PENDAHULUAN
I-1
5. Penentuan dari tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan bedasarkan analisa
tujuan dan kesempatan.
Fungsi dari suatu perencanaan tergantung dari jenis perencanaan yang digunakan dalam
sasaran yang dituju, tetapi secara umum fungsi perencanaan dapat dikatakan antara lain sebagai
berikut.
1. Pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan dalam pencapaian tujuan.
2. Perkiraan terhadap masalah pelaksanaan, kemampuan, harapan hambatan dan kegagalannya
mungkin terjadi.
3. Usaha untuk mengurangi ketidakpastian.
4. Kesempatan untuk memilih kemungkinan terbaik.
5. Penyusunan urutan kepentingan tujuan.
6. Alat pengukur atau dasar ukuran dalam pemgawasan dan penilaian.
7. Cara dan penggunaan dan penempatan sumber daya secara berdaya guna dan berhasil guna.
Dari suatu perencanaan tambang dapat membuat suatu rencana produksi tambang untuk
menghasilkan tonase cadangan pada tingkat produksi yang telah ditentukan dengan biaya yang
semurah mungkin dan menghasilkan aliran kas (cash flow) yang akan memaksimalkan beberapa
kriteria ekonomik seperti rate of return atau net present value.
Masalah perencanaan tambang merupakan masalah yang kompleks karena merupakan
problem geometrik tiga dimensi yang selalu berubah dengan waktu. Geometri tambang bukan
satu-satunya parameter yang berubah dengan waktu. Parameter-parameter ekonomi penting
yang lain pun sering merupakan fungsi waktu juga. (Nurhakim, 2008 : 1-3)
1.5. Perancangan Tambang
Istilah Perancangan tambang biasanya dimaksudkan sebagai bagian dari proses
perencanaan tambang yang berkaitan dengan masalah-masalah geometri. Perancangan tidak
berhubungan dengan waktu (Nurhakim, 2008 : 1).
Ada empat ketentuan dalam merancang tambang, yaitu:
1. Membuat rancangan jalan masuk alat untuk mencapai setiap jenjang kerja. Jalan di dalam
pit biasanya bersifat sementara, berubah-ubah sesuai kemajuan tambang.
2. Memenuhi persyaratan geoteknik, berupa rekomendasi kemiringan lereng penambangan.
3. Menyesuaikan keadaan endapan, dalam menentukan wilayah dan tahap penambangan,
menentukan penempatan jalan, atau menentukan lokasi endapan akan tersingkap.
4. Memaksimalkan efisiensi kegiatatan penambangan, misalnya dengan cara menyediakan
lebar jenjang kerja optimum yang diperlukan untuk keleluasaan kerja alat (Lambert, 2005 :
3-4)
1.5.1. Geometri Jenjang
Kegiatan stripping dan mining diselenggarakan pada satu atau lebih jenjang secara
berurutan. Pada keadaan overburden (atau lapisan batubara) yang tebal diperlukan beberapa
bench bertingkat, sehingga irisan (section) tambang open pit dapat digambarkan sebagai kerucut
terbalik.
Secara individu, bench dirancang untuk memberi kesempatan dan ruang bagi peralatan
agar dapat menggali material (overburden atau batubara) secara leluasa. Oleh karena itu
dimensinya harus diatur sedemikian rupa. Tinggi bench tidak melebihi kemampuan jangkauan
alat gali (Budirahardja, 2000 : 1).
Komponen dasar dalam penggalian di tambang terbuka adalah jenjang. Bagian-bagian
jenjang ditunjukkan pada gambar 3.1. Tiap-tiap jenjang memiliki permukaan bagian atas dan
bagian bawah yang dipisahkan oleh jarak H yang disebut tinggi jenjang. Permukaan sub-vertikal
yang tersingkap disebut muka jenjang (bench face). Semuanya itu digambarkan dengan kaki
lereng (toe), puncak (crest) dan sudut muka jenjang (face angle). Sudut muka jenjang ini dapat
bervariasi tergantung pada karakteristik batuan, orientasi jenjang dan peledakan
Tatanama geometri jenjang dapat dilihat pada gambar 1.1. dibawah ini.
I-2
Sumber : Fourie and Dohm, 2001 : 1275
Gambar 1.1.
