Anda di halaman 1dari 10

SENSITISASI SUSU SAPI PADA ANAK BERUSIA MUDA DENGAN

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL


Mozhgan Moghtaderi1, *Shirin Farjadian2, Mohammad Hadi Imanieh3, Saeed Hosseini
Teshnizi4

1
Pusat Penelitian Alergi, Universitas Ilmu Kedokteran Shiraz, Shiraz, Iran.
2
Departemen Imunologi, Universitas Ilmu Kedokteran Shiraz, Shiraz, Iran.
3
Departemen Gastroenterologi Pediatrik, Universitas Ilmu Kedokteran Shiraz, Shiraz, Iran.
4
Sekolah Paramedis, Universitas Ilmu Kedokteran Hormozgan, Bandar Abbas, Iran.

Abstrak
Latar Belakang
Beberapa laporan terbaru telah menunjukkan bahwa penyakit refluks gastroesofageal
memiliki hubungan dengan sensitisasi susu sapi pada anak-anak. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui frekuensi sensitisasi susu sapi pada anak- anak dengan
penyakit refluks gastroesofageal.
Bahan dan Metode
Penelitian cross-sectional ini melibatkan 33 orang anak (usia rata-rata: 2,93 ± 1,90
tahun) dengan penyakit refluks gastroesofageal yang didiagnosis berdasarkan kuesioner
refluks gastroesofagus yang valid, dan 33 orang anak sehat (usia rata-rata: 3,39 ± 1,90
tahun). Alergi susu sapi didiagnosis melalui tes kulit, kadar imunoglobulin E spesifik
serum, dan tes tempel (patch) terhadap susu pada kelompok pasien dan kelompok
kontrol.
Hasil
Dua puluh empat orang anak dengan penyakit refluks gastroesofageal setidaknya positif
untuk satu dari beberapa tes diagnostik sehubungan dengan sensitisasi susu sapi
dibandingkan dengan 13 orang anak pada kelompok kontrol (rasio odds = 1,78; interval
kepercayaan 95%: 1,14 sampai 2,80). Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hasil
tes tempel (rasio odds = 2,06; interval kepercayaan 95%: 1,46 sampai 2,91); Tidak
seperti hasil tes tusukan kulit dan kadar imunoglobulin E spesifik terhadap susu yang
tidak menunjukkan adanya perbedaan antara anak-anak dengan penyakit refluks
gastroesofageal dan anak- anak sehat pada kelompok kontrol.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian kami, sensitisasi susu sapi 1,7 kali lebih tinggi pada anak-
anak dengan penyakit refluks gastroesofageal daripada anak-anak non-refluks
gastroesofageal. Pengujian tempel sebaiknya lebih baik dilakukan untuk diagnosis
sensitisasi susu sapi pada anak-anak dengan penyakit refluks gastroesofageal.
Kata Kunci: Anak-anak, Penyakit refluks gastroesofageal, tes tempel (patch), alergi
susu, tes kulit.

