Anda di halaman 1dari 76

Asuhan keperawatan dengan gangguan sistem endokrin 1.

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri /
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita.
Menurut Constantinides (1994, dalam Boedhi-Darmojo dan Hadi
Martono, 1999.
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya
tahan terhadap infeksi dan akan menuntut makin banyak distorsi metabolik
dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif yang akan
menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang
dramatic.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Perubahan Anatomi Dan Fisiologi Sistem Endokrin Pada Lansia


Perubahan Sistem Endokrin pada Lansia. Efek dan usia pada
sistem endokrin sedikit lebih sulit untuk mendeteksi dengan organ tubuh
lain. Walaupun demikian gangguan endokrin lebih banyak pada usia 40
tahun. Pada wanita, produksi hormon meningkat dibanding dengan
menopause.Dari pria dan wanita, output anterior pituitary mengalami
penurunan.
Umur yang relatif terjadi perubahan pada struktur dan fungsi dan
kelenjar endokrin adalah sebagai berikut :
a) Kelenjar thiroid mengalami derajat yang sama dengan atropfi, fibrosis
dan nodularity.
b) Hormon thiroid mengalami level penurunan dan hypoparatiroidisme
biasanya sering pada orang dewasa.
c) Kelenjar adrenal kehilangan beberapa berat badan dan menjadi makin
buruk, fibrotik.
d) Pada bagian anterior, kelenjar pituitary mengalami penurunan ukuran
dan menjadi mati/fibrotik.

Dalam Stockslager (2007), perubahan fungsi sistem endokrin


secara khusus yaitu :
a) Penurunan kemampuan mentoleransi stress.
b) Konsentrasi glukosa darah meningkat dan tetap naik lebih lama
dibandingkan orang yang lebih muda.
c) Penurunan kadar ekstrogen dan peningkatan kadar FSH selama
menopouse, yang menyebabkan trombosis dan osteoporosis.
d) Penurunan produksi progeteron.
e) Penurunan kadar aldosteron serum sebanyak 50%.
f) Penurunan laju sekresi kortisol sebanyak 25%.

1. Masalah-Masalah Dalam Perubahan Sistem Endokrin Pada Lansia


Dalam Nugroho (1995), penyakit metabolik pada lanjut usia
terutama disebabkan oleh karena menurunnya produksi hormon dari
kelenjar-kelenjar hormon. Pria dan wanita pada akhir masa dewasa
memasuki apa yang dinamakan kimakterium; perubahan-perubahan dalam
keseimbangan hormonal yang menyebabkan berkurangnya kekurangan
hormon seks. Menurunnya produksi hormon ini antara lain terlihat pada
wanita mendekati usia 50 tahun, yang ditandai mulainya menstruasi yang
tidak teratur sampai berhenti sama sekali (menopouse), prosesnya
merupakan proses ilmiah. Pada pria proses tersebut biasanya terjadi secara
lambat laun dan tidak disertai gejala-gejala psikologis yang luar
biasakecuali sedikit kemurungan dan rasa lesu serta berkurangnya
kemampuan seksualitasnya. Terdapat pula penurunan kadar hormon
testosteronnya.
Penyakit metabolik yang banyak dijumpai adalah diabetes melitus
atau kencing manis dan osteoporosis (berkurangnya zat kapur dan bahan-
bahan mineral sehingga tulang lebih mudah rapuh dan menipis). Diabetes
melitus sering dijumpai pada lanjut usia yang berumur 70 tahun keatas,
akibatnya terjadi degenerasi pembuluh darah dengan kompliksai pembuluh
darah koroner, perubahan pembuluh darah otak ini dapat menyebabkan
stroke yang bisa mengakibatkan kelumpuhan separuh badan.
Berikut perubahan dan penyakit pada sistem endokrin yang
disebabkan oleh proses penuaan, yaitu:
1) Menopouse
a. Konsep
Dalam Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono (1999),
menopouse adalah berhentinya haid.Menopouse menurut
pengertian awam adalah perubahan masa muda ke masa
tua.Berhentinya haid sebagai akibat tidak berfungsinya ovarium
merupakan peristiwa dan bukan satu periode waktu.Di Indonesia
monepouse terjadi antara 49-50 tahun (Samil dan Ichramsyah,
1991).
Periode mendahului menopouse ditandai oleh perubahan
somatif dan psikologik.Hal tersebut mencerminkan perubahan
normal yang terjadi di ovarium.Meskipun ada gejala atau keluhan,
periode ini sering dilupakan oleh pasien maupun dokter.Gejala
yang paling sering terjadi pada masa transisi pra-menopouse ini
adalah haid yang tidak teratur.
Meskipun menopouse atau tidak lagi datang haid, terjadi
setelah terhentinya fungsi ovarium merupakan keadaan yang paling
dapat diidentifikasi, namun periode sebelum dan 10 tahun setelah
menopouse mempunyai arti klinis yang lebih penting. Menurut
Hurd, periode transisi ini biasanya berlangsung sampai periode
pasca menopouse. Periode pasca menopouse biasanya disertai
dengan insidensi kondisi kelainan yang erat hubungannya dengan
usia lanjut. Karena hal tersebut, pelayanan kesehatan ginekologik
pada wanita pasca menopouse perlu mengetahui tentang seluk
beluk pengobatan pengganti hormon.

b. Gejala-Gejala yang sering timbul


Ada beberapa gejala yang timbul dengan menopouse pada
lansia (Nugroho, 1995), di antaranya :
 Gangguan pada haid: haid menjadi tidak teratur, kadang-
kadang terjadi perdarahan yang terlalu banyak atau terlalu
sedikit.
 Gelombang rasa panas (Hot Flush). Kadang-kadang timbul
rasa panas pada muka, leher dan dada bagian atas, disusul
dengan keluarnya keringat yang banyak. Peasaan panas ini bisa
berlangsung beberapa detik saja, namun bisa berlangsung
sampai 1 jam.
 Rasa lelah hebat (Fatigue).
 Rasa gatal-gatal pada genitalia disebabkan kulit yang menjadi
kering dam keriput.
 Sakit-sakit bisa dirasakan seluruh badan atau pada bagian
tubuh tersebut.
 Pusing atau sakit kepala. Keluhan ini bisa disebabkan oleh
banyak hal, misalnya karena meningginya tekanan darah,
adanya gangguan penglihatan atau bisa juga oleh adanya stres
mental.
 Insomnia atau keluhan susah tidur, hal ini bisa disebabkan oleh
penyebab fisik maupun psikis.
 Palpitasi dan perubahan gerak seksual. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh hormonal maupun pengaruh psikis. Gejala-gejala
jiwa yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai yang
berat. Keluhan yang sering timbul adalah adanya rasa takut,
tegang gelisah, lekas marah, mudah gugup, sukar
berkonsentrasi, lekas lupa, dan susah tidur. Adanya wanita
yang mengalami monepouse manfsirkannya sebagai
kehilangan fungsinya sebagai wanita, karena ia tidak bisa
hamil dan mendapatkan anak lagi. Di lain pihak ada yang
menafsirkan sebagai akan terhentinya kehidupan seksualnya,
hal ini adalah keliru sekali. Selain dari pada itu ada yang
berpendapat bahwa kegiatan seksual itu kurang pantas
dilakukan bagi mereka yang sudah tua, maskipun dorongan ke
arah itu tetap ada. Dengan demikian dapat terlihat bahwa
kerisauan menghadapi masa tua seringkali juga menyangkut
kahidupan seksual.
2) Andropouse
a. Konsep
Dalam Baziad (2003), pada laki-laki tua, testis masih
berfungsi memproduksi sperma dan hormon testosteron meskipun
jumlahnya tidak sebanyak usia muda. Pada wanita produksi
estrogen berhenti mendadak, sedangkan pada laki-laki dengan
meningkatnya usia produksi testosteron turun perlahan-lahan,
sehingga membuat definisi andropouse pada laki-laki sedikit sulit.
Kadar hormon testosteron sampai dengan usia 55-60 tahun relatif
stabil dan baru setelah usia 60 tahun terjadi penurunan yang berarti.
Meskipun kadar testosteron darah turun, keluhan tidak
segera muncul. Keluhan dapat muncul setelah beberapa tahun
kemudian. Oleh karena itu, para ahli berpendapat bahwa tidak ada
hubungan langsung antara keluhan dengan kadar hormon.
Meskipun sudah lanjut usia, orang laki-laki masih saja aktif baik
secara fisik maupun seksual, bahakan tidak jarang masih dapat
mendapatkan keturunan.
b. Gejala
Dalam Baziad (2003), testosteron adalah hormon laki-laki
yang menjadikan laki-laki berfungsi menjadi seorang laki-laki.
Gejala klinis andropouse antara lain:
 Gejala vasomotorik, berupa gejolak panas, berkeringat, susah
tidur, gelisah, dan takut.
 Gejala yang berkaitan dengan aspek virilitas, berupa kurang
tenaga, berkurangnya massa otot, bulu-bulu rambut seksual
berkurang, penumpukan lemak di perut, dan osteoporosis.
 Gejala yang berhubungan dengan fungsi kognitif dan suasana
hati, berupa mudah lelah, menurunnya aktivitas tubuh,
rendahnya motivasi, berkurangnya ketajaman mental/intuisi,
depresi hilangnya rasa percaya diri dan menghargai dirinya
sendiri.
 Gejala yang berhubungan dengan masalah seksual, berupa
turunnya libido, menurunnya aktivitas seksual, kualitas
orgasme menurun, berkurangnya kemampuan ereksi, dan
berkurangnya volume ejakulasi.
3) Diabetes Melitus
a. Konsep
Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa.
Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih
resistant terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan lansia
untuk memetabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin dari
sel beta pankreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi
proses ini adalah hiperglikemia. Pada lansia, konsentrasi glukosa
yang mendadak dapat meningkatkan dan lebih memperpanjang
hiperglikemia.Diabetes tipe 2 pada lansia disebabkan oleh sekresi
insulin yang tidak normal, resistansi terhadap kerja insulin pada
jaringan target, dan kegagalan glukoneogenesis hepatic.Penyebab
utama hiperglikemia pada lansia adalah peningkatan resistansi
insulin pada jaringan perifer. Meskipun jumlah reseptor insulin
sebenarnya sedikit menurun seiring pertambahan usia, resistansi
dipercaya terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor tersebut.
Selain itu, sel-sel beta pulau Langerhans kurang sensitif terhadap
kadar glukosa yang tinggi, yang memperlambat produksi glukosa
di hati (http://aqies.wordpress.com, 2009).
b. Tanda dan Gejala
Beberapa tanda dan gejala yang timbul dengan adanya andropouse,
yaitu :
 Penurunan berat badan dan kelelahan.
 Kehilangan selera makan.
 Inkontinensia.
 Penurunan penglihatan.
 Konfusi atau derajat delirium.
 Konstipasi atau kembung abdomen.
 Retinopati atau pembentukan katarak.
 Perubahan kulit; penurunan nadi perifer, kulit dingin,
penurunan refleks, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas.
 Hipotensi ortostatik.
2. Patofisiologi
Untuk memudahkan pengertian kita tentang patofisiologi pada
berbagai kelainan kelenjar endokrin, berikut akan dihantarkan gambaran
sepintas tentang patofisiologi umum gangguan endokrin, mengingat fungsi
sistem endokrin yang kompleks dan rumit mencakup mekanisme kerja
hormonal dan adanya mekanisme umpan balik yang negatif yang sudah
barang tentu akan mempengaruhi perjalanan penyakit.
Seperti lazimnya kelainan-kelainan pada organ tubuh, pada kelenjar
endokrin pun berlaku hal yang sama dimana gangguan fungsi yang terjadi
dapat diakibatkan oleh:
 Peradangan atau infeksi
 Tumor atau keganasan
 Degenerasi
 Idiopatik
Dampak yang ditimbulkan oleh kondisi patologis diatas terhadap kelenjar
endokrin dapat berupa:
Perubahan bentuk kelenjar tanpa disertai perubahan sekresi hormonal
Peningkatan sekresi hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin sering
diistilahkan dengan hiperfungsi kelenjar.
Penurunan sekresi hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, dan
diistilahkan dengan hipofungsi kelenjar.
Adanya hubungan timbal balik antara kelenjar hipofise sebagai master of
gland dengan kelenjar targetnya, hipofise terhadap hipotalamus serta
jaringan atau organ sasaran dengan kelenjar target, memungkinkan
penyebab dari suatu kasus dapat lebih dari satu; artinya mungkin saja
penyebab ada pada jaringan/organ sasaran, atau pada kelenjar target,
ataupada kelenjar hipofise atau hipotalamus. Oleh karena itu, untuk tujuan
kemudahan dalam penanggulangannya maka dalam setiap kasus akan di
dipaparkan kemungkinan penyebabnya baik yang bersifat primer,
sekunder,atau tertier.
Penyebab yang bersifat primer bila penyebabnya ada pada kelenjar
penghasil hormon itu sendiri. Bersifat sekunder, bila penyebabnya ada
pada kelenjar di atasnya. Bersifat tertier, bila penyebabnya di luar primer
dan sekunder seperti penggunaan obat-obatan tertentu ataupun kelainan
pada organ tubuh tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi
kelenjar.Seperti bila terjadi peningkatan ACTH (hormon hipofise) pada
serum yang akan menyebabkan hiperfungsi kelenjar adrenal sehingga
terjadi hipersekresi hormon-hormon adrenal maka penyebabnya disebut
sekunder.Disebut penyebab primer bila penyebapnya ada pada kelenjar
adrenal sendiri. Disebut tertier bila penyebabnya diluar kedua penyebab
diatas. Misalnya, pengunaan obat-obatan yang dapat merangsang ACTH
atau merangsang sekresi hormon adrenal. Untuk pemahaman yang lebih
baik tentang patofisiologi berbagai kelainan endokrin, ada dua hal utama
yang harus dipahami dengan baik.Efek dari setiap hormon yang dihasilkan
oleh kelenjar endokrin terhadap jaringan endokrin dan terhadap jaringan
atau organ sasarannya.Fungsi organ/jaringan sasaran dari setiap hormon.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada lansia dengan gangguan
sistem endokrin, sebagai berikut :
1) Health Perception - Health Management
a. Uraikan tentang status kesehatan secara keseluruhan.
b. Uraikan masalah-masalah endokrin yang didapatkan masalah
(pituitary thyroid), paratiroid, adrenal, pankreas, ovarium. testes).
Bagaimana masalah ini diatasi? Apakah dengan obat-obatan,
pembedahan, penggantian hormone, diet? Apa yang menentukan
mengenai pengobatan yang anda lakukan?
c. Apakah anda merokok/menghisap tobako? Jika ya, berapa banyak
perhari dan berapa lama?
d. Apakah anda sudah merasakan tinggi atau rendahnya kadar gula
darah?
e. Apakah anda minum alkohol? Jika ya, berapa banyak dan jenis
apa?
f. Uraikan bagaimana anda merawat kesehatan anda?
g. Kapan terakhir anda melakukan latihan fisik ?

