Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Angka kejadian distosia bahu menurut American College of


Obstetricians and Gynecologists (ACOG) adalah 0,6-1,4%. Namun angka
kejadian ini bervariasi mulai dari 1 dalam 750 kelahiran hingga 1 dalam 15
kelahiran (Sokol & Blackwell, 2003 dan Poggi dkk, 2004). Salah satu alasan
utama variasi ini adalah kesulitan dalam diagnosis dan adanya kasus distosia
bahu yang tidak dilaporkan karena kondisinya yang bersifat ringan dan dapat
ditangani dengan outcome yang menguntungkan (Allen & Gurewitsch, 2010).
Bahkan kejadian distosia bahu diperkirakan bisa lebih tinggi lagi karena tidak
pernah dilaporkan oleh dokter atau bidan yang menolong persalinan karena
pertimbangan litigasi (Cluver & Hofmeyr, 2009).
Angka kejadian distosia bahu juga bervariasi berdasarkan berat bayi
yang dilahirkan, dimana 0,6-1,4% terjadi pada bayi dengan berat 2500-4000
gram, dan meningkat hingga 5-9% pada bayi dengan berat 4000-4500 gram
dari ibu tanpa diabetes. Distosia bahu tidak dipengaruhi oleh status wanita
yang primigravida maupun dengan multigravida, meskipun lebih sering
terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes (Sokol & Blackwell,
2003), dimana sebesar 16/1000 kelahiran sering berhubungan dengan obesitas
dan kontrol yang buruk terhadap diabetesnya (SOGC, 2005).
Diperkirakan angka kejadian distosia bahu akan terus meningkat, yang
kemungkinan bisa disebabkan oleh adanya wanita yang memiliki anak pada
usia reproduksi lanjut dan juga tingkat obesitas yang semakin meningkat
(Cluver & Hofmeyr, 2009).
Distosia bahu mempunyai kemungkinan berulang sebesar 10-15%,
dimana wanita dengan riwayat persalinan distosia bahu yang mengakibatkan
cedera pada bayi yang dilahirkannya mempunyai resiko lebih besar berulang
pada persalinan selanjutnya (Lerner, 2004). Sehingga informasi adanya
persalinan dengan distosia bahu perlu disampaikan kepada wanita hamil
untuk memudahkan perencanaan persalinan pada kehamilan selanjutnya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Distosia bahu adalah persalinan yang memerlukan tambahan manuver


obstetri setelah kegagalan ―gentle downward traction‖ pada kepala bayi
untuk melahirkan bahu (ACOG, 2002). Distosia bahu terjadi ketika setalah
kepala lahir, bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu. Jika ini
terjadi, maka bagian tubuh bayi yang lain tidak dapat mengikuti kepala
keluar dari vagina dengan mudah. Beberapa definisi tentang distosia bahu
antara lain:
1. Suatu persalinan yang membutuhkan waktu lebih dari 60 detik
untuk melahirkan kepala dan bahu bayi
2. Bahu sulit lahir dengan traksi ke bawah pada kepala janin
3. Persalinan dengan menggunakan manuver special untuk melahirkan
bahu.

Gambar 1. Distosia Bahu

2
B. Anatomi Panggul

Pemahaman tentang anatomi pelvis ibu dan anatomi bayi diperlukan


untuk memahami bagaimana distosia bahu dapat terjadi dan bagaimana
kejadian tersebut dapat menyebabkan cedera.

Gambar 2. Anatomi Pelvis

Tulang pelvis terdiri dari serangkaian tulang yang membentuk


lingkaran untuk melindungi organ –organ panggul. Tulang yang paling depan
adalah tulang pubis. Pada struktur tersebut bahu depan bayi dapat
terperangkap karena persalinan yang sulit karena distosia bahu. Tulang yang berada
dibelakang disebut tulang sacrum, karena kelengkungan bentuknya dapat
menyebabkan bahu belakang lahir dengan mudah selama persalinan dan kelahiran.
Dinding lateral pelvis dapat menentukan kemudahan proses persalinan, namun tidak
terlalu memberikan kontribusi dalam terjadinya distosia bahu.
Pada persalinan normal, vertex muncul pertama. Selama persalinan,
jaringan lunak dan tulang kepala yang mobile dapat mengalami molauge. Hal ini
menyebabkan kepala janin dapat masuk dan melewati pintu panggul ibu. Bahu bayi
juga fleksibel mengikuti kelahiran kepala bayi dengan cepat dan mudah. Namun,
agar hal tersebut terjadi, aksis dari bahu bayi harus turun ke panggul ibu dengan
sudut oblik terhadap diameter anterior dan posterior panggul ibu. Posisi ini
memberikan ruangan yang lebih besar untuk bahu belakang turun melewati

