Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. Widyaningsih, Sp. PD
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung sering disebut juga gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan
terhadap nutrien dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang gagal jantung termasuk
kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung kurang dari normal.
Kondisi umum yang mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi atrial, dan penyakit inflamasi
atau degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor sistemik dapat menunjang perkembangan dan
keparahan dari gagal jantung. Peningkatan laju metabolic (misalnya: demam, koma,
tiroktoksikosis), hipoksia dan anemia membutuhkan suatu peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen.1
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan
penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Di Eropa kejadian gagal jantung
berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun.
Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru
per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10
tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien
dengan gejala gagal jantung yang ringan.2
Edem paru akut (EPA) adalah akumulas cairan di paru-paru yang terjadi secara mendadak.
Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardia) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non cardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan secara cepatsehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli
secara progresif dan mengakibatkan hipoksia. Penyebab yang tersering dari edema paru-paru adalah
kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema paru-paru
yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edemaparukardiogenik, peningkatan tekanan
hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan
atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan
menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang
terus memburuk oleh proses sebagai berikut.3,4 Untuk itu diperlukan pemahaman lebih lanjut
mengenai gagal jantung kongestif ini. Itulah sebabnya, kasus ini perlu diangkat untuk dipelajari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York Heart
Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan
gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:6
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008 7
Etiologi
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang paling sering
menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan atau berkurangnya kontraktilitas
otot jantung, iskemik akut atau kronik, meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau
adanya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit miokard, dan
70% akan berkembang menjadi gagal jantung. Masing -masing 10% dari penyakit jantung katup
dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung juga.
Penyebab dari gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan gagal jantung kiri atau gagal
jantung kanan dan gagal low output atau high output.
Tabel 3. Penyebab gagal jantung
Jantung kiri primer Jantung kanan primer
Penyakit jantung iskemik Gagal jantung kiri
Penyakit jantung hipertensi Penyakit pulmonari kronik
Penyakit katup aorta Stenosis katup pulmonal
Penyakit katup mitral Penyakit katup trikuspid
Miokarditis Penyakit jantung kongenital (VSD,PDA)
Kardiomiopati Hipertensi pulmonal
Amyloidosis jantung Embolisme paru masif
Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot
skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.8
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.8
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.8
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh
darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.9
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat
terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.9
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding
ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal
jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.9
Gambar 1. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF
Gejala Klinis
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan
fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat
beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan
semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Gejala-
gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem organ yang
terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah
gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala yang
tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang
untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan
mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.10-12
Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling umum.
Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang
mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.
Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema
interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif.
Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian- bagian tubuh
yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial dari ekstremitas bawah
juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal
Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi
yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari gagal
jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh gaya
gravitasi.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik. Dapat
diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami bendungan . tekanan
vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang
gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama
inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan
kongesti hati dan usus.
Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula
tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi
nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh
redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi
ginjal pada waktu istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka. Meskipun gejala
dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat
gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya
disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami sianosis
dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat iritabilitas
miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan
penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.
Penatalaksanaan
Tatalaksana Non-Farmakologi
Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas
fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan
gagal jantung.6
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala
berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan
sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).6
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C).6
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program
latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A).6
Penatalaksanaan Farmakologis
Angiotensin-Converting Enzim Inhibitor (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal.6
Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik
berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.6
Hiperkalemia
Perburukan fungsi ginjal
Nyeri dan/atau pembesaran payudara
Tabel 4. Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal jantung sistolik
Rekomendasi terapi farmakologis untuk semua pasien gagal jantung sistolik simtomatik
(NYHA fc II-IV)
1. Pemberian ACEI direkomendasikan, bagi semua pasien dengan
EF ≤ 40%, untuk menurunkan risiko hospitalisasi akibat gagal jantung dan kematian
dini
2. Pemberian penyekat β, setelah pemberian ACEI atau ARB pada semua pasien dengan
EF ≤ 40% untuk menurunkan risiko hosipitalisasi akibat gagal jantung dan kematian
prematur
3. MRA direkomendasikan bagi semua pasien dengan gejala gagal jantung yang persisten
dan EF≤ 35, walaupun sudah diberikan dengan ACEI dan penyekat β
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 13
Tabel 10 Rekomendasi terapi farmakologis lain dengan keuntungan yang kurang pasti pada
pasien gagal jantung dengan NYHA fc II – IV
ARB
Direkomendasikan untuk menurunkan risiko hosiptalisasi gagal jantung dan kematian
prematur pada pasien dengan EF ≤ 40% dan pada pasien yang intoleran terhadap ACEI
(pasien tetap harus mendapat penyekat beta dan MRA)
Ivabradine
Pemberiannya harus dipertimbangkan untuk menurunkan risiko hospitalisasi pada pasien
dengan EF ≤ 35%, laju nadi ≥ 70 x/menit, dan dengan gejala yang persisten ( NYHA II-
IV), walaupun sudah mendapat terapi optimal penyekat beta, ACEI dan MRA
H-ISDN
Pemberiannya dapat dipertimbangkan sebagai pengganti ACEI atau ARB, bila intoleran,
untuk menurunkan risiko hospitalisasi dan kematian premature pada pasien dengan EF
≤ 45% dengan dilatasi ventrikel kiri ( atau EF ≤ 35% ). Pasien juga harus mendapat
penyekat beta dan MRA
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat
β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien
ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
ARB
Candesartan 4 / 8 (1 x/hari) 32 (1 x/hari)
Valsartan 40 (2 x/hari) 160 (2 x/hari)
Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1 x/hari) 50 (1 x/hari)
Spironolakton 25 (1 x/hari) 25 - 50 (1 x/hari)
Penyekat β
Bisoprolol 1,25 (1 x/hari) 10 (1 x/hari)
Carvedilol 3,125 (2 x/hari) 25 - 50 (2 x/hari)
Metoprolol 12,5 / 25 (1 x/hari) 200 (1 x/hari)
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 2
Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan
irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup.
INDIKASI
Fibrilasi atrial
dengan irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat
aktifitas> 110 - 120 x/menit
Irama sinus
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
Dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada
indikasi.
KONTRAINDIKASI
Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hat-hat jika pasien diduga
sindroma sinus sakit
Sindroma pre-eksitasi
Riwayat intoleransi digoksin
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008 1
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu
harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Tabel 7. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40 – 240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12.5 – 100
Metolazone 2.5 2.5 – 10
Indapamide 2.5 2.5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 - 25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 - 200
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
Prognosis
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi
prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien
stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif.
Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%),
gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin plasma yang
meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa
kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard
akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung
progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat
menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat.14
Tanda Klinis untuk Membedakan Edema Paru Kardiak dan Non kardiak
Edema Paru Kardia Edema Paru Non Kardiak
Riwayat Penyakit Penyakit jantung akut Penyakit dasar diluar jantung
Tanda Klinis Orhopnoe Akral hangat
Akral dingin Pulsasi nadi meningkat
S3 gallop Tidak terdengar gallop
Distensi vena jugularis Tidak ada distensi vena
jugularis
Rongkhi basah Rongkhi kering
Pemeriksaan Penunjang EKG: biasanya abnormal EKG: biasanya normal
Ro: distribusi edema perihiler Ro: distribusi edema perifer
PCWP: >20 mmHg PCWP: <20 mmHg
Echo: umumnya abnormal Echo: umumnya normal
Epidemiologi
Edema paru akut merupakan kondisi klinis yang sering dijumpai pada pasien gagal jantung
akut maupun kronis namun tidak banyak data mengenai insiden edema paru ini. Suatupenelitian
yang berbasis survey-observasional berskala internasioal, Acute Heart Failure Globak of Standard
Treatment (ALARM_HF) tahun 2012, terhadap 4953 pasien yang dirawat dengan gagal jantung
akut di 866 rumah sakit tersebar di eropa, Amerika Latin dan Australia mendapat Edema paru akut
merupakan salah satu kondisi klinis yang banyak dijumpai dengan presentase 37% dari
keseluruhan pasien. Penelitian sebelumnya Euroheart Failure Survey II didapatkan hasil 16%
pasien yang dirawat akibat gagal jantung akut mengakibatkan EPA.
Patofisiologis
Patofisiologis edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran cairan (fluid
exchange) yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler (mikrovascular). Sejumlah
volume cairan yang bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding kapiler pembuluh
darah, bercampur dengan cairan interstisium disekitarnya, dan kemudian diabsorsi kembali
kedalam pembuluh darah, proses seperti ini disebut dengan bulk flow karena berbagai konstituen
cairan berpindah bersama-sama sebagai kesatuan.
Bulk flow terjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic koloid antara plasma
dengan cairan interstisium. Secara umum ada empat gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan
menembus dinding kapiler, yaitu 1) tekanan kapiler merupakan tekanan hidrostatik darah yang
cenderung mendorong cairan keluar kapiler menuju cairan interstisium, 2) tekanan osmotic koloid
plasma disebut juga sebagai tekanan onkotik, merupakan suatu gaya yang merupakan suatu gaya
disperses koloid protein-protein plasma dan mendorong pergerakan cairan ke dalam kapiler.
Dalam keadaan normal, protein plasma tetap dipertahankan berada tetap didalam plasma dan tidak
masuk kedalam interstisium sehingga adanya perbedaan konsentrasi antara plasma dan
interstisium, 3) tekanan hidrostatik ciiran interstisium, merupaka tekanan cairan yang berkerja
dibagian luar dinding kapiler oleh cairan interstisium. Tekanan ini cenderung mendorong cairan
masuk ke dalam kapiler, 4) tekanan osmotic koloid cairan interstisum, merupakan gaya lain yang
dalam keadaan normal tidak dapat banyak berperan dalam perpindahan cairan melalui kapiler.
Perpindahan cairan dari intreavaskuler dapat dinyatakan sebagai suatu perpindahan cairan melalui
suatu membrane semipermaebel.
Pada jariangan paru yang normal, cairan dan protein merembes melalui celah yang sempit
diantara sel-sel endotel kapiler paru, dan dengan adanya anyaman epitel yang sangat rapat pada
kapiler tersebut, maka perpindahan protein yang berukuran besar dapat dibatasi, serta dapat tetap
dipertahankan didalam plama. Selanjutnya filtrate yang memasuki celah interstisial alveolar akan
mengalir kearah proksimal menuju celah peribroncovaskular. Pada jaringan paru yang normal,
seluruh ilfiltrat tersebut akan dialirkan kembali meuju kesirkulasi sistemik melalui system limfe.
Tekanan hidrostatik untuk filtrasi cairan sepanjang mikrosirkulasi paru, diperkirakan berbanding
lurus dengan selisih antara tekanan hidrostatik kapiler paru dengan gradient tekanan osmotic
protein.
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melalui clearance capability
system limfe, keadaan ini sering dijumpai pada peningkatan tekanan hdirostatik kapiler paru oleh
karena meningkatnya tekana dalam pembuluh darah kapiler pulmonalis. Peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler pulmoner secara secara cepat dan tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan
tekanan cairan transvaskuler dan ini merupakan karakteristik utama suati acute cardiogenic edema
atau volume-overload edema. Pada edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan hidrostatik
pembuluh darah kapiler paru umumnya disebabkan peningkatan tekanan vena pulmonalis sebagai
akibat peningkatan left ventricular end-diatolic pressure and left arterial pressure. Peningkata
minimal (mild) tekanan pada atrium kiri (18-25 mmhg) akan menyebabkan edema pada
perimicrovascular interstisial space. Dengan peningkatan tekan pada atrium kiri yang lebih tinggi
(>25 mmHg), cairan akan menembus lapisan epitel paru dan mengisi seluruh alveoli dengan
cairan-rendah protein. Hal yang berbeda didapati pada keadaab edema paru nonkardiogenik,
adanya peningkatan permaebilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan intravaskulae
keluar menuju instrestisial paru serta air space. Pada edema paru nonkardiogenik akan dijumpai
cairan edema yang lebih tinggi protein karena membrane pembuluh darah darah yang lebih tinggi
permeable dapat melawat protein-protein plasma. Totat jumlah netto akumulasi cairan edema paru
ditentukan olej keseimbangan pengeluaran dan penyerapan cairan edema dari intertisial serta air
space.
Diagnosis
Diagnosis EPA didasarkan pada sintom dan gejala klinis yaitu distress pernafasan yang
yang hebat, rongki seluruh lapang paru dan orhopnoe. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
mendukung adalah foto thoraks, EKG, Ekokardiografi dan Laboratorium. Foto Thoraks harus
segera di lakukan dan sangat membantu dalam menegakan EPA.
Gejala Klinis
Gejala Klinis edemaparu kardiak berkembang secara sangat cepat sebagai akibat terjadinya
peningkatan tekanan pembuluh darah paru secara ekstrim sehingga berbeda dengan orthopnoe dan
paroksismal nocturnal dyspnoe. Pasien-pasien dengan edema paru kardiogenik akan menunjukan
gejala klinis gagal jantung kiri dengan sintom sesak nafas secara mendadak. Hal ini merupakan
pengalam yang menakutkan ada pasien. Gejala lain yang dapat muncul pada pasien yang dengan
edema paru akut adalah dispnoe dan takipnoe karena edema interstisial hipoksemia sebagai akibat
penumpukan cairan di alveolus, munglin disertai sianosis, batuk dan fronthy sputum, berkeringat
dingin dan biasanya pasien dalam posisi duduk agar dapat memprtgunakan otot-otot bantu
pernapasandengan lebih baik pada saat respirasi atau sedikit membungkuk kedepan untuk
mengurangi gejala sesak napas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Sejumlah pemeriksaan laboratorium dilakukan pada EPA, yaitu pemeriksaan darah rutin,
troponin serta analisis gas darah arteri (AGDA). AGDA terutama dilakukan untuk menilai
oksigenisasi (pO2), asam basa (pH), dan deficit basa yang harus dilakukan pada semua pasiem
dengan dugaan suatu EPA. Pemeriksaan non infasif dnegan menggunakan oximetry dapat
dilakukan menggantikan pemeriksaan analisis gas daraharteri kecuali pada keadaan kardiak output
yang jelek atau dengan syok vasoontriksi.
Plasma B-type natriuretic peptide (BPN) di hasilkan dari ventrikel jantung sebagai respon
dari meningkatnya wall stretch dan volume overload. Pemeriksaan terhadap BPN telah digunakan
untuk mengidentifikasi EPA akibat kardiak dan menyingkirkan penyebab lainnya seperti dari
kelainan paru pada pasien sesak napas hebat yang baru dtang ke instalasi gawat darurat. Disepakati
nilai cut-point untuk NT-proBNP adalah 300pq/mL dan BNP 100 pq/mL. Nilai cut off dari BNP
ini memiliki ketepatan 80-85%, sensitivitas 90% dan spesifitis 75% bersamaan dengan ditemukan
gejala klinik dan nilai laboratorium.
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG pada suatu EPA terutama untuk menilai irama jantung, aritmia, serta
tanda-tanda iskemia. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang noniskemik biasanya
menunjukan gambaran gelombang T yang negative yang lebar dengan QT yang memanjang yang
akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dengan dalam satu minggu.
Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa penyebab, antara lain
iskemik sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding,
peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningktan elektrikal akibat perubahan
metabolic atau ketolamin.
Radiologi
Foto thoraks harus dilakukan segera pada semua pasien dengan sangkaan suatu EPA untuk
mengevaluasi tanda-tanda edema paru serta menilai kondisi jantung baik ukuran, bentuk serta
tanda-tanda kongesti. Foto thoraks dapat menyingkirkan differential diagnosis EPA. Foto thoraks
selain untuk menegakan diagnosis juga dilakukan untuk evaluasi perkembagan respon pengobatan.
Foto thoraks di bawah ini memberikan gambaran karakteristik suatu edema paru kardia ataupun
non kardiak.
Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang penting dalam menegakan suatu EPA
terutama yang disebabkan oleh kardiak dengan menilai fungdsi, struktur serta disfungsi dari
masing-masing katup dari jantung yang dapat menjadi etiologi dari EPA itu snediri.
Pulmonary Artery Catheter
Penatalaksanaan
Terapi oksigen: oksigen dapat diberikan mencapi 8 L/menit untuk mempertahankan PaO2,
bila perlu dapat diberikan dengan masker. Saturasis oksigen harus dipertahankan dalam
batas normal (95-98%), hal ini penting untuk memaksimalkna penghantaran oksigen
kejaringan sehingga tidak menjadi disfungsi wnd organ atau multiple end organ. Jika
kondisi pasien makin memburuk, akan muncul sianosis, pasien semakin sesak napas,
takipnoe, rongki bertambah dan PaO2 tidak dapat dipertahankan >60 mmHg dengan terapi
O2 aliran tinggi , retensi Co2, hypoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakeal, CPAP, NIPPV ataupun dengan
penggunaan ventilator mekanik.
Vasodilatator: pada EPA dengan etiologi kardiak peningkatan LVEDP dengan edema paru
disertai peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik. Vasodilatasi disini menjadi terapi
utama dengan tujuan untuk membuka sirkulasi perifer selanjutnya akan menurunkan
preload, afterload dan akhirnya menurunkan PCWP.
Sodium nitroprussid: dapat diberikan dengan dosis 0,3 ug/kg/menit. Penggunaan jangka
lama ditakutkan akan terjadi toxisitas dari hasil metabolic obat tersebut thiocyanida dan
cyanide, dan dikontraindikasikan pada gangguan hati dan ginjal yang berat. Penggunaan
obat ini juga harus mempertimbangkan timbulnya rebound pada penghentian yang tiba-
tiba.
Nitrat: pemberian nitrat akan segera menurunkan preload, menurunkan kongesti tanpa
menggangu stoke volume dan cardiac oksigen demand. Nitrat sebagai vasodilatator vena
dan sirkulasi arteri akan menurunkan preload dan afterload. Pemberian nitrat intra vena
yang direkomendasikan dengan furosemide telah direkomendasikan daka penanganan
EPA. Dosis nitrat intravena dapan dimulai dengan dosis 20 ug/menit dan dapat dinaikan
sampai 200ug/menit atau jika menggunakan isosorbid dinitrat dosisnya 1 sampai 10
mg/jam. Pemberian vasodilatator ini harus dilakukan dengan monitor tekanan darah. Dosis
nitrat harus diturunkan jika tekanan darah sistolik menurun 90-100 mmHg dan akan
diberhentikan jika tekanan darah bertambah turun. Untuk pemberian secara oral dapat
diberikan dapat diberikan Nitrogliserin 0,3-0,6 mg sublingual atau isosorbide dinitrate 2,5-
10 mg sublingual. Pemberian secara intravena lebih dianjurkan ppada pasien dengan EPA.
Nesiritede: obat ini merupakan vasodilator yang baru, yang merupakan recombinant
human brain atau BNP. Nesiride mempunyai efek vasodilator pada vena, arteriol dan
coroner sehingga akan menurunkan preload, afterload sehingga akan meningkatkan
cardiacoutput tanpa initropik langsung.
Diuretic: penggunaan diuretic di inikasikan pada pasien dengan EPA dengan tujuan
meningkatkan volume urine sehingga meningkatkan pengeluaran air, natrium dan ion-ion
lain, hal ini akan menurunkan volume cairan di plasma, ekstraselular, tekann pengisian
ventrikel kiri dan kanan dan akhirnya akan menurunkan kongesti pulmonal dan edema
paru. Furosemide dapat dibolus 40-60 mg intravena atau diberikan secara kontinu. Efek
pemberian furosemide diuresis akan terjadi selama 5 menit, dan mencapai puncak dalam
30 menit serta berair setelah 2 jam. Tetapiu biasanya edema paru sudah berkurang sebelum
efek diuresis terjadi sehingga diduga efek bermberian furosemide dapat menyebabkan
dilatasi vena dan juga mengurnag afterload sehingga memperbaiki pengosongan ventrikel
kiri.
