Anda di halaman 1dari 16

Makalah

SEJARAH GERAKAN BURUH DI INDONESIA

Disusun Oleh:
FITRI ILMA CAHYANI
04400217

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Buruh adalah lambang dari penyiksaan fisik dan nurani dipentaskan
berkali-kali dan penonton yang tak bertepuk tangan itu tetap diam, tidak
beranjak dari kursinya. Nyaman menikmati hidangan yang tersaji untuk
menggendutkan perut-perut yang sudah membuncit itu oleh oknum pejabat,
aparat dan pengusaha hitam, dan sebuah pengakalan buruh yang terjadi.
Sejarah awal, Hari Buruh yang diperingat secara internasional pada
bulan Mei (May Day) lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja
untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan
kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-
politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan
buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari
kalangan kelas pekerja.
Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806
oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke
meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era
tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan
untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja
di Amerika Serikat.
Pada tanggal 5 September 1882, parade Hari Buruh pertama diadakan di
kota New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk
bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire
memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-
tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian
merayakannya.
Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866
di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia.

2
Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan
jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan
National Labour Union di AS: Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili
tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres merubah
tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.
Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada
Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk,
selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan
semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era
tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized
Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di
Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan
diberlakukan mulai 1 Mei 1886.
Di Indonesia, bila menganut pada peraturan perundangan yang berlaku,
maka yang dimaksud dengan buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (UU Ketenagakerjaan No.13
2003). Buruh mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan
nasional karena itu perlindungan buruh sebagai tenaga kerja harus
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja / buruh sehingga
mendapatkan kesejahteraan.
Negara bertanggung jawab melindungi dan menegakkan hak-hak warga
negaranya, termasuk buruh. Selain dalam UUD 1945, hal itu juga disebutkan
dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Usulan mengenai dibentuknya Serikat Pekerja merupakan
hal yang positif selama serikat pekerja tersebut benar-benar memberikan
kontribusi terhadap kepentingan buruh. Selama ini, seringkali terjadi
perselisihan dalam bidang ketenagakerjaan, terutama perselisihan antara buruh
dengan pemilik usaha yang memperkerjakannya. Atas berbagai pelanggaran
yang terjadi, umumnya buruh menjadi pihak yang terkalahkan. Entah PPNS
(Penyelidik Pegawai Negeri Sipil) mementahkan laporan dengan menganggap
pelanggaran tidak terbukti atau laporan dibiarkan tidak tertangani,

3
permasalahan buruh selalu dilemparkan ke PHI (Peradilan Hubungan Niaga).
Padahal, PHI hanya untuk perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh dalam satu
perusahaan.
Buruh dilindungi oleh negara. Karena itulah tercipta UU
Ketenagakerjaan untuk menjamin hak-hak buruh, oleh karena itu buruh bisa
memperjuangkan hak-haknya. Masalah buruh bukan masalah yang kecil
karena dengan adanya masalah buruh bisa menghambat kerja pabrik yang
akhirnya berdampak pada pembangunan nasional.
Berbagai masalah yang melibatkan buruh ini menjadikan penulis ingin
mengungkapkan bagaimana konsep perburuhan di Indonesia dari aspek
historis, yang mana mengungkap sejarah perburuhan di Indonesia serta
peraturan yang melindungi buruh tersebut.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah sejarah perburuhan di Indonesia dan peraturan yang
melindunginya?

