun abstrak/gaib.

Al-Qur’an menegaskan Ilah bisa dalam bentuk mufrad maupun jama’ (ilah,

ilahian, ilahuna). Ilah ialah sesuatu yang dipentingkan, dipuja, diminintai,

diagungkan diharapkan memberikan kemaslahatan dan termasuk yang ditakuti

karena mendatangkan bahaya.

Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 163 menegaskan, “Dan Tuhanmu, Tuhan

Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pengasih dan Maha

Penyayang.” Ilah yang dituju ayat di atas adalah Allah Swt, yang menurut Ulama’

Ilmu Kalam Ilah di sini bermakna al-Ma’bud, artinya satu-satunya yang

diibadati/disembah. Sedang Al-Matbu’, yang dicintai, yang disenangi, diikuti.

Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, bahwa Allah Swt. satu-satunya Tuhan yang

diibadahi, dicintai, disenangi, dan diikuti.

Allah Swt memfirmankan dalam Al-Qur’an surat Thoha : 14, yang artinya:

“Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku (Allah), maka

beribadahlah hanya kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah sholat untuk

mengingatku”.

Kalimat Tauhid keesaan secara konprehensif mempunyai pengertian sebagai

berikut:

 La Kholiqo illa Allah: Tiada Pencipta selain Allah


 La Roziqo illa Allah: Tiada Pemberi rizqi selain Allah

 La Hafidha illa Allah: Tiada Pemelihara selain Allah

 La Malika illa Allah: Tiada Penguasa selain Allah

 La Waliya illa Allah: Tiada Pemimpin selain Allah

 La Hakima illa Allah: Tiada Hakim selain Allah

 La Ghoyata illa Allah: Tiada Yang Maha menjadi tujuan selain Allah

 La Ma’buda illa Allah: Tiada Yang Maha disembah selain Allah

Lafal Al-ilah pada kalimat tauhid 5 [4] menurut Ibnu Taimiyah memiliki

pengertian yang dipuja dengan cinta sepenuh hati, tunduk kepada-Nya

merendahkan diri di hadapan-Nya, takut dan mengharapkan kepadaNya, berserah

hanya kepada-Nya ketika dalam kesulitan dan kesusahan, meminta perlindungan

kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan jiwa dikala mengingat dan terpaut

cinta denganNya. Ini yang disebut Tauhid Rububiyah.

Lawan tauhid adalah syirik, artinya menyekutukan Allah Swt dengan yang lain,

mengakui adanya Tuhan selain Allah, menjadikan tujuan hidupnya selain kepada

Allah. Dalam ilmu tauhid, syirik digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan

selain dengan Allah Swt, baik persekutuan itu mengenai dzatNya, sifatNya atau

af’alNya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya hanya ditujukan

kepada-Nya saja.

Syirik merupakan dosa yang paling besar yang tidak dapat diampuni, syirik itu

bertentangan dengan perintah Allah Swt, juga berakibat merusak akal manusia,

5[4] Abdurrahim, dkk, Kuliah Tauhid, Yayasan Sari Intan, Jakarta, 1989, Hlm. 103.
menurunkan derajat dan martabat manusia, serta membuatnya tak pantas

menempati kedudukan tinggi yang telah ditentukan Allah Swt. dalam kaitannya

dengan masalah ini, Allah Swt berfirman dalam surah Luqman : 13 yang artinya

“Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada Anaknya. Wahai anakku,

janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah

adalah benar-benar kedhaliman yang amat besar”.

Dan didalam ayat lain, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang telah berbuat

syirik kepadaNya, tergolong orang yang telah berbuat dosa besar, sebagaimana

firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, bagi siapa

berkehendak. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah

berbuat dosa besar”. (QS. An-Nisa’: 48).

2.1.2. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

a. Pemikiran Barat

Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah

hasil pemikiran tentang Tuhan baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah

dari penelitian rasional, maupun pengalaman batin.

