PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
2
B. Anatomi Panggul
3
panggul ibu. Jika garis sudut oblik tersebut tidak terbentuk maka kemungkinan
ruang panggul akan lebih kecil untuk dilewati bahu. Bagian belakang dari tulang
pubis akan membentuk tonjolan yang dapat memperangkap bahu depan.
Distosia bahu juga dapat terjadi pada bahu posterior yang terperangkap pada
tulang sacrum ibu. Hal ini merupakan penyebab yang jarang dari distosia bahu.
Tulang sacrum tidak memiliki tonjolan seperti tulang pubis sehingga kecil
kemungkinannya untuk menghalangi turunnya bahu posterior bayi.
Ukuran relatif dari kepala, bahu dan bahu bayi dibandingkan bentuk dan
ukuran pelis ibu dapat menentukan kemudahan dalam persalinan. Pada umumnya
diameter kepala merupakan diameter terbesar dibandingkan dengan diameter
lainnya. Sehingga jika kepala lahir secara mudah makabagian tubuh yang lain dapat
melewati panggul dengan mudah pula. Terdapat beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan distosia bahu yaitu ukuran axis bahu yang lebih besar dibandingkan
diameter terbesar dari kepala. Risiko tersebut lebih sering terjadi pada bayi
makrosimia atau bayi dengan ibu penderita diabetes.
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu
untuk melipat kedalam panggul (mis. Pada makrosomia) disebabkan oleh fase
aktif dan persalinan kala II yang pendek pada multipara, sehingga penurunan
kepala yang terlalu tepat akan menyebabkan bahu tidak melipat pada saat
melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu tengah panggul setelah
mengalami pemanjangan kala II sebelum bahu berhasil melipat masuk ke dalam
panggul.
C. Faktor Risiko
1. Preconceptual
a. Riwayat Distosia Bahu
Ibu yang memiliki riwayat melahirkan dengan distosia bahu
terbukti sebagai prediktor untuk kembali terjadinya distosia bahu. Hal ini
dikarenakan beberapa hal antara lain anatomi pelvis seorang wanita tidak
akan berubah selama hamil, sedangkan kecenderungan bayi kedua
akan lebih besar dibandingkan bayi sebelumnya.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa persalinan distosia bahu
akan kembali terjadi pada wanita dengan riwayat distosia bahu
sebesar 11,9% (Gherman, 2002). Risiko akan meningkat sampai 20 kali
4
lipat, sehingga beberapa dokter kandungan mengusulkan, sekali terjadi
distosia bahu, maka berikutnya harus menggunakan sesar.
b. Obesitas
Berat badan ibu berkorelasi dengan kejadian distosia bahu.
Emerson (1962) menunjukkan bahwa kejadian distosia bahu pada
wanita obesitas dua kali lebih sering dibandingkan dengan wanita berat
badan normal yaitu sebesar 1,78% : 0,81%. Sandmire (1988)
memperkirakan risiko relatif pafa wanita sebelum hamil dengan berat
bedan 82 kg adalah 2,3.
Akan tetapi belum jelas apakah distosia bahu merupakan efek
primer dari wanita obesitas ataupun sebagai cerminan bahwa ibu obesitas
cenderung memiliki bayi yang besar pula. Oleh karena itu, masih perlu
dilakukan penelitian mengenai kejadian distosia bahu dikaitkan dengan
berat badan ibu dan bayi.
c. Usia Ibu
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia ibu merupakan
salah satu risiko terjadinya distosia bahu. Tetapi beberapa analisis
mengatakan bahwa usia ibu berhubungan dengan faktor risiko lain
dalam distosia bahu meliputi ibu obesitas dan diabetes. Bahar (1996) tidak
menemukan perbedaan kejadian distosia bahu berdasarkan umur ibu.
d. Multiparitas
Acker (1988) menyatakan bahwa sebagian besar bayi dengan
Erb Palsy dilahirkan dari seorang multipara. Data diambil dari RS Beth
Israel selama tahun 1975-1985. Akan tetapi sebagaian ahli
berpendapat bahwa bukan merupakan faktor primer dalam terjadinya
distosia bahu.
