Anda di halaman 1dari 9

DEKLARASI KEBANGSAAN MELAWAN RADIKALISME;

Upaya Pemandulan Estafet Islam-Politik


Oleh; yatika istiqomah, fst.

Pendahuluan
Gerakan tolak radikalisme akhir-akhir ini sangat massif terdengar. Isu Tolak
radikalisme semakin gencar digulirkan pemerintah, seiring dengan disahkannya Perppu
Ormas menjadi UU melalui mekanisme voting di DPR. Semakin ramai lagi, karena
pemerintah melalui Menristekdikti punya gawe besar pada 28 Oktober 2107 kemarin
bertepatan dengan hari sumpah pemuda, yaitu Kuliah Akbar serentak setiap provinsi se-
Indonesia dengan tema Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme jilid
2 yang sebelumnya telah diselenggarakan jilid 1 (25-26/09) 2016 di Bali, yang diikuti oleh
4.500.000 mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia.
Sebanyak 15.000 mahasiswa dari kampus se-DIY mengikuti deklarasi kebangsaan
melawan radikalisme di stadion Mandala Krida, (TribunJogja, 28/10/2017), 30.000-an
mahasiswa lintas perguruan tinggi negeri dan swasta di Kota Palu, berlangsung di
Lapangan Upacara Uneversitas Tadulako (Untad), Sekitar 25.000 mahasiswa se-Sulawesi
Tenggara di kawasan Tugu Religi Alun-alun Kendari. Sabtu, (Antara News. 28/10/2017). Di
Bandung, puluhan perguruan tinggi negeri dan swasta se jawa Barat mengadakan
deklarasi anti radikalisme yang diselenggarakan di Universitas Padjadjaran (14/7/2017). Isi
dari kegiatan tersebut adalah penguatan beberapa poin yakni berpegang teguh pada
Pancasila, UUD 1945 dan semangat bhineka Tunggal Ika, sekaligus menolak organisasi
dan aktifitas yang diklaim radikalisme. Di Jember, kegiatan Konferensi Tokoh Warga
dengan tema "Melawan Radikalisme dan Terorisme" yang dilaksanakan pada hari
Minggu 15/10/2017 setidaknya menghasilkan tujuh rekomendasi di antaranya pemerintah
harus melarang segala bentuk pembelajaran yang mengarah pada ajaran-ajaran
radikalisme di sekolah terutama yang terdapat dalam buku ajar maupun dalam lembar kerja
siswa. Di Malang sendiri, setidaknya kegiatan berlangsung di GOR Univ. Brawijaya dengan
quota sebanyak 1000 mahasiswa dengan mengiming-imingi berbagai doorprize
menggiurkan kepada mahasiswa. Dan dibeberapa kota yang lainnya, melakukan aksi kuliah
melawan radikalisme dan intolerisme.
Terlihat dari kegiatan tersebut dan bisa dibayangkan, berapa dana, tenaga dan
pikiran yang dikerahkan untuk melakukan gerakan tolak radikalisme ini. Benarkah gerakan
radikal adalah bahaya yang sangat besar bagi Indonesia??