Max Muller berpendapat bahwa konsep pemikiran barat tentang Tuhan

mengalami evolusi yang diawali dengan Dinamisme, Animisme, Politeisme,

Henoteisme, dan puncak tertingginya monoteisme (Nisbi). Pemikiran tentang

Tuhan sebagaimana di atas, hasil pendekatannya adalah budaya, Arnold Toynbe

mengatakan: “Monoteisme bukan hasil akhir dan proses pemikiran tentang Tuhan,

sebab orang yang sudah maju dalam intelektualitasnya sangat mungkin justru

berputar mundur dalam bertuhan, yakni animistis”.

b. Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu kalam, ilmu tauhid atau

ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan ada aliran diantara

keduanya. Ketiga corak pemikiran ini mewarnai sejarah pemikiran ilmu

ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliran-aliran tersebuut adalah:

1. Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam, yang

sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam.

Dalam menganalisis masalah ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu

logika guna mempertahankan keimanan.

2. Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki

kebebasan berkehendak dan berbuat. 6 [5] Manusia berhak menentukan

dirinya kafir atau mukmin sehingga mereka harus bertanggung jawab pada

dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan manusia.

3. Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan

perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak

ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang dilakukan manusia tidak ada

gunanya.

4. Asy’ariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan

tengah antara Qodariyah dan Jabariyah. Manusia wajib berusaha

semaksimal mungkin. Akan tetapi, Tuhanlah yang menentukan hasilnya.

6[5] Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam,


http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/ makalah-konsep-ketuhanan.html,
01 Oktober 2013, Pukul 20.42 WIB.
2.1.3. Konsep Ketuhanan Menurut Islam

Konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu

yang dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun

konkret).7[6] Eksistensi atau keberadaan Allah disampaikan oleh Rasul melalui

wahyu kepada manusia, tetapi yang diperoleh melalui proses pemikiran atau

perenungan.

Informasi melalui wahyu tentang keimanan kepada Allah dapat dibawa dalam

kutipan di bawah ini:

a. Surat Al-Anbiya’ : 25 yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang

Rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadaNya,

bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah, maka sembahlah olehmu sekalian

akan Aku”.

Sejak diutusnya Nabi Adam AS sampai Muhammad Saw Rasul terakhir.

Ajaran Islam yang tAllah Swt wahyukan kepada para utusanNya adalah

Tauhidullah atau monotheisine murni. Sedangkan lafadz kalimat tauhid itu

adalah laa ilaha illa Allah. Ada perbedaan ajaran tentang Tuhan yang ada

asalnya dari agama wahyu. Hal semacam itu disebabkan manusia mengubah

ajaran tersebut. Dan hal seperti itu termasuk kebohongan yang besar

(dhulmun’adhim).

b. Surat Al-Maidah : 72 “Dan Al masih berkata; Hai Bani Israil, sembahlah

Allah Tuhanku dan Tuhanmu, sesungguhnya orang yang mempersekutukan

7[6] Asri Anggun S, Konsep Ketuhanan dalam Islam,


http://asrianggun2012.blogspot.com /2012/10/
makalah-konsep-ketuhanan.html, 01 Oktober 2013, Pukul 21.24 WIB.
Allah, maka Allah pasti mengharamkan baginya surga dan tempatnya adalah

neraka”.

c. Surat Al-Baqarah : 163 “ Dan Tuhamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak

ada Tuhan kecuali Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang mutlak

keesaannya. Lafadz Allah swt adalah isim jamid, personal nama, atau isim

a’dham yang tidak dapat diterjemahkan, digantikan atau disejajarkan dengan

yang lain. Seseorang yang telah mengaku Islam dan telah mengikrarkan kalimat

Syahadat Laa ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah) berate telah

memiliki keyakinan yang benar, yaitu monoteisme murni/monoteisme mutlak.

Sebagai konsekuensianya, ia harus menempatkan Allah Swt sebagai prioritas

utama dalam setiap aktivitas kehidupan.

2.1.4. Bukti Adanya Tuhan

a. Keberadaan Alam semesta, sebagai bukti adanya Tuhan

Ismail Raj’I Al-Faruqi mengatakan prinsip dasar dalam Teologi Islam, yaitu

Khalik dan makhluk. Khalik adalah pencipta, yakni Allah swt, hanya Dialah

Tuhan yang kekal, abadi, dan transeden. Tidak selamanya mutlak Esa dan tidak

bersekutu. Sedangkan makhluk adalah yang diciptakan, berdimensi ruang dan

waktu, yaitu dunia, benda, tanaman, hewan, manusia, jin, malaikat langit dan

bumi, surga dan neraka.