1. PENDAHULUAN

Penyakit refluks gastroesofageal biasanya disebabkan oleh kegagalan sfingter


esofagus bagian bawah dan pengembalian isi lambung ke esofagus yang dapat terjadi
pada anak-anak dari semua umur (1,2). Refluks gastroesofageal diklasifikasikan
menjadi refluks fisiologis dan refluks patologis atau yang dikenal sebagai penyakit
refluks gastroesofageal. Penyakit refluks gastroesofageal dikaitkan dengan gejala
seperti: gagal tumbuh, masalah makan atau masalah tidur, gangguan pernafasan kronis,
esofagitis, dan apnea (3-5). Pengambilan riwayat dilakukan dengan menggunakan
kuesioner standar (6) dan pemeriksaan fisik biasanya telah cukup untuk menegakkan
diagnosis pada sebagian besar refluks gastroesofageal dengan ciri yang khas (7). Tes
tambahan seperti pemeriksaan radiografi kontras, pemantauan pH esofagus, endoskopi,
dan impedansi intralumina juga dapat membantu penegakakn diagnosis refluks
gastroesofageal (8); Terapi anti-refluks empiris dengan menggunakan pemberian
inhibitor pompa proton percobaan dosis tinggi dengan waktu yang telah ditentukan
adalah strategi efektif sehubungan dengan biaya pengobatan untuk menegakkan
diagnosis refluks gastroesofageal (9). Alergi susu sapi adalah alergi makanan yang
paling umum di kalangan anak kecil, karena susu sapi merupakan protein asing pertama
yang diperkenalkan pada makanan bayi (10).
Anak-anak dengan alergi susu sapi dapat menunjukkan gejala dermatologis,
gejala gastrointestinal, dan gejala pernafasan (11). Mekanisme yang dimediasi oleh
immunoglobulin E dan / atau non-imunoglobulin E dapat terlibat dalam reaksi
hipersensitif terhadap susu. Pemeriksaan plasebo terkontrol dengan metode pembutaan
ganda pada makanan biasanya dianggap sebagai tes diagnostik standar baku emas untuk
alergi susu sapi, namun tindakan ini memakan waktu yang cukup lama, sumber daya
secara intensif, dan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis (12,13). Sehingga tes
diagnostik alternatif seperti tes tusuk kulit, immunoglobulin E serum spesifik, dan tes
tempel (patch) terhadap susu juga merupakan pemeriksaan yang disarankan (14,15).
Baik sensitisasi refluks gastroesofageal dan susu sapi merupakan gangguan
gastrointestinal yang sering terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara sensitisasi
refluks gastroesofageal dan susu sapi, karena keduanya memiliki gambaran klinis yang
serupa dan gejalanya seringkali dapat sembuh dengan sendirinya (16). Penelitian ini
dirancang untuk mengidentifikasi frekuensi sensitisasi susu dengan menggunakan tes
tusuk kulit, immunoglobulin E serum spesifik, dan tes tempel (patch) pada anak kecil
dengan penyakit refluks gastroesofageal.

2 - MATERI DAN METODE


2-1. Desain Penelitian dan Populasi
Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada 33 orang anak dengan penyakit
refluks gastroesofageal yang berusia sampai 6 tahun yang dirujuk ke Klinik Alergi
Namazee yang berafiliasi dengan Universitas Ilmu Kedokteran Shiraz, Iran Barat Daya
pada tahun 2016. Refluks gastroesofageal didiagnosis dengan menggunakan Kuesioner
Refluks Gastroesofagus I-GERQ (7) yang dilengkapi dengan bantuan para orang tua.
Tiga puluh tiga orang anak sehat yang tidak terkait yang tidak memiliki riwayat gejala
refluks gastroesofageal yang telah menjalani penyesuaian usia dan jenis kelamin secara
acak kemudian dipilih sebagai kelompok kontrol di antara anak-anak yang dirujuk ke
klinik ortopedi tersebut.

2-2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Pasien- pasien dengan atresia esofagus, malformasi anatomis, anak-anak yang
diobati dengan antihistamin dan obat-obatan yang berpengaruh pada sfingter esofagus
bagian bawah dieksklusikan dari penelitian.

2-3. Pertimbangan Etis


Informed consent diperoleh dari para orang tua anak-anak di kedua kelompok
setelah mendapat persetujuan dari protokol penelitian oleh Komite Etika universitas
kami (Nomor ID: EC-895100).
2-4. Kuesioner
Dilakukan pengumpukan terkait dengan informasi demografis dari anak-anak
termasuk usia, jenis kelamin, dan riwayat atopi keluarga. Sebuah catatan lengkap
tentang riwayat pemberian ASI atau susu formula yang mengandung susu sapi juga
diperoleh; setiap anak yang diberi ASI setidaknya selama enam bulan dengan
diklasifikasikan sebagai ASI eksklusif.