4
BAB II
PEMBAHASAN

Diterapkannya sistem Tanam Paksa oleh Gubernur Jenderal Hindia


Belanda, Van den Bosch (1830-1870) adalah satu masa penting dalam sejarah
gerakan buruh. Pada masa inilah para petani di Nusantara, utamanya di Jawa
(sebagai pusat kekuasaan Hindia Belanda), mulai dihancurkan prikehidupannya
sebagai petani dan diubah paksa menjadi buruh tani. Tentu saja, di bawah
akumulasi primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa, para buruh tani ini
tidak memperoleh upah. Kondisi kerjanya lebih mirip corvee labor atau pekerja
paksa. Para petani Jawa diperkenankan memiliki tanah, namun harus membayar
pajak natura berupa keharusan untuk menyerahkan sebidang tanahnya untuk
tanaman komersial yang laku di Eropa. Pilihan lain adalah menyerahkan 66 hari
dalam setahun untuk bekerja pada perkebunan milik Gubernemen. Tepatlah jika
istilah koeli dipakai pada jaman itu. Dalam masa ini, dimulailah proses di mana
prikehidupan tani feudal mulai digantikan oleh sebuah prikehidupan di mana kerja
tidak lagi dikaitkan dengan tanah milik, melainkan dengan sebuah lembaga
pencetak profit—dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-
perusahaan perkebunan milik Kerajaan Belanda.
Era Liberal yang menyusul tahun-tahun Tanam Paksa menyebabkan tumbuh
suburnya perkebunan swasta menggantikan perkebunan milik Kerajaan Belanda.
Struktur pedesaan Jawa pun digerus oleh struktur industrial, sekalipun masih
berupa industri ekstraktif. Perkebunan-perkebunan swasta pun dibuka di Sumatra,
dengan sumber tenaga kerja para koeli kontrak—yang didatangkan dari Jawa atau
Semenangjung Melayu. Kontrak-kontrak ini disertai ancaman poenale sanctie
yang kejam.
Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk perlawanan
yang khas sebuah gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan pertama
dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di Yogyakarta, di mana pada
puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa menghentikan
produksinya karena pemogokan. Isu yang diangkat adalah 1) Upah; 2) kerja

5
gugur-gunung yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4) kerja moorgan
yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak
dibayar; 6) banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib; 7) harga
yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar; 8) pengawas
Belanda sering memukul petani. Apakah Anda merasa akrab dengan tuntutan-
tuntutan ini?
Tiadanya pengorganisasian modern untuk mendukung pemogokan-
pemogokan ini menyebabkan terjadinya kekalahan demi kekalahan di pihak kaum
buruh. Para sejarawan juga enggan melakukan pencatatan terhadap pergerakan ini
terutama karena tiadanya keteraturan dalam pemogokan-pemogokan tersebut.
Serikat-serikat buruh di Hindia Belanda mulai dibangun oleh buruh-buruh
kulit putih. Perkembangan gerakan buruh di negeri Belanda sendiri membuat
banyak buruh warga negara Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri
jajahan. Banyaknya buruh kulit putih di negeri jajahan ini juga bersangkutan
dengan semakin berkembangnya industri, terutama industri perkebunan, yang
kemudian menuntut dikembangkannya sarana transportasi yang menghubungkan
lahan kebun, pabrik dan pasar-pasar, didirikannya sekolah-sekolah untuk
mencetak tenaga perkebunan yang handal dari kalangan pribumi, maupun
perluasan jajaran birokrasi yang diperlukan untuk mengatur perekonomian
modern yang lebih kompleks tersebut.
Berturut-turut lahirlah Nederlandsch-Indisch Onderwijzer Genootschap
(1897), Statspoor Bond (serikat kereta api negeri, 1905), Suikerbond (serikat
buruh gula, 1906), Cultuurbond Vereeniging v. Asistenten in Deli (serikat
pengawas perkebunan Deli, 1907), Vereeniging von Spoor en Tramweg Personeel
in Ned-Indie (serikat buruh kereta api dan trem, 1908), dll.
Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-
buruh kulit putih, namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat
itu sedang kuat di Eropa, meluber juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh
yang tadinya eksklusif untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu untuk
bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara buruh-buruh

6
pribumi dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula keinginan untuk
membangun serikat buruh sendiri di kalangan pribumi.
Di antara serikat-serikat buruh yang dibangun oleh pribumi, layak disebut
Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1911), Persatoean Goeroe Bantoe (1912)
dan Personeel Fabriek Bond (1917). PFB adalah sebuah serikat buruh yang
dibentuk oleh Soerjopranoto, yang kelak akan dikenal sebagai salah seorang
“radja mogok” Hindia Belanda.
Dari beberapa serikat buruh yang dibentuk oleh buruh-buruh kulit putih,
salah satu yang terpenting adalah VSTP. VSTP, yang didirikan 14 November 1908
di Semarang, dengan cepat menyerap buruh-buruh pribumi ke dalam jajarannya.
Pada tahun 1914, buruh-buruh pribumi ini telah mendapat tempat dalam jajaran
pimpinan tertinggi VSTP—di mana 3 dari 7 anggota pimpinan pusatnya adalah
pribumi. Tahun 1915, VSTP telah menerbitkan sebuah koran dalam bahasa
Melayu, bertajuk Si Tetap. Salah satu dari tiga orang pribumi yang terpilih dalam
pimpinan pusat VSTP ini adalah seorang pemuda berusia 16 tahun bernama
Semaoen. Semaoen adalah seorang organiser yang sangat giat dan, semenjak
bergabung dengan VSTP di tahun 1914, sampai tahun 1920 dia telah mendirikan
93 cabang VSTP di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1923, anggota VSTP tercatat
berjumlah 13.000 orang atau ¼ dari total buruh industri kereta api di Hindia
Belanda.
Semaoen dan Soerjopranoto kemudian menyatukan kekuatan dan berdirilah
PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh) di tahun 1919. Semaoen menjadi
ketua sedang Soerjopranoto menjadi wakilnya. Sejak berdirinya PPKB ini
dimulailah era pemogokan di mana kedua pimpinan PPKB ini lantas dikenal
sebagai “si radja-radja mogok”. Pemogokan menjadi senjata utama PPKB
menimbang metode perjuangan yang dipilihnya:
“PPKB akan memasakkan itu dengan 3 djalan yang ada, jaitu: ‘Berichtiar
mendapat kuasa dalam pemerintahan negeri supaja negeri terperintah—oleh
—rakyat—sendiri mengurus djalannya redjeki.’ (sosial demokratisch
politiek), ‘mengeratkan kaum buruh dalam pekerdjaannya guna merobah
nasibnja’ (vakstrijd), ‘mengadakan perdagangan oleh—dan—buat—rakjat
(koperasi).”

7
Berhadapan dengan gelombang pemogokan yang terutama
ditulangpunggungi oleh PFB dan VSTP, pemerintah Hindia Belanda awalnya
berupaya mendorong terjadinya hubungan industrial yang harmonis lewat “Dewan
Perdamaian untuk Spoor dan Tram di Djawa dan Madura”. Namun, karena
keterlibatan banyak aktivis buruh dalam ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat
Hindia) dan kedekatan dengan isu-isu hak menentukan nasib sendiri, pemerintah
Kolonial lantas mengambil tindakan yang lebih keras. Ditetapkanlah UU
Larangan Mogok (161 bis), UU Penghasutan dan Penghinaan pada Pemerintah
(151 bis dan 151 TER)—UU Penghasutan dan Penghinaan ini di kemudian hari
diadopsi oleh pemerintah Indonesia dalam KUHP dan dikenal sebagai “pasal-
pasal karet.”
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa gerakan buruh di seputar
tahun 1920-an adalah gerakan teroganisir pertama di Indonesia yang
menempatkan penggulingan kekuasaan kolonial sebagai salah satu tujuan
perjuangannya. Apalagi,di tahun 1920, Semaoen telah memimpin peralihan ISDV
menjadi Partai Komunis Hindia, lalu tujuh bulan kemudian menjadi Partai
Komunis Indonesia —ini menjadikan PKI sebagai organisasi nasional pertama
yang terang-terangan menggunakan kata “Indonesia”. Persoalan penggulingan
kekuasaan kolonial inilah yang kemudian membuat pemerintah Kolonial
bertindak keras. Para pimpinan buruh ditangkapi dan dibuang ke berbagai tempat.
Semaoen sendiri dibuang ke Negeri Belanda.
Pasca penangkapan terhadap para pimpinan buruh ini, generasi berikutnya
ternyata bersikap lebih keras terhadap pemerintahan kolonial. Mereka ini,
terutama yang tergabung dalam PKI, menganjurkan dilakukannya pemberontakan
terbuka oleh buruh untuk menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda. Rencana
untuk memberontak ini direalisasikan di tahun 1926.
Tidak banyak yang diketahui mengenai rencana pemberontakan ini.
Berbagai keterangan menggambarkan pemberontakan ini secara simpang-siur.
Jika memoar Hatta dapat dipercaya, rencana ini sesungguhnya adalah sebuah
rencana setengah matang, yang tidak dikoordinasikan dengan baik, tidak
melibatkan front perjuangan yang luas dan dilancarkan secara prematur. Apapun

