Anda di halaman 1dari 8

TATA KELOLA ENERGI INDONESIA

Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber energi yang cukup banyak ,dewasa ini
indonesia adalah negara yang mempunyai jumlah penduduk tertinggi ke-4 di dunia .Kebutuhan energi
akan berbanding lurus dengan fungsi pertumbuhan laju penduduk, tingginya kebutuhan apabila tidak
diimbangi dengan kapasitas produksinya menyebabkan kelangkaan sehingga terjadi kenaikan harga
dan krisis energi. Salah satu usaha pemerintah yang terkait dengan kebijakan energi tersebut adalah
dengan mengembangkan dan meningkatkan keanekaragaman energi termasuk energi yang sangat
potensial saat ini dan di masa yang akan datang,untuk itu perlu adanya pengembangan di bidang
energi terbarukan

Indonesia mempunyai kebijakan – kebijakan dalam hal tata kelola energi tapi ironis nya kebijakan ini
tidak berjalan dengan baik dan perlu di pikirkan lebih matang lagi ,salah seorang kritikus bapak Tarli
Nugroho dalam artikel nya yang berjudul “Rezim BBM” beliau mengungkapkan tata kelola energi di
indonesia mulai dari peristiwa dan kebijakan bahwa tata kelola energi indonesia keliru dan perlu di
perbaiki.

adapun isi dari artikel “Rezim BBM” oleh Bapak Tarli Nugroho :

Ketika Habibie menjabat presiden, ia pernah disodori proposal tata kelola energi. Intinya, tata
kelola energi di Indonesia selama ini keliru. Indonesia mengimpor BBM yang mahal dan malah
mengekspor gasnya secara murah. Kita tahu, harga BBM, selain fluktuatif, memang sangat
mahal, sementara cadangan minyak Indonesia sendiri hanya sedikit. Di lain pihak, harga gas di
pasar dunia itu murah, sementara Indonesia memiliki cadangan gas yang melimpah. Pilihan
mengimpor BBM dan mengekspor gas jelas merupakan pilihan tata kelola energi yang bodoh.

Habibie senang sekali disodori ide itu. Namun, kita tahu, umur rezim Habibie hanya pendek saja.
Dan dalam periode yang pendek itu, pemerintahannya lebih banyak disibukkan oleh akrobat
politik "politisi reformis". Proposal itu pun hilang ditelan waktu.

Sudah lima belas tahun sejak pemerintahan Habibie berakhir dan kita bisa menyaksikan bahwa
soal tata kelola energi ini masih saja dikambinghitamkan pada isu subsidi BBM, seolah di situlah
letak persoalannya. Isu subsidi BBM merupakan cara para pelaku pasar dan para kompradornya
untuk mendikte kita agar menerima liberalisasi di sektor hilir migas.

Jika sektor hilir migas kita berhasil diliberalisasi, maka lengkap sudah, dari hulu ke hilir kita
sekadar menjadi konsumen. Meskipun kita memiliki BUMN di bidang minyak, yaitu Pertamina,
faktanya sumur minyak yang dikuasai oleh BUMN kita itu tak lebih dari 10 persen. Sembilan
puluh persen sumur minyak kita dikuasai oleh perusahaan asing dan swasta nasional. Begitulah
posisi kita di sektor hulu migas.

Apa yang terjadi jika hulu dan hilir migas ini sudah diliberalisasi, dan kita sudah terlanjur
mengekspor seluruh cadangan gas?

Sejak Dewan Energi Nasional (DEN) terbentuk pada 2007, saya mencatat ada hal yang ganjil
dari isu-isu energi yang diproduksi oleh lembaga yang mempertemukan pemerintah, akademisi,
praktisi dan pelaku usaha ini. Mereka lebih getol melakukan sosialisasi soal energi nuklir
daripada melakukan elaborasi mengenai potensi energi yang dimiliki Indonesia sendiri.

Kita tahu, selain memiliki cadangan gas yang melimpah, kita juga memiliki potensi sumber
energi yang beraneka. Melompati perbincangan mengenai sumber-sumber energi tadi dan
langsung berbicara mengenai nuklir tentu saja membuat kita harus mengernyitkan dahi. Nuklir
bukanlah skenario energi masa depan, melainkan skenario energi bagi negara-negara yang tak
memiliki cadangan dan sumber energi yang melimpah. Tapi Indonesia memiliki semua potensi
dan cadangan itu, lalu kenapa kita langsung melompat ke sana? Apakah itu dimaksudkan untuk
menjadikan kita sebagai konsumen terus-menerus?

