TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1 Definisi
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair atau encer dengan
frekuensi > 3 kali buang air besar dalam sehari, dengan atau tanpa disertai lendir
atau darah yang dapat berlangsung akut yaitu <14 hari atau kronik yaitu >14 hari.1
2.1.2 Etiologi
Penyebab diare dibedakan menjadi dua yaitu infeksi dan non-infeksi.
Penyebab diare karena infeksi sendiri dibedakan menjadi empat, yaitu infeksi
virus (rota virus, norwalk virus, norovirus, adenovirus, astrovirus,
cytomegalovirus, coronavirus), infeksi bakteri dan parasit (Vibrio cholerae,
Escherichia coli, Shigella sp, Salmonella, Clostridium difficile, Campylobacter
jejuni, dll), infeksi helminth (Strongyloides), dan infeksi lain seperti otitis media,
sepsis, dan penyakit menular seksual2. Sedangkan penyebab diare akibat non-
infeksi dibedakan menjadi diare osmotik, diare sekretorik, dan penyebab-
penyebab lain seperti obstruksi usus, asupan toksik, intoleransi laktosa, efek
samping obat, dan lain-lain2
Infeksi yang mendasari dari diare akut terbagi menjadi dua2:
3
2. Parenteral: Otitits media akut (OMA), pneumonia, Traveler’s diartthea: E.Coli,
Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica, dll
Intoksikasi makanan: Makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan
mengandung bakteri/toksin: Clostridium perfringens, B. Cereus, S. aureus,
Streptococcus anhaemohytivus, dll
Alergi: susu sapi, makanan tertentu
Malabsorpsi/maldifesti: karbohidrat: monosakarida (glukosa, galaktosa,
fruktosa), disakarida(laktosa, maltosa, sakarosa), lemak: rantai panjang
trigliserida, protein: asam amino tertentu, celiacsprue gluten malabsorption,
protein intolerance, cows milk, vitamin &mineral
Imunodefisiensi
Terapi obat, antibiotik, kemoterapi, antasid, dll
Tindakan seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi, dan
Lain-lain, seperti : Sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik (neuropatik diabetik)
2.1.3 Patofisiologi
Terdapat 4 yang menjelaskan patofisiologi diare, beberapa diantaranya
muncul secara bersamaan, namun hanya terdapat 2 prinsip meaknisme terjadinya
diare cair, yaitu diare osmotik dan diare sekretorik. Meskipun dapat melalui kedua
mekanisme tersebut, diare sekretorik lebih sering ditemukan pada infeksi saluran
cerna. begitu pula kedua mekanisme tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu
Pasien.2,6,7,8
1. Diare osmotik
Jika bahan makanan tidak dapat diabsorpsi dengan baik di usus halus, maka
tekanan osmotik intralumen meningkat sehingga menarik cairan plasma ke
lumen. Jumlah cairan yang bertambah melebihi kemampuan reabsorpsi kolon
menyebabkan terjadinya diare yang cair. Diare akan berhenti jika pasien
puasa. Penyebabnya bisa intoleransi laktosa, konsumsi laksatif atau antasida
yang mengandung magnesium. Diare osmotik ditegakan bila osmotik gap
feses > 125 mosmol/kg (normal < 50 mosmol/kg). Osmotic gap dihitung
dengan cara osmolaritas serum (290 mosmol/kg) – [2 x ( konsenrasi natrium +
kalium feses)]
2. Diare Sekretorik
Akibat gangguan transport elektrolit dan cairan melewati mukosa enterokolon,
menyebabkan sekresi berlebih atau absorpsi berkurang. Penyebabnya bisa
toksin bakteri (misal kolera), penggunaan laktasif non-osmotik, reseksi usus,
4
penyakit mukosa usus, dan lainya. Karakteristiknya berupa feses cair, banyak,
tidak nyeri, dan tidak ada mukus maupun darah. Diare tetap berlangsung
walaupun pasien puasa.
3. Diare eksudatif / inflamatorik
Terjadi akibat inflamasi dan kerusakan mukosa usus. Diare dapat disetai
malabsorpsi lemak, cairan dan elektrolit serta hipersekresi dan hipermotilitas
akibat pelempasan sitokin pro-inflamasi. Penyebabnya (1) Infeksi bakteri yang
bersifat invasif (2) non-infeksi. Karakteristik berupa feses dengan pus, mukus,
atau darah karena kerusakan mukosa. Analisis feses menunjukan leukosit,
fecal lactoferrin, dan calciprotein positif. Gejala biasanya disertai tenesmus,
nyeri dan demam.