Patut dipertanyakan
Berkaitan dengan Aksi Kebangsaan tersebut yang digelar APTISI (asosiasi perguruan
tinggi swasta Indonesia), yang mana diketuai oleh Dr. Budi Djatmiko mengeluarkan
reaksinya menyatakan dalam surat tanggapan bahwa pelaksanaan aksi tersebut dinilai
sarat akan kejanggalan, sangat politis, dan cenderung menghamburkan waktu dan uang
miliaran rupiah. Padahal masih banyak permasalahan PTS yang harus diselesaikan dan
dipikirkan bersama. Agenda yang melibatkan mahasiswa sebagai sasarannya ini diketahui
keluar dari jalur tugas pokok dan fungsi perguruan tinggi, selanjutnya diperparah dengan
mencatut nama FRI (Forum Rektor Indonesia), bahkan muncul penolakan-penolakan dari
kalangan intelektual. Hal itu ditegaskan oleh Ketua FRI Prof. Dr. Suyatno kepada media
Jakarta, kamis 26 Oktober 2017 menghimbau bahwa seluruh komponen bangsa,
khususnya pimpinan perguruan tinggi dan seluruh civitas akademika, untuk tetap bersikap
arif dan bijak dalam menyikapi aksi-aksi saat ini.
Banyak yang harus dipertanyakan dari kejelasan Aksi tersebut, karena banyak sekali
terlihat ketidak-sinkronan antara pemerintah pusat dengan elemen intelektual. Sehingga hal
ini cenderung memperlihatkan ada agenda tertentu yang tidak semua elemen civitas
akademika menyetujuinya karena alasan-alasan tertentu. Terlebih ditemukannya fakta
bahwa kebanyakan Perguruan Tinggi yang akan ikut dalam aksi tersebut mengedarkan
surat kepada mahasiswa untuk mengikuti kegiatan itu sebagai kegiatan wajib serta sebagai
sarat dapat mengikuti ujian atau sarat dikeluarkannya nilai.

Gambar 1. Dokumentasi Hasil Seminar di DIY (Devi, 2017)

Disisi lain, melihat kaum yang tersasar adalah kalangan intelektual, termasuk
mahasiswa didalamnya, harus disikapi dengan kritis bagaimana peran dan fungsi
Mahasiswa untuk kemajuan bangsa. Sejatinya, Mahasiswa sebagai kaum pemuda, ialah
mereka yang memiliki idealisme tak terbeli apalagi dengan materi. Pemuda adalah sumber
perubah dan agen penggerak, bahkan Indonesia juga dimerdekakan oleh pemuda.
Momentum kebangkitan pemuda seharusnya disikapi dengan memfasilitasi pengoptimalan
potensi akal fikiran pemuda dalam rangka kemaslahatan umat, melawan penjajahan
pemikiran seperti sekulerismen, neo imperialism dan neoliberalisme.
Siapapun tahu, Indonesia tengah dibelit berbagai persoalan serius. Harga pangan
melambung, di tengah-tengah potensi sumber daya alam pertanian yang berlimpah.
Sementara itu kehidupan para petani dan nelayan semakin susah. Tempat tinggal dan
pemukiman layak huni, kian jauh dari jangkauan kantong rakyat umumnya. Padahal
teknologi konstruksi dan bangunan serta potensi sumber daya alam perumahan tersedia
berlimpah. Akses terhadap air bersih, listrik, gas, BBM juga tidak mudah. Hal serupa pada
kesehatan, jutaan jiwa kesulitan memperoleh jasa dokter, peralatan medis dan obat-obatan,
di saat riset kesehatan dan farmasi maju pesat. Demikian pula riset dan teknologi
transportasi yang canggih tidak banyak manfaatnya bagi kemudahan setiap orang
memenuhi hajat transportasi publik yang murah, aman dan nyaman.
Sementara itu sistem pendidikan yang berkiblat ke Barat sangat membebani
masyarakat, dan menyingkirkan hak kaum papa dan miskin. Out put-nyapun hanyalah
pekerja terdidik sesuai kepentingan industrialisasi dan kebutuhan hegemoni terselubung.
Cukup mudah membuktikan pupusnya kedaulatan bangsa. Hampir semua kebutuhan
masyarakat dipenuhi melalui impor. Pembangunan sangat tergantung pada modal dan
kemauan asing. Bahaya neoliberalisme-neokolonialisme, begitu nyata di depan mata. Maka
sungguh salah alamat ketika pemerintah justru menyatakan bahwa musuh kita adalah
paham radikalisme, karena pada kenyataannya yang menghancurkan kita adalah
neoliberalisme-neokolonialisme.

Aksi Kebangsaan Anti-Radikalisme; Rezim Panik!