Pendek kata, kita harus menolak intimidasi intelektual bahwa kita membutuhkan kenaikan harga
BBM untuk menolong negara. Kita sedang terkena "sindrom kodok rebus" jika mau menerima
intimidasi itu.

Setiap rezim yang menjadikan penarikan subsidi BBM sebagai titik pangkal pemerintahannya,
bukanlah rezim yang bisa kita percayai akan bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk
rakyatnya. Sudah lima belas tahun sejak Habibie disodori skenario tata kelola energi itu. Dan itu
waktu yang cukup lama untuk berpikir dan memahami persoalan. Jika pemerintah dan para
teknokratnya masih saja menjadikan isu subsidi BBM sebagai pokok persoalan, mereka adalah
para pemalas yang enggan berpikir dan bekerja keras.

Kita baru saja melewati Pilpres yang menggairahkan dan penuh harapan. Dari pengalaman
sejarah kita tahu betul, tak ada perubahan yang dimulai dari klise. Tak pernah ada!
Adapun masalah masalah yang di kemukakan dalam artikel “Rezim BBM” :

1. Tata kelola energi di Indonesia selama ini keliru. Indonesia mengimpor BBM yang mahal dan
malah mengekspor gasnya secara murah

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber energi (minyak bumi ,batu bara dan gas)
tetapi tata kelola energi indonesia yang bermasalah, indonesia tidak mampu mengolah sumber
energi milik nya karena keterbatasan lahan ,fasilitas dan sumber daya manusia padahal
indonesia adalah negara ke – 4 dengan penduduk terbanyak didunia dan juga pengganguran
yang banyak tapi ironis nya bangsa ini hanya bisa mengekspor hasil bumi mentah ( minyak
mentah , gas) dengan murah dan membeli nya dengan harga yang mahal

Solusi :
seharusnya yang perlu diperhatikan untuk tata kelola gas di Indonesia kini adalah soal
regulasi. Kebijakan untuk mengekspor gas bukan lagi sesuatu yang tepat. Terlebih, cadangan
gas pasti Indonesia hanya 1,6 persen dari cadangan dunia sebagian besar gas diekspor karena
dahulu permintaan gas di Indonesia sendiri sangat rendah. Padahal, itu sebetulnya dipicu oleh
kurangnya infrastruktur distribusi gas yang ada. Pengembangan energi alternatif menjadi
pilihan yang penting, bukan saja untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang
harganya terus meningkat, namun sekaligus juga untuk memecahkan masalah kemiskinan dan
pengangguran, serta perbaikan lingkungan hidup. Ketergantungan pada BBM sebagai sumber
energi utama, juga mengandung risiko keuangan negara yang tidak sedikit, dengan makin
besarnya subsidi Indonesia sekarang menjadi Negara net importir minyak terbesar di asia
tenggara dan seharusnya pemerintah tidak mengekspor gas Indonesia dan lebih memusatkan
pada kualitas SDM Indonesia sebagai suatu agen dalam tata kelola sumber energi .

2. Cadangan minyak Indonesia sendiri hanya sedikit. Di lain pihak, harga gas di pasar dunia itu
murah

Cadangan minyak bumi Indonesia hanya sebesar 4.300 juta barel. Cadangan sebesar
ini hanya 0,36% dari cadangan dunia. Padahal produksi minyak bumi Indonesia rata-rata
mencapai 356 Juta Barel per tahun sehingga jika tidak ditemukan cadangan terbukti baru,
maka diperkirakan 12 tahun lagi minyak bumi Indonesia akan benar-benar habis Cadangan
gas bumi Indonesia juga hanya 112 TCF, atau sekitar 1,7% cadangan gas dunia. Dengan
melihat laju produksi yang mencapai 2,8 TCF per tahun maka diperkirakan cadangan gas
Indonesia akan sudah habis sekitar 40 tahun lagi. ketika Indonesia pertama kali
mengembangkan gas bumi, harga ekspornya hanya sekitar US$ 3 per MMBTU pada waktu
itu gas dianggap bukan sebagai komoditi yang menguntungkan, sehingga hanya digunakan
pada kebutuhan yang terbatas. Infrastruktur transmisi dan distribusi gas pada periode tersebut
juga terbatas Seiring perkembangan ekonomi Indonesia, dalam negeri membutuhkan banyak
gas. Untuk memenuhinya, Pemerintah terus mengembangkan gas baik konvensional maupun
non konvensional seperti gas metana batubara (CBM) dan shale gas.