2) Metabolik – Nutrisi
a. Uraikan kebiasaan diet anda..
b. Uraikan berapa banyak air yang diminum selama 24 jam.
c. Dapatkah anda mencatat bahwa anda merasa kehausan yang sangat
dan yang biasanya?
d. Apakah anda mengalami perubahan selera makan? Jika ya,
uraikan!
e. Apakah anda mengalami perubahan berat badan? Jika ya, berapa
banyak? Berapa jarak periodenya?
f. Dapatkah anda mencatat perubahan-perubahan pada kebiasaan
dalam intoleransi antara panas atau dingin?
g. Apakah anda mengalami kesulitan dalam menelan? Jelaskan!

3) Eliminasi
a. Uraikan kebiasaan pola berkemih selama peroide 24 jam. Apakah
ada perubahan? Jika ya, uraikan!
b. Dapatkah anda mencatat perubahan-perubahan terhadap warna dan
bau dari urine anda? Jika ya, uraikan!
c. Apakah anda sering terbangun pada malam hari untuk berkemih?
Seberapa seringkah?
d. Apakah anda pernah menderita batu ginjal? Jika ya, bagaimana
cara mengatasinya/pengobatannya?
e. Apakah anda pernah mengalami perubahan kebiasaan eliminasi?
Jelaskan!

4) Aktivitas – Latihan
a. Uraikan kebiasan aktivitas selama periode 24 jam.
b. Aktivitas apa yang biasa anda lakukan sehingga anda bernapas
pendek (seperti sesak) atau kelelahan? Jelaskan!
c. Apakah anda mengalami perubahan pada kebiasaan perawatan diri
anda berhubungan dengan masalah endokrin? Jika ya, uraikan!
d. Apakah tingkat energi mengalami peningkatan atau penurunan?
Jika ya, jelaskan!

5) Tidur – Istirahat
a. Apakah terjadi gangguan terhadap tidur malam?
b. Apakah anda merasa gugup atau tidak mampu istirahat
6) Kognitif – Persepsi
a. Apakah anda merasakan kelelahan, menarik diri atau bingung?
b. Dapatkah anda mencatat adanya suara parau atau perubahan
terhadap suara anda?
c. Dapatkah anda mencatat perubahan-perubahan terhadap perubahan
warna dan kondisi kulit anda, seperti warna kulit menjadi lebih
gelap, kulit menjadi kering, berminyak atau memar.
d. Apakah anda pernah mengalami palpitasi jantung (berdebar-
debar)?
e. Apakah anda pernah mengalami nyeri abdominal?
f. Apakah anda. mengalami sakit kepala, hilang ingatan, perubahan
sensasi atau depresi?
g. Apakah anda pernah mengalami kekakuan otot atau sendi?

7) Konsep Diri
a. Bagaimana perasaan anda tentang masalah kesehatan ini?
b. Bagaimana perasaan anda setelah mendapati masalah ini terhadap
diri anda dan masa depan anda?
c. Bagaimana perasaan anda mengenai pengobatan untuk selama
istirahat dalam hidup anda?

8) Role - Relationship (Peran - Hubungan)


a. Apakah ada riwayat terhadap masalah tipe endokrin di dalam
keluarga? Jelaskan!
b. Bagaimana masalah kesehatan ini mempengaruhi kehidupan anda?
c. Setelah menerima masalah kesehatan ini apakah perubahan
terhadap peran dan tanggung jawab di dalam keluarga? Jelaskan!
d. Setelah mendapat masalah kesehatan ini apakah mempengaruhi
kemampuan anda untuk bekerja. Jelaskan!

9) Sexuality - Reproduktif (Seksual - Reproduksi)


a. Dapatkah anda mencatat perubahan terhadap aktivitas seksual?
jelaskan!
b. Dapatkah anda mencatat perubahan dalam kemampuan dalam
hubungan seksual? Jelaskan!
c. Apakah anda mengalami perubahan pada periode menstruasi.
Uraikan!
d. Apakah anda mengalami ketidakpuasan dan kesulitan mengontrol
ereksi?
e. Pernahkah anda mengalami kesulitan pada awal kehamilan?
f. Pernahkah anda mengalami kesulitan menjadi seorang ayah ?
g. Berapa banyak anak yang anda miliki? Berapa berat yang dimiliki
pada saat lahir?

10) Koping – Stress


a. Apakah stress memperlihatkan adanya penambahan gejala terhadap
masalah endokrin? Bila ya, cara apa?
b. Apa atau siapa yang sangat membantu dalam koping terhadap
masalah kesehatan ini?
c. Uraikan apa yang biasanya anda lakukan untuk mengatasi stress!

11) Value - Belief (Keyakinan/Kepercayaan)


a. Apakah ada orang terdekat klien. praktisi atau aktifis yang
membantu memecahkan masalah kesehatan ini. Jelaskan!
b. Bagaimana anda merasa masa depan sangat dihargai selama hidup
dengan masalah kesehatan saat ini?

Beberapa variasi yang normal dibandingkan dengan yang tidak, dapat


menjadi bingung dengan penemuan abnormal pada endokrin adalah sebagai
berikut :
1. Pikun, beberapa kecil coklat, flat macula dapal dilihat pada lengan dan
dorsal pada tangan.
2. Penebalan pada area pigmentasi, dapat dilihat pada wajah dan tangan.
3. Pertumbuhan rambut yang lambat.
4. Kuku semakin tebal, brittle, dan kuning.
5. Kulit wajah menjadi longgar dan tulang menjadi lebih menonjol.
6. Penurunan terhadap sensasi perabaan.
7. Penurunan refleks tendon.
8. Penurunan tinggi badan.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh dan fungsi,
perubahan biopsikososial seksualitas.
2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan cemas, takut, stres psikologis.
3) Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis proses
penuaan.
4) Gangguan harga diri berhubungan dengan gangguan psikologis; malu, cemas.