8
yang sesungguhnya terjadi, pemberontakan 1926 ini adalah pemberontakan buruh
yang sejati, yang direncanakan dan dilaksanakan sendiri oleh kaum buruh.
Pemberontakan ini adalah juga pemberontakan pertama yang dilancarkan secara
terbuka untuk tujuan menggulingkan pemerintah kolonial Belanda.
Pemberontakan yang gagal ini merugikan gerakan buruh. Tercatat 4500
orang pimpinan gerakan buruh dijebloskan ke penjara dan 1300 lainnya dibuang
ke Boeven Digul (di Papua Barat sekarang). Praktis, gerakan buruh kehilangan
sebagian besar pimpinannya, yang sudah terlatih membangun gerakan buruh
selama belasan tahun.
Kekalahan Pemberontakan 1926 melucuti gerakan buruh dari pimpinan-
pimpinannya yang radikal dan berwatak revolusioner. Yang tersisa adalah para
pimpinan yang konservatif, yang berwatak pasifis dan condong kepada ideologi
keserasian antara buruh dan kapitalis.
Salah satu bentuknya muncul dalam gagasan Dr. Soetomo, yang
mengajukan bahwa buruh harus memisahkan dirinya dari partai politik, harus juga
memusatkan perhatian pada upaya-upaya memperbaiki nasib dan tidak
bersentuhan dengan aksi-aksi politis. Soetomo mendukung berdirinya Persatoean
Serikat Sekerdja Indonesia di Surabaya, tahun 1930. Dia juga mendukung adanya
asas tunggal untuk serikat-serikat sekerja semacam itu.
Ide ini menyebar luas di kalangan gerakan buruh. Di tahun 1941, menjelang
masuknya Jepang ke Indonesia, berdirilah Gabungan Serikat-serikat Sekerdja
Partikelir Indonesia (GASPI) yang berideologi semangat damai dalam perusahaan
dan “pemegang modal dan pemegang buruh adalah sama harga, karena sama arti.”
Pada tahun itu juga Jepang masuk ke Indonesia, dan semua gerakan politik
di Indonesia (termasuk gerakan buruh) dibungkam total oleh pemerintahan Fasis
Jepang dan terpaksa bergerak di bawah tanah.
Selepas penjajahan Jepang, gerakan buruh menggeliat bangkit dari
kehidupan bawah tanahnya. Tidak sampai sebulan setelah Proklamasi Agustus
1945, didirikanlah Barisan Buruh Indonesia (BBI). Pada gilirannya, BBI
melahirkan pula Partai Buruh, Lasjkar Buruh Indonesia sebagai sayap bersenjata,
dan Barisan Buruh Wanita (BBW) sebagai sayap perempuan dari gerakan buruh.

9
Di tahun 1946, BBI berubah nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia
(GASBI). Tahun itu juga, GASBI bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh
Vertikal (GSBV) membentuk SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia).
Keterlibatan SOBSI dalam Proklamasi Madiun (1948), dan represi yang
menyusulnya, menyebabkan gerakan buruh agak terseok-seok selama beberapa
lama. Namun, di tahun 1950, ketika Soekarno memutuskan untuk mengundang
unsur-unsur progresif dalam pembentukan kabinetnya, SOBSI telah kembali
berdiri dan semakin menguat dalam dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut,
SOBSI adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di Indonesia, dengan 2,5 juta
anggota dan 34 serikat buruh anggota.
Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran progresif yang patut
disebut. Yang pertama adalah GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner
Indonesia) yang dekat dengan Partai Murba. Partai Murba sendiri adalah hasil
pengembangan dari sekelompok orang yang di tahun 1946 memisahkan diri dari
SOBSI. Dalam kongresnya tahun 1951, GASBRI berubah nama menjadi SOBRI
(Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia).
Yang kedua adalah SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik
Indonesia) yang didirikan tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan dengan
SOBSI dan ormas-ormas lain yang juga dekat dengan PKI.
Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan pemogokan besar yang berujung
pada kemenangan bagi buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1921-
1955 terjadi 11.763 pemogokan yang melibatkan 918.739 buruh. Aksi-aksi
nasionalisasi yang dilancarkan oleh serikat-serikat ini menghasilkan kemenangan
besar di mana-mana, sekalipun kemudian kemenangan ini tidak banyak mereka
nikmati—malah banyak perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi
kemudian malah diambil-alih oleh Angkatan Darat. Tuntutan untuk dilibatkan
dalam proses produksi juga berhasil dimenangkan. Presiden Soekarno mendukung
program ini dan memerintahkan membentuk Dewan Perusahaan di tahun 1960, di
mana buruh berkedudukan dalam Dewan Pertimbangan.