Adanya alam semesta organisasinya yang menakjubkan bahwa dirinya ada dan

percaya pula bahwa rahasia-rahasianya yang unik, semuanya memberikan

penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya.


Setiap manusia normal akan percaya bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa

alam ini juga ada. Jika kita percaya tentang eksistensinya alam, secara logika kita

harus percaya tentang adanya penciptaan alam semesta. Pernyataan yang

mengatakan “Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya khalik, adalah

suatu pernyataan yang tidak benar”.

Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa

diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penciptanya, dan

pencipta itu tiada lain adalah Tuhan. Dan Tuhan yang kita yakini sebagai

pencipta alam semesta dan seluruh isinya ini adalah Allah Swt.

b. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika

Ada pendapat dikalangan ilmuwan bahwa alam ini azali. Dalam pengertian lain

alam ini mencpitakan dirinya sendiri. Ini jelas tidak mungkin, karena

bertentangan dengan hukum kedua termodinamika. Hukum ini dikenal dengan

hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas yang

membuktikan bahwa adanya alam ini mungkin azali.

Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu berpindah dari keadaan panas

beralih menjadi tidak panas, sedangkan kebalikannya tidak mungkin, yakni

energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas berubah

menjadi panas. Perubahan energi yang ada dengan energi yang tidak ada.

Dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika terus

berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal ini membuktikan secara pasti

bahwa alam bukanlah bersifat azali. Jika alam ini azali sejak dahulu alam sudah

kehilangan energi dan sesuai hukum tersebut tentu tidak akan ada lagi kehidupan

di alam ini.
c. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi

Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit saperti banyaknya butiran

pasir yang ada di pantai seluruh dunia. Benda ala yang dekat dengan bumi adalah

bulan, yang jaraknya dengan bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak

mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edaranya selama 20 hari sekali.

Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar dari

porosnya dengan kecepatan 1000 mil perjam dan menempuh garis edarnya

sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Dan sembilan planet tata surya

termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan yang luar biasa.

Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama dengan

planet-planet dan asteroid-asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan

600.00 mil perjam. Disamping itu masih ada ribuan sistem selain sistem tata

surya kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri.

Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy sistem matahari

kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam

200.000.000 tahun cahaya.

Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti.

Berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya. Bahkan

akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya itu pasti ada kekuatan yang maha

besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu, kekuatan maha besar itu

adalah Tuhan.

d. Argumentasi Qur’ani

Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat Al-Fatihah ayat 2 yang terjemahya

“Seluruh puja dan puji hanalah milik Allah Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang dimaksud adalah Allah Swt.

Allah Swt sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam surat Al-A’la ayat 2-3,

yang terjemahannya “Allah yang menciptakan dan menyempurnakan, yang

menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan memberi petunjuk”. Dari ayat

tersebut jelaslah bahwa Allah Swt yang menciptakan ciptaannya, yaitu alam

semesta, menyempurnakan, menentukan aturan-aturan dan memberi

petunjukterhadap ciptaannya. Jadi, adanya alam semesta dan seisinya tidak terjadi

dengan sendirinya. Akan tetapi, ada yang menciptakan dan mengatur yaitu Allah

Swt.

Didalam surat Al-A’raf ayat 54, termaktub yang “Tuhanmu adalah Allah yang

telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari”. Lafadz Ayyam adalah

jamak dari yaum yang berarti periode. Jadi, sittati ayyam berarti enam periode

dan tentunya membutuhkan proses waktu yang sangat panjang.

Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal berfirman Kun Fayakun yang

artinya jadilah maka jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan Allah berbeda

sampai kepada manusia membutuhkan waktu enam periode. Hal ini agar manusia

dapat meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga muncul atau

lahir berbagai macam ilmu pengetahuan.

2.2. Keimanan dan Ketakwaan

2.2.1. Definisi Iman dan Takwa

Kata iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan yang secara

etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah 165, yang artinya

“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.