2. Ante Partum
a. Makrosomia
Makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari
4000 gram. Hal penting yang perlu diperhatikan pada bayi makrosomia
adalah laju pertumbuhan dari kepala, dada dan tubuh janin. Sampai
usia kehamilan 36-38 minggum kepala bayi secara umum tetap lebih
besar dibandingkan tubuhnya. Akan tetapi pada usia kehamilan 36-40
minggu, pertumbuhhan bahu, dada dan perut akan lebih besar
5
dibandingkan kepala bayi. Acker (1985) menyatakan bahwa bayi dengan
berat lebih dari 4500 gram, 22,6% akan mengalami distosia bahu. Lebih
dari 70% bayi yang mengalami distosia bahu memiliki berat badan lebih
dari 4000 gram.
b. Diabetes
Sandmire (1988) menemukan risiko relatif untuk distosia bahu
dari bayi dengan ibu diabetes sebesar 6,5 dibandingkan dengan ibu
nondiabetes. Ada dua alasan utama untuk korelasi ini antara diabetes dan
distosia bahu. Di tempat pertama, diabetes dalam kehamilan menunjukkan
korelasi sangat kuat dengan makrosomia. Pertumbuhan bayi diabetes tidak
hanya mewakili potensi genetik mereka dalam pertumbuhan tetapi juga
mencerminkan penurunan dari substrat glukosa ekstra pada tubuh
ibu dan bayi. Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, sifat
pertumbuhan janin berbeda pada bayi diabetes. Pertumbuhan tidak
merata antara kepala dan batang seperti pada bayi nondiabetes.
Sebaliknya, bayi dari ibu diabetes menunjukkan pola pertumbuhan
yang lebih besar pada bahu, dada, dan pertumbuhan perut. Seperti
yang diringkas Ellis dalam 1982: "Bayi dari ibu diabetes memiliki
konfigurasi tubuh yang berbeda dengan bayi dari seorang ibu nondiabetes.
Peningkatan deposisi lemak pada berbagai organ mungkin karena untuk
meningkatkan sekresi insulin dalam menanggapi hiperglikemia."
c. Berat Badan Ibu
Data yang menghubungkan berat badan ibu dengan berat lahir
janin masih kontroversial. Abrams (1995) dan Langhoff-Roos (1987)
keduanya menunjukkan bahwa total berat badan ibu secara signifikan
berkorelasi dengan kelahiran bayi berat badan. Dawes (1991) tidak bisa
mengkonfirmasi hal tersebut. Tidak ada perbedaan jelas dalam korelasi
antara kenaikan berat badan ibu dan berat badan lahir.
6
kenaikan berat badan pada trimester kedua sebagai faktor utama
sedangkan yang lain telah menemukan bahwa kenaikan
berat badan pada trimester terakhir adalah faktor yang paling penting.
d. Jenis Kelamin Bayi
Terdapat sedikit data yang menghubungkan jenis kelamin dengan
janin makrosomia dan distosia bahu. Meskipun pada bayi laki-laki rata-
rata sedikit lebih berat daripada perempuan, tidak ada data yang
menunjukkan jumlah signifikan kejadian makrosomia lebih tinggi pada
bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan.
Resnick 1980 menyebutkan jenis kelamin janin sebagai faktor
potensi tetapi tidak menyediakan data untuk mendukung klaimnya. El
Madany (1990) menunjukkan bahwa 59,2% bayi mengalami distosia bahu
adalah laki-laki, data tersebut signifikan secara statistik tetapi tidak
bernilai sebagai prediktor klinis.
e. Bayi Serotinus
Meskipun pertumbuhan janin melambat dalam beberapa minggu
terakhir kehamilan, masih terdapat beberapa pertumbuhan terus selama
kehamilan. Jadi ketika bayi tetap dalam rahim, akan semakin besar
bayi dan akan semakin besar risiko distosia bahu.