2-5. Tes Tusuk Kulit


Tes tusuk kulit dilakukan untuk semua anak dengan ekstrak komersial susu
standar (Greer, Lenoir, NC, Amerika Serikat). Histamin (10 mg/mL) dan saline
digunakan sebagai kontrol positif dan negatif. Hasil tes kulit diperiksa setelah 15 menit
dan dianggap positif bila didapatkan diameter 3 mm lebih besar dari pada kontrol
negatif. Kortikosteroid topikal dihentikan 1 hari sebelum tes kulit. Tidak ada pasien
yang menggunakan kortikosteroid sistemik.

2-6. Imunoglobulin E Serum Spesifik


Kadar immunoglobulin E serum spesifik dari susu diukur dengan tes
imunosorben terkait enzim sesuai petunjuk produsen (Astra Biotech, Testkit Zur,
Jerman). Titer serum immunoglobulin E serum spesifik pada tingkat ≥ 0,35 kAU/L
dianggap positif dan dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok yang sangat rendah
memiliki kadar imunoglobulin E spesifik susu mulai dari 0,36 sampai 0,71 kAU/L;
kelompok rendah memiliki tingkat imunoglobulin E spesifik susu mulai dari 0,72
sampai 3,59 kAU/L; kelompok medium memiliki kadar imunoglobulin E spesifik susu
mulai dari 3,6 sampai 17,99 kAU/L; dan tinggi memiliki kadar imunoglobulin E
spesifik spesifik susu mulai dari ≥ 18.00 kAU/L berdasarkan petunjuk dari produsen
dan pemeriksaan Sampson (17).

2-7. Tes Tempel (Pacth) Atopi


Pada tes tempel (patch) yang dilakukan pada pagi hari, sebanyak 300 mg susu
bubuk dicampur dengan 0,2 ml larutan saline isotonik untuk membuat bubur dan sekitar
20 mg bubur ini yang diaplikasikan pada bagian punggung atas dari masing-masing
anak dengan menggunakan ruang Finn (Epitest Ltd Oy Tuusula, Finlandia) pada pita
scanpor. Lokasi aplikasi diperiksa setelah 20 menit terkait dengan reaksi cepat. Waktu
oklusi tes tempel adalah 48 jam. Evaluasi dilakukan 72 jam setelah melakukan tes
tempel (pacth). Reaksi negatif ditandai dengan tidak adanya reaksi dan kemerahan serta
tanpa indurasi, dan reaksi positif ditandai dengan kemerahan yang disertai dengan
indurasi. Semua tes disiapkan dan diterapkan oleh perawat yang sama dan semua reaksi
diklasifikasikan oleh ahli alergi.

2-8. Analisis Data


Variabel kontinyu dinyatakan sebagai rata- rata ± deviasi standar. Variabel
diskrit dilaporkan sebagai frekuensi dan persentase. Kami menggunakan tes t untuk
membandingkan rata-rata dua kelompok, dan tes Chi-kuadrat untuk menilai hubungan
antara dua variabel kategori. Data dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0,
dan P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik pada interval kepercayaan 95%.