4. Diare dismotilitas
Disebabkan dismotilitas usus sehingga waktu transit diusus memendek dan
absorpsi berkurang, atau disebabkan neuro miopati yang menyebabkan stasis
dan overgrowth bakteri. Karakteristiknya mirip feses diare sekretrik, namun
dapat disertai steatorrhea ringan.
Tabel 3.2 Perbedaan diare osmotik dan sekretorik
Osmotik Sekretorik
Volume tinja <200 ml/hari >200 ml/hari
Puasa Diare berhenti Diare berlanjut
Na+ tinja <70 mEq/L >70 mEq/L
Reduksi (+) (-)
pH tinja <5 >6
2.1.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut : lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila
disertai muntah volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6-8jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah Demamatau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk,
5
pilek, otitis media, campak, riwayat oprasi, dan mengalami penyakit
imunodefisiensi. Tindakan yang telah dilakukan pada pasien dewasa seperti
pemberian antibiotik, pergi berobat sebelumnya juga ditanyakan. Pada anak
tanyakan apakah tindakan ibu selama anak diare: member oralit, memabwa
berobat ke puskesmas atau ke rumah sakit dan obat-obatan yang diberikan serta
riwayat imunisasinya.2
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari
tanda-tanda tambahan lainya seperti pada anak: ubun-ubun besar cekung atau
tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa
mulut dan lidah kering atau basah.2 Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi
adanya asiodosis metabolic. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat
hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill
dapat menentukan derjat dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat
dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: objektif yaitu dengan membandingkan
berat badan sebelum dan sesudah diare. Subjektif pada anak dengan menggunakan
Kriteria WHO dan MMWR sedangkan pada dewasa dapat menggunakan metode
Pierce, Dhaka dan skor Daldiyono.2
Tabel 3.3 Penentuan derajat dehidrasi anak menurut MMWR 2003
Symptom Minimal atau tanpa Dehidrasi ringan Dehidrasi berat,
dehidrasi, sedang, kehilangan kehilangan BB>9%
kehilangan BB<3% BB 3%-9%
Kesadaran Baik Normal, lelah, Apatis, letargi, idak
gelisah, irritable sadar
Denyut jantung Normal Normal meningkat Takikardi, bradikardi,
(kasus berat)
Kualitas nadi Normal Normal melemah Lemah, kecil tidak
teraba
Pernapasan Normal Normal-cepat Dalam
6
Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong
Air mata Ada Berkurang Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering
Cubitan kulit Segera kembali Kembali<2 detik Kembali>2detik
Cappilary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal
Ekstremitas Hangat Dingin Dingin,mottled, sianotik
Kencing Normal Berkurang Minimal
7
Tabel 3.5 Penentuan derajat dehidrasi dewasa dengan metode Dhaka
Penilaian Derajat A Derajat B Derajat C
1. Kondisi Normal Iritable/ kurang aktif* Letargi / Koma*
umum Normal Cekung -
2. Mata Normal Kering -
3. Mukosa Normal Haus Tidak bisa minum*
4. Haus Normal Volume rendah* Absen*
5. Nadi radialis Normal Berkurang* -
6. Turgor kulit
Diagnosa Tanpa dehidrasi Dehidrasi setidaknya 2 Dehidrasi berat.
tanda* termasuk 1 Tanda dehidrasi
tanda yang ada sedang disertai
setidaknya satu
tanda *
Terapi Mencegah Rehidrasi dengan Rehidrasi dengan
dehidrasi larutan rehidrasi oral, larutan intravena
kecuali bila tidak bisa dan larutan rehidrasi
minum oral
Penilaian Penilaian kembali Penilaian kembali
kembali secara lebih rutin lebih rutin.