3. Intervensi Keperawatan
Dalam Wilkinson (2006), intervensi keperawatan yang dapat dilakukan
dari diagnosa keperawatan adalah :
1) Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh dan fungsi,
perubahan biopsikososial seksualitas.
Batasan karakteristik : Perubahan dalam penerimaan kepuasan seksual,
perubahan terhadap diri sendiri dan orang lain, ketidakmampuan untuk
mencapai kepuasan yang diharapkan.
Kriteria hasil : Menunjukkan adanya keinginan untuk mendiskusikan
perubahan pada fungsi seksusl, beradaptasi terhadap model pengungkapan
seksual yang berhubungan dengan usia dan perubahan fisik.
Intervensi :
a. Pantau adanya indikator resolusi dari disfungsi seksual.
b. Berikan informasi yang diperlukan untuk meningkatkan fungsi seksual
(misalnya konseling yang difokuskan pada bimbingan antisipatorik)
c. Diskusikan keadaan kesehatan terhadap seksualitas (misalnya efek
samping pengobatan; aspek normal penuaan)
d. Berikan informasi faktual tentang mitos seksual dan kesalahan informasi
yang pasien kemukakan.
e. Berikan konsultasi/rujukan pada anggota tim pelayanan kesehatan
lainnya.
f. Rujuk pasien kepada ahli terapi seks.

2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan cemas, takut, stres psikologis.


Batasan karakteristik : Terbangun dalam waktu yang lama, insomnia,
terbangun lebih awal, tidur tidak puas.
Kriteria hasil : Pasien melaporkan perubahan dalam pola tidur/istirahat,
Pasien mengungkapkan peningkatan rasa sejahtera atau segar.
Intervensi :
a. Pantau pola tidur pasien dan catat hubungan faktor-faktor fisik (misalnya;
sering berkemih) atau faktor psikologis (misalnya ketakutan atau
ansietas).
b. Berikan tempat tidur yang nyaman.
c. Tingkatkan kenyamanan waktu tidur misal: mandi air hangat, masase.
d. Hindari suara yang keras dan penggunaan lampu saat tidur malam,
berikan lingkungan yang tenang dan minimalkan gangguan.
e. Dukung penggunaan obat tidur.

3. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis proses


penuaan.
Batasan karakteristik : Kurang atau masalah memori, ketidak sesuaian
kognitif, bingung.
Kriteria hasil : Pasien mampu mempertahankan orientasi realita sehari-hari,
pasien mampu mengenali perubahan pola pemikiran dan tingkah laku.
Intervensi :
a. Kaji dan dokumentasikan orientasi pasien terhadap orang, tempat, waktu,
dan situasi.
b. Panggil klien dengan nama kesukaannya.
c. Berikan umpan balik positif dan penguatan untuk perilaku yang sesuai.
d. Berikan dukungan untuk pasien/keluarga saat periode disorientasi pasien.
e. Berikan obat antipsikotik dan antiasnsietas secara rutin dan jika
diperlukan.

4. Gangguan harga diri berhubungan dengan gangguan psikologis; malu,


cemas.
Batasan karakteristik : Malu, myangkal permasalahn yang nyata, kesulitan
dalam membuat keputusan, kurangnya kerja sama.
Kriteria hasil : Pasien menyatakan masalah dan menunjukkan pemecahan
masalah yang sehat, pasien menyatakan penerimaan diri pada situasi dan
adaptasi terhadap perubahan pada citra tubuh.
Intervensi :
a. Pantau pernyataan klien tentang penghargaan diri.
b. Berikan waktu untuk mendengar masalah dan ketakutan pasien.
c. Bantu klien untuk mengidentifikasi respons positif terhadap orang lain.
d. Hindari tindakan yang dapat melemahkan klien.
e. Berikan penghargaan atau pujian terhadap perkembangan klien dalam
pencapaian tujuan.
f. Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang dapat meningkatkan harga diri.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri / mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
serta memperbaiki kerusakan yang diderita.
Asuhan keperawatan dengan gangguan sistem urinaria 2.1

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELKANG

Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar di bidang gerontik


yang perlu mendapat perhatian serius. Masalah itu tampaknya akan menjadi salah
satu masalah kesehatan dan psikososial yang sering dijumpai di masa mendatang
seiring dengan makin banyaknya jumlah usia lanjut di Indonesia.

Data di luar negeri menyebutkan bahwa 15 – 30 % usia lanjut yang tinggal di


masyarakat dan 50 % usia lanjut yang di rawat menderita inkontinensia urun. Pada
tahun 1999, dari semua pasien yang di rawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo di
dapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesar 10%, dan pada tahun 2000,
angka kejadian inkontinensia urin meningkat menjadi 12%.

Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya


frustasi, bahkan depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk
beribadah tentu menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya
inkontinensia urin juga akan mengganggu aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan.
Secara tidak langsung masalah itu juga dapat menyebabkan dehidrasi karena
umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena khawatir mengompol.
Dekubitus, infeksai saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya
adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian pampers, kateter adalah
masalah yang juga dapat timbul akibat inkontinensia urin.

2. TUJUAN

Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan


yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya
dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
BAB II

PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA SISTEM


PERKEMIHAN LANSIA

Sistem urinaria pada manusia terdiri dari ginjal yang di dalamnya terdapat
nefron yangakan melakukan fungsi utama ginjal yaitu melakukan filtrasi, ureter
yang akan mengalirkan urindari ginjal ke kandung kemih atauBlader .
Bladeradalah tempat penyimpanan urin sementarasebelum di keluarkan melalui
uretra, uretra adalah saluran yang akan mengalirkan urin dari blader ke
lingkungan di luar tubuh.

Ada beberapa perubahan yang terjadi pada lansia terkait dengan sistem
urinaria. Padaorang dewasa awal terdapat 2 juta nefron fungsional, sedangkan
pada ginjal dewasa akhir telahhilang setengahnya dan beberapa dari nefron
tersebut tidak bekerja dengan baik. Dalam nefronlansia, terjadi beberapa
perubahan pada bagian glumelurus dan sistem tubular. Dalam glumelurusterjadi
penebalan pada membrane basalis, di temukan adanya sklerosis pada area fekal,
dan penurunan jumlah permukaan glumelurus, dari perubahan ini
akan berpengaruh pada penurunanefisiensi filtrasi yang di lakukan nefron.

Kemudian pada sistem tubular lansia, terjadi penurunan panjang dan


volume tubulus proksimal, kemudiaan adanya divertikula pada tubulus kontortus
distal yang akan menyebabkanterjadinya akumulasi debris. Akibat dari perubahan
perubahan ini akan menyebabkan penurunandaerah permukaan yang akan
melakukan fungsi reabsorpsi oleh tubulus. Kemudian perubahan inidi perparah
oleh perubahan pada sistem vaskuler yakni penurunan curah jantung,
penyempitandan di temukannya sklerosis pada pembuluh darah akan menurunkan
aliran darah ke renal. Efekgabungan yang terjadi adalah sedikit darah yang bisa di
bersihkan tiap menitnya dan prosesabsorpsi akan menjadi kurang efektif dan
efisien.

Perubahan selanjutnya pada mekanisme kompensasi terhadap cairan pada


lansia.Kemampuan nefron dalam memekatkan urin mengalami gangguan, respon
terhadap sekresihormone ADH tidak efektif, dan sensasi haus akan mengalami
penurunan bahkan sampai tidakada sensasi haus sama sekali. Oleh karena itu,
kondisi yang memicu kehilangan cairan dan perubahan homeostasis akan menjadi
masalah serius.

Kemampaun ginjal untuk menahan natrium berkurang apabila di


bandingkan dengandewasa awal, hal ini di sebabkan oleh kehilangan nefron atau
terjadi gangguan pada sekresialdosteron. Penurunan natrium atau hiponatremia
akan menyebabkan akumulsi kalium atauhiperkalemia. Kondisi hipernatremia
jarang di temukan pada lansia dengan konsumsinatriumyang berlebih apabila
tidak di imbangi oleh air yang cukup, tetapi apabila di imbangi dengan airyang
cukup akan menyebabkan hipervolemia.

Selanjutnya adalah perubahan pada sistem penyimpanan dan pengeluaran


urin. Padalansia, jumlah urin yang di tampung tidak semunya di keluarkan
(residu) sekitar 50 ml, atau bisadikatakan sebagai penurunan keadekuatan haluran
urin. Apabila jumlahnya melebihi 100 mlmaka terjadi penyimpanan urin yang
signifikan.

Perubahan secara umum pada lansia adalah penurunan kapasitas kandung


kemih untukmenyimpan urin, terjadi peningkatan volume residu, dan kontraksi
kandung kemih yang tidak disadari. Pada wanita, penurunan hormone estrogen
akan menyababkan atrofi jaringan uretra danefek pada saat melahirkan dapat
dilihat dari melemahnya otot-otot panggul. Pada lansia pria,terjadi hipertropi
kelenjar prostat yang akan menekan leher kandung kemih dan uretra.

Perubahan yang terjadi pada lansia terkait sistem urinaria dapat dilihat pada table
berikut ini :

Perubahan Implikasi
Penebalan membrane basal Filtrasi darah kurang efisien
Penurunan area permukaan glumelurus
Penurunan panjang dan volume
tubulus proksimal
Penurunan masa otot yang tidak berlemak Penurunan total cairan tubuhResiko
Peningkatan total lemak tubuh dehidrasi
Penurunan cairan intrasel
Penurunan sensasi haus
Penurunan kemampuan untuk retensi urin
Penurunan hormone yang penting untuk Peningkatan resiko osteoporosis
absorpsi kalsium dari saluran
gastrointestinal
Penurunan kapasitas kandung kemih Peningkatan resiko inkontensia
Peningkatan volume residu
Peningkatan kontraksi kandung kemih
yang tidak sadari
Atropi kandung kemih

KONSEP TEORI

INKOTINENSIA URINE

A. PENGERTIAN

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).

Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak


terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI,
2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi
keluarnya urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan
menimbulkan gangguan hygiene dan social.

Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam


jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi
seseorang.Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri.Inkontinensia urine adalah ketidakampuan
mengendalikan evakuasi urine. (kamus keperawatan).

Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usialanjut


di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-
30% saa tberumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya
meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-
perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah.
Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.

B. ETIOLOGI
 Persalinan pervaginan

Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.

 Proses menua

Dengan menurunnya kAadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Semakin
tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

 Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM))


 Infeksi saluran kemih

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine

C. PATOFISIOLOGI

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan


rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi
menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi
kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen
meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan
isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal
demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan,
isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat
mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa
dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu
fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume
kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.
Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan
tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di
dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara
terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan
urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih
dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada
kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa


kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control
volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih
dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang
mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan,
yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa.
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan
kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula
spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih
seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis
dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal
(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk
berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung
kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat
pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau
penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen
penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung
kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang
tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga
tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan
tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada
posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang
meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur
oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal
sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan
aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung
kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas
parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada
fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan
leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih
tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya
ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress,
inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow..