Begitulah namanya panik, melakukan yang tak perlu, semakin berbuat semakin salah
lagi. Begitu yang bisa kita lihat atas ulah penguasa saat ini, apapun yang bisa digunakan
untuk memperpanjang kekuasaan, ya akan dilakukan. Bahkan dengan cara yang tak
masuk akalpun.
Benar ketika Rosululloh mengatakan “bila sudah tidak punya rasa malu, maka
berbuatlah sesukamu”. Apalagi yang tidak ada pada penguasa panic saat ini?. Mulai dari
mengkriminalisasi ulama, stigmatisasi negative bagi ormas islam bahkan islam itu sendiri,
penerbitan PERPPU, blokir sosmed, sampai aksi kebangsaan dijadikan sebagai seruan
nusantara untuk melawan radikalisme menurut versi mereka. Betul juga Analogi Ustadz
Ismail Yusanto, “Bagaikan kalah bertanding bola, tak bisa membobol gawang lawan, maka
gawangnya diperlebar”. Mata hati tak bisa dibohongi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan radikalisme adalah paham
atau aliran yang radikal dalam politik. Jika merujuk pada definisi ini, maka sebenarnya,
banyak paham/ideologi yang terkategori paham radikal, termasuk paham kapitalisme dan
turunannya serta sosialisme-komunisme dan turunannya. Namun, jika menyimak kejadian-
kejadian di tanah air, maka sangat terasa sekali bahwa sasaran tembak yang dimaksud
adalah syariat Islam khususnya tentang khilafah. Seperti dinyatakan oleh Amien Rais,
ketika berorasi pada aksi 2410, bahwa perppu ormas adalah untuk lenyapkan kekuatan
Islam.
Semakin jelas lagi ketika Tjahjo Kumolo dalam pidatonya menyebutkan,” Banyak
ormas yang dalam aktivitasnya ternyata mengembangkan paham atau ideologi dan ajaran
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, dalam hal ini tidak termasuk dalam
paham atheisme, komunisme, leninisme, marxisme yang berkembang cepat di Indonesia.

Gambar 2. Media Oposisi (Alifah, 2017)


Tolak Radikalisme; Agenda Lanjutan Musuh Islam Untuk Menghadang Dakwah Islam
Jika ditelaah kembali, adanya aksi kebangsaan ini merupakan rangkaian lanjutan dari
agenda besar rezim dalam menghadang dakwah islam (mengancam kepentingan mereka).
Mulai dari strategi deradikalisasi yang menjadi bukti akan kekhawatiran mereka dan
kekalahan ideologi mereka diatas ideology haqiqi, Islam.
Jika ditelaah lebih dalam, program ini sama dengan roadmap RAND Corporation
yang merupakan NGO (Non Governmental Organization), sebuah LSM dari Amerika
Serikat. Lembaga ini dibiayai kebanyakan konglomerat Yahudi. Hasil temuannya sering
dijadikan pedoman sikap pemerintah AS. Salah satu program terpopulernya adalah war on
terrorism atau perang melawan teroris. Sebagaimana ditulis dalam monografi terbitan
RAND Corporation (2007) yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell
H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan judul “Building Moderate Muslims Networks“
mengatakan, “Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah mendapatkan tempat dalam
beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam melalui jaringan Islam dunia dan
Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan Eropa. Meskipun mayoritas di seluruh
dunia Muslim, kaum moderat belum mengembangkan jaringan yang sama untuk
memperkuat pesan mereka dan untuk memberikan perlindungan dari kekerasan dan
intimidasi. Dengan pengalaman yang cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen
untuk ide-ide bebas dan demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran
penting sebagai pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat.
Para penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan bangunan
pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di dunia Islam, menilai
efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan dunia Muslim, dan
mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan Muslim moderat.”
Hal yang sama disampaikan dalam laporan ringkasan (summary) Rand
“Deradicalizing Islamict Extremist” (2010) oleh Angel Rabasa, Stacie L.Pettyjhon, Jeremy
J.Ghez, Christoper Boucek yang mengatakan, “Ada sebuah konsensus muncul di antara
analis kontraterorisme dan praktisi bahwa untuk mengalahkan ancaman yang ditimbulkan
oleh ekstremisme Islam dan terorisme, ada kebutuhan untuk melampaui keamanan dan
intelijen tindakan, mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah individu yang
rentan dari radikalisasi dan merehabilitasi mereka yang sudah memeluk ekstremisme.
Konsepsi yang lebih luas kontraterorisme diwujudkan dalam program kontra-dan
deradicalization dari sejumlah Tengah Timur, Asia Tenggara, dan negara-negara Eropa.
Setali tiga uang dengan Rand Corporation. ICG (International Crisi Group) juga ada
di balik proyek deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara
khususnya Indonesia. Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small
Groups Big Plans” Asian Report No204 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi
kepada BNPT dan Menteri Hukum dan HAM. Dari penelusuran dan persamaan ini, jelas
ada keterlibatan asing di balik kampanye deradikalisasi di Indonesia. Jika demikian adanya,
hal ini menunjukan jika Indonesia tidak berdaulat. Indonesia didekte secara politik oleh
asing.
Sangat jelas inilah buah pahit kehadiran pemerintah dengan konsep-konsep dan
mind set neoliberalisme beserta keseluruhan sistem kehidupan sekuler yang menyingkirkan
peran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama kekuatan politik Islam,
yaitu khilafah.

