PRETERM LABOR
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Preterm Labor”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr.
Arvita Muriany, M.Ked(OG), Sp.OG yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Epidemiologi
Angka kejadian prematur yang tinggi masih menjadi pusat perhatian dunia
hingga kini. Tingkat kelahiran prematur di Amerika Serikat sekitar 12,3% dari
keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya dan merupakan tingkat kelahiran
prematur tertinggi di antara negara industri.3
Angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia belum dapat dipastikan
jumlahnya, namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan
tahun 2007, proporsi BBLR di Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR
tidak mutlak mewakili angka kejadian kelahiran prematur. Persalinan preterm
paling rendah terjadi pada iu berusia 20 tahun-an, dan akan meningkat pada remaja
6
dan ibu di atas usia 30 tahun. Insidensi persalianan preterm lebih tinggi terjadi pada
persalinan pertama.3
a. Pendidikan
Latar belakang pendidikan ibu yang rendah menyulitkan berlangsungnya
suatu penyuluhan terhadap ibu. Mereka kurang menyadari pentingnya informasi-
informasi tentang kesehatan ibu hamil sehingga tidak mengetahui cara memelihara
kesehatan terutama pada saat hamil. Menurut penelitian Irmawati, ibu
berpendidikan SD lebih berisiko 3,33 kali mengalami persalinan prematur
dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan tinggi (CI:1,29-9,16 nilai
p=0,0025).11
b. Pekerjaan
Pekerjaan fisik yang berat, tekanan mental (stress), kecemasan yang tinggi
dapat meningkatkan kejadian prematur. Pekerjaan fisik yang berat, yang
mengkondisikan ibu hamil untuk berdiri lama, seperti Sales Promotion Girl (SGP),
perjalanan panjang dan pekerjaan yang mengangkat beban berat berisiko
melahirkan prematur. Selain itu, tingkat stress serta waktu kerja yang panjang juga
akan berdampak buruk bagi si calon bayi.
c. Umur
Umur merupakan faktor penting dalam menentukan waktu yang ideal untuk
hamil. Umur yang paling aman untuk hamil dan melahirkan adalah sekitar 20 – 35
7
tahun. Pada usia ini wanita dalam keadaan optimal dengan kata lain risiko angka
kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) ibu dan bayi yang terjadi akibat
kehamilan dan persalinan dalam kelompok usia tersebut paling rendah
dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Risiko ini akan semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Pada ibu yang berusia 35 tahun dan lebih tua
adanya risiko mengalami masalah seperti tekanan darah tinggi, diabetes selama
hamil, dan komplikasi selama persalinan.
Anak yang dilahirkan oleh ibu remaja mengalami berbagai masalah di
antaranya; perkembangan yang terhambat, prematur, dan BBLR. Hal ini biasanya
disebabkan karena gizi ibu remaja yang buruk. Bayi yang baru lahir dari ibu yang
remaja cenderung untuk lahir prematur, BBLR, dan menderita gangguan
pertumbuhan dan kecacatan.Sehingga risiko kematian bayi juga lebih tinggi bila
ibunya berusia kurang dari 20 tahun. Ibu yang hamil dengan usia di bawah 18 tahun
dan lebih 35 tahun, mempunyai risiko tinggi untuk melahirkan bayi prematur dan
persalinan prematur dengan tindakan akan meningkatkan 2-4 kali lipat atau
meningkatkan sekitar 40% pada ibu di atas 40 tahun.
d. Riwayat Abortus
Menurut WHO, abortus adalah hilangnya janin atau embrio dengan berat
kurang dari 500 gram atau setara dengan sekitar 20-22 minggu kehamilan. Aborsi
bisa meningkatkan risiko infeksi yang bisa mempengaruhi kehamilan selanjutnya.
Aborsi dapat merusak dinding rahim, tempat janin tumbuh dan berkembang.
Dinding rahim merupakan tempat melekatnya plasenta, salah satu fungsi plasenta
ialah tempat pembuatan hormon-hormon dan jika plasenta tidak bekerja dengan
baik maka pembuatan hormon terganggu. Jika kadar progesteron turun akan timbul
kontraksi pada rahim.
Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya,
baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri.
Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya persalinan prematur, abortus berulang, dan BBLR.2
8
e. Jarak Kehamilan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat yaitu kurang dari 24 bulan merupakan
jarak kehamilan yang berisiko tinggi sewaktu melahirkan. Jarak kehamilan yang
dekat mengakibatkan rahim ibu belum pulih sempurna sehingga mengakibatkan
gangguan pertumbuhan janin.
f. Anemia Kehamilan
Anemia adalah suatu keadaan di mana jumlah eritrosit yang beredar atau
konsentrasi hemoglobin yang menurun..Selama kehamilan, anemia lazim terjadi
dan biasanya disebabakan oleh defisiensi besi, sekunder terhadap kehilangan darah
sebelumnya atau masukan besi yang tidak adekuat. Anemia jarang menciptakan
krisis kedaruratan akut selama kehamilan, namun pada hakekatnya setiap masalah
kedaruratan dapat diperberat oleh anemia yang telah ada. Pada kehamilan 36
minggu, volume darah ibu meningkat rata-rata 40 sampai 50 persen di atas keadaan
tidak hamil.Walaupun eritropoesis diperkuat oleh volume eritrosit meningkat,
namun lebih banyak plasma ditambahkan ke dalam sirkulasi ibu, akibatnya
konsentrasi hemoglobin maupun hematokrit menurun selama kehamilan.