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:


Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk
atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung
kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring
dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru
terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,
efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa
karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes
melitus, yang harus terus dipantau

Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul.

D. MANIFESTASI KLINIS
 Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi
karena telah berkemih
 Frekuensi, dan nokturia.
 Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin ketika
tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk.
 Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau melambat
dan merasa menunda atau mengedan.
 Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin yang
adekuat
 Higiene buruk atau tanda- tanda infeksi
E. WOC
F. KLASIFIKASI

1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi
ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka
inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat
mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke,
arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada
vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia
urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi
yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan
edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin
nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia
urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesicnarcotic,
psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat
penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :

 Delirium
 Restriksi mobilitas, retensi urin
 Infeksi, inflamasi, Impaksi
 Poliuria, pharmasi

2. Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,


meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis,
klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi
klinis. Kategori klinis meliputi :

 Inkontinensia akibat stress

Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. seperti pada saat batuk,
bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar
panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia dibawah
75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki
akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan trans urethral dan
radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.
Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

 Urge Incontinence

Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi tetapi
tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet. Inkontinensia urin
jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor
overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia
urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul
keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin.
Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada
lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiper aktifitas
detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka
memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

 Overflow Incontinence

Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir
terus-menerus terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan
kansdung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan megalami
distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urine sering terjadi, kandug kemih
tidak pernah kosong. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti
pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis
multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung
kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya
sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

 Inkontinensia urin fungsional

Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang


utuh tetapi ada factor lain, seperti angguan kognitif berat yang membuat pasien
sulit untk mengidentifkasi perlunya miksi (demensia alzhimer) atau gangguan
fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya
pengeluaran urine akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering
adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang
menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dangan
membran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan
yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Tes diagnostik pada inkontinensia urin

(Menurut Ouslander), tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan


untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur
sisa urine setelah berkemih, dilakukan dengan cara :

Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter
diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc
berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap
spesimen urine yang bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,
glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi
awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :

 Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,


creatinin, kalsium glukosa sitologi.
 Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran
kemih bagian bawah
 Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat
istirahat dan saat dinamis
 Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
 Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu
diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine. Merembesnya urin
pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut
juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan
keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin sering kali dapat
dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada
keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak
terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
 Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum
dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuri.
 Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk
mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu
dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan
tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin.
Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan
tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien
faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor


resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

 Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin
yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak
tertahan, selain itu catat waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
 Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya


inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik,
gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu


berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi
berkemih 6-7 x/hari.
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-
mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia
ingin berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia
dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
 Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang.

 Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

 antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu :

 pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti :


 Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapidiberikan secara singkat.

 Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan


urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk
menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

Penatalaksanaan pembedahan

Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan


vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria.
Sfingter artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon
sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dpat digunakan untuk menutup
uretra. Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stress adalah aplikasi
stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniature
yang dilengakapi electrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.

 Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter,
dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan

 Kateter

Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat


menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukanbatu. Selain
kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakanalat yang secara rutin
digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada
pasien yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga
beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih.

 Alat bantu toilet

Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia
lanjutyang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu
tersebutakan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu
memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

 Latihan Otot Dasar Panggul


 Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul
sejajar dengan lantai.
 Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan
atau sesanggupnya.
 Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.
 Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.
 Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam)
ASKEP TEORI

A. Pengkajian

1. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,


alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.

2. Riwayat kesehatan

 Riwayat kesehatan sekarang

Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului


inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

 Riwayat kesehatan dahulu

Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi


dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.

 Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan

3. Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda
vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia
4. Pemeriksaan Sistem :

 B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

 B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

 B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

 B4 (bladder)

Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat


karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta
disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah
suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.

 B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan


abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada
ginjal.

 B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang


lain, adakah nyeri pada persendian.
5. Pengkajian Psikososial

 Bersedih
 Murung
 Mudah tersinggung
 Mudah marah
 Isolasi social
 Perubahan peran
B. Diagnosa keperawatan Yang Mungkin Muncul

1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d penyebaran infeksi dari uretra


2. Kekurangan Volum cairan b/d diuresis osmotic
3. Resiko tinggi infeksi b/d glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia)
4. Kelelahan b/d kelemahan otot
5. Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol dan bau urine

C. NCP

NO Diagnosa Tujuan kriteria Intervensi Rasional


keperawatan hasil

1. Gangguan rasa Setelah -Nyeri Mandiri : -Memberi kan informas


nyaman nyeri b/d dilakukan terkntrol untuk membantu dalam
- Kaji nyeri,
penyebaran infeksi tindakan atau hilang menentukan pilihan da
perhatikan lokasi,
dari uretra kepeawatan keefektifan intervensi
- Klien intensitas atau skala
selama 2x24
dapat nyeri dan lamanya - Membantu
jam
kembali nyeri mengevaluasi tempa
diharapakan
tenang dan obstruksi dan kemajua
nyeri dapat
rileks gerakan kalkulus
teratasi atau
berkurang - Klien - Meningkat-kan
mampu - Catat lamanya relaksasi, memfokus-ka
beristirahat intensitas (skala 0- kembali perhatian da
seperti 10) dan penyebaran dapat meningkat-ka
biasanya kembali kemampua
koping

- Berikan tindakan
keyamanan.

Contoh :

Membantu pasie
memberikan posisi - Meng-hilangkan nyer
yang nyaman, menentukan obat yan
mendorong tepat untuk mencega
penggunaan fluktuasi nyeri ber
relaksasi atau hubungan denga
latihan nafas dalam tegangan

Kolaborasi - Digunakan untuk me


ningkatkan relaksas
- Berikan obat
dan sirkulasi
sesuai indikasi.

Contoh: analgesik

- Berikan
pemanasan local
sesuai indikasi
2. Kekurangan Volum Klien - TTV Mandiri : - Untuk memperole
cairan b/d diuresis menunjukkan stabil data tentang penyak
- Dapatkan riwayat
osmotic hidrasi yang pasien, agar dapa
- pasien/ orang
adekuat/ melakukan tindaka
Membrane terdekat
kekurangan sesuai yang dibutuhkan
mukosa sehubungan dengan
cairan dapat
bibir lamanya gejala - Indicator hidrasi/volum
diatasi
lembab seperti muntah dan sirkulasi dan kebutuha
pengeluaran urine intervensi.
- Turgor
yang berlebihan
kulit elastic - Membandingkan
- Pantau TTV, catat keluaran actual dan yan
- Intake dan
adanya perubahan diantisipasi membant
output
TD dalam evaluasi adanya
seimbang
derajat stasis/ kerusaka
warna kulit dan
ginjal
kelembaban-nya
- Peningkatan BB yan
- Pantau masukan
cepat mungki
dan pengeluaran
berhubungan denga
urine
retensi

- Memper-tahankan
keseimbangan cairan

- Memenuhi kebutuha
cairan tubuh

- Timbang BB § Mempertahankan
setiap hari volum sirkulas
meningkatkan fungs
- Pertahankan
ginjal
untuk memberikan
cairan paling sedikit
2500 ml/hari dalam
batas yang dapat
ditoleransi jantung

Kolaborasi:

- Berikan terapi
cairan sesuai
indikasi

- Berikan cairan IV

3. Resiko tinggi infeksi Mandiri:


b/d glukosa darah
- Berikan - Untuk mencega
yang tinggi
perawatan perineal kontaminasi uretra
(hiperglikemia)
dengan air sabun
setiap shift. Jika
pasien
inkontinensia, cuci
daerah perineal
sesegera mungkin.

- Jika di pasang
kateter indwelling,
berikan perawatan
kateter 2x sehari
(merupakan bagian
dari waktu mandi
pagi dan pada
- Kateter memberika
waktu akan tidur)
jalan pada bakteri untu
dan setelah buang
memasuki kandun
air besar
kemih dan naik k
- Kecuali saluran perkemihan
dikontraindikasikan,
ubah posisi pasien
setiap 2jam dan
anjurkan masukan
sekurang-kurangnya
2400 ml / hari.
Bantu melakukan
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan. - Untuk mencegah stasi
urine.

Berikan terapi
antibiotoik - Mungkin diberika
secara profilakti
sehubungan denga
peningkatn resiko infeks

D. Imlementasi
Dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan, menjelaskan setiap
tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan pedoman atau prosedur tekhnis yang
telah ditentukan.

E. Evaluasi

Pengukuran efektifitas intervensi askep yang telah disusun dan tujuan


yang ingin dicapai ada 3 kemungkinan:

1) Tujuan tercapai

2) Tujuan tercapai sebagian

3) Tujuan tidak tercapai


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Inkontinensia urin merupakan keluhan yang banyak dijumpai pada
lanjut usia. Prevalensinya meningkat dengan bertambannya umur, lebih
banyak didapatkan pada wanita dan pada penderita-Penderita lanjut usia
yang dirawat di bangsal akut.

Inkontinensia urin mempunyai kemungkinan besar untuk


disembuhkan, terutama pada penderita dengan mobilitas dan status mental
yang cukup baik. Perawatan inkontinensia urin harus dilaksanakan dengan
cara bladder training/ senam kegel dengan kolaborasi. Bahkan bila tida
diobati sempurna, inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih baik,
sehingga kualitas hidup penderita meningkat dan meringankan beban yang
merawat. Pengelolaan di inkontinensialurin dimulai antara lain dengan
membedakan apakah secara garis besar penyebabnya dari segi urologik
atau masalah neurologik. Kemudian penting untuk diketahui apakah
inkontinensia terjadi secara akut/kronik/ persisten. Inkontinensia akut
biasanya reversible, berhubungan dengan penyakit akut yang sedang
diderita, dan akan balk lagi bila penyakit-penyakit akut tersebut sudah
disembubkan. Sedang pengobatan yang optimal dari inkontinensia yang
persisten tergantung pada tipe inkontinensia yang diderita.

