Lokasi
PERDAGANGAN DAN JASA, SERTA FASILITAS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, taufiq, serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuliah Analisis Lokasi dan
Keruangan (RP14-1316) yang berjudul “Dasar dan Analisis Lokasi Kegiatan Perdagangan
dan Jasa, dan Lokasi Fasilitas” dengan lancar.
Selama proses penulisan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan dari pihak-
pihak lain sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan optimal, sehingga pada kesempatan
ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalah ini, yaitu:
1. Bapak Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.Rer.Reg; Vely Kukinul Siswanto, S.T, M.T; Ajeng
Nugrahaning Dewanti, S.T, M.T, M.Sc. selaku dosen mata kuliah Analisis Lokasi dan
Keruangan.
3. Rekan-rekan di jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITS yang memberikan motivasi dan
bantuan demi kelancaran pembuatan makalah ini.
Kami berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama dalam menambah
wawasan tentang analisis lokasi dan keruangan. Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menentukan kerangka ruang wilayah dan kota, perencanaan berkaitan dengan
pengambilan keputusan publik yang juga berhadapan dengan kelangkaan sumber daya
pendukung yang sesuai dengan perencanaan yang akan dikembangkan. Bahkan untuk
menempatkan atau merealisasikan suatu perencanaan juga harus mempertimbangkan
berbagai sumber daya, misalnya sumber daya yang terbatas seperti lokasi dan pola ruang.
Aspek lokasi dan ruang menjadi salah satu faktor penting karena keberadaannya yang
terbatas dan semakin penuh oleh aktivitas manusia. Pengenalan terhadap karakteristik lokasi
dan ruang merupakan hal penting dalam menghasilkan suatu keputusan yang optimal.
Analisis lokasi dibagi menjadi dua, yaitu analisis untuk memahami karakteristik lokasi
dan kegiatan dalam skala wilayah dan kota, serta analisis untuk membuat alokasi lokasi dan
ruang bagi kegiatan tertentu untuk membuat komposisi ruangan yang optimal. Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai analisis lokasi kegiatan perdagangan dan jasa serta analisis lokasi
infrastruktur.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pendekatan analisis lokasi kegiatan kota dan wilayah berupa aktivitas
komersil dan ekonomi melalui analisa lokasi kegiatan perdagangan (retail).
2. Mengetahui pendekatan analisis lokasi kegiatan kota dan wilayah terkait dengan
fasilitas melalui analisis lokasi fasilitas.
Bab II. Bab ini berisi pembahasan mengenai strategi, variebel, dan metode dalam
menganalisa dan menentukan lokasi kegiatan perdagangan dan jasa jenis retail, serta
mengenai dasar penentuan lokasi fasilitas dan permasalahan yang dihadapi.
Bab III. Bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan yang terdapat dalam Bab II.
BAB II PEMBAHASAN 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dasar-Dasar dan Analisa Lokasi Kegiatan Perdagangan dan Jasa (Ritel)
2.1.1 Definisi Ritel
Berikut ini adalah definisi dari ritel menurut Berman dan Evans (2001:3) “retail consists
of the business activities involved in selling goods and services to consumers for their personal,
family, or household use” yang bisa diartikan bahwa ritel merupakan kegiatan bisnis yang
terlibat dalam penjualan barang maupun jasa kepada konsumen untuk kebutuhan pribadi,
kebutuhan keluarga, atau kebutuhan rumah tangga. Sedangkan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ritel adalah penjualan barang atau jasa kepada khalayak (Manser, 1995).
Jadi bisnis ritel adalah kegiatan penjualan barang dan jasa antara pedagang dan
konsumen dimana didalamnya terdapat akttivitas-aktivitas yang saling mendukung dan
mempengaruhi.
2.1.2 Strategi Ritel
Secara umum, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan sebuah
kegiatan ritel dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu pengelolaan, tapak, dan lokasi. Sudah
terdapat beberapa upaya untuk mengetahui kepentingan relatif masing-masing faktor utama
tersebut, tetapi masing-masing faktor tersebut penting dan dapat menenggelamkan bisnis jika
tidak secara hati-hati dikontrol.
Faktor pengelolaan biasanya terdiri dari elemen-elemen yang bisa dikontrol dari dalam
bangunan. Seperti manajemen toko, layanan pelanggan, barang, kebersihan, penampilan,
dekorasi, dan penataan. Semua elemen tersebut penting untuk elemen pengelolaan.