10
Kehadiran tiga serikat buruh besar yang beraliran progresif ini
menyebabkan partai-partai politik lainnya juga berusaha untuk membangun
serikat buruhnya sendiri. PNI membangun Kesatuan Buruh Marhaen (KBM,
berdiri 1952), NU membentuk Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi,
berdiri 1956), PSII membentuk GOBSI di tahun 1959, orang-orang Katolik
membangun Ikatan Buruh Pantjasila dan Masjumi mendirikan Serikat Buruh
Islam Indonesia (SBII). SBII inilah yang kelak memainkan peranan penting dalam
mengubah wajah gerakan serikat buruh, terutama memasuki era Orde Baru.
SBII menganut ideologi harmoni. Bagi mereka, jangan sampai ada
permusuhan antara buruh dengan majikan. Jadi, apabila ada perselisihan
perburuhan, SBII akan mengusahakan bantuan materiil pada buruh yang menjadi
korban, baik berupa uang ataupun bentuk lainnya. Ini supaya lambat-laun akan
terjadi perdamaian dan harmoni di setiap pusat-pusat buruh.
Pada tahun 1959, SBII terkena dampak dari pembubaran Masjumi atas
perintah Soekarno—dengan alasan keterlibatan Masjumi dalam pemberontakan
PRRI-Permesta. SBII kemudian bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Islam
Indonesia (Gasbiindo). Jusuf Wibisono, salah satu pendiri Gasbiindo, menelurkan
konsep Bahaya Merah di Indonesia. Untuk membendung “Bahaya Merah” ini,
Wibisono kemudian bekerja sama dengan Angkatan Darat membangun Badan
Kerdjasama Buruh-Militer (BKS BuMil) dan menjadi salah satu pendukung
utamanya.
Angkatan Darat juga mensponsori pembentukan SOKSI (Sentral Organisasi
Karyawan Seluruh Indonesia) di tahun 1961. Para perwira Angkatan Darat yang
terlibat dalam PRRI-Permesta, seperti Zulkifli Lubis dan Sumual, ditempatkan
sebagai pimpinan SOKSI. Ketua SOKSI, Jenderal Suhardiman, juga merangkap
sebagai Presiden Direktur dari PT. PP Berdikari.
Berhadapan dengan kebangkitan dan penguatan serikat-serikat buruh yang
berorientasi pada ideologi “harmoni”, yang dekat dengan tentara dan yang jelas-
jelas dipimpin oleh militer-pengusaha ini, serikat-serikat buruh beraliran progresif
malah mengalami berbagai kemunduran. Tentu saja jumlah anggota mereka
meningkat. SOBSI saja tercatat memiliki 3,3 juta anggota di tahun 1960-an,

11
belum kedua serikat buruh progresif lainnya. Namun, di antara mereka sendiri
sulit untuk bekerja sama. Perasaan saling curiga, yang sebagian di antaranya
didorong oleh pertikaian di kalangan gerakan progresif internasional,
menghambat kerjasama efektif antara SOBSI dan SARBUPRI dengan SOBRI. Di
samping itu, ruang politik yang terbuka lebar, di antaranya adalah partisipasi
dalam penyusunan UU Perburuhan no 22/57 dan 12/64, menyebabkan ketiga
serikat buruh progresif ini menurunkan aktivitasnya di basis. Antara tahun 1955-
59 hanya terjadi 631 kali pemogokan yang diikuti 441.900 orang buruh. Terjadi
penurunan perlawanan nyaris sampai setengah dari apa yang kita lihat pada tahun-
tahun sebelumnya.
Jadi, ketika badai datang di pertengahan dasawarsa 1960-an, gerakan buruh
progresif tidak siap untuk menghadangnya.
Peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965 membalikkan keadaan secara
drastis. Tuduhan yang dilontarkan Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi
peristiwa penculikan jenderal-jenderal, dan pembantaian aktivis gerakan rakyat
yang terjadi sesudahnya, praktis menghancurkan struktur dan sendi-sendi
kekuatan gerakan buruh progresif.
Orde Baru bergerak cepat merekonstruksi perekonomian Indonesia
sementara para aktivis buruh progresif tengah meregang nyawa di tangan para
pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah diadili. Orde Baru membuka pintu
lebar-lebar kepada perusahaan-perusahaan asing. Soeharto juga membuka pintu
bagi mengalirnya pinjaman luar negeri untuk berbagai proyek yang kemudian
dikelola oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya.
Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah yayasan milik Partai
Sosial Demokrat Jerman yang pro pasar bebas, pemerintahan militer ini juga
merekonstruksi gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori FES di
tahun 1971, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung
oleh Orde Baru:
1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik
manapun;
2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar;

12
3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial
ekonomis;
4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada
penyatuan;
5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada
serikat sekerja untuk masing-masing lapangan pekerjaan.