Solusi :
Seharusnya Indonesia segera belajar dari sejarah masa lalu. Indonesia sudah pernah
menjadikan minyak bumi sebagai komoditas ekspor utama. Namun pada akhirnya sejak satu
dekade terakhir Indonesia harus mengalami ketergantungan terhadap negara lain. Bahkan
yang lebih menyedihkan lagi Indonesia harus bergantung pada negara kecil seperti Singapura
Indonesia harusnya belajar dari Singapura mampu memberikan added value terhadap setiap
barang baku yang dia dapatkan dari luar negeri. Barang jadi yang telah diolah tersebut
selanjutnya dijual kembali kepada negara lain dengan nilai yang lebih tinggi seperti industri
kilang yang mampu memberikan added value , singapura menjadi “negara jasa” yang mampu
hidup hanya dengan membeli bahan baku dengan harga murah dan mengolahnya menjadi
bahan jadi yang dilepas dengan harga yang lebih mahal.

3. Liberalisasi di sektor hilir migas

Pertamina didirikan pada tahun 1968 sebagai Badan Usaha Milik Negera (BUMN)
yang bergerak dalam industri migas, sempat memonopoli pasar minyak dan gas bumi di
indonesia . Hal ini di tunjukan pada pasal 14 UU No.8 tahun 1971, dinyatakan bahwa seluruh
penerimaan migas baik yang berasal dari hasil operasi Pertamina maupun bagian pemerintah
bekas kontraktor asing yang beroperasi di indonesia menjadi pendapatan pertamina dan
Pertamina membayar pajak ke pemerintah. Dengan kondisi seperti ini , laba setelah pajak
diharapkan akan sangat besar yang dapat digunakan oleh Pertamina untuk melakukan
investasi di ladang migas lainnya yang membutuhkan modal besar .Mengingat pertamina
merupakan perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah diharapkan mengontrol secara ketat
manajemen Pertamina agar tidak terjadi penyimpangan.Namun seiring berjalannya waktu
tingkat kebutuhan masyarakat terus meningkat dan kemampuan kilang kilang yang dimiliki
oleh Pertamina untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin terbatas. Pada saat itu, minat
investor untuk berkecimpung di sektor hilir migas terutama kegiatas pengilangan minyak
bumi,masih sangat rendah karena dominasi yanuat dari Pertamina oleh karena itu ,
diberlakukanlah liberalisasi di sektor migas, dengan di keluarkannya UU No.22/2001,yang
memberikan dampak yang besar dalam perubahan struktur industri migas di indonesia.Kini
pertamina tidak bisa lagi memonopoli sektor hilir migas dan Pertamina akan di perlakukan
sama dan dituntut mampu berkompetisi dengan perusahaan migas lainnya

Solusi:

Mengingat dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat diberlakukannya UU


No.22 Tahun 2001 ini, setidaknya ada solusi 2 yakni kembali ke UU no. 8 tahun 1971 atau
merevisi UU no.22 tahun 2001..
Saat diterapkan UU No.8 tahun 1971, Pertamina memang dilanda masalah. Namun,
permasalahan ini bersifat teknis dan implementatif, bukan pada sistem hukumnya. Monopoli
berdasarkan undang-undang atas sektor vital seperti energi oleh pemerintah, jelas tak bisa
diharamkan. Hanya perlu tambahan aturan demi terciptanya transparansi perusahaan, diawasi
secara ketat agar tidak terjadi korupsi besar-besaran. Petronas pun yang semula ‘menimba
ilmu’ dari Pertamina dan mengadopsi sistem yang mirip UU Pertamina ,sekarang mampu go
internasional dan mampu memenuhi 30% dari produksi nasional, diatas pertamina yang
kurang dari 15%
Pilihan kedua yakni merevisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
yang memprioritakan PT Pertamina (Persero). Pasalnya dengan revisi ini maka perusahaan
minyak negara ini akan mendapatkan banyak prioritas dari pemerintah lihat saja Blok Cepu
dikuasai Exxon hingga 2036, Blok Natuna dikuasai Exxon, sedangkan LNG Tangguh di
Teluk Bintuni menempatkan BP sebagai operator utama, selama ini Pertamina terlihat kalah
bersaing di rumah sendiri dari perusahaan-perusahaan minyak dari luar.

Jika Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang migas, BP Migas (Badan Pelaksana kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi), dan BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas
Bumi) dicabut dan dibubarkan maka produksi minyak nasional bisa menembus angka 2 juta
barel per hari. Indonesia memiliki peluang untuk menghasilkan minyak dalam jumlah besar.
Pasalnya, Indonesia memiliki banyak potensi migas yang belum digarap. Akan tetapi, karena
‘dihambat’ oleh UU Migas No.22/2001 tentang migas yang saat ini sedang direvisi dan
adanya BP Migas dan BPH Migas maka target lonjakan peningkatan produksi minyak
nasional menjadi sulit terealisasikan
4. DEN mengusulkan menggunakan nuklir padahal sumber energi lain masih banyak yang
belum dikelola.