Bagian-Bagian Jenjang
(1.1)
Keterangan:
nh : jumlah tinggi jenjang
dh : tinggi jenjang
nw : jumlah lebar jenjang
dw : lebar jenjang
tan : slope angle
Sedangkan jika terdapat jalan pada jenjang, maka Overall Slope dapat dihitung dengan rumus:
(1.2)
Keterangan:
nh : jumlah tinggi jenjang
dh : tinggi jenjang
nw : jumlah lebar jenjang
dw : lebar jenjang
tan : slope angle
l : lebar jalan (Hustrulid & Kuchta, 1998 : 288)
1.5.2. Geometri Jalan
a. Lebar jalan pada kondisi lurus.
Lebar jalan minimum pada jalan lurus dengan lajur ganda atau lebih, menurut Aasho
Manual Rural High Way Design, harus ditambah dengan setengah lebar alat angkut pada bagian
tepi kiri, kanan jalan, dan jarak antar kendaraan (lihat Gambar 1.2.). Dari ketentuan tersebut
dapat digunakan cara sederhana untuk menentukan lebar jalan angkut minimum, yaitu
I-3
menggunakan rule of thumb atau angka perkiraan seperti terlihat pada Tabel 1.1, dengan
pengertian bahwa lebar alat angkut sama dengan lebar lajur.
Tabel 1.1.
Lebar Jalan Angkut Minimum
Jumlah Jalur Truk Perhitungan Lebar Jalan Angkut Minimal
1 1 + (2 x ½ ) 2
2 2 + (3 x ½ ) 3,5
3 3 + (4 x ½ ) 5
4 4 + (5 x ½ ) 6,5
Sumber : Awang Suwandhi, 2004 : 2
Dari kolom perhitungan pada Tabel 3.1 dapat ditetapkan rumus lebar jalan angkut
minimum pada jalan lurus. Seandainya lebar kendaraan dan jumlah lajur yang direncanakan
masing-masing adalah Wt dan n, maka lebar jalan angkut pada jalan lurus dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Lmin n.Wt ( n 1).(0,5.Wt ) (1.3)
Keterangan:
Lmin = lebar jalan angkut minimum (m)
Wt = lebar alat (m)
n = jumlah jalur (Nurhakim, 2002 : 9-2)
Sumber : Awang Suwandhi, 2004 : 3
Gambar 1.2.
Lebar Jalan Angkut
Dua Jalur Pada Jalan
Lurus
b. Lebar jalan
angkut pada
tikungan
Lebar jalan
angkut pada
tikungan selalu
dibuat lebih besar
dari pada jalan lurus.
Hal ini dimaksudkan
untuk mengantisipasi
adanya
penyimpangan lebar
alat angkut yang
disebabkan oleh sudut yang dibentuk oleh roda depan dengan badan truk saat melintasi tikungan
(lihat gambar 3.3) Untuk jalur ganda, lebar jalan minimum pada tikungan dihitung dengan
mendasarkan :
1) Lebar jejak roda.
2) Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat
membelok.
3) Jarak antar alat angkut saat bersimpangan.
4) Jarak alat angkut terhadap tepi jalan.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung lebar jalan angkut minimum pada
tikungan yaitu:
I-4
W nU Fa Fb Z C
(1.4)
C Z 0,5U Fa Fb
Keterangan :
Wj = lebar jalan angkut pada tikungan, meter
U = jarak jejak roda, meter
Fa = lebar juntai depan, meter
Fb = lebar juntai belakang, meter
Z = lebar bagian tepi jalan, meter
C = jarak antara alat angkut saat bersimpangan, meter
(Nurhakim, 2002 : 9-4)
I-5
Sumber : Martson, 2009, halaman 2.
Gambar 1.4.
Contoh Tahapan Penambangan Tampak Atas
I-6
peralatan, ditentukan jadwal yang terbaik. Selama proses penjadwalan, evaluasi beberapa
alternatif sering dlakukan:
1. Berbagai tingkat produksi bijih atau batubara.
2. Berbagai jadwal pengupasan tanah penutup.
3. Berbagai strategi kadar batas (cut-off grade).
Data masukan dasar adalah pernyataan tonase dari tahap-tahap penambangan, yaitu
tabulasi ton dan kadar per jenjang dari material yang akan ditambang untuk tiap tahapan.
Asumsi awal yang diperlukan untuk mengembangkan suatu jadwal adalah :
1. Tingkat produksi bijih atau batubara untuk tiap periode waktu
a. Dapat ditentukan dengan studi perbandingan tingkat produksi.
b. Tingkat produksi dapat berubah / meningkat dengan waktu.
2. Cut-off grade untuk tiap periode waktu
Beberapa jadwal sering dibuat untuk mengevaluasi strategi cut-off grade yang berbeda.