3
panggul ibu. Jika garis sudut oblik tersebut tidak terbentuk maka kemungkinan
ruang panggul akan lebih kecil untuk dilewati bahu. Bagian belakang dari tulang
pubis akan membentuk tonjolan yang dapat memperangkap bahu depan.
Distosia bahu juga dapat terjadi pada bahu posterior yang terperangkap pada
tulang sacrum ibu. Hal ini merupakan penyebab yang jarang dari distosia bahu.
Tulang sacrum tidak memiliki tonjolan seperti tulang pubis sehingga kecil
kemungkinannya untuk menghalangi turunnya bahu posterior bayi.
Ukuran relatif dari kepala, bahu dan bahu bayi dibandingkan bentuk dan
ukuran pelis ibu dapat menentukan kemudahan dalam persalinan. Pada umumnya
diameter kepala merupakan diameter terbesar dibandingkan dengan diameter
lainnya. Sehingga jika kepala lahir secara mudah makabagian tubuh yang lain dapat
melewati panggul dengan mudah pula. Terdapat beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan distosia bahu yaitu ukuran axis bahu yang lebih besar dibandingkan
diameter terbesar dari kepala. Risiko tersebut lebih sering terjadi pada bayi
makrosimia atau bayi dengan ibu penderita diabetes.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu
untuk melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebabkan oleh fase
aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan
kepala yang terlalu tepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat
melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah
mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk ke dalam
panggul.

C. Faktor Risiko
1. Preconceptual
a. Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu
terbukti sebagai prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini
dikarenakan beberapa hal antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak
akan berubah selama hamil, sedangkan kecenderungan bayi kedua
akan lebih besar dibandingkan bayi sebelumnya.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu
akan kembali terjadi pada wanita dengan riwayat distosia bahu
sebesar 11,9% (Gherman, 2002). Risiko akan meningkat sampai 20 kali

4
lipat, sehingga beberapa dokter kandungan mengusulkan, sekali terjadi
distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan sesar.
b. Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu.
Emerson (1962) menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada
wanita obesitas dua kali lebih sering dibandingkan dengan wanita berat
badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%. Sandmire (1988)
memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan berat
bedan 82 kg adalah 2,3.
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek
primer dari wanita obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas
cenderung memiliki bayi yang besar pula. Oleh karena itu, masih perlu
dilakukan penelitian mengenai kejadian distosia bahu dikaitkan dengan
berat badan ibu dan bayi.
c. Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan
salah satu risiko terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis
mengatakan bahwa usia ibu berhubungan dengan faktor risiko lain
dalam distosia bahu meliputi ibu obesitas dan diabetes. Bahar (1996) tidak
menemukan perbedaan kejadian distosia bahu berdasarkan umur ibu.
d. Multiparitas
Acker (1988) menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan
Erb Palsy dilahirkan dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth
Israel selama tahun 1975-1985. Akan tetapi sebagaian ahli
berpendapat bahwa bukan merupakan faktor primer dalam terjadinya
distosia bahu.
2. Ante Partum
a. Makrosomia
Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari
4000 gram. Hal penting yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia
adalah laju pertumbuhan dari kepala, dada dan tubuh janin. Sampai
usia kehamilan 36-38 minggum kepala bayi secara umum tetap lebih
besar dibandingkan tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-40
minggu, pertumbuhhan bahu, dada dan perut akan lebih besar

5
dibandingkan kepala bayi. Acker (1985) menyatakan bahwa bayi dengan
berat lebih dari 4500 gram, 22,6% akan mengalami distosia bahu. Lebih
dari 70% bayi yang mengalami distosia bahu memiliki berat badan lebih
dari 4000 gram.