Setidaknya, itulah prinsip yang dicanangkan secara teoritik. Kenyataannya,


rekonstruksi serikat buruh dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Buruh
Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan
sekjennya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus,
pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat
buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun—dan jatuh ke dalam
cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari kader-kader
Golkar.
Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan
menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah
ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak
boleh ada konflik. Para pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-tokoh
yang dekat atau tergabung dalam Golkar. Dengan komposisi kepengurusan
semacam ini, FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar dalam
tiap pemilu, mirip dengan “organisasi-organisasi profesi” lainnya seperti HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) maupun HNSI (Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia).
Walau demikian, FBSI tetap tidak dapat sepenuhnya mengendalikan
perselisihan perburuhan. Terlebih sejak Soeharto mengeluarkan Keputusan 15
Nopember 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai rupiah terhadap dolar, dari
Rp 415 per dolar menjadi Rp 625 per dolar. Devaluasi ini melambungkan harga-
harga kebutuhan pokok—dan mereka yang upahnya tetap, seperti buruh, adalah
yang paling terpukul oleh keadaan ini. Perlawanan buruh berlangsung di mana-
mana.

13
Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI, keadaan menjadi bertambah
parah karena SPSI dijadikan sebuah “wadah tunggal”—sebuah penghalusan
istilah bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh Orde Baru. Untuk
memperhalus kenyataan bahwa pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara
lebih sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara, seorang mantan aktivis
’66, menjadi Menteri Tenaga Kerja. Cosmas memperkenalkan konsep Upah
Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh yang sekarang tidak lagi
memiliki kebebasan untuk berorganisasi.
Biar bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha—dengan segala represi,
siksaan dan terornya—gelombang perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam.
Bahkan SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang secara sistematik akan
menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak buruh
sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993 ketika
memperjuangkan pembentukan SPSI di pabriknya, di Sidoarjo.
Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang
memperjuangkan nasib buruh ketika berhadapan dengan kerakusan pengusaha ini
menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh alternatif. Beberapa yang
patut disebut adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat
Buruh Merdeka Setia Kawan) dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia).
Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia akhirnya mendapatkan titik-
terangnya ketika Soeharto dipaksa turun dari singgasananya. Sekalipun reformasi,
yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu, tidaklah memberi buah seperti
yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi
bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat. Banyak
serikat-serikat independen (baca: berdiri di luar serikat buruh yang bersangkutan
dengan SPSI) berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang tadinya dipaksa
bergabung dengan SPSI-pun satu-persatu mulai melepaskan diri dari tubuh
induknya. Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai
menjadi bagian dari berita sehari-hari di media massa.
Salah satu bukti kebugaran gerakan buruh progresif kontemporer ini adalah
kemampuannya untuk selama tiga tahun berturut-turut menyelenggarakan

14
Mayday, yang terpimpin oleh ABM, dan diikuti puluhan (mungkin malah ratusan)
ribu buruh di seluruh Indonesia.

15
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa perburuhan di Indonesia


memiliki akar sejarah yang sangat panjang dan penuh dengan dugaan eksploitasi
dan diskriminasi. Saat ini, Pemerintah berupaya mengupayakan adanya
perlindungan terhadap buruh melalui UU No.13 tahun 2003 terhadap
ketenagakerjaan. Karena dianggap belum merepresentasikan kesejahteraan bagi
kaum buruh, peraturan ini direncanakan untuk direvisi. Namun sebenarnya upaya
revisi ini akan lebih efektif apabila aplikasi dari peraturan perundangan tersebut di
lapangan sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam peraturan perundangan yang
ada. Karena selama ini pelaksanaan peraturan perundangan banyak mengalami
bias dalam pelaksanaan oleh mereka yang berwenang di lapangan.

16

Anda mungkin juga menyukai