Catatan khotimah
Respon terhadap perkara ini harus menjadi bagian (bukan segalanya) dari agenda dakwah
kita semua dalam fase sekarang. Karena ini moment bagus untuk menjelaskan peta
hubungan Barat-Dunia Islam, AS-Indonesia, dan membuka kedok kejahatan AS atas dunia
Islam yang difasilitasi oleh para penguasa komprador. Dan perkara ini juga harus menjadi
pendorong agar para pengusung Islam Ideologi lebih semangat pantang menyerah, dan
menjadikan konspirasi-konspirasi jahat tidak lebih sebagai batu sandungan yang akan
mengkristalkan iman dan kemenangan.

Karena sesungguhnya jika ada pihak yang takut terhadap perjuangan syariat Islam dan
Daulah Islam (Khilafah al minhaj an nubuwah) itu tidak beralasan. Syariat mungkin benar
berbahaya, tapi berbahaya itu bagi negara Imperialis karena seluruh kejahatan dan
penjajahanya akan dibungkam dengan tegaknya Khilafah yang menegakkan syariah kaffah.
Berbahaya itu bagi para penguasa negeri Islam yang menghamba kepada thagut
sekulerisme dan penguasa Barat, ketika syariat tegak seluruh kepentingan dan
kemaslahatan pribadinya akan musnah. Intinya yang merasa syariah dan Khilafah
berbahaya adalah para penjahat dengan segala jenis dan bentuknya. Islam itu ketika tegak,
bukan hukum rimba yang berlaku. Tapi hukum Allah SWT yang bisa menjamin keadilan
bagi siapapun sekalipun orang-orang kafir selama mereka bernaung dibawah Khilafah
Islamiyah.

Yang berbahaya adalah imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM,
Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Dan yang berbahaya saat ini juga adalah
tegaknya tatanan sistem sekuler dan demokrasinya serta tidak ditegakkannya sistem Islam.
Bahaya yang ditimbulkan adalah dunia akhirat. Dengan demokrasi dan sekulerisme
menghantarkan ummat Islam dalam kehidupan yang sempit dalam seluruh aspeknya. Jauh
dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral
yang luar biasa. Dan yang paling dasyat adalah kembali di hadapan Allah SWT termasuk
golongan orang-orang yang merugi. Wallahu a’lam bisshowab

Anda mungkin juga menyukai