Iman kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak

orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan

apa saja untuk mewujudkan harapan dan kemauan yang menuntut Allah

kepadanya.

Dalam hadits dinyatakan bahwa iman adalah hati membenarkan,lisan

mengucapkan dan dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari (tashdiiqun bil qolbi

waiqroru bil lisan wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam termaktub dalam

rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun islam.

Iman itu mengikat orang islam, ia terikat dengan segala aturan hukum yang ada

dalam islam sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya,

orang Islam itu harus Iman, sehingga ia meyakini ajaran Islam dan secara totalitas

mengamalkannya dalam seluruh kehidupannya.

Kata taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang berati takut, menjaga,

memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan memelihara keimanan yang

diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara utuh dan konsisten

(istiqomah).8[7]

Pengertian taqwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits. Yang artinya

menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan_Nya (imtitsalu

bi’awamirillahi wajtinabu annawahihi).

Dalam surat Al-Baqarah :117 Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa,

yang secara umun dikelompokkan menjadi lima indikator ketaqwaan.

8[7] Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 2001, Hlm. 179.
1. Beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Indikator taqwa

yang pertama adalah memelihara fitrah iman.

2. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak yatim, orang-orang

miskin, orang yang dalam perjalanan, orang yang minta-minta dana, orang yang tidak

memiliki kemampuan untuk memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang

kedua adalah mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan

mengorbankan harta.

3. Mendirikan salat dan menunaikan zakat. Indikator taqwa yang ketiga adalah

memelihara ibadah formal.

4. Menepati janji. Indikator taqwa yang keempat adalah memelihara kehormatan atau

kesucian diri.

5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan pada waktu jihad. Indikator kelima adalah

memiliki semangat perjuangan.

Indikator taqwa berdasarkan ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa taqwa itu

adalah sikap hidup dan akhlak seorang muslim, yang merupakan buah dan hasil

didikan ibadah-ibadah formal. Sedangkan ibadah-ibadah itu sendiri adalah

pancaran dari pada iman. Dapatlah dipahami bahwa taqwa itu adalah hasil dari

ibadah kepada Allah, karna tidak mungkin ada taqwa tanpa ada amal ibadah.

2.2.2. Proses Terbentuknya Iman

Sejak awal seluruh Roh manusia telah mengambil kesaksian bahwa

Rabb-nya Allah Swt. Ini berarti setiap manusia telah memiliki benih iman.

Sebagaimana dalam firman Allah dalam Qs.Al-A’raf:172 yang artinya “Dan

(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi


mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

“Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami),

kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu

tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang

lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.

Ditegaskan lebih lanjut dalam Qs.Ar-Rum:30 yang artinya “Maka

hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah

Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan

pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui”.

Bahwa setiap ciptaan Allah dan dalam hal ini manusia fitrahnya adalah

mengesakan Allah. Artinya, fitrahnya berarti beriman kepada Allah dan berarti

pula fitrahnya adalah Islam.

Potensi fitrah atau iman Islam tersebut perlu ditindaklanjuti dan yang paling

berkompeten menumbuhkan potensi iman Islam tersebut adalah kedua orang tua.

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw yang artinya:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanya yang berperan

menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Imam Ghozali menisbahkan, setiap orang mempunyai potensi untuk melihat,

tetapi ia tetap tidak bisa melihat apabila tidak ada cahaya yang masuk kedalam

mata, begitu juga dengan potensi iman yang dimiliki seseorang harus

ditindaklanjuti oleh kedua orang tuanya, dan lingkungan mereka dibesarkan.

Pada kenyataannya bermacam agama atau kepercayaaan yang dipeluk dan

dianut manusia.Dan apabila dalam diri seseorang telah terikat dengan tatanan
iman,harus dikembangkan untuk mencapai iman yang kokoh. Dalam Al-Qur’an

Surat Ali Imron : 190-191 yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit

dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi

orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil

berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang

penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau

menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari

siksa neraka”.

2.2.3. Tanda-Tanda Orang Beriman

Di dalam Al-Qur’an telah banyak menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman.

a. Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang diterjemahkan “[594]

ialah mereka yang bila disebut nama Allah [595] gemetarlah hati mereka,

dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka

(karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”

[594] Maksudnya: orang yang Sempurna imannya.