B. Saran

Masalah inkontinensia urine sering terjadi pada lansia. Oleh karena


itu, perawat juga harus memahami proses menua balk secara iisiologik
maupun psikologik untuk dapat membantu dan merawat lansia dengan
inkontinensia urine dengan maksimal.
Menganjurkan pada lansia agar tetap melaksanakan senam kegel
secara teratur. Bagi keluarga/ pengasuh harus dapat memotivasi pasien
agar dapat selalu melakukan senam kegel secara teratur.
Asuhan keperawatan pada sistem gastrointestinal 3.1

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) ada tiga aspek yang perlu di pertimbangkan yaitu
;aspke biologi,aspek ekonomi,dan aspek social.Secara biologis penduduk lanjut
usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus yang
ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik sehingga semakin rentannya
terhadap penyakit yang dapat menyebabkan kematian.hal ini disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel,jaringan serta system
organ.secara ekonomi penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban
daripada sebagai sumber daya. banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa
tua tidak lagi memberikan banyak manfaat bahkan ada yang sampai beranggapan
bahwa kehidupan masa tua sering kali di persepsikan secara negative sebagai
beban keluarga dan masyarakat. Dari aspek social,penduduk lanjut usia
merupakan satu kelompok social sendiri.di Negara barat penduduk lanjut usia
menempati strata social di bawah kaum muda.hal ini dilihat dari keterlibatan
mereka terhadap sumber daya ekonomi,pengaruhterhadap pengambilan keputusan
serta luasnya hubungan social yang semakin menurun.Akan tetapi di Indonesia
penduduk lanjut usia menduduki kelas social yang tinggi yang harus di hormati
oleh warga kaum muda.
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C.Chalhoum (1995) masa tua
adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan
keberhasilannya.Tetapi bagi orang lain periode ini adalah permulaan
kemunduran.usia tua dipandang sebagai masa kemunduran,masa kelemahan
manusiawi dan social.Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok
lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogeny.usia tua dialami dengan
cara yang berbeda-beda.ada orang lanjut usia yang mampu melihat arti penting
usia tua dalam konteks eksistensi manusia,yaitu sebagai masa hidup yang
memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh,berkembang serta
berbakti.Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang
berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan,penolokan dan
keputusasaan.Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dengan
demikian semakin cepat kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.
Proses penuaan adalah sesuatu yang kompleks yang dapat dijelaskan secara
kronologis,fisiologis dan fungsional.
Usia kronologis merujuk pada jumlah tahun seseorang telah hidup. Mudah untuk
diidentifikasikan dan diukur,ini adalah metode objektif yang paling umum
digunakan.Di Amerika serikat,usia tua kadang kala di klasifikasikan dalam tiga
kelompok katagoru kronologis :
1) Tua – Awal (usia 65 sampai usia 74 tahun)
2) Tua – Pertengahan (usia 75 sampai usia 84 tahun)
3) Tua – Akhir (usia 85 tahun keatas)
Selain itu,usia kronologis menjadi criteria dalam masyarakat untuk
mengatagorikan aktivitas-aktivitas tertentu,seperti mengemudi,bekerja sebagai
karyawan, dan pengumpulan pension.dengan berlakunyaSocialsecurity Act dan
didrikannya medicare,usia 65 tahun menjadi usia minimum keabsahan untuk
pension.Dengan demikian usia 65 tahun adalah usia yang diakui untuk menjadi
warga negara senior di Amerika serikat.Akan tetapi,banyak orang yang menetang
ketentuan ini.
Usia Fisiologis merujuk pada penetapan usia dengan fungsi tubuh.Meskipun
perubahan terkait usia dialami setiap orang,mustahil untuk mengetahui dengan
tepat saat perubahan ini terjadi.itulah sebabnya mengapa usia fisiologis tidak
digunakan dalam menetapkan usia seseorang.
Usia Fungsional merujuk pada kemapuan seseorang berkontribusi pada
masyarakat dan bermanfaat untuk orang lain serta dirinya sendiri.Berdasarkan
fakta bahwa tidak semua individu pada usia yang berdasarkan kurun waktu
memiliki fungsi pada tingkat yang sama.banyak orang secara kurun waktu lebih
tua tetapi bugar secara fisik,aktif secara mental, dan anggota masyarakat yang
produktif.ada orang yang muda secara kurun waktu,tetapi secara fisik dan
fungsional tua.
Dengan memandang proses penuaan dari perspective yang luas dapat
membimbing kearah strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi
terhadap lansia. Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu
sendiri, walaupun bagian lain dari system saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan
ukuran otak yang di akibatkan oleh atropi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel
otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh
kehilangan neuron.
Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen juga telah
diketahui akan terjadi selama proses penuaan. Perubahan dalam system neurologis
dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10%
kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Penurunan dopamine dan beberapa
enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis
fungsional. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflek tendon
profunda. Terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-
pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan
berkurangnya gerakan yang sesuai. Fungsi system saraf otonom dan simpatis
mungkin mengalami penurunan secara keseluruhan.
2. Tujuan
Mengetahui gangguan-gangguan terhadap fungsi gastrointestinal pada lansi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN

1. SISTEM PENCERNAAN
Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai
anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke
dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan,
yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
1. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut
dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat
di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin
dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit,
terdiri dari berbagai macam bau.
2. Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaitu Pharynk.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang
banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi,
disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya
dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang
3. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga
disebut esofagus(dari bahasa Yunani: οiσω, oeso – “membawa”, dan έφαγον,
phagus – “memakan”).
Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut
histologi.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
1) bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
2) bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
3) serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
4. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai.Terdiri dari 3 bagian yaitu :
1) Kardia.
2) Fundus.
3) Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk
cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik
untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting :
1) Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
2) Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
3) Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
5. Usus halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh
darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding
usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu
melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga
melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot
melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan
serosa ( Sebelah Luar )
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus
kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
6. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu
dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
1) Kolon asendens (kanan)
2) Kolon transversum
3) Kolon desendens (kiri)
4) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa
penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri
didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan
dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
7. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi
adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan
beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,
sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau
seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
8. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi
pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang
parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga
abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform
appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung
dengan caecum.
9. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir
di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum
akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke
usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak
terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
10. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi
utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting
seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat
dengan duodenum (usus dua belas jari).
Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
1) Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
2) Pulau pankreas, menghasilkan hormon
11. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan
memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa
fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan.
Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau
hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar.
12. Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah
pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk
proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10
cm dan berwarna hijau gelap – bukan karena warna jaringannya, melainkan
karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan
hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
1) Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
2) Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan
kolesterol.
2. PERUBAHAN SISTEM GASTROINTESTINAL PADA LANSIA
Penuaan dicirikan dengan kehilangan banyak sel tubuh dan penurunan
metabolism di sel lainnya. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan
perubahan komposisi tubuh.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal akibat
proses menua (Brocklehurst and Allen,1987, Morris and Dew,1985, Nelson and
Castel,1990)
1. Rongga Mulut
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rongga mulut akibat proses
menua:
a. Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusutan dan fibrosis
pada akar halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi. Implikasi dari
hal ini adalah tanggalnya gigi, kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi
palsu yang lepas.
b. Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah perubahan
sensasi rasa dan peningkatan penggunaan garam atau gula untuk mendapatkan
rasa yang sama kualitasnya.
c. Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah mukosa mulut
tampak lebih merah dan berkilat. Bibir dan gusi tampak tipis kerena penyusutan
epitelium dan mengandung keratin.
d. Air liur/ saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang
yang telah dikunyah. Saliva memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme sebagai
berikut: penyediaan enzim pencernaan, pelumasan dari jaringan lunak,
remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada mulut, dan penyiapan makanan
untuk dikunyah. Pada lansia produksi saliva telah mengalami penurunan.

2. Faring dan Esofagus.


Banyak lansia sudah mengalami kelemahan otot polos sehingga proses
menelan sering sukar. Kelemahan otot esophagus sering menyebabkan proses
patologis yang disebut hernia hiatus didalam esofagus juga mengalami dilatasi
yaitu kehilangan tonus sfingter jantung, serta penurunan refleks muntah.Implikasi
dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko aspirasi.

3. Lambung
a. Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung sebesar
11% sampai 40% dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan dalam
mencerna makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin B12, bakteri usus
halus akan bertumbuh secara berlebihan dan menyebabkan kurangnya penyerapan
lemak.
b. Penurunan motilitas lambung. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan absorbsi obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, dan konstipasi
sering terjadi.

4. Usus halus
Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan
berukurang, menyebabkan jumlah vili berkurang dan selanjutnya juga
menurunkan proses
absorbsi. Di daerah duodenum enzim yang dihasilkan oleh pancreas dan empedu
juga menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein dan lemak menjadi
tidak sebaik sewaktu muda. Keadaan ini sering menyebabkan gangguan yang
disebut sebagai maldisgesti dan malabsorbsi.

5. Usus besar dan Rectum


Pada usus besar kelok – kelokan pembuluh darah meningkat sehingga
motilitas kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorbsi air
dan elektrolit meningkat, feses menjadi lebih keras sehingga keluhan sulit buang
air merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia. Konstipasi juga
disebabkan karena peristaltic kolon yang melemah, akibatnya kolon gagal
mengosongkan rectum.

6. Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas


Pada hepar dan hati mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada
usia lebih dari 80 tahun. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
saluran empedu, hati, kandung empedu, dan pankreas akibat proses menua:
a. Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini adalah
terjadi penurunan kapasitas dalam menimpan dan mensintesis protein dan enzim-
enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah yang tinggi
(250-300 mg/dL).
b. Perubahan proporsi lemak empedu tampa diikuti perubahan
metabolisme asam empedu yang signifikan. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan sekresi kolestero
Asuhan Keperawatan Gerontik
Terkait Sistem Gastrointestinal dan Nutrisi

A. Pengertian
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat- zat gizi dan energi, menyerap
zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang
tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Nutrisi adalah zat-zat gizi atau zat-zat lain yang berhubungan dengan
kesehatan dan penyakit, termasuk keseluruhan proses dalam tubuh manusia
untuk menerima makanan atau bahan-bahan dari lingkungan hidupnya dan
menggunakan bahan-bahan tersebut untuk aktivitas penting dalam tubuh serta
mengeluarkan sisanya.