periodik
8
Metode skor daldiyono :
9
Tabel 3.6 Gejala Dehidrasi menurut Tonisitas
Gejala Hipotonik Isotonik Hipertonik
Rasa haus - + +
Berat badan Menurun sekali Menurun Menurun
Turgor kulit Menurun sekali Menurun Tidak jelas
Kulit/ selaput lendir Basah Kering Kering sekali
Gejala SSP Apatis Koma Irritable, apatis,
hiperfleksi
Sirkulasi Jelek sekali Jelek Relatif masih
baik
Nadi Sangat lemah Cepat dan lemah Cepat, dan keras
Tekanan darah Sangat rendah Rendah Rendah
Banyaknya kasus 20-30% 70% 10-20%
3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperkukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur
urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium
yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut:2
darah :
Darah lengkap, serum elketrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan
tes kepekaan terhadap antibiotika
urine :
Urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika
tinja:
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita
dengan diare meskipun pemeriksaan labotarium tidak dilakukan. Tinja yang
10
watery dan tanpa mucus atau darah biasanya disebabkan oleh enteroksin virus,
prontozoa, atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja
yanga mengandung darah atau mucus bias disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin bakteri enteronvasif yang menyebabkan peradangan
mukosa atau parasit usus seperti : E. hystolitica, B.coli , T.trichiura. Apabila
terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan
E.hystolitica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi dengan
Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.
Pemeriksaan makroskopik mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau
tinja, adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu banyak
berkolerasi dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan dengan adnya
warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri anaerob pada
keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau
obat yang dapat menyebabkan warna merah dalam tinja seperti rifampisin.
Konsistensi tinja dapat cair, lembek, padat. Tinja yang berbusa menunjukan
adanya gas dalam tinja akibat fermentasi bakteri. Tinja yang berminyak, lengket,
dan berkilat menunjukan adanya lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja
menggambarkan kelainan di kolon , khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang
sangatberbau menggambarkan adanya fermentasi oleh bakteri anaerob dikolon.
Pemeriksaan pH tinja menggunakan kertas lakmus dapat dilakukan untuk
menentukan adanya asam dalam tinja. Asam dalam tinja tersebut adalah asam
lemak rantai pendek yang dihasilkan karena fermentasi laktosa yang tidak diserap
di usus halus sehingga masuk ke usus besar yang banyak mengandung bakteri
komensial. Bila pH tinja<6 dapat dainggap sebagai malabsorbsi laktosa.6
Pada diare akut sering terjadi defisiensi enzim lactose sekunder akibat
rusaknya mikrofili mukosa usus halus yang banyak mengandung enzim lactase.
Enzim laktsae merupakan enzim yang bekerja memecahkan laktosa menjadi
glukosa dan galaktosa, yang selanjutnya diserap di mukosa usus halus, Salah satu
cara menentukan malabsorbsi laktosa adalah pemeriksaan clinitest dikombinasi
dengan pemeriksaan pH tinja. Pemeriksaan clinitest dilakukan dengan prinsip
melihat perubahan reaksi warna yang terjadi antara tinja yang diperiksa dengan
11
tablet clinitest. Prinsipnya adalah terdapatnya reduktor dalam tinja yang
mengubah cupri sulfat menjadi cupri oksida. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
mengambil bagian cair dari tinja segar (sebaiknya tidak lebih dari 1 jam). Sepuluh
tetes air dan 5 tetes bagian cair dari tinja diteteskan kedalam gelas tabung,
kemudian ditambah 1 tablet clinitest. Setelah 60 detik maka perubahan warna
yang terjadi dicocokan dengan warna standart. Biru berarti negative, kuning tua
berarti positif kuat (++++=2%), antara kuning dan biru terdapat variasi warna
hijau kekuningan (+=1/2%), (++=3/4%), (+++=1%). Sedangkan terdapatnya
lemak dalam tinja lebih dari 5 gram sehari disebut sebagai steatore.8
b. Pemeriksaan mikroskopik
Infeksi bakteri invasive ditandai dengan ditemukannya sejumlah besar
leukosit dalam tinja yang menunjukan adanya proses inflamasi. Pemeriksaan
leukosit tinja dengan cara mengambil bagian tinja yang berlendir seujung lidi dan
diberi ½ tetes eosin atau Nacl lalu dilihat dengan mikroskop cahaya:4
bila terdapat 1-5 leukosit perlapang pandang besar disebut negative
bila terdapat 5-10 leukosit per lapang pandang besar disebut (+)
bila terdapat 10-20 leukosit per lapang pandang besar disebut (++)
bila terdapat leukosit lebih dari ½ lapang pandang besar disebut (+++)
bila leukosit memenuhi seluruh lapang pandang besar disebut (++++)
Adanya lemak dapat diperiksa dengan cara perwanaan tinja dengan sudan
III yang mengandung alcohol untuk mengeluarkan lemak agar dapat diwarnai
secara mikroskopis dengan pembesarn 40 kali dicari butiran lemak dengan warna
kuning atau jingga. Penilaian berdasarkan 3 kriteria:6
(+) bila tampak sel lemak kecil dengan jumlah kurang dari 100 buah per
lapang pandang atau sel lemak memenuhi 1/3 sampai ½ lapang pandang
(++) bila tampak sel lemak dnegan jumlah lebih 100 per lapang pandang atau
sel memenuhi lebih dari ½ lapang pandang
(+++) bila didapatkan sel lemak memenuhi seluruh lapang pandang.