3. Dua butir di atas hingga tingkat tertentu akan mempengaruhi jadwal pengupasan tanah /
material penutup.
Pengamatan terhadap tabulasi cadangan per jenjang untuk tiap tahapan perlu dilakukan,
karena jenjang-jenjang di bagian atas biasanya terdiri dari material penutup (waste) yang harus
dikupas. Jenjang-jenjang yang lebih ke bawah umumnya terdiri dari bahan galian . Inilah
sumber bahan galian yang diandalkan untuk menjaga kelangsungan pabrik pengolahan. Pada
elevasi jenjang berapakah akan terjadi peralihan dari material penutup (waste) ke sumber bahan
galian yang dapat diandalkan. Satu kriteria adalah nilai nisbah pemgupasan. Pada elevasi
jenjang berapakah nisbah pemgupasan jenjang akan lebih rendah dari nisbah pengupasan rata-
rata.
Besarnya pengupasan pada saat pra-produksi juga perlu dilakukan, yaitu dalam kaitan :
1. Jumlah material penutup yang harus dikupas selama masa pra-produksi
2. Jumlah minimum material penutup yang harus dipindahkan dari tahap penambangan
(pushback) pertama sehingga pushback ini akan menjadi sumber bijih yang andal ketika
produksi tahun pertama dimulai.
3. Proses penjadwalan produksi ini dapat mengindikasikan jumlah material yang lebih besar
daripada yang didiskusikan pada butir 2. Karena itu mungkin perlu dilakukan pengupasan
pada pushback kedua, dan seterusnya.
4. Material bijih atau batubara yang ditambang selama pra-produksi biasanya di tumpuk di
dekat crusher dan menjadi bagian dari bijih atau batubara untuk tahun pertama.
(Arif & Adisoma, 2002)
1.8. Waste Dump
Waste Dump adalah suatu daerah dimana suatu operasi tambang terbuka dapat
membuang material kadar redah dan/atau material bukan bijih yang harus digali dari pit untuk
memperoleh bijih/material kadar tinggi (Arif & Adisoma, 2002 : VIII-7).
Hal pertama didalam perancangan suatu waste dump adalah pemilihan suatu lokasi
untuk menangani volume over burden untuk dipindahkan sepanjang mine life. Beberapa faktor
utama penentuan lokasi disposal ialah:
1. Lokasi pit
2. Topografi
3. Volume overburden
4. Pit boundary
5. Sistem penirisan
6. Kebutuhan reklamasi
7. Kondisi pondasi
8. Alat penanganan material
I-7
Cara penirisan inilah yang pada umumnya banyak digunakan di tambang terbuka. Air
yang masuk ke dalam tambang dikumpulkan ke suatu sumuran (sump) yang biasanya dibuat di
dasar tambang dan dari sumuran tersebut kemudian air dipompa keluar tambang (Irwandi Arif,
2002 : IV-5).
1.9.2. Settling Pond
1. Bentuk
Bentuk kolam pengendap biasanya hanya digambarkan dengan sederhana, yaitu berupa
kolam berbentuk empat persegi panjang, tetapi sebenarnya bentuk tersebut dapat bermacam-
macam disesuaikan dengan keperluan dan keadaan lapangannya. Walaupun bentuknya dapat
bermacam-macam, namun pada setiap kolam pengendap akan selalu ada 4 zona penting yang
terbentuk karena proses pengendapan material padatan (solid particle).
Keempat zona tersebut adalah :
a. Zona masukan (1)
Adalah masuknya aliran lumpur ke dalam kolam pengendap dengan anggapan campuran
padatan-cairan yang masuk terdistribusi secara seragam. Zona ini panjangnya 0,5 – 1 kali
dari kedalaman kolam
b. Zona pengendapan (2)
Tempat di mana partikel padatan akan mengendap. Batas panjang zona ini adalah panjang
dari kolam dikurangi panjang zona masukan dan keluaran.
c. Zona endapan lumpur (3)
Tempat di mana partikel padatan dalam cairan (lumpur) mengalami sedimentasi dan
terkumpul di bagian bawah kolam pengendapan.
d. Zona keluaran (4)
Tempat keluarnya buangan cairan yang jernih. Panjang zona ini kira-kira sama dengan
kedalaman kolam pengendap. Diukur dari ujung lubang pengeluaran.
I-8
Sumber : Prodjosumarto, 1994 : 150
Gambar 1.7.
Kolam Pengendap Yang Memenuhi Syarat Teknis
I-9