3. HASIL
Tiga puluh tiga orang anak dengan penyakit refluks gastroesofageal (23 orang
anak laki-laki, 10 orang perempuan), berusia 6 bulan sampai 6 tahun (rata-rata usia 2,93
± 1,90 tahun) dan 33 orang anak sehat (21 orang laki-laki, 12 orang perempuan), berusia
1 sampai 6 tahun (usia rata-rata 3,39 ± 1,90 tahun) dimasukkan dalam penelitian ini.
Dua puluh empat orang pasien (73%) positif terhadap setidaknya satu dari tes
diagnostik untuk alergi susu sapi jika dibandingkan dengan 13 orang pasien (39%) pada
kelompok kontrol (rasio odds = 1,78; interval kepercayaan 95% = 1,14 sampai 2,80).
Hasil tes tusuk kulit positif terhadap ekstrak susu terjadi pada lima orang anak-
anak dengan penyakit refluks gastroesofageal vs. satu orang pada kelompok kontrol (p =
0,08). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok
dalam hal kadar serum immunoglobulin E serum spesifik terhadap susu. Kisaran tingkat
immunoglobulin E serum spesifik untuk susu pada pasien dan kelompok kontrol
ditunjukkan pada Tabel.1.
Tes tempel (patch) positif pada 6 orang anak dengan penyakit refluks
gastroesofageal, dan tidak ada kontrol yang menunjukkan reaksi positif (p = 0,01, rasio
odds = 2,06; interval kepercayaan 95% = 1,46 sampai 2,91). Dari lima orang anak
dengan penyakit refluks gastroesofageal dan tes tusuk kulit yang positif, semuanya
menunjukkan kadar serum susu yang rendah (0,72- 3,59 kAU/L). Hanya satu orang
pasien yang secara simultan positif terhadap tes tusuk kulit, tes tempel (patch), dan
memiliki kadar immunoglobulin E serum spesifik 2,02 kAU/L untuk susu. Tak satu pun
dari individu yang diuji menunjukkan reaksi iritasi setelah menggunakan tes tempel
(patch).
Jumlah anak dengan ASI eksklusif sama pada kedua kelompok (23 orang anak).
Dua puluh dua orang pasien (67%) memiliki riwayat keluarga yang positif untuk atopi,
sementara empat orang anak (12%) pada kelompok kontrol (p <0,01).

Tabel-1: Kadar Imunoglobulin E Spesifik terhadap Susu pada Anak-Anak dengan Penyakit Refluks
Gastroesofageal dan Kelompok Kontrol yang Sehat.
Jumlah Pasien dengan
Kadar imunoglobulin E spesifik
penyakit refluks Jumlah Kontrol (%)
terhadap susu
gastroesofageal (%)
Sangat rendah (0,36-0,71 kAU/L) 3 (93%) 6 (18%)
Rendah (0,72-3,59 kAU/L) 9 (27%) 7 (21%)
Medium (3,60-17,99 kAU/L) 0 0
Tinggi (≥ 18,00 kAU/L) 0 0