b. Diabetes
Sandmire (1988) menemukan risiko relatif untuk distosia bahu
dari bayi dengan ibu diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu
nondiabetes. Ada dua alasan utama untuk korelasi ini antara diabetes dan
distosia bahu. Di tempat pertama, diabetes dalam kehamilan menunjukkan
korelasi sangat kuat dengan makrosomia. Pertumbuhan bayi diabetes tidak
hanya mewakili potensi genetik mereka dalam pertumbuhan tetapi juga
mencerminkan penurunan dari substrat glukosa ekstra pada tubuh
ibu dan bayi. Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, sifat
pertumbuhan janin berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak
merata antara kepala dan batang seperti pada bayi nondiabetes.
Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes menunjukkan pola pertumbuhan
yang lebih besar pada bahu, dada, dan pertumbuhan perut. Seperti
yang diringkas Ellis dalam 1982: "Bayi dari ibu diabetes memiliki
konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari seorang ibu nondiabetes.
Peningkatan deposisi lemak pada berbagai organ mungkin karena untuk
meningkatkan sekresi insulin dalam menanggapi hiperglikemia."
c. Berat Badan Ibu
Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir
janin masih kontroversial. Abrams (1995) dan Langhoff-Roos (1987)
keduanya menunjukkan bahwa total berat badan ibu secara signifikan
berkorelasi dengan kelahiran bayi berat badan. Dawes (1991) tidak bisa
mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak ada perbedaan jelas dalam korelasi
antara kenaikan berat badan ibu dan berat badan lahir.

Selain itu, beberapa peneliti telah melaporkan informasi yang


saling bertentangan untuk efek pola kenaikan berat badan ibu terhadap
janin terutama berat badan. Beberapa penelitian telah menemukan

6
kenaikan berat badan pada trimester kedua sebagai faktor utama
sedangkan yang lain telah menemukan bahwa kenaikan
berat badan pada trimester terakhir adalah faktor yang paling penting.
d. Jenis Kelamin Bayi
Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan
janin makrosomia dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-
rata sedikit lebih berat daripada perempuan, tidak ada data yang
menunjukkan jumlah signifikan kejadian makrosomia lebih tinggi pada
bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan.
Resnick 1980 menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor
potensi tetapi tidak menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El
Madany (1990) menunjukkan bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu
adalah laki-laki, data tersebut signifikan secara statistik tetapi tidak
bernilai sebagai prediktor klinis.
e. Bayi Serotinus
Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu
terakhir kehamilan, masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama
kehamilan. Jadi ketika bayi tetap dalam rahim, akan semakin besar
bayi dan akan semakin besar risiko distosia bahu.
3. Intra Partum
a. Instrumen Persalinan
Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan
yang berakhir pada instrumen yaitu vakum atau forsep
menunjukkan tingkat lebih tinggi distosia bahu pada setiap kelompok
berat badan janin. Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan
instrumen memiliki risiko tinggi terjadi distosia bahu dan cedera pleksus
brakialis. Ini juga mungkin bahwa ketidakmampuan ibu untuk
mendorong bayi keluar tanpa bantuan adalah karena janin makrosomia
atau distribusi lemak antara kepala, dada, bahu, dan perut bayi yang
merupakan faktor risiko utama untuk distosia bahu.
b. Pengalaman Penolong Persalinan
Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan
manuver spesifik kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang
terjadi, akan terlihat praktisi yang lebih berpengalaman memiliki hasil

7
lebih baik dalam situasi ini. Namun data tidak mendukung keyakinan ini.
Acker (1988) melakukan penelitian tentang hubungan antara pengalaman
dokter dan kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya dikemukakan
bahwa jumlah Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak bervariasi
antara dokter ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian
besar dokter tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk
mengatasi distosia bahu karena insidensi nya yang jarang.

c. Oksitosin dan Anestesi


Tidak terdapat korelasi independen antara penggunaan oksitosin
ataupun anestesi dengan kejadian distosia bahu. Oksitosin umumnya
digunakan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi rahim. Sejauh bahwa
oksitosin digunakan lebih sering pada ibu dengan bayi makrosomia,
mungkin memiliki korelasi sekunder dengan persalinan distosia bahu.
Tetapi tidak ada data yang menghubungkan oksitosin digunakan dengan
kejadian distosia bahu secara independen. Demikian juga dengan
anestesi, tidak ada laporan tentang peningkatan distosia bahu dengan
adanya tindakan anestesi pada persalinan.

D. Tanda Klinis

Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi:


1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi
yang cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir
2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali
ke perineum ibu setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar,
seperti seokor kura-kura yang menarik kepala kembali ke
cangkangnya. Peenarikan kepala bayi ini dikarenakan bahu depan bayi
terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga mencegang lahirnya tubuh
bayi.

8
Gambar 3. Turtle Sign

E. Komplikasi Distosia Bahu


1. Janin
Setelah persalinan dengan distosia bahu, 20% bayi akan mengalami beberapa
cedera sementara ataupun permanen. Cedera yang paling sering terjadi antara
lain cedera pleksus brakhialis, fraktur tulang klavikula dan humerus, kontusio,
laserasi dan kelahiran dengan asfiksia.
a. Cedera Pleksus Brakhialis
Pleksus brakhialis berasal dari nervis C5-C8 sampai dengan T1.
Cedera pada pleksus brakhialis dapat terletak di bagian atas atau bawah
dari pleksus tersebut. Hal ini biasanya terjadi akibat traksi
pleksus brakhialis ke bawah pada pelahiran bahu depan. Erb palsy,
terjadi akibat cedera pada saraf spinalis C5-6 dan terkadang juga C7.
Kelainan ini terdiri atas paralisis otot-otot bahu dan lengan atas yang
mengakibatkan lengan atas menggantung yang dapat mencapai siku.
Keterlibatan saraf-saraf spinal bawah (C7-T1) selalu melibatkan
cedera pada saraf di atasnya dan menyebabkan kecacatan termasuk pada
tangan, yang dapat mengakibatkan deformitas clawhand. Hardy (1981)
mempelajari prognosis pada 36 bayi dengan cedera pleksus brakhialis.
Yang menarik, distosia bahu ditemukan hanya pada 10 kasus dan dua
di antaranya dilahirkan per abdominam. Hampir 80% dari anak-anak ini
sembuh sempurna dalam waktu 13 bulan dan di antara yang
mengalami defek residual tidak ada yang menderita defisit sensorik
maupun motorik berat pada tangan. Jennett dan rekan (1992) serta
Gherman dan rekan (1999) mengajukan bukti bahwa cedera pleksus

9
brakhialis dapat mendahului pelahiran itu sendiri dan dapat terjadi
bahkan sebelum persalinan.

Gambar 4. Pleksus Brakialis

Gambar 5. Cedera Pleksus Brakhialis

b. Fraktur Klavikula
Cedera kedua yang sering terjadi adalah fraktur klavikula.
Insidensinya mecapai 10% dari semua kelahiran dengan distosia
bahu. Jika bahu dan dada bayi lebih besar dibandingkan panggul ibu,

10
tekanan yang signifikan terjadi untuk mengeluarkan kepala bayi.
Pada beberapa bayi, tekanan tersebut dapat menyebabkan fraktur
klavikula, hal ini dapat mengurangi diameter dada dan bahu agar
dapat dilahirkan. Secara tidak langsung, kejadin tersebut dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pleksus brakhialis.
Fraktur klavikula terjadi pada 0,3% kelahiran. Fraktur klavikula
relatif sering terjadi dan telah didiagnosis pada 0,4% bayi yang
dilahirkan per vaginam di Parkland Hospital (Roberts et al, 1995).
Fraktur jenis ini, meski terkadang dihubungkan dengan distosia
bahu, sering terjadi tanpa kejadian klinis apapun yang mencurigakan.
Distosia bahu meningkatkan risiko sampai dengan 30 kali lipat
terjadinya fraktur klavikula. Akan tetapi, sekitar 75% kasus fraktur
klavikula tidak berhubungan dengan distosia bahu. Para peneliti
menyimpulkan bahwa fraktur klavikula tersendiri tidak dapat dihindari
dan diramalkan serta tidak memiliki konsekuensi klinis apapun (Chez
et al, 1994; Roberts et al, 1995).
c. Fraktur Humerus
Fraktur humerus terjadi kira-kira 4% dari bayi yang lahir dengan
distosia bahu. Fraktur humerus dapat sembuh dengan cepat sehingga

11
d. Kontusio
Kontusio selama persalinan dengan distosia bahu dapat
terjadi, bahkan pada persalinan normal. Tekanan yang digunakan
untuk melahirkan tangan dan tekanan oleh tulang pubis dapat
menyebabkannya.
e. Asfiksia Bayi
Komplikasi distosia bahu yang paling ditakuti adalah asfiksia
bayi. Dalam beberapa percobaan pada binatang dan penelitian
retrospektif, dinyatakan bahwa berhentinya suplai aliran darah dari
tali pusat ke bayi (tali pusat putus atau rupture uteri), jika bayi tidak
dilahirkan dalam waktu lima sampai sepuluh menit maka akan
terjadi kerusakan saraf ireversibel atau kematian. Wood, yang
dikutip dalam artikelnya pada tahun 1993, menyatakan bahwa
ketika melahirkan kepala dan tubuh bayu, pH arteri umbilikus
turun sebesar 0,04 unit per menit. Ini berarti bahwadalam lima
menit setelah melahirkan kepala, pH bayi dapat turun dari 7,2
sampai ke level 7,0 yang didefinisikan sebagai asfiksia. Setelah 10
menit, pH akan turun kembali menjadi 6,8. Ouzounian (1998)
melaporkan bahwa dari 39 bayi yang dilahirkan dengan distosia
bahu, 15 diantaranya mengalami kerusakan otak dengan waktu rata-
rata melahirkan kepala ke bahu dalam waktu 10,6 menit. Sedangkan
24 bayi yang lahir dengan distosia bahu tanpa kerusakan otak dapat
melahirkan kepala ke bahu bayu dalam rata-rata waktu 4,3 menit.
Alasan terjadinya asidosis dan asfiksia selama persalinan
dengan distosia bahu adalah ketika kepala lahir, tali pusat akan
sangat terkomptesi antara tubuh bayi dengan jalan lahir ibu. Hal
ini akan membuat suplai darah ke bayi menurun atau terhenti.
Jika tekanan tersebut tidak segera dibebaskan secara cepat,
konsekuensinya adalah aliran oksigen ke bayi akan menurun.

12
2. Ibu
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu pada persalinan dengan
distosia bahu adalah kehilangan darah yang cukup banyak karena
laserasi pada vagina dan vulva. Perdarahan dapat terlihat selama
persalinan ataupun pada masa post partum. Hal itu dapat dikarenakan
laserasi ataupun atonia yang terjadi. Ruptur uteri pernah dilaporkan
terjadi pada persalinan dengan distosia bahu.
Tekanan langsung pada vesika urinaria oleh bahu depan ketika
distosia bahu dapat menyebabkan atonia vesika urinaria yang biasanya
bersifat sementara. Simfisis pubis dapat terpisah ataupun dapat terjadi
kerusakan pada nervus cutaneus femoralis dikarenakan hiperrefleksi
yang berlebihan dalam usaha mengeluarkan bahu.

F. Penatalaksanaan

Distosia bahu tidak dapat diramalkan, sehingga penolong


persalinan harus mengetahui benar prinsip-prinsip penatalaksanaan
penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini. Pengurangan
interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan
amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi
ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat
dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau
rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi.
Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan
idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah
membersihkan mulut dan hidung bayi.
Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan
berbagai teknik untuk membebaskan bahu depan dari posisinya

13
yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu.

Tabel 1. Manuver dalam Mengatasi Distosia Bahu

No Manuver Bayi Manuver Ibu


1 Manuver Rubin Manuver McRobert
2 Manuver Jacquemier Manuver Mazzanti
3 Manuver Woodscrew Manuver Gaskin
4 Manuver Zavanelli Ramp Manuver
5 Kleidotomi Simfisiotomi

1. Manuver Mazzanti ( Penekanan suprapubik)


Penekanan suprapubik dilakukan oleh seorang asisten dan penolong
tetap melakukan traksi curam ke bawah untuk melahirkan bahu depan.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah simfisiolisis.

Gambar 6. Penekanan Suprapubik

2. Manuver McRobert
Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai
sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan
penggunaannya di UniversitasTexas di Houston. Manuver ini terdiri
atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris
dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan

14
rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri
radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan
pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra lumbal disertai dengan
rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak
memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke arah kepala
cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan rekan
(1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di
laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini
mampu mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika
digabungkan dengan manuver penekanan bahu diperkirakan dapat
mengatasi distosia bahu sampai dengan 50-60%.

Gambar 7. Manuver Mc Robert

15
3. Manuver Wood Screw
Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang

secara progresif sebesar 1800 dengan gerakan seperti membuka tutup


botol, bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini
sering disebut sebagai manuver corkscrew Woods.

Gambar 8. Manuver Wood Screw

4. Manuver Jacquemier
Penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai
dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum
pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter oblik panggul
yang diikuti pelahiran bahu depan.

16
Gambar 9. Manuver Jacquemier
5. Manuver Zavanelli
Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke
dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian
pertama dari manuver ini adalah mengembalikan kepala ke posisi
oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar
dari posisi tersebut.
Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan
mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran
secara sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi
uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang
menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil pada 91 persen
kasus presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya kepala
pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan- keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli,
terdapat delapan kasus kematian neonatal, enam kasus lahir mati,
dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah
dilaporkan.

17
Gambar 10. Manuver Zavanelli

6. Manuver Rubin

Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin


diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada
abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul
meraih bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke
permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi
kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan
pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.
Manuver ini dilakukan dengan memasukkan satu tangan dari bagian depan

ataupun belakang, kemudian memutar bahu 30o sehingga terletak pada

18
diameter miring dari panggul. Keuntungan dari metode ini adalah
penolong dapat mengetahui orientasi bahu yang sebernarnya. Jika rotasi
dapat tercapai, bahu depan akan muncul dari bawah simfisis dengan atau
tanpa traksi tambahan.

Gambar 11. Manuver Rubin

7. Manuver Gaskin
Manuver Gaskin atau All Four Maneuver diperkenalkan oleh Ina May
Gaskin pada tahun 1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia bahu
dengan menempatkat ibu dalam posisi merangkak. Brunner (1998) melaporkan
bahwa 68 kasus (82%) dari 82 kasus persalinan dengan distosia bahu
berhasil diatasi hanya dengan menggunakan manuver Gaskin. Waktu yang
diperlukan untuk memposisikan ibu dalam manuver ini dan melahirkan
secara lengkap dilaporkan mencapai dua sampai dengan tiga menit.
Namun, tidak ada laporan secara mendetail tentang efek terhadap ibu dan
bayi yang menjalani manuver ini.
Secara teoritis, posisi merangkak dalam manuver ini akan membuat
penambahan luas diameter sagital panggul sebesar satu sampai dua sentimetr
karena pergerakan pada sendi sakroiliaka. Posisi litotomi dapat membatasi
gerakan dari sakrum. Manfaat tambahan dapat diperoleh dari gerakan saat
perubahan posisi dari litotomi ke posisi merangkak yang kemungkinan

19
dapat membantu membebaskan bahu yang terperangkap.

Gambar 12. Manuver Gaskin

8. Penekanan Fundus
Penekanan fundus ke arah jalan lahir dapat dilakukan namun dianjurkan
dikombinasi dengan manuver lain. Penekanan kuat pada fundus pada saat yang
salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dkk
(1987) melaporkan penekanan fundus tanpa disertai manuver lain akan
menyebabkan komplikasi sebesar 77% dan erat dihubungkan dengan kerusakan
ortopedik dan neurologik pada bayi.
9. Kleidotomi
Kleidotomi merupakan pemotongan tulang klavikula dengan gunting atau
benda tajam lain untuk memperpendek diameter biacromial. Tindakan ini
dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Biasanya dilakukan pada bayi
yang sudah mati.
10. Simfisiotomi
Simfisiotomi juga dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Akan tetapi,
beberapa penelitian mengungkapkan peningkatan morbiditas ibu dan
kemungkinan terjadinya cedera traktur urinarius.

Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi distosia


bahu yaitu Manajemen ALARMER dan 4 P.
1. Manajemen ALARMER
a. Ask for help (Minta bantuan)
b. Lift/hyperflex Legs

20
Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada
umumnya akan teratasi dengan manuver ini pada 70% kasus.
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam
dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek
bahu belakang (yaitu dengan mendorong kea rah dada) sehingga akan
menghasilkan diameter terkecil (Manuver Rubin)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)

Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang sehingga


menjadi bahu depan (Manuver Woodscrew)
e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara
manual/ Manuver Jacquemier)
f. Episiotomi
g. Roll over onto ‗all fours‘ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)
2. Hindari empat -P
a. Panic (Panik)
b. Pulling (Menarik)
c. Pushing (Mendorong)
d. Pivot

Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka
dapat dilakukan:
1. Manuver Zavanelli
2. Kleidotomi
3. Simfisiotomi

The American College of Obstetricians and Gynecologists (1991)


merekomendasikan langkah-langkah berikut ini, urut-urutannya bergantung
pada pengalaman dan pilihan pribadi masing-masing operator:
1. Panggil bantuan—mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak.
Pada saat ini dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan
kandung kemih bila penuh.
2. Lakukan episiotomi luas (mediolateral atau episioproktotomi) untuk

21
memperluas ruangan di posterior.
3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter
karena alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk
melakukan penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan
pada kepala janin.
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi
satu tungkai dan memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.
Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus
distosia bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut
dapat dicoba:
5. Manuver corkscrew Woods
6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang
dalam posisi ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus
ketika manuver lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini
adalah frakturklavikula atau humerus depan dengan sengaja dan manuver
Zavanelli.
The American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) meninjau
penelitian-penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based
yang dikeluarkan oleh the United States Preventive Services Task Force.
Hasilnya menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti-bukti terbaru sejalan
dengan pandangan bahwa:
1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah
karena tidak ada metode yang akurat untuk mengidentifikasi janin mana
yang akan mengalami komplikasi ini.
2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki
akurasi yang terbatas.
3. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya
makrosomia bukan merupakan strategi yang beralasan.
4. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik
dengan perkiraan berat lahir janin lebih dari 5000 g atau wanita diabetik
yang berat lahir janinnya diperkirakan akan melebihi 4500 gram.

22
Daftar Pustaka

1. Allen, Robert H & Edith D Gurewitsch 2010. Shoulder dystocia.


http://emedicine.medscape.com/article/1602970-overview
2. Cluver CA & GJ Hofmeyr 2009. Shoulder dystocia: An update and reviewof
new techniques. SAJOG volume 15 No. 3.
3. Gary Cuningham et al.2005. Distosia Bahu. Dalam: Obstetri William Edisi
21. Jakarta: EGC.Hal 505-10
4. Iwan Kurnia, 2006. Distosia Bahu. Jakarta: FKUI
5. Lerner, Henry 2004. Shoulder dystocia fact, evidence, and
conclusions. http://www.shoulderdystociainfo.com/shoulder_dystocia.htm
6. Leslee Geats. Management of Shoulder Dystocia: State of Science.
Swedish Medical Center.
7. Mir, Shylla & Abida Ahmad 2010. Review article : Shoulder dystocia. JK
Science volume 12 No.4
8. Poggi SH, Allen RH, Patel CR, Ghidini A, Pezzullo JC, Spong CY 2004.
Randomized trial of McRoberts versus lithotomy positioning to decrease
the force that is applied to the fetus during delivery. Am J Obstet
Gynecol. Sep 2004;191(3):874-8.
9. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta :
PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
10. Rhamdan Gautama, 2011. Distosia Bahu. FK Universitas Mulawarman.
11. Robert H Allen et al. 2010. Shoulder Dystocia.
http://emedicine.medscape.com/article/1602970-overview#a15
12. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists 2005. Shoulder
dystocia. Guideline no. 42
13. Smeltzer, JS 2000. Shoulder dystocia, dalam Clinical maternal-fetal
medicine. New York : Parthenon Publishing 92-183

23
24

Anda mungkin juga menyukai