Faktor tapak merupakan elemen yang berhubungan dengan kondisi fisik penataan
bangunan dan properti disekitarnya. Elemen seperti tempat parkir, penandaan, lebar ruang
pejalan kaki, taman, aksesibilitas, keluar/masuk, tipe pemusatan, dan hal-hal lainnya seperti
bangunan yang berdiri sendiri atau bangunan penghubung yang semuanya penting untuk
tapak.
Faktor lokasi, lokasi adalah suatu penjelasan yang dikaitkan dengan tata ruang dari
suatu kegiatan ekonomi. Hal ini selalu dikaitkan pula dengan alokasi geografis dari sumber
daya yang terbatas yang pada gilirannya akan berpengaruh dan berdampak terhadap lokasi
berbagai aktivitas baik ekonomi atau sosial (Sirojuzilam, 2006:22). Dalam industri retail,
terdapat dua kunci utama dalam kesuksesan retail, yaitu faktor lokasi dan inventory.
Sementara Utami (2006:60), menyebutkan lokasi adalah faktor utama dalam pemilihan toko
konsumen. Faktor lokasi juga merupakan salah satu tangible asset yang menjadi distinctive
capability (kapabilitas yang unik dan sulit ditiru oleh pesaing). Faktor lokasi, yang berkontribusi
terhadap pemilihan lokasi yaitu demografi, permintaan konsumen, kepadataan lalu lintas,
BAB II PEMBAHASAN 4
generator lalu lintas (pusat perbelanjaan, rumah sakit, bandara, stadion), populasi harian,
kompetisi, bisnis pelengkap, dan gaya hidup.
Tekait dengan faktor lokasi, terdapat dua pertimbangan penting yang harus diputuskan
oleh sebuah pengecer (retailer), yaitu:
1. Memilih target pasar
2. Menentukan format retail yang bagaimana yang paling efektif untuk menjangkau pasar.
Seorang retailer dapat menjangkau konsumen potensial melalui dua konsep, yaitu
store atau nonstore retail format. Pengecer toko (store based retalilers) mengoperasikan
sebuah toko dengan lokasi yang sudah tetap sehingga membutuhkan konsumen untuk
bergerak ke toko untuk melihat dan memilih barang atau layanan yang diinginkan. Sedangkan
pengecer non-toko (nonstore based retailers) menangkap konsumen yang ada di rumah, di
tempat kerja, atau tempat selain toko dimana konsumen mudah untuk melakukan pembelian.
Bentuk-bentuk store based diantaranya yaitu pusat bisnis, mall, free standing, dan non
tradisional. Sedangkan bentuk-bentuk nonstore based yaitu penjualan via internet, penjualan
langsung ke rumah-rumah, penjualan non formal di sepanjang jalan, dan penjualan melalui
mesin-mesin barang.
Beberapa tipe retail berdasarkan konsep toko (store based):
1. Central Business District (CBD) biasanya terdiri dari area perbelanjaan yang
direncanakan sekitar titik geografis di mana semua sistem transportasi umum berkumpul;
biasanya dipusat kota dan di mana sejarah kota itu berasal.
2. Sekunder Business District (SBD) adalah area perbelanjaan yang lebih kecil dari CBD
dan berkisar setidaknya satu departemen atau toko di berbagai persimpangan jalan besar.
3. Neighborhood Business District (NBD) merupakan daerah yang berkembang memotong
untuk memenuhi kebutuhan belanja dan kenyamanan berorientasi lingkungan, umumnya
mengandung beberapa toko kecil (dengan pengecer besar menjadi supermarket atau
toko), dan yang terletak di arteri utama dari daerah perumahan.
4. Pusat Perbelanjaan (mall) adalah sebuah distrik perbelanjaan yang dimiliki atau dikelola
secara terpusat yang direncanakan, memiliki sewa seimbang (toko saling melengkapi
dalam penawaran barang), dan dikelilingi oleh fasilitas parkir.
BAB II PEMBAHASAN 5
5. Toko Jangkar adalah toko di pusat perbelanjaan yang paling dominan dan diharapkan
untuk menarik pelanggan ke pusat perbelanjaan.
6. Free-Standing Retailer umumnya menempatkannya pada arteri lalu-lintas utama dan
tidak memiliki pengecer yang berdekatan untuk berbagi lalu-lintas.