4. DISKUSI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah frekuensi alergi susu
sapi lebih tinggi pada anak dengan penyakit refluks gastroesofageal. Data saat ini
menunjukkan alergi susu sapi 1,7 lebih tinggi pada anak-anak dengan penyakit refluks
gastroesofageal daripada anak-anak non-refluks gastroesofageal (p = 0,005). Penelitian
sebelumnya telah menemukan bahwa alergi susu sapi didiagnosis pada sepertiga pasien
anak-anak dengan tanda dan gejala refluks gastroesofageal (16). Dua penelitian lain
secara terpisah telah melaporkan prevalensi alergi susu sapi yang tinggi (30% dan 42%)
pada pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal (18, 19). Ada juga beberapa data
yang menunjukkan risiko alergi susu sapi lebih tinggi pada anak dengan penyakit
refluks gastroesofageal (20, 21).
Sensitisasi terhadap susu telah ditunjukkan oleh tes tusuk kulit dan serum
immunoglobulin E serum spesifik bahwa tes ini dianggap sebagai alat diagnostik untuk
reaksi hipersensitivitas tipe cepat terhadap susu. Dalam penelitian ini, hasil tes tusuk
kulit dan immunoglobulin E serum spesifik terhadap susu terutama negatif, sehingga
reaksi mediasi non imunoglobulin E dianggap bertanggung jawab. Dalam hal ini, anak-
anak Korea dengan penyakit refluks gastroesofageal diam tidak menunjukkan
perbedaan dengan non-refluks gastroesofageal berdasarkan adanya serum
imunoglobulin E sampai susu (22). Namun, mungkin juga tes tusuk kulit dan
immunoglobulin E serum spesifik tidak positif di awal kehidupan (23). Reaksi yang
dimediasi non-imunoglobulin E terhadap susu dihasilkan dari aktivasi jalur imunologi
lainnya seperti respons yang dimediasi oleh T, dan tes tempel (patch) telah dilaporkan
sebagai alat diagnostik dengan kemampuan prediksi tinggi untuk reaksi alergi fase akhir
(24). Selain itu, tes tempel (patch) adalah tes yang berharga dalam diagnosis alergi
makanan pada anak-anak dengan atopic dermatitis (25). Berdasarkan tes tempel (patch),
hasil kami menunjukkan tingkat alergi susu sapi dua kali lebih tinggi pada pasien
dengan penyakit refluks gastroesofageal daripada kontrol. Cudowska dan Kaczmarski
menunjukkan bahwa tes tusuk kulit paralel, immunoglobulin E serum spesifik dan tes
tempel (patch) meningkatkan sensitivitas menjadi 92%, dan spesifisitas terhadap 89%
dalam diagnosis refluks gastroesofageal (26). Meskipun menyarankan tes diagnostik,
metode klinis yang berlaku saat ini untuk menunjukkan alergi makanan masih dapat
dilakukan dan tantangan dengan makanan yang dicurigai (12). Untuk mencegah
eliminasi susu yang tidak perlu pada makanan anak-anak, Yukselen dan Celtik (27),
baru-baru ini merekomendasikan kombinasi antara tantangan makanan oral dan tiga tes
yang telah disebutkan sebelumnya untuk diagnosis alergi susu sapi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 39% anak non-refluks
gastroesofageal tanpa alergi susu sapi memiliki titer yang tinggi. Demikian pula, sebuah
penelitian menunjukkan kadar yang tinggi pada 25% anak-anak tanpa alergi susu (28).
Adalah hal yang jelas bahwa titer antibodi yang tinggi mendukung sensitisasi dan
menyebabkan alergi terkait dengan pengembangan gejala alergi. Dalam penelitian ini,
riwayat alergi keluarga positif pada 67% pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal
dan 12% pada kelompok kontrol. Berbeda dengan hasil ini, Yuksel dan kawan- kawan
(29) menemukan bahwa refluks gastroesofageal secara signifikan lebih umum terjadi
pada anak-anak non-atopik dengan penyakit jalan nafas asma dibandingkan dengan
kontrol, karena alergi susu sapi adalah salah satu penyebab refluks gastroesofageal dan
penyakit ini dapat terbentuk dengan alasan lain yang kemudian dapat menyebabkan
manifestasi seperti asma bahkan pada pasien non-atopik. Selain ukuran kelompok
sasaran yang kecil sebagai batasan utama penelitian kami, kami juga menegakkan
diagnosis kami hanya dengan menggunakan Kuesioner Refluks Gastroesofagus Bayi I-
GERQ (7), meskipun kuesioner tersebut merupakan kuesioner standar, di mana
impedansi intraluminal merupakan metode yang lebih akurat. Kami juga tidak
melakukan penelitian terbuka atau penelitian plasebo terkontrol dengan metode
pembutaan ganda untuk susu sapi untuk mendeteksi pasien dengan alergi susu.

5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian kami, sensitisasi susu sapi adalah 1,7 kali lebih
tinggi pada anak-anak dengan penyakit refluks gastroesofageal daripada anak-anak non-
refluks gastroesofageal. Tes tempel (pacth) lebih baik dilakukan untuk menegakkan
diagnosis sensitisasi susu sapi pada anak-anak dengan penyakit refluks gastroesofageal.
KUESIONER GERDQ

GerdQ terdiri dari enam pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks, dispepsia
dan konsumsi obat untuk mengatasi gejala. Nilai cut-off untuk GerdQ adalah 8 poin
yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan
bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi dokter umum
dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh gastroenterologist.

Sistem skala FSSG dikembangkan di Jepang dan banyak digunakan di berbagai


negara di luar Jepang. FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang berhubungan dengan
gejala-gejala yang tersering dialami oleh pasien, tidak hanya heartburn dan acid taste,
tetapi juga gejala-gejala dispepsia seperti ’perut penuh’ dan ’merasa cepat kenyang’.
Diagnosis GERD dinyatakan dengan kuesioner ini pada nilai cut-off 8 poin.

Anda mungkin juga menyukai