B. Anatomi
Penuaan dicirikan dengan kehilangan banyak sel tubuh dan penurunan
metabolism di sel lainnya. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi tubuh
dan perubahan komposisi
tubuh. Organ sistem
pencernaan terdiri dari :

1. Mulut
2. Tenggorokan ( Faring)
3. Kerongkongan (Esofagus)
Esofagus dibagi menjadi
tiga bagian:
a. bagian superior
(sebagian besar adalah
otot rangka)
b. bagian tengah
(campuran otot rangka
dan otot halus)
c. serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

4. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu :Kardia, Fundus, dan Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam
keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke
dalam kerongkongan.
Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
a. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam
lambung.
b. Asam klorida (HCl)
Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang
terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
c. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
5. Usus halus (usus kecil)
- Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot
melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal )
dan lapisan serosa ( Sebelah Luar )
- Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
6. Usus Besar (Kolon)
Usus besar terdiri dari :
a. Kolon asendens (kanan)
b. Kolon transversum
c. Kolon desendens (kiri)
d. Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

7. Usus Buntu (sekum)


8. Umbai Cacing (Appendix)
9. Rektum dan anus
10. Pankreas
Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
a. Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
b. Pulau pankreas, menghasilkan hormon contoh insulin.
11. Hati
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki
beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis
protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang
penting dalam pencernaan.
12. Kandung empedu
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
a. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
b. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi Pada Lansia


1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat
kerusakan gigi atau ompong.
2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan
terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.
3. Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya
menimbulkan konstipasi.
6. Penyerapan makanan di usus menurun.

D. Kebutuhan Nutrisi Pada Lansia


1. Kalori
Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa kecepatan metabolisme basal
pada orang-orang berusia lanjut menurun sekitar 15-20%, disebabkan
berkurangnya massa otot dan aktivitas. Kalori (energi) diperoleh dari
lemak 9,4 kal, karbohidrat 4 kal, dan protein 4 kal per gramnya. Bagi
lansia komposisi energi sebaiknya 20-25% berasal dari protein, 20% dari
lemak, dan sisanya dari karbohidrat. Kebutuhan kalori untuk lansia laki-
laki sebanyak 1960 kal, sedangkan untuk lansia wanita 1700 kal. Bila
jumlah kalori yang dikonsumsi berlebihan, maka sebagian energi akan
disimpan berupa lemak, sehingga akan timbul obesitas. Sebaliknya, bila
terlalu sedikit, maka cadangan energi tubuh akan digunakan, sehingga
tubuh akan menjadi kurus.
2. Protein
Pada lansia, masa ototnya berkurang, tetapi kebutuhan tubuhnya akan
protein tidak berkurang, bahkan harus lebih tinggi dari orang dewasa,
karena pada lansia efisiensi penggunaan senyawa nitrogen (protein) oleh
tubuh telah berkurang (disebabkan pencernaan dan penyerapannya kurang
efisien). Beberapa penelitian merekomendasikan, untuk lansia sebaiknya
konsumsi proteinnya ditingkatkan sebesar 12-14% dari porsi untuk orang
dewasa. Sumber protein yang baik diantaranya adalah pangan hewani dan
kacang-kacangan.
3. Lemak
Konsumsi lemak yang dianjurkan adalah 30% atau kurang dari total kalori
yang dibutuhkan. Konsumsi lemak total yang terlalu tinggi (lebih dari 40%
dari konsumsi energi) dapat menimbulkan penyakit atherosclerosis
(penyumbatan pembuluh darah ke jantung). Juga dianjurkan 20% dari
konsumsi lemak tersebut adalah asam lemak tidak jenuh (PUFA = poly
unsaturated faty acid). Minyak nabati merupakan sumber asam lemak tidak
jenuh yang baik, sedangkan lemak hewan banyak mengandung asam
lemak jenuh.
4. Karbohidrat Dan Serat Makanan
Salah satu masalah yang banyak diderita para lansia adalah sembelit atau
konstipasi (susah BAB) dan terbentuknya benjolan-benjolan pada usus.
Serat makanan telah terbukti dapat menyembuhkan kesulitan tersebut.
Sumber serat yang baik bagi lansia adalah sayuran, buah-buahan segar dan
biji-bijian utuh. Manula tidak dianjurkan mengkonsumsi suplemen serat
(yang dijual secara komersial), karena dikuatirkan konsumsi seratnya
terlalu banyak, yang dapat menyebabkan mineral dan zat gizi lain terserap
oleh serat sehingga tidak dapat diserap tubuh. Lansia dianjurkan untuk
mengurangi konsumsi gula-gula sederhana dan menggantinya dengan
karbohidrat kompleks, yang berasal dari kacang-kacangan dan biji-bijian
yang berfungsi sebagai sumber energi dan sumber serat.
5. Vitamin Dan Mineral
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa umumnya lansia kurang
mengkonsumsi vitamin A, B1, B2, B6, niasin, asam folat, vitamin C, D,
dan E umumnya kekurangan ini terutama disebabkan dibatasinya
konsumsi makanan, khususnya buah-buahan dan sayuran, kekurangan
mineral yang paling banyak diderita lansia adalah kurang mineral kalsium
yang menyebabkan kerapuhan tulang dan kekurangan zat besi
menyebabkan anemia. Kebutuhan vitamin dan mineral bagi lansia menjadi
penting untuk membantu metabolisme zat-zat gizi yang lain. Sayuran dan
buah hendaknya dikonsumsi secara teratur sebagai sumber vitamin,
mineral dan serat.
6. Air
Cairan dalam bentuk air dalam minuman dan makanan sangat diperlukan
tubuh untuk mengganti yang hilang (dalam bentuk keringat dan urine),
membantu pencernaan makanan dan membersihkan ginjal (membantu
fungsi kerja ginjal). Pada lansia dianjurkan minum lebih dari 6-8 gelas per
hari.

E. Proses Penuaan Normal pada Saluran Gastrointestinal


Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam
saluran gastrointestinal (GI). Namun, karena luasnya persoalan fisiologi pada
sistem gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang berkaitan dengan
usia yang dilihat dalam kesehatan. Banyak masalah-masalah GI yang
dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan gaya hidup mereka.
Perubahan Normal Terkait Usia Implikasi Klinis

Rongga Mulut:
Hilangnya tulang periosteum Tanggalnya gigi
dan peridontal
Retraksi dan struktur gusi Mempertahankan pelekatan gigi palsu
yang pas
Hilangnya kuncup rasa Perubahan sensasi rasa:
Peningkatan penggunakan garam

Esofagus, lambung, usus :


Dilatasi esofagus Peningkatan risiko aspirasi
Kehilangan tonus sfingter
Penurunan refleks muntah
Penurunan motilitas lambung Penurunan absorpsi obat-obatan, zat
besi, kalsium, vitamin B12
Tabel Perubahan-Perubahan Proses Penuaan Pada Sistem Gastrointestinal Yang Normal

Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal desease yang


biasa terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi
yang buruk dan gizi yang buruk. Pada Lansia keluahan-keluhan seperti
kembung, perasaan tidak enak di perut dan sebagainya, seringkali disebabkan
makanan yang kurang dicerna akibat berkurangnya fungsi kelenjar
pencernaan. Juga dapat disebabkan karena berkurangnya toleransi terhadap
makanan terutama yang mengandung lemak.
Keluhan lain yang sering dijumpai adalah konstipasi, yang disebabkan
karena kurangnya kadar selulosa, kurangnya nafsu makan bisa disebabkan
karenanya banyaknya gigi yang sudah lepas. Dengan proses menua bisa
terjadi gangguan motilits otot polos esophagus, bisa juga terjadi refluks
disease (terjadi akibat refluks isi lambung ke esophagus), insiden ini
mencapai puncak pada usia 60 – 70 tahun. Dan berikut gangguan sistem
gastrointestinal pada lansia:
1. Gannguan pada Sistem Gastrointestinal Atas

a) Penyakit Periodontal
Penyakit periondontal (gingivitis dan periodontitis) adalah
inflamasi dari struktur yang menyokong gigi, dengan hasil akhir
berupa kerusakan tulang. Kerusakan ini menyebabkan kehilangan
secara progresif dan pada akhirnya terjadi kehilangan gigi. Penyakit
ini disebabkan oleh bakteri yang terdapat di dalam plak.
Tanda Gingivitis Gusi kemerahan dan gusi bengkak yang
beerdarah ketika gosok gigi. Jika infeksi makin berkembang, bau
napas tidak seap (halitosis), rasa tidak enak dalam mulut, atau rasa
tidak enak di mulut, atau adanya eksudat purulen di sekitar garis gusi.
b) Disfagia
Disfagia atau kesulitan menelan dianggap sebagai konsekuensi
normal akibat penuaan, penyebab struktural, vaskular atau neurogenik
sekarang telah dikenal sebagai patologi yang mendasari.
Gangguan menelan biasanya berpangkal pada daerah
presofagus tepatnya di daerah osofaring penyebabnya tersembunyi
dalam system saraf sentral atau akibat gangguan neuromuskuler
seperti jumlah ganglion yang menyusut sementara lapisan otot
menebal dengan manometer akan tampak tanda perlambatan
pengosongan usofagus. Selain itu, produksi saliva yang menurun
dapat mempengaruhi proses perubahan kompleks krbohidrat menjadi
disakarida. Fungsi ludah sebagai pelican makanan berkurang sehingga
proses menelan menjadi sukar.
c) Refluks Gastroesofagus Dan Hernia Hiatal
- Refluk Gastroesofagus merupakan aliran balik getah lambung
masuk ke dalam esofagus. Dinding esofagus lebih tipis dan sensitif
pada lansia.
- Hernia Hiatal adalah masuknya lambung, dan organ-organ dalam
abdomen lainya ke dalam rongga toraks melalui suatu pembesaran
hiatus esofagus dalam diafragma. Namun, banyak pula lansia yang
mengalami gejala refluks tanpa hernia hiatal.

2. Gangguan-gangguan pada Usus Halus

Penyakit Malabsorbsi
Merupakan gangguan asimilasi nutrisi dari usus halus. Penurunan
sekresi asam lambung dan penggunaan antasid pada waktu yang lama
mendorong ke pertumbuhan bakteri secara berlebihan, sering
menyebabkan malabsorbsi pada lansia. Malabsorbsi dapa pula
dihubungkan dengan operasi sebelumnya atau obat-obatan yang
dikonsumsi seperti antikolinergik, dan narkotik yang memperlambat
motilitas usu kemudian meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Berat total usus halus berkurang diatas usia 40 tahun meskipun
penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali
kalsium (diatas 60 tahun)dan zat besi.
Manifestasi Klinik
Malabsorbsi bukan akibat yang normal dari penuaan, walaupun
masalah malabsorbsi dapat muncul pada lansia, sering dengan manifestasi
lain yang menyertainya. Tanda dan gejala malabsorbsi sering terlihat
dalam hubungan dengan gangguan inflamasi usus. Diare, nyeri abdomen,
dan perdarahan rektum adalah gejala-gejala yang paling jelas.