[595] Dimaksud dengan disebut nama Allah ialah: menyebut sifat-sifat

yang mengagungkan dan memuliakannya

b. Bertambah keimanannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah.Baik ayat

Qur’aniyah(Al-Qur’an) maupun ayat Kauniyah (alam semesta), kemudian

bergejolak hatinya untuk segera mewujudkannya atau melaksanakannya.

c. Senantiasa bertawakal kepada Allah. Artinya secara lahiriyah mereka

bersungguh-sungguh atau berusaha keras dan secata batiniyah dengan

banyak berdo’a memohon dengan penuh harap kepada Allah kemudian

berhasil dan tidak menyombongkan diri dan jika gagal ia bersabar.


Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali

salah satu dari dua kebaikan [646]. dan kami menunggu-nunggu bagi

kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari

sisi-Nya. sebab itu tunggulah, Sesungguhnya kami menunggu-nunggu

bersamamu.”

[646] yaitu mendapat kemenangan atau mati syahid.

d. Mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rejeki. Mereka rajin dalam

menunaikan sunnah serta menafkahkan sebagian rezekinya untuk

kepentingan kemaslahatan umat dijalan yang diridhai Allah. Qs. Al-Anfal :

3 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang

menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”.

e. Memelihara amanah dan menepati janji, seorang mukmin

tidak akan mudah berkhianat atas amanah yang telah

dipikulnya. Akan tetapi, akan senantiasa memegang

amanah dan menepati janjinya. Qs. Al-mu’minun : 6 yang

artinya “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak

yang mereka memiliki [994]; Maka sesungguhnya mereka

dalam hal inii tiada tercela.”


[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam

peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang

didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan

orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan

Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut

dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang

diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya:

budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut

tertawan bersama-samanya.

f. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan

memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan

serta rezki (nikmat) yang mulia.

Akidah Islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan akan

mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu Ala Al Maududi menyebutkan

bahwa tanda-tanda orang yang beriman adalah sebagai berikut:

a) Menjauhkan dari pandangan yang sempit dan picik.

b) Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri.

c) Mempunyai sifat rendah hati.

d) Senantiasa jujur, adil dan amanah.


e) Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi

dalam hidup.

f) Mempunyai pendirian teguh, sabar, tabah, dan optimis.

g) Mempunyai sifat satria, semangat, berani tidak gentar menghadapi resiko bahkan

tidak takut terhadap maut.

h) Mempunyai sifat hidup damai dan ridha.

i) Patuh, taat, disiplin menjalankan peraturan agama.

Manfaat iman dalam kehidupan seseorang muslim:

a) Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda.

b) Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut.

c) Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan.

d) Iman memberikan ketentraman jiwa.

e) Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah)

f) Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.

g) Iman memberikan keberuntungan dalam kehidupan.

Demikianlah manfaat iman dalam kehidupan manusia, bukan hanya sekedar

kepercayaan yang berada dalam hati manusia, tetapi dapat menjadi kekuatan yang

mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup Islami. Apabila suatu

masyarakat terdiri dan orang-orang yang beriman, akan terbentuk masyarakat yang

aman, tentram, damai, dan sejahtera.

2.2.4. Tanda-tanda Orang Bertakwa


Adapun tanda-tanda orang bertakwa, antara lain:

a. Tidak suka bergaul kecuali bergaul dengan orang-orang yang

sholeh/sholehah, yang menjaga lisannya. Bergaul dengan orang-orang

sholeh karena kita akan mendapatkan banyak dakwah, masukan, kritik

yang membangun dan ketenangan bila mendapatkannya dari orang-orang

yang hanya mengucap kebenaran.

b. Jika mendapat musibah duniawi, ia menganggapnya sebagai ujian dari

Allah SWT. Salah satu yang mengangkat diri kita di mata Allah adalah

lulusnya kita dari ujian yang diberikanNya. Ujian bukan hanya yang

bersifat bala musibah, namun kenikmatan dalam hidup ini adalah ujian

yang lebih besar. Bila diberikan musibah orang lebih mudah ingat kepada

Allah namun saat diberi ujian kenikmatan, saat itulah Allah benar-benar

sedang menguji kita.