Pemeriksaan parasit paling baik dilakukan pada tinja segar. Dengan
memakai batang lidi atau tusuk gigi, ambilah sedikit tinja dan emulsikan delam
tetesan NaCl fisiologis, demikian juga dilakukan dengan larutan Yodium.
12
Pengambilan tinja cukup sedikit saja agar kaca penutup tidak mengapung tetapi
menutupi sediaan sehingga tidak terdapat gelembung udara. Periksalah dahulu
sediaan tak berwarna (NaCL fisiologis), karena telur cacing dan bentuk trofozoid
dan protozoa akan lebih mudah dilihat. Bentuk kista lebih mudah dilihat dengan
perwanaan yodium. Pemeriksaan dimulai dengan pembesaran objekstif 10x, lalu
40x untuk menentukan spesiesnya.
2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare pada dewasa mencakup :2
1.Penggantian cairan dan elektrolit
Utama dilakukan rehidrasi dengan oral pada semua pasien kecuali yang
tidak dapat minum atau diare hebat yang membahayakan jiwa maka
diperlukanhidrasi intravena. Cairan rehidrasi oral harus terdiri dari : 3.5 gram
natrium klorida, 2.5 gram natrium bikarbonat, 1.5 gram kalium klorida, dan 20
gram glukosa perliter. Biasanya sudah tersedia dalam bentuk paket. Akan tetapi
jika tidak tersedia dapat kita buat dengan cara :
½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per
liter. Setelah itu 2 buah pisang atau 1 cangkir jus jeruk dapat diberikan untuk
mengganti kalium.
Jika terapi cairan intravena dapat diberikan cairan norm osaline atau ringer
laktat, dengan pemantauan ketat dengan menghitung kebutuhan rehidrasi pada
pasien dan memantau vital sign dan urine output.
2. Pemberian antibiotik
Pemberian antibitotik dapat dilakukan secara empiris atau berdasarkan
hasil kultur bakteri terlebih dahulu. Pemberian antibiotik secara empiris
diindikasikan jika diare disertai gejala dan tanda diare infeksi bakteri seperti ;
demam sebelum diare, dan adanya feses berdarah.
3. Obat anti diare
13
Penatalaksanaan diare pada anak di indonesia merujuk pada pedoman
penatalaksanaan diare Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)
terbaru pada tahun 2011 dengan menganut penatalaksanaan diare menurut WHO
pada tahun 2005 yang di kenal dengan lima langkah tuntaskan diare :1
1. Rehidrasi
2. Pemberian Zinc selama 10 hari berturut-turut
3. Asupan gizi dan nutrisi
4. Pemberian antibiotik Selektif
5. Edukasi Keluarga
14
1. Rencana Terapi A
Tabel 3.8 Tabel Rencana Terapi A
15
2. Rencana Terapi B
Tabel 3.9 Tabel Rencana Terapi B
16
3. Rencana Terapi C
Tabel 3.10 Tabel Rencana Terapi C
17
2.1.6 Komplikasi2
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,
kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok
hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya
hipokalemia dan asidosis metabolik.
Pada kasus-kasus terlambat mendapat pertolongan medis, Syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut
ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi
bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga rehidrasi optimal tidak
tercapai. Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama oleh
EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan trombositopeni
12-14 hari setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah infeksi EHEC dengan
penggunaan obat anti-diare, tetapi hubungannya dengan penggunaan antibiotik
masih kontroversial. Sindrom Guillain – Barre, suatu polineuropati demielinisasi
akut, merupakan komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C. jejuni;
20-40% pasien Guillain – Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu
sebelumnya. Pasien menderita kelemahan motorik dan mungkin memerlukan
ventilasi mekanis. Mekanisme penyebab sindrom Guillain – Barre belum
diketahui. Artritis pasca-infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
2.1.7 Prognosis2
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik dengan
morbiditas dan mortalitas minimal terutama pada anak-anak dan pada pasien
dewasa.
18