Dewasa ini indonesia adalah negara berkembang yang memiliki banyak sumber
energi alternatif seperti angin,matahari,laut namun indonesia tidak bisa mengelola dengan
mandiri sumber daya tersebut dan terlebih lagi negara kita ini mempunyai penduduk terbesar
ke-4 di dunia oleh karena itu kebutuhan energi juga berbanding lurus dengan fungsi
pertambahan nilai penduduk dan tak dapat di pungkiri bahwa indonesia akan terancam krisis
energi salah satunya krisis energi listrik untuk itu maka Dewan Energi Nasional (DEN)
mengusulkan untuk menggunakan nuklir. Krisis listrik nasional sudah berlangsung cukup
lama, yang telah mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial, pertumbuhan industri,
ekonomi, dan sebagainya. Salah satu diantaranya adalah banyak angkatan kerja yang tidak
dapat tertampung. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tidak menghasilkan gas
berbahaya semacam karbon monoksida,merkuri,sulfur dioksida ,nitrogen oksida ,aerosol dan
lain-lain (ramah lingkungan) juga dapat mengatasi krisis listrik dalam waktu yang relatif
cepat untuk kapasitas yang sangat besar. Oleh sebab itu, PLTN merupakan solusi untuk
mengatasi krisis listrik sebagai energi alternatif , nuklir juga tidak menghasilkan gas
berbahaya semacam karbon monoksida,merkuri,sulfur dioksida ,nitrogen oksida ,aerosol dan
lain-lain sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Keteganukliran dan UU No. 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

Solusi :
Indonesia mempunyai sangat banyak sumber tenaga yang belum dikembangkan, tetapi sayang
sekali bahwa sedikit pikiran saja diberikan ke cara-cara alternatif untuk menghasilkan tenaga
listrik. Misalnya di Indonesia tenaga listik bisa dibangkitkan dari panas bumi, atau tenaga
geotermis. Bertahun-tahun Pembangkit Listrik Tenaga Geotermis dijalankan di Alaska dan
Selandia Baru dengan memakai teknologi yang tidak membahayakan kehidupan manusia atau
lingkungkan alam kita.

Indonesia juga mempunyai cadangan gas alam besar sekali yang bisa dipergunakan untuk
menghasilkan tenaga listrik. Gas alam merupakan bahan bakar yang jauh lebih bersih
dibandingkan minyak bumi atau batu bara, dan menghasilkan jauh lebih seditkit polutan
udara.
mengingat bahwa peristiwa Kecelakaan PLTN Chernobyl 26 April 1986 dan kejadian
kecelakaan PLTN Fukushima 11 Maret 2011 dampak radiasi nuklir bersifat inheren atau
melekat. Berkaca dari tragedi Chernobyl, banyak warga yang masih merasakan dampaknya
sampai sekarang meski peristiwanya sudah berlalu hampir 27 tahun silam. Beberapa negara
membangun PLTN karena memang tidak punya pilihan lain, sumber energi mereka terbatas.
Indonesia kan punya iklim yang memungkinkan matahari bersinar sepanjang tahun, angin
berhembus setiap saat. Nuklir justru bisa membebani karena Indonesia belum bisa mengolah
uranium sendiri
Sumber :

1.http://migasreview.com/sinergi-tata-kelola-gas-pgn-dan-pertamina.html
2.http://uiupdate.ui.ac.id/article/pe-ui-gelar-seminar-tentang-tata-kelola-gas-indonesia

3.http://finance.detik.com/read/2014/03/26/114340/2537053/1034/gasnya-diekspor-ke-singapura-hingga-
china-ri-malah-impor-bbm
4. http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/6202-gas-bumi-dulu-dibuang-kini-diburu.html
5.http://www.batan.go.id/psjmn/?p=831

6.http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123307-6129-Implikasi%20liberalisasi-Pendahuluan.pdf
7.http://www.esdm.go.id/batubara/doc_download/500-undang-undang-no22-tahun-2001.html
8.http://km.itb.ac.id/site/telaah-kebijakan-di-sektor-migas-uu-no-22-tahun-2001/

9..www.den.go.id/index.php/majalah/download/8

10.http://www.batan.go.id/view_news.php?idx=1707&Indonesia%20perlu%20PLTN%20untuk%20mewuj
udkan%20keamanan%20pasokan%20energi

Anda mungkin juga menyukai