c. Jika mendapat musibah dalam urusan agama ia akan sangat

menyesalinya. Teringat cerita Syaidina Umar bin Khattab yang

ketinggalan satu rakaat shalat Ashar di Masjid hanya karena beliau

sedang asyik berada dalam kebun kurmanya. Mengetahui dirinya telah

tertinggal satu rakaat dalam berjamaah, Syaidina Umar pun begitu

menyesali perbuatannya sehingga kebun kurma yang dianggap sebagai

penyebab musibah itu akhirnya dijual.

d. Tidak suka memenuhi perutnya dengan makanan haram & tidak sampai

kenyang. Ini merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah yang berbunyi

‘Makanlah sebelum engkau lapar dan berhentilah makan sebelum

kenyang’. Sungguh suatu perintah yang seakan-akan mudah dilaksanakan


namun saat mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari betapa

sulitnya melakukan hal itu. Dari sinilah bentuk ketakwaan seorang

mukmin dibentuk.

e. Apabila memandang orang lain, orang itu lebih sholeh dari dirinya. Tapi

bila memandang diri sendiri, dirinya adalah orang yang penuh dosa.9[8]

f. Beriman kepada Allah dan yang ghaib.

g. Sholat, zakat, puasa.

h. Infak disaat lapang dan sempit.

i. Menahan amarah dan memaafkaan orang lain.

j. Takut pada Allah

k. Menepati janji.

2.2.5. Korelasi antara Keimanan dan Ketakwaan

Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan pada hakikatnya

keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan diperlukan manusia agar dapat

meraih ketakwaan. Karena setiap perbuatan atau amalan yang baik, akan diterima

oleh Allah tanpa didasari oleh Iman.

Semua bentuk ketakwaan seperti salat, puasa, zakat, dan haji merupakan

bagian dan kesempurnaan iman seseorang. Amal saleh tersebut merupakan

konsekuensi dari keimanan seseorang harus menterjemahkan keyakinannya

menjadi kongkret dan menjadi satu sikap budaya untuk mengembangkan amal

saleh.

9[8] Abatasa, Lima Tanda Orang Bertaqwa Menurut Syaidina Usman Bin Affan,
http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/1/1205/5-tanda-orang-bertaqwa-menur
ut-syaidinna-usman-bin-affan, 01 Oktober 2013, Pukul 19.42 WIB.
Dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat yang menggandengkan antara “orang

yang beriman” dengan “orang yang beramal saleh”. Iman dan amal saleh atau

iman dan takwa sangat dekat. Seolah hampa dan kosong iman seseorang kalau

tanpa amal saleh yang menyertainya. Yang secara kongkrit membuktikan bahwa

ada iman dalam hatinya. Iman adalah pondasi dasar seseorang hamba yang

menghendaki bangunan kesempurnaan taqwa dirinya.

Keterkaitan antara iman dan taqwa ini, juga disampaikan oleh Rasulullah

dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun walibasuhu at-taqwa” (iman itu telanjang

dan pakaiannya adalah taqwa). Maksud hadits ini adalah iman harus diikuti dengan

melakukan amal saleh (taqwa). Iman tanpa disertai amal saleh maka imannya

masih telanjang tanpa pakaian.

Oleh karenanya, seseorang baru dinyatakan beriman dan taqwa apabila telah

punya keyakinan yang mantap dalam hati, kemudian mengucapkan kalimat tauhid

dan kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah dan meninggalkan

segala larangan-Nya.

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Setelah menyelesaikan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep

Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang

dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun

konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang


fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Kata iman berasal dari

bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan, yang secara ethimologi berarti yakin

atau percaya. Sedangkan takwa berasal dari bahasa Arab, yaitu

waqa-yuwaqi-wiqayah, secara ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri,

memelihara, dan melindungi. Pengertian Takwa secara terminologi dijelaskan

dalam Al-hadits, yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi

segala larangan-Nya.

3.2. Saran

Sebagai seorang pemula, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

membangun. Karena saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi kami untuk

memperbaiki atau memperdalam kajian ini.

Anda mungkin juga menyukai