Semakin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahiran akan
semakin banyak kehilangan zat besi dan semakin anemis. Pengaruh anemia pada
masa kehamilan terutama pada janin dapat mengurangi kemampuan metabolisme
tubuh ibu sehingga menganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
rahim, akibatnya terjadi abortus, kematian intrauterin, persalinan prematur, berat
badan lahir rendah, kelahiran dengan anemia, terjadi cacat bawaan, bayi mudah
mendapat infeksi dan inteligensi rendah.
Pada ibu yang mengalami anemia kehamilan mempunyai risiko untuk
mengalami komplikasi persalinan 1,42 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu
yang tidak mengidap anemia.
g. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah ≥ 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan
darah dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali selama 4 jam. Hipertensi kronis adalah
9
hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap
sampai 12 minggu pascapersalinan. Wanita yang mengalami hipertensi kronis
berisiko mengalami pre-eklmapsia. Pada hipertensi atau preeklamsia, penolong
persalinan cenderung untuk mengahiri kehamilan. Hal ini menimbulkan prevalensi
prematur meningkat. Pasien dengan hipertensi harus selalu dicurigai mengalami
pelepasan plasenta prematur.
3. Faktor genetik
Kelahiran prematur juga diduga sebagai suatu proses yang terjadi secara
familial karena sifat persalinan prematur yang berulang dan prevalensinya yang
berbeda-beda antar ras.13
2. Ibu
a) penyakit berat pada ibu
b) diabetes mellitus
c) preeklamsia/hipertensi
14
2.Pemeriksaan fisik
status hemodinamik
status generalisata
status obstetri :
- usia kehamilan < 37 minggu
- terjadi kontraksi sebanyak 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60
menit diikuti dengan perubahan serviks yang progresif
status ginekologi : pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi
pembukaan sedikitnya 2 cm
3.Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan laboratorium : darah lengkap dan urinalisis untuk evaluasi
adanya infeksi maternal
amniosentesis : untuk menilai maturasi paru janin
ultrasonography (Kemenkes, 2013)
1. Indikator klinik
Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan
pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban
pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan prematur.
2. Indikator laboratorik
16
3. Indikator biokimia
a. Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks,
dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antar
korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin
janin 50ng/ml atau lebih mengindikasikan risiko persalinan prematur.
b. Corticotropin Releasing Hormone (CRH): peningkatan CRH dini atau pada
trimester 2 merupakan indikator kuat untyk terjadinya persalinan premature.
c. Sitokin inflamasi: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin
sebanyak 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama kehamilan
dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8±53 U/ml. Penurunan
kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan prematur.
d. Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitive untuk
keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan
berbagai keadaan fase akut termasuk kondisi inflamasi. Beberapa peneliti
menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar feritin dan kejadian
penyulit kehamilan, termasuk persalinan prematur.
Pengelolaan pada kasus persalinan prematur dengan ketuban yang masih intak
dimana tidak didapatkan bahaya pada ibu dan janin maka pengelolaannya adalah
konservatif, yang meliputi:
a. Menunda persalinan prematur dengan tirah baring dan pemberian obat-obat
tokolitik.
b. Memberikan obat-obat untuk pematangan paru janin.
c. Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko infeksi perinatal.
d. Merencanakan cara persalinan prematur yang aman dan dengan trauma
yang minimal.
e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi
prematur (Fadlun dan Feryanto, 2013).
1. Tirah Baring
Tirah baring adalah salah satu intervensi yang digunakan sebagai pencegahan atau
pengobatan pada persalinan prematur yang mengancam.
2. Hidrasi/Sedasi
18
3. Progesteron
Adanya hipotesis persalinan prematur karena progesterone withdrawal, maka salah
satu pencegahan ataupun pengobatan persalinan prematur adalah dengan pemberian
progesteron. Namun, penggunaan progersteron ini belum berhasil menghentikan
persalinan prematur.
4. Tokolisis
Pemberian tokolisis untuk menghambat persalinan masih belum efektif. Namun,
pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus
yang regular dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis dalam
pengelolaan persalinan prematur adalah:
- Mencegah mortalitas dan morbiditas bayi prematur
- Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir
surfaktan paru janin
- Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap
miokardial.Walaupun terdapat efek samping pada ibu dan janin, sulfas magnesikus
masih kurang berbahaya dibandingkan obat β-mimetik. Oleh karena itu, banyak tim
medis yang menggunakan obat ini sebagai obat tokolisis utama.
5. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kejadian Respiratory
Distress Syndrome (RDS) sehingga dapat menurunkan morbiditas perinatal pada
nonatus yang lahir sebelum usia 34 minggu. Efek ini diperoleh hanya pada
persalinan yang terjadi lebih dari 24 jam setelah pemberian dosis pertama dan
sebelum 7 hari. Ibu hamil yang berada pada usia kehamilan antara 23 dan 34
minggu yang berisiko mengalami persalinan prematur sebaiknya diberikan
kortikosteroid. Pada pasien yang megalami ketuban pecah dini, kortikosteroid
direkomendasikan untuk diberi pada kehamilan 30-32 minggu.
20
6. Antibiotika
Antibiotika diberikan hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung
risiko terjadinya infeksi, seperti ketuban pecah dini. Obat diberikan per oral dan
yang dianjurkan adalah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain
adalah ampisilin 3 x 500 mg selama tiga hari atau antibiotka lain klinsdamisin
7. Proses persalinan
Pada kasus persalinan dengan usia 24 minggu, sebaiknya dilakukan operasi
section cesarean.
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA