Anda di halaman 1dari 3

Masih Banyak Getah Masalah di

Sektor Karet
By littleduck on 20 April 2015 • ( 0 )

Kejutan datang dari China akhir tahun lalu. Pemerintah


Tiongkok memutuskan menerapkan standar baru karet kompon (compound rubber) dalam
kompon boleh mencapai 95%-99,5%, maka sekarang hanya sampai 88%.

Kalau kandungan non-karet kurang dari 12%, maka karet kompon akan terkena bea masuk
sebesar 20%. Tariff itu sama dengan bea masuk untuk produk karet alam (natural rubber).
Seperti diberitakan The Star Online, kebijakan ini jelas memukul negara-negara ASEAN
pemasok utama karet ke China, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Ini adalah pukulan untuk sektor karet menjelang pemberlakukan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) tahun ini. Jika melongok roadmap MEA 2015, karet sejatinya termasuk
sektor prioritas integrasi komunitas. Harapannya, karet menjadi salah satu komoditas dan
produk unggulan ASEAN.

MEA akan membentuk kawasan Asia Tenggara sebagai basis produksi yang terintegrasi
untuk karet. Kalau melihat struktur pasar karet dunia, wajar ASEAN menjadikan karet
sebagai prioritas integrasi dan produk unggulan di wilayah ini. Dari daftar 10 negara
produsen karet terbesar di dunia, lima di antaranya berada di Asia Tenggara: Thailand,
Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Kalau dihitung, gabungan produksi karet Malaysia, Indonesia, dan Thailand saja sudah setara
65,7% dari total produksi karet di muka Bumi ini. Angka itu belum memasukkan produksi
karet dari Vietnam, Filipina, Myanmar, Laos dan Kmaboja, yang sedang tumbuh menjadi
raksasa produsen karet.

Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan industry karet Indonesia menghadapi MEA? “Kami
antara optimisme dan khawatir,” kata Azis Pane, Ketua Umum Dewan Karet Indonesia.
Optimistis karena karet masih menjadi komoditas andalan dan langkah-langkah untuk
mempertahankan daya saing terus dijalankan. Namun banyak agenda yang mengadang.
Dengan kata lain, meski Indonesia merupakan produsen karet terbesar nomor dua di seantero
jagat, setelah Thailand, industry karet bukannya tanpa masalah. Di sisi hulu, produktivitas
merupakan tugas yang harus dibenahi. Saat ini, Indonesia merupakan negara pemilik areal
kebun karet terluas di dunia, seluas 3,46 juta hectare (ha). Namun produksi karet kita hanya
2,92 juta ton per tahun, atau sekitar 1.080 kilogram (kg) per ha lahan.

Bandingkan dengan Thailand. Mesi luas lahannya hanya 2,76 juta ha, Thailand mampu
menghasilkan karet 3,39 juta ton per tahun atau 1.800 kg/ha. Vietnam yang memiliki kebun
karet seluas 834.000 ha, sanggup memproduksi 812.000 ton per tahun atau 1.720 kg/ha.
Begitu juga Malaysia. Luas lahan kebun karet di negeri Jiran ini hanya 1,02 juta ha, namun
produksi 996.000 ton sehatun aau 1.510 kg/ha.

Masalahnya, sekitar 40% benih tanaman karet kebun rakyat bukan merupakan tanaman
unggul atau tanaman hasil okulasi yang menghasilkan karet yang tinggi, tapi berasal dari biji.
Selain itu, masih banyak petani kita yang belum menguasai teknik budidaya. Teknik
penyadapan pohon karet masih rendah hingga produksi tidak optimal. Saat ini, luas kebun
karet rakyat mencapai 84,9% dari total perkebunan karet di Indonesia.

Ancaman lain di sektor hulu adalah lahan. Karena keterbatasan lahan di negara mereka,
banyak investor karet dari negeri jiran yang membangun kebun di sini. “Mayoritas kebun
karet di Pulau Sumatra kini sebenarnya sudah dimiliki asing, tepatnya Malaysia dan
Singapura,” kata Lukman Zakaria, Ketua Umum Asosiasi Petani Karet Indonesia
(Apkarindo).

Diserap Industri Ban

Masalah di hilir lain lagi. Industri dalam negeri bergantung pada produk turunan karet impor
sebagai salah satu bahan baku. Dari produksi karet alam sekitar 3 juta ton, hanya 450.000 ton
yang terserap di sini. Sedang industry hilir harus mengimpor produk olahan karet dari negara
lain. Ironis bukan?

Maknanya, industry pengolahan karet di negeri ini masih minim. Industry ban masih menjadi
sektor hilir karet yang paling tinggi menyerap produk karet mentah. Hampir 50% produk
karet yang disedot industry hilir dalam negeri masuk ke produsen ban. Baru disusul industry
sarung tangan karet, benang karet, alas kaki, vulkanisir ban, sarung tangan medis, karpet dan
alat lain.

Kini ekspor karet loyo lantaran permintaan industry dunia sedang anjlok. Ujungnya, harga
karet dunia juga ikutan lunglai. Yang bkin pening, tahun lalu Amerika Serikat (AS) mencabut
kebijakan Generalized System of Preference (GSP) untuk ban buatan Indonesia. GSP adalah
program Pemerintah AS untuk membantu ekonomi di negara berkembang. Caranya, dengan
membebaskan pajak impor dan bea masuk untuk sekitar 5.000 jenis produk dari 123 negara.

Cuma, karena Negeri Uwak Sam menilai Indonesia sudah menilai Indonesia sudah mampu
dan sudah kompetitif, AS menilai produk ban kita tidak lagi cocok dimasukkan sebagai
produk yang disubsidi lewat GSP. Makanya, mulai tahun ini produk ban asal Indonesia
terkena pajak impor hingga 5%. Parahnya, permintaan dari China juga sedang anjlok dan
pasar dalam negeri juga sedang mulas tersodok ban impor, yang mengakibatkan produsen
ban nasional tersedak. “Kita ini enggak diproteksi,” ujar Lukman.

Sarung tangan karet juga tak kebal masalah. Produksi rubber gloves stagnan karena pelaku
usaha kesulitan menambah kapasitas produksi, akibat tidak mendapat pasokan gas. Repotnya,
pasokan ampas kulit sawit sebagai baham bakar alternative kini semakin langka gara-gara
dipakai pelaku industry dari sektor lain. Padahal, permintaan sarung tangan karet di pasar
ekspor sedang naik.

Azis bilang, pertumbuhan permintaan sarung tangan karet di pasar ekspor bisa mencapai 15%
per tahun. Karena itu, solusinya Cuma satu: harus ada produk baru dari karet. “Jadi, tidak
terbatas pada ban dan sarung tangan karet,” kata Azis.

Dock fender (karet pelapis dermaga) contohnya. Pemerintah seharusnya melengkapi


pelabuhan yang ada dengan sandaran khusus karet. “Masa pelabuhan-pelabuhan kita sampai
sekarang masih pakai ban bekas di pinggirnya kayak zama Belanda?” kata Azis.

Dewan Karet sudah berdiskusi dengan pemerintah untuk memanfaatkan aspal karet
(rubberized aspalt concrete) untuk proyek infrastruktur jalan. Dengan aspal karet, jalan
menjadi tak keropos dimakan oleh air hujan dan banjir.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengaku, pemerintah memang ingin program


infrastruktur nasional memanfaatkan karet alam domestic. Lewat langkah ini, akan ada
penyerapan karet alam sebesar 100.000 ton per tahun. “Apalagi harga karet alam saat ini US$
1,5 per kilogram (kg). Padahal tahun 2011 mencapai US$ 4,61 per kg,” tutur dia.

Pemerintah menargetkan penyerapan karet alam di pasar domestic bisa 700.000 ton tahun ini,
naik 16,6% dari penyerapan tahun lalu sebanyak 600.000 ton. Asal tahu saja, pemerintah
sudah mengalokasikan Rp 118 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (APBNP) 2015 untuk program infrastuktur. Selain dock fender dan campuran
aspal jalan, karet bisa digunakan sebagai bantalan rel kereta api, bantalan jembatan, dan
proyek infrastruktur lain.

Kebijakan meningkatkan penyerapan produksi ini juga dilakukan negara produsen karet di
ASEAN. Sekarang, ASEAN dalam proses meluaskan International Tripartite Rubber Council
(ITRC), yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, menjadi ASEAN Rubber
Council dengan menarik Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. “Biar posisi tawar kita
semakin kuat,” kata Azis.

Anda mungkin juga menyukai