Morfin sulfat: morfuin dioindikasika pada stage awal terap EPA. Morfin berfungsi sebagai
vasodilator , arterodilator serta menurnkan heart rate. Berdasarkan beberapa penelitian
pemberian segera morphin 2-3 mg bolus setelah diagnose ditegakan sangat memperbaiki
keadaan klinis pasien dan dosis ini dapat diulang jika diperlukan setiap 15 menit sampai
total dosis 15 mg.
Inotropic: inotropic di indikasikan jika hterjadi hipoperfusi perifer dengan hipotensi dan
penurunan fungsi ginjal. Dosis dopamine dapat dimulai dengan 2-5 ug/kgbb/menit sampai
maksimal 20 ug.kgnn/menit. Dosis kedua inotropic ini dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis.
Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular.
Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan
tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan
atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di
perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat
lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian
tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (3,4)
Penghapusan cairan edem dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan
klorida melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II
serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan
cara Na/K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti,
kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel
alveolar sel tipe I (3,4)
Edem paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure
Syndrome (AHFS). AHFS ini didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang
merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal.
Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan transudai cairan dengan
kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas
dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi,
hiposemia dan sesak nafas.
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage
1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri,
dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon
monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai
ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup.
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edem interstisial
diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang longgar dengan jaringan perivaskular
dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal
secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada derajat ini akan terjadi
kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan
jumlah cairan di daerah di interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen
saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks nronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara
ventilasi dan perfusi aka mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan
ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga
seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea.
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edem paru tersebut,
proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali
hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang
besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si
pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal.
Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi
cairan. Walaupun hiperkapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin
memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien
sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah
diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan
pemantau yang ketat.
Kesimpulan
Congestive heart failure (gagal jantung kongestif) adalah suatu sindroma klinis yang kompleks
yang disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada
ejeksi dan pengisian, sehingga jantung tidak lagi mampu memompa darah secara cukup ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Penyebab terjadinya CHF seperti kelainan otot jantung, Aterosklerosis coroner, Hipertensi
sistemik atau pulmonal, peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, penyakit jantung
lain seperti gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak
mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak after loadataupun faktor sistemik lainnya. Gejala yang
dijumpai pada gagal jantung berupa sesak nafas ortopneu, paroxysmal nocturnal dyspnoe,
toleransi aktifitas yang berkurang, cepat lelah dan bengkak di pergelangan kaki.
Komplikasi yang dapat timbul dari gagal jantung salah satunya adalah udem pulmonal akut
kardiogenuk. Edem paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan
transudai cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.
Tatalaksana dari CHF sendiri dapat dilakukan pendekatan non farmakologis dan dapat secara
farmakologis. Pada penatalaksanaan non farmakologis dapat dilakukan dengan cara
mengajarkan kepada pasien dan keluarga, untuk dapat manajemen perawatan mandiri, seperti
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
perburukan gagal jantung. ketaatan pasien terhadap pengobatan, batasi asupan cairan, latihan
fisik sesuai kemampuan. Sedangkan untuk penatalaksanaan farmakologis pada gagal jantung
dapat diberika obat-obatan untuk membantu aliran darah seperti golongan ICE- Inhibitor untuk
membatu dilatasi pembuluh darah dan diuretic untuk mengurangi penumpukan cairan didalam
tubuh.
Daftar Pustaka
2. Sugeng, Barita Sitompul, J. Irawan. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.h.238
7. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008;29:2388–442.
8. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007. Volume 2.
9. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007. Volume 2.
10. Sudoyo A W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.IV, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta. h. 1638-45.
11. Nicholas J. Talley, Nimish Vakil. 2005. Guidelines for the Management of Dyspepsia,
Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. American
Journal of Gastroenterology.
13. McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European Society of Cardiology.
Developed in collaboration with the Heart. Eur Heart J [Internet] 2013;32:e1–641 – e61.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136
14. Harun S, Nasution S. Edema Paru Akut. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi ke-VI. Jakarta: Interna Publishing.2014.h.1651-3.