3. Penyakit-penyakit pada Usus Besar

Gangguan yang sering terjadi pada usus besar yang mempengaruhi lansia
adalah divertikulosis, kanker, konstipasi dan diare.

a) Penyakit Divertikular

Divertikulum kolonik adalah suatu kantong di luar atau herniasi


melalui mukosa kolon. Biasanya terdapat penebalan dinding kolon
yang jelas. Gangguan motilitas usus dianggap merupakan predisposisi
pembentukan divertikula pada lansia.

b) Obstruksi usus

Obstruksi usus adalah penghentian sebagai atau keseluruhan dari


majunya aliran isi usus, biasanya terjadi sebagai akibat dari penutupan
lumen usus yang aktual. Obstruksi dapat disebabkan pula oleh tumor,
penyakit usus iskemik dsb.

c) Konstipasi

Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang


disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses.
Konstipasi adalah masalah umum yang disebabkan oleh penurunan
motilitas, kurang aktivitas dan penurunan kekuatan dan tonus otot.
Banyak pula lansia yang mengalami ini akibat dari penurunan sensasi
saraf, tidak sempurnanya pengososngan usus, atau kegagalan dalam
menangani sinyal untuk defekasi.

d) Diare

Diare adalah defekasi yang meningkat dalam frekuensi, lebih cair, dan
sulit untuk dikendalikan. Infeksi bakteri dan virus, impaksi fekal,
pemberian makanan melalui slang, dan diet yang berlebihan dapat
menyebabkan diare akut pada lansia. Diare dapat disebabkan oleh
malabsorbsi, penyakit divertikular, gangguan inflamasi usus, atau
obat-obatan, terutama antasid, antibiotik, antisidisritmia, antihipertensi
dan penyakit sistemik lainya.
F. Masalah Gizi Pada Lansia
1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di negara-negara barat
dan kota-kota besar. Kebiasaan makan banyak pada waktu muda
menyebabkan berat badan berlebih, apalai pada lansia penggunaan
kalori berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan
itu sulit untuk diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan.
Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit,
misalnya : penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.
2. Gizi kurang penghasilan
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social
ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori
terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang
normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein
menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki,
akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun,
kemungkinan akan mudah terkena infeksi pada organ tubuh yang vital.
Faktor penyebab malnutrisi pada lanjut usia:
a) Penyakit akut dan kronis
b) Keterbatas sumber/penghasilan
c) Faktor psikologis
d) Hilangnya gigi
e) Kesalahan dalam pola makan
f) Kurangnya energi untuk mempersiapkan makanan
g) Kurangnya pengetahuan tentang nutrisi yang tepat
3. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan
ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan akibatnya nafsu
makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan menjadi
lesu dan tidak bersemangat.
4. Osteoporosis
Kondisi dimana sering disebut tulang kropos yang disebabkan oleh
penurunan densitas tulang akibat kurangnya konsumsi kalsium dalam
jangka waktu yang lama. Mencapai maksimum pada usia 35 tahun pada
wanita dan 45 tahun pada pria.
5. Anemia
Kondisi dimana sel-sel darah mengandung tingkat haemoglobil
yang tidak normal, kimia yang bertugas membawa oksigen di seluruh
tubuh yang disebabkan kurang Fe, asam folat, B12 dan protein. Akibatnya
akan cepat lelah, lesu, otot lemah, letih, pucat, kesemutan, sering pusing,
mata berkunang-kunang, mengantuk, HB <8 gr/dL.
6. Kekurangan anti oksidan
(Banyak dijumpai dalam buah-buahan dan sayuran) mampu
menangkal efek merusak radikal bebas terhadap tubuh, sehingga konsumsi
yang kurang dapat meningkatkan resiko berbagai penyakit akibat radikal
bebas, seperti serangan jantung dan stroke, katarak, persendian hingga
menurunnya penampilan fisik seperti kulit menjadi keriput.
7. Sulit buang air besar
Ini karena pergerakan usus besar semakin lambat, makanan lambat
diolah dalam tubuh. Akibatnya, buang air besar jadi jarang.
8. Kelebihan gula dan garam
o Garam (natrium) dapat meningkatkan tekanan darah, terutama pada
orangtua
o Makanan tinggi gula membuat tubuh mudah gemuk, meningkatkan
kolesterol dan gula darah
Karena itu, sebaiknya kurangi konsumsi gula dan garam

G. Pemeriksaan penunjang
1. Sel darah lengkap (CBC) menghitung atau mencari tanda-tanda
infeksi dan dehidrasi. Sebuah peningkatan jumlah sel darah
putih(15.000-20.000/mm3) adalah tanda infeksi dan mungkin
menunjukan sumbatan atau perforasi usus. Peningkatan tingkat
hematokrit dapat berarti dehidrasi.
2. Pemeriksaan elektrolit dan urinalisis untuk mengevaluasi
ketidakseimbangan cairan elektrolit dan sepsis.
3. Kleatinin dan nitrogen urea darah (BUN), tingkat peningkatan kadar
serum ini menunjukan bahwa kemungkinan pasien mengalami
dehidrasi
4. Rongten abdomen, untuk menentukan lokasi pola dan
jenisnya(mekanisme atau nonmechanical,sebagian atau seluruhnya)
dari obstruksi.
5. Kolonoskopi untuk membantu dalam penilaian dan diagnosis dari
obstruksi usus besar.
6. Tes fungsi hati
7. CT scan abdomen
8. USG.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian secara umum


Pengkajian ini meliputi identitas klien, status kesehatan saat ini, riwayat
kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik sistem
gastrointestinal, pola aktivitas sehari-hari, serta pengkajian pola
psikososial dan spiritual.
a. Status kesehatan saat ini :
o status kesehatan secara umum
o keluhan kesehatan saat ini
o Pengetahuan, pemahaman, dan penatalaksanaan
masalah kesehatan
b. Riwayat kesehatan masa lalu:
o penyakit masa kanak-kanak
o penyakit kronik
o Pernah mengalami trauma
c. Pengkajian umum status gizi individu
Pengkajian Status Gizi
1) Pengukuran antropometri, yaitu pengukuran tinggi badan (TB),
dan berat badan (BB).
2) Menghitung indeks masa tubuh
IMT = Kg BB / (TB)2
IMT Kategori
< 18,5 Berat badan kurang
18,5 – 24,9 Berat badan normal
25,0 – 29,9 Berat badan lebih
30,0 – 34,9 Obesitas I
35.0 – 39.9 Obesitas II
>39,9 Sangat obesitas
Pada Lansia terjadi pengurangan tinggi padan, hal ini disebabkan
karena beberapa hal, antara lain:
 Komponen cairan tubuh berkurang sehingga diskus
intervertebralis relatif kurang mengandung air sehingga
menjadi lebih pipih
 Semakin tua cenderung semakin kifosis, sehingga tinggi dan
tagak lurus tulang punggung berkurang
 Osteoporosis yang sering kali terjadi pada wanita lansia akan
mudah mengakibatkan fraktur vertebra sehingga tinggi badan
berkurang.
Penurunan tinggi badan tersebut mempengaruhi hasil penghitungan
IMT (Indeks Massa Tubuh). Oleh karena itu dianjurkan memakai
ukuran tinggi lutut (knee hight). Tinggi lutut tidak akan berkurang
kecuali terjadi fraktur tungkai bawah.
Berikut rumusnya:
TB pria : 59,01 + (0,28 x TL cm)
TB wanita : 75,00 + (1,91 x TL cm) – (0,17 x U)

3) Pengukuran Biochemical (Laboratorium)


4) Pengkajian secara umum status gizi induvidu:
Area Tanda-tanda normal Tanda-tanda
pengkajian abnormal

Penampilan Gesit, energik, mampu Apatis, lesu, tampak


umum dan beristirahat dengan baik lelah
vitalitas
Berat badan Dalam rentang normal Obesitas, underweight
sesuai dengan usia dan
tinggi badan
Rambut Bercahaya, berminyak Kusam, kering, pudar,
dan tidak kering kemerahan, tipis, pecah/
patah-patah

Kulit Lembut, sedikit lembab, Kering, pucat, iritasi,


turgor kulit baik petichie, lemak di
subkutan tidak ada
Kuku Merah muda, keras Mudah patah, berbentuk
seperti sendok

Mata Berbinar, jernih, lembab, Konjungtiva pucat,


konjungtiva merah muda kering, exoptalmus,
tand-tanda infeksi

Bibir Lembab merah muda Kering, pecah-pecah,


bengkak, lesi,
stomatitis, membrane
mukosa pucat

Gusi Merah muda, lembab Perdarahan, peradangan,


11
berbentuk seperti spon

Otot Kenyal ,berkembang Fleksia/ lemah, tonus


dengan baik kurang, tenderness,
tidak mampu bekerja

System Nadi dan tekanan darah Denyut nadi lebih dari


kardiovaskuler normal, irama jantung 100X/ menit, irama
normal abnormal, tekanan darah
rendah atau tingi

System Nafsu makan baik, Anorexia, konstipasi,


pencernaan eliminasi normal dan diare, flatulensi,
teratur pembesaran liver

System Reflek normal, waspada, Bingung, rasa terbakar,


persarafan perhatian baik, emosi paresthesia, reflek
stabil menurun

d. Bau
Bau mulut (kurangnya kebersihan mulut, penyakit pada rongga mulut
dan paru-paru, infeksi abses paru, penyakit paru dan uremia).
e. Kulit
Turgor kulit yang jelek dihubungkan dengan dehidrasi, kulit bersisik,
gatal, kulit yang pucat, pengikisan kulit bisa disebabkan oleh
bermacam-macam defisiensi nutrisi. Kaji adanya edema akibat
gangguan sistem lain.
f. Pemeriksaan rongga mulut :
- Bibir
Kesimetrisan, warna, kelembaban, kebiru-biruan (rendahnya kadar
O2). Bibir pecah-pecah (defisiensi riboflafin atau perlukaan oleh
gigi yang tajam).
- Rongga mulut
 Inspeksi kelembaban dan kemerahan membran mukosa
 Membran mukosa dan lidah kering (dehidrasi), bintik putih
pada mukosa (infeksi moniliasis).
 Gusi bengkak penyakit periodontal juga akibat fenitoin atau
leukimia. Keracunan timah dideteksi dengan timbulnya garis
biru kehitaman jika gigi masih ada.
- Faring
 Selama proses menelan, nervus fagusà palatun lunak terangkat
dan menutup nasofaring dan aspirasi tidak terjadi.
 Kaji fungsi gangguan refleks, tekan lidan pada bagian tengah,
tetapi tidak terlalu jauh kebelakang àrespon tersedak. Suruh
lansia mengatakan “ah” palatum lunak terangkat. Jika terjadi
rasa sakit dan kemerahan, atau adanya bintik putih
dikerongkongannya.
g. Pemeriksaan abdomen
a) Suruh pasien mengosongkan abdomen, lihat (tanya) apakah
ada bekas luka akibat apendektomi 50 tahun yang lalu.
b) Lihat apakan ada striae (biasanaya biru-pink atau warna
perak) Hasilà dari obesitas, ansites, kehamilan, atau tumor.
Lihat adanya ruam.
c) Kaji kesimetrisan abdomen dan mencakup semua keempat
kuadran. Catat adanya temuan dan lokasi.distensi bagian
bawah abdomen (dibawah pusar)àdistensi kandung kemih
atau tumor pada uterus dan ovarium.
d) Kaji adanya nyeri atau ketegangan.
e) Perkusi (bunyi abnormal pada sebagian organ abdomen,
misal hati, lambung,dll).
f) Kaji bising usus normal (terdengar satu kali setiap 5-15 detik,
biasanya tidak teratur), jika tidak terdengar, stimulasi dengan
jari. Tidak adanya bising usus kurang dari 5 menit
dibutuhkan evaluasi medis. Peningkatan suara sampai
penurunan peristaltik. Palpasi seharusnya tidak ada masa.
- Pemeriksaan rektum
a) Inspeksi perianal (hemoroid), lakukan DRE untukmengkaji
(fisura, tumor, inflamasi, dankebersihan yang kurang)
b) Minta klien untuk meneran (ada tambahan hemoroid atau
rectal prolaps). Masa yang keras bias menghalangi palpasi
penuh pada rektum.
h. Pemeriksaan feses
a) DRE (pemeriksaan spesimen feses)
b) Feses hitam (makanan yang tinggi besi atau perdarahan usus
proksimal)
c) Darah merah segar (perdarahan usus bagian distal atau
hemoroid). Pucat atau berlemak (masalah absorbsi). Feses
yang abu-abu (obstruksi jaundice) mukus (inflamasi)
(Eliopoulus, 2005)

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


Menurut Tamher, Intervensi Keperawatan pada Gangguan Pencernaan
dan Nutrisi berdasarkan sebuah sumber, Penyuluhan sehubungan dengan
nutrisi dan pencernaan meliputi 3 hal yang penting, yaitu:
1. Kondisi rongga mulut dan gigi
a. Kebersihan mulut dan gigi
b. Menggunakan sikat yang lunak serta pasta gigi yang mengandung uor.
c. Hindari pemakaian obat kusia, karena dapat menyebabkan kekeringan
mulut
d. Hindari makanan manis seperti permen atau sejenisnya
e. Sehabis memakan makanan yang manis harus berkusia dan menyikat
gigi
f. Minta pelayanan dokter gigi secara teratur, misalnya dua kali setahun
g. Bila menggunakan gigi palsu, copot di malam hari, rendam dalam air,
dan bersihkan saebelum dipakai lagi

2. Penyuluhan tentang konstipasi


a. Defekasi setiap hari bukanlah suatu norma, karena masing-masing
lansia memiliki pola sendiri-sendiri yang berkisar antara 3 kali
sehari sampai 3 kali seminggu
b. Perlu memperhatikan diet tinggi serta berupa sayuran segar serta
beberapa jenis sayuran mentah, kacang-kacangan, serta makanan
sereal dari zat terapung
c. Minum air yang cukup sebaiknya disertai jus buah setiap hari
d. Hindari menggunakan obat pencahar, anjurkan lansia agar jangan
menunda bila merasa hendak buang air besar

3. Penyuluhan tentang kekeringan rongga mulut


a. Hal ini mungkin timbul akibat gangguan atau penyakit mulut atau
oleh pengaruh obat yang memerlukan dilakukanya pengkajian
seksama.
b. Merangsang produksi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah
permen yang tak mengandun gula serta banyak minum air, hindari
alkohol, dan minuman asam.
c. Hindari pemakaian obat kusia, rokok, serta tingkatkan higiene
mulut dan gigi.
Sedangkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut :

1. Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan kelemahan otot abdomen,


perubahan motilitas traktus gastrointestinal, asupan serat dan cairan yang
tidak cukup, ketidakadekuatan gigi geligi, ketidakadekuatan higiene oral
(Nanda, 2012).
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur, sesuai pola
Kriteria Hasil :

 mendapatkan kembali pola fungsi yang normal

 konsistensi feses lembut, lunak

 eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan


Intervensi :
1. Auskultasi bising usus, Observasi pola defekasi klien sebelumnya dan
pola diet klien
2. Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
3. Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
4. Jelaskan manfaat makanan berserat atau beri penyuluhan mengenai diet
yang berhubungan
5. Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi
Rasional :
1. Membantumenentukan intervensiselanjutnya
2. Cairan membantu pergerakan cairan,kopi bersifatdiuretic danmenarik
cairan, dapat bertindak sebagaistimulus untuk evakuasi feses
3. Diet tinggi serat yang seimbang akan menstimulasi peristaltic.
4. Meningkatkan pengetahuan pasien
5. Laksatif akan mengganggu program defekasi karena dapat menyebabkan
pengosongan usus yang berlebihan dan defekasi yang tidak terjadwal.
Apabila digunakan terus-menerus, laksatif dapat menyebabkan penurunan
tonus kolon dan retensi feses. Pelunak feses mungkin tidak diperlukan jika
asupan makanan dan cairan adekuat

2. Diagnosa : Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d


ketidakmampuan untuk mencerna makanan, ketidakmampuan menelan
makanan, ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrien (Nanda, 2012)
Tujuan : Kebutuhan nutrisi bisa terpenuhi secara adekuat.
Kriteria Hasil :
NOC I : Status nutrisi

 Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien


diharapkan mampu:
 Asupan nutrisi tidak bermasalah
 Asupan makanan dan cairan tidak bermasalah
 Energy tdak bermasalah
 Berat badan ideal
Intervensi :
NIC I : Manajemen ketidakteraturan makan (eating disorder management / 1030)
1. Observasi BB, dan napsu makan pasien.
2. Kembangkan hubungan suportif dengan pasien
3. Dorong pasien untuk memonitor diri sendiri terhadap asupan makanan dan
kenaikan atau pemeliharaan berat badan
4. Gunakan teknik modifikasi tingkah laku untuk meningkatkan berat badan
dan untuk menimimalkan berat badan.
5. Diskusikan dengan tim dan pasien untuk membuat target berat badan, jika
berat badan pasien tdak sesuai dengan usia dan bentuk tubuh.
6. Jelaskan konsep nutrisi yang baik pada pasien.
7. Diskusikan dengan ahli gizi untuk menentukan asupan kalori setiap hari
supaya mencapai dan atau mempertahankan berat badan sesuai target.

3. Diagnosa : Diare berhubungan dengan malabsorpsi (Nanda, 2012)


Tujuan : Setelah dilakukan diagnosa keperawatan selama ... x ... jam, diare
pasien berkurang dari sebelumnya, frekuensi defekasi kembali
normal
Kriteria Hasil :
NOC, Bowel elimination (0501)
 Tidak terjadi diare
 Tidak ada darah dalam tempat buang air
 Tidak ada lender dalam tempat buang air
Intervensi :
NIC, Diarea Management (0460)
1. Observasi intake untuk kecukupan nutrisi
2. Observasi turgor kulit
3. Monitor tanda dan gejala diare
4. Measure diarea / bowel input
5. Ajarkan pasien / keluarga pasien bagaimana menjaga kebiasaan makan

4. Diagnosa : Kekurangan volume cairan b/d kehilangan berlebihan melalui


feses (diare)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan keseimbangan dan
elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria Hasil :
 Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50C, RR : < 40
x/mnt )
 Turgor kulit < 2detik, membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong
 Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari atau normal sesuai pola
Intervensi :
1. Kaji tanda vital, tanda/gejala dehidrasi dan hasil pemeriksaan laboratorium
2. Pantau intake dan output.
3. Berikan cairan parenteral sesuai dengan program rehidrasi
4. Beri informasi mengenai pentingnya kesimbangan cairan
5. Kolaborasi pelaksanaan terapi definitif.
Rasionali :
1. Menilai status hidrasi, elektrolit dan keseimbangan asam basa.
2. Memberikan informasi status keseimbangan cairan untuk menetapkan
kebutuhan cairan pengganti.
3. Peningkatkan pengetahuan pasien.
4. Sebagai upaya rehidrasi untuk mengganti cairan yang keluar bersama
feses.
5. Pemberian obat-obatan secara kausal penting setelah penyebab diare
diketahui.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Lansia merupakan masa-masa yang rentan terhadap penyakit, oleh karena itu
asuhan keperawatannya pun berbeda-beda tergantung jenis penyakit dan tingkat
ketergantungannya terhadap pelayanan.
Pengkajian adalah komponen kunci dari diagnosis yang akurat,
penentuan tujuan, dan intervensi. Salah satu komponen pengkajian fisik dalam
gangguan neurologis adalah pengujian sensasi , koordinasi, fungsi serebral,
refleks, dan saraf saraf cranial. Masalah fisik dan fungsional di masa lalu atau
dimasa sekarang seperti defek fungsi motorik , kejang, cedera otak, kanker,
refleks yang abnormal, kekakuan, masalah pencernaan dan paralisis adalah
pemicu yang harus di evaluasi lebih lanjut. Selain itu defisit kognitif komunikatif
( dalam memori, proses berpikir dalam berbicara, abstraksi, kelancaran), status
mental dan faktor persepsi sensori, dan masalah psikologis memandu perawat
dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan kemampuan fungsional.
DAFTAR PUSTAKA

Sonson Somantri, 2013, MAKALAH (ASKEP GEROINTIK ASPEK


PENUAAN),
Ibra,2012, MAKALAH PENCERNAAN PERUBAHAN SISTEM
GASTROINTESTINAL DAN KONSEP GANGGUAN MEDIS KOLESISTITIS
PADA LANSIA,
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :
Salemba Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep


dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses


pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal
pada tanggal 20 Oktober 2014

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Evelyn C.Pearce,cet. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic,.24,Jakarta:


GM

Jhonson, Marion dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louise,
Missouri : Mosby, Inc.
Lueckenotte, Annette Giesler.Ed . 1998. Pengkajian gerontology..2.Jakarta.EGC

McCloskey, Joanne C. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). St.


Louise, Missouri : Mosby, Inc.
Subekti, Nike Budhi. 2007. Asuhan keperawatan geriatric/editor,Jaime
L.Stockslager,et al : alih bahasa,;editor edisi bahasa Indonesia Nur Meity
Sulistia Ayu.ed.2.jakarta : EGC

Tamher. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pemdekatan Asuhan Keperawatan.


Jakarta: Salemba

Anda mungkin juga menyukai