2.1.3 Variabel Pertimbangan Pemilihan Lokasi Ritel
Secara garis besar, terdapat 2 mainstreaming dalam penentuan lokasi ritel. Pemikiran
pertama memandang lokasi ritel modern memiliki kecenderungan berlokasi di pusat kota atau
CBD. Gejala ini dikenal sebagai sentralisasi lokasi retail (R.V.Retcliff, 1949 dan Alonso, 1964
dalam Yunus, 2004:68). Sedangkan pemikiran kedua, melihat perkembangan retail modern
mengarah pada pola desentralisasi wilayah. Beberapa variabel yang berpengaruh terhadap
pola desentralisasi wilayah dalam pola lokasi retail meliputi: adanya perubahan permintaan,
perubahan organisasi retail, kondisi tanah dan tenaga kerja, perubahan teknologi dan
kebijakan perencanaan. (Healey dan Ilbery, 1996:265-270).
Kegiatan perdagangan (ritel) termasuk kegiatan tersier yang merupakan kegiatan
pelayanan seperti distribusi dan pertukaran barang. Central Place Theory, dapat dijadikan
dasar dalam penentuan lokasi pusat belanja yang mewadahi kegiatan perdagangan ini dan
pusat belanja tersebut menjadi central place yang merupakan cluster dari berbagai kegiatan
perdagangan yang berlokasi di tempat tertentu dan mampu memberi pelayanan kepada
konsumen disekelilingnya (Yeates and Garner, 1980:152-153). Setiap konsumen
menginginkan lokasi yang mudah dijangkau dengan perjalanan seminimal mungkin untuk
mengunjungi pusat perbelanjaan. Untuk itu lokasi yang dipilih mensyaratkan tingkat
aksesibilitas yang tinggi (Ibid, 2004:69).
Sebuah studi mengungkapkan bahwa faktanya riteller memiliki kriteria tertentu yang
mereka gunakan untuk mencari lokasi baru untuk sebuah toko. Charles G. Schimdt, seorang
profesor dari Departeman Geografi di University Colorado-Denver, mengemukakan empat
karakteristik utama dalam memilih lokasi retail yaitu:
1. Volume lalu lintas yang padat, kepadatan dan kemacetan lalu-lintas bisa pula menjadi
hambatan, misalnya terhadap pelayanan kepolisian, pemadam kebakaran, dan
ambulans.
2. Frontage yang lebar dan akses yang aman untuk keluar masuk menuju tapak.
3. Ukuran tapak untuk ekspansi, ekspansi yaitu tersedianya tempat yang cukup luas untuk
perluasan usaha dikemudian hari.
4. Threshold populasi.
Penentuan lokasi pusat belanja juga memperhitungkan threshold atau batas
ambang, yaitu tingkat permintaan/jumlah penjualan minimum yang dibutuhkan untuk
mendukung keberadaaan kegiatan perdagangan tertentu. Salah satu indikator yang
BAB II PEMBAHASAN 6
1. Analog Model
Menurut Applebaum, 1968 Analog model merupakan upaya pertama yang
digunakan dalam proses memilih lokasi ritel. William Applebaum adalah seorang
pencetus dari model ini, guna melakukan pengamatan pada lokasi ritel eksisting yang
dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi ritel potensial lainnya. Menurut Buckner
1988 Model ini menggunakan tingkat penjualan ritel eksisting untuk memprediksi
lokasi masa depan yang potensial. Pendekatan analog dapat juga disebut dengan
pendekatan toko yang serupa. Dalam menggunakan pendekatan ini peritel harus
mampu menggambarkan karateristik area perdagangan terbaik bagi toko dan
menggunakan informasi tersebut dalam menemukan lokasi lain. Salah satu
keuntungan model analog atas metode lain adalah adaptasinya untuk menilai hampir
semua jenis toko ritel. Tetapi kekurangannya adalah metode ini sangatlah subyektif
BAB II PEMBAHASAN 8
dan dapat bekerja dengan baik hanya ditangan analis yang sudah berpengalaman
(Buckner, 1998). Pendekatan analog ini dibedakan menjadi 3 yaitu:
Area perdagangan sekarang ditentukan dengan menggunakan teknik
penandaan pelanggan.
Berdasarkan pada intensitas pelanggan pada too, zona-zona primer, sekunder,
dan tersier ditentukan.
Karateristik dari toko yang ada sekarang dicocokkan dengan lokasi-lokasi toko
baru yang potensial untuk menentukan tempat terbaik.
2. Gravity Model
Gravity model merupakan metode yang digunakan secara luas dalam teknik
menentukan lokasi ritel. Pada tahun 1931, William J. Reilly ini terinspirasi oleh hukum
gravitasi membuat aplikasi dari model gravitasi untuk mengukur perdagangan eceran
antara dua kota. Karyanya dan teori, Hukum Gravitasi Ritel, memungkinkan kita untuk
menarik batas-batas perdagangan daerah sekitar kota menggunakan jarak antara
kota-kota dan penduduk tiap kota. Hukum Reilly secara sederhana dapat diibaratkan
sebagai batasan area perdagangan, dengan cara menentukan titik yang berbeda dari
dua kota atau dua wilayah, maka masing-masing luasan area perdagangan dapat
ditentukan. Hukum Reilly sering dikenal dengan Law of Retail Gravition.
𝑑
DA-B =
1+√𝑃𝐵 /𝑃𝐴
d = Jarak per mil antara dua kota, A dan B
PA = Populasi kota A
PB = Popolasi kota B
DAB = jarak maksimum dihitung dalam mil sepanjang jalan dalam kota B
BAB II PEMBAHASAN 9
Menyediakan fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang
bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman.
c) Perdagangan hanya boleh berlokasi pada akses sistem jaringan yang sudah ditentukan
sebagai berikut:
Hypermarket dan Pusat Perbelanjaan:
Hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau
kolektor; dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokal atau lingkungan di
dalam kota/perkotaan.
Supermarket dan Department Store:
Tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan; dan tidak boleh berada
pada kawasan pelayanan lingkungan di dalam kota/perkotaan.
Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem
jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di
dalam kota/perkotaan.
Pasar tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem
jaringan jalan lokal atau jalan lingkungan pada kawasan pelayanan bagian
kota/kabupaten atau lokal lingkungan (perumahan) di dalam kota/kabupaten.
fasilitas kesehatan dan fasilitas kemasyarakatan, fasilitas rekreasi dan olah raga serta
perkuburan.
2.2.2 Penentuan Lokasi Fasilitas
Penentuan lokasi dalam suatu kegiatan merupakan hal yang sangat penting, tidak
hanya pada lokasi industri namun juga pada kegiatan lain. Terutama pada lokasi fasilitas.
Lokasi fasilitas umum sangat bergantung pada kebutuhan penduduk suatu tempat.
Masyarakat pasti menginginkan fasilitas umum yang mudah dijangkau, sedangkan
persebaran penduduk berbeda-beda antar daerah.
Analisis mengenai pola keruangan sendiri adalah analisis lokasi yang menitik beratkan
pada tiga unsur jarak (distance), kaitan (interaction) dan gerakan (movement), tujuan dari
analisis pola keruangan itu sendiri adalah untuk mengukur apakah kondisi yang ada sesuai
dan cocok sesuai dengan struktur keruangan, dan menganalisa interaksi antar unit keruangan
yaitu hubungan antara ekonomi kewilayahan dan interaksi keruangan, aksesibilitas antara
pusat dan perhentian suatu wilayah, dan hambatan interaksi, hal ini didasarkan oleh adanya
tempat-tempat (kota) yang menjadi pusat kegiatan bagi tempat-tempat lain, serta adanya
hirakri diantara tempat-tempat tersebut.
Alokasi lokasi fasilitas bertujuan untuk melokasikan fasilitas pelayanan sedemikian
rupa sehingga total biaya yang dikeluarkan atau usaha penduduk untuk memperoleh
pelayanan tersebut adalah minimal. Menurut Rushton (1973) penetapan lokasi suatu fasilitas
umum di negara-negara berkembang dihadapkan pada masalah-masalah nyata seperti
berikut:
1. Belum berkembangnya sistem transportasi sehingga lokasi fasilitas umum sangat
bergantung pada pembangunan sarana transportasi.
2. Pola integrasi lokasi sebagai fasilitas umum, yaitu berbagai fasilitas umum harus
diintegrasikan sedemikian rupa sehingga pengembangan pola yang optimal suatu
fasilitas umum tertentu menjadi sulit dilakukan.
3. Fungsi melayani atau mencipakan kebutuhan, yaitu apakah fasilitas umum yang akan
ditempatkan tersebut dapat berguna melayani kebutuhan selain hanya menciptakan
kebutuhan.
4. Memperbaiki kesalahan sistem lokasi kolonial. Pada masa kolonialisasi pola fasilitas
umum sangat dikaitkan dengan kepentingan penjajah yang memperlihatkan tujuan dan
kebutuhan penguasa semata. Keadaan ini sangat berbeda dengan negara berkembang
dimana tujuan pembangunan adalah pemerataan fasilitas umum.
5. Pemerataan tingkat kesejahteraan, penempatan fasilitas umum sering dilihat sebagai
salah satu alternatif pemerataan pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
BAB II PEMBAHASAN 12
Untuk memilih lokasi yang optimal bagi layanan fasilitas perlu memperhatikan prinsip
pemanfaatan sumberdaya yang paling minimum, seperti waktu, biaya, jangkauan layanan, dll.
Metode perhitungan lokasi optimal layanan fasilitas:
LO = ∑ d.W = minimum
LO = Lokasi optimum
d = jarak antara lokasi pusat pelayanan dan lokasi yang dilayani
W = bobot lokasi yang dilayani
Contoh kasus :
Sebuah fasilitas pendidikan diharapkan dapat memberikan
layanan kepada 5 (lima) lokasi yang berdekatan dengan jumlah
konsumen 340 orang.
Dimanakah lokasi optimal yang terpilih?
Perhitungan :
X A (100) B (50) C (40) D (70) E (80) Σ d.W
A 0 5 8 9 10 2000
B 5 0 3 4 10 1700
C 8 3 0 2 8 1730
D 9 4 2 0 6 1660
E 10 10 8 6 0 2240
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa lokasi D merupakan lokasi optimum
untuk didirikannya sebuah fasilitas pendidikan.
2.2.3 Konsep Dasar Model P-Median
P-Median merupakan salah satu jenis model optimasi. Model ini pada dasarnya
bertujuan untuk menentukan lokasi fasilitas pelayanan atau pusat pelayanan (supply centre)
agar tingkat pelayanan yang diberikan oleh fasilitas dan pusat tersebut kepada penduduk
(demand point) yang tersebar secara tidak merata dalam suatu area – optimal. Dalam model
ini, pusat pelayanan (supply centre) merupakan titik yang akan ditentukan lokasinya, sedang
titik permintaan (demand point) merupakan lokasi yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Terdapat kaidah “most accessible” dalam penentuan lokasi pusat-pusat pelayanan
agar pusat-pusat tersebut dapat memberikan tingkat pelayanan pada semua penduduk
secara optimal. Kaidah “most accessible” ini memiliki definisi yang beragam. Keragaman ini
akibat adanya perbedaan kriteria optimalitas. Kriteria ini secara langsung akan mempengaruhi
struktur algoritma model. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
BAB II PEMBAHASAN 13
1. Lokasi absolut, yakni posisi suatu tempat yang erat kaitannya dengan sistem
jaringan konvensional yang dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur
astronomis atau juga dengan suatu sistem koordinat tertentu.
2. Lokasi relatif, yaitu posisi yang dinyatakan dengan jarak atau salah satu faktor lain,
seperti satuan waktu, biaya, misal kota A terletak 30 km dari kota B, atau kota A
terletak 1 jam perjalanan mobil dari kota B.
Banyak cara untuk menyatakan jarak atau lokasi dalam konteks relatif selain
menggunakan unit jarak. Lokasi relatif dapat berubah secara radikal walaupun lokasi
absolutnya tetap konstan.
b. Faktor Bobot
Pengukuran masa dari suatu simpul tertentu tergantung pada masalah yang
sedang diselidiki. Bobot tersebut dapat berbentuk sebagai jumlah penduduk suatu kota,
jumlah komoditi pertanian suatu daerah, jumlah tenaga kerja, pendapatan 30 daerah,
produksi suatu pabrik, uang yang beredar, besarnya modal yang ditanamkan, jumlah
keluarga, jumlah kenderaan, aliran berbagai jenis barang.
BAB III PENUTUP 15
DAFTAR PUSTAKA
Asteriani, Febby. 2005. Analisis Peringkat Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Ruko Dari Sudut
Pandang Pengguna dan Pengembang Ruko Di Kota Pekanbaru. Tesis S-2 MPKD,
UGM, Yogyakarta.
Nugraha, dkk. 2000. Jurnal Teknik Sipil FTSP Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Purwidiyanti, Asri. 2013. Manajemen Bisnis Ritel.
http://asripur.blogspot.com/2013/01/manajemen-bisnis-ritel.html diakses pada
tanggal 8 April 2015.
Santoso, E. B., Umilia, E., & Aulia, B. U. 2012. Diktat Analisis Lokasi dan Keruangan (RP09-
1209). Surabaya
Setyawarman, Adityo. 2009. Pola Sebaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan
Lokasi Retail Modern (Studi Kasus Kota Surakarta). Tesis S-2 MTPWK, UNDIP,
Semarang.
Yudha, Brahma. 2015. Teori Lokasi sebagai penentuan posisi strategis.