3. Intra Partum
a. Instrumen Persalinan
Beberapa studi telah dengan jelas menunjukkan bahwa persalinan
yang berakhir pada instrumen yaitu vakum atau forsep
menunjukkan tingkat lebih tinggi distosia bahu pada setiap kelompok
berat badan janin. Dengan demikian jelas bahwa persalinan dengan
instrumen memiliki risiko tinggi terjadi distosia bahu dan cedera pleksus
brakialis. Ini juga mungkin bahwa ketidakmampuan ibu untuk
mendorong bayi keluar tanpa bantuan adalah karena janin makrosomia
atau distribusi lemak antara kepala, dada, bahu, dan perut bayi yang
merupakan faktor risiko utama untuk distosia bahu.
b. Pengalaman Penolong Persalinan
Sejak cara mengatasi yang aman dari distosia bahu melibatkan
manuver spesifik kandungan dan karena distosia bahu relatif jarang
terjadi, akan terlihat praktisi yang lebih berpengalaman memiliki hasil
7
lebih baik dalam situasi ini. Namun data tidak mendukung keyakinan ini.
Acker (1988) melakukan penelitian tentang hubungan antara pengalaman
dokter dan kejadian distosia bahu. Dalam penelitiannya dikemukakan
bahwa jumlah Erb palsy yang dikarenakan distosia bahu tidak bervariasi
antara dokter ataupun dokter yang sedang menjalani pendidikan. Sebagian
besar dokter tidak mendapatkan keahlian dan kepercayaan diri untuk
mengatasi distosia bahu karena insidensi nya yang jarang.
D. Tanda Klinis
8
Gambar 3. Turtle Sign
9
brakhialis dapat mendahului pelahiran itu sendiri dan dapat terjadi
bahkan sebelum persalinan.
b. Fraktur Klavikula
Cedera kedua yang sering terjadi adalah fraktur klavikula.
Insidensinya mecapai 10% dari semua kelahiran dengan distosia
bahu. Jika bahu dan dada bayi lebih besar dibandingkan panggul ibu,
10
tekanan yang signifikan terjadi untuk mengeluarkan kepala bayi.
Pada beberapa bayi, tekanan tersebut dapat menyebabkan fraktur
klavikula, hal ini dapat mengurangi diameter dada dan bahu agar
dapat dilahirkan. Secara tidak langsung, kejadin tersebut dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya cedera pleksus brakhialis.
Fraktur klavikula terjadi pada 0,3% kelahiran. Fraktur klavikula
relatif sering terjadi dan telah didiagnosis pada 0,4% bayi yang
dilahirkan per vaginam di Parkland Hospital (Roberts et al, 1995).
Fraktur jenis ini, meski terkadang dihubungkan dengan distosia
bahu, sering terjadi tanpa kejadian klinis apapun yang mencurigakan.
Distosia bahu meningkatkan risiko sampai dengan 30 kali lipat
terjadinya fraktur klavikula. Akan tetapi, sekitar 75% kasus fraktur
klavikula tidak berhubungan dengan distosia bahu. Para peneliti
menyimpulkan bahwa fraktur klavikula tersendiri tidak dapat dihindari
dan diramalkan serta tidak memiliki konsekuensi klinis apapun (Chez
et al, 1994; Roberts et al, 1995).
c. Fraktur Humerus
Fraktur humerus terjadi kira-kira 4% dari bayi yang lahir dengan
distosia bahu. Fraktur humerus dapat sembuh dengan cepat sehingga
11
d. Kontusio
Kontusio selama persalinan dengan distosia bahu dapat
terjadi, bahkan pada persalinan normal. Tekanan yang digunakan
untuk melahirkan tangan dan tekanan oleh tulang pubis dapat
menyebabkannya.
e. Asfiksia Bayi
Komplikasi distosia bahu yang paling ditakuti adalah asfiksia
bayi. Dalam beberapa percobaan pada binatang dan penelitian
retrospektif, dinyatakan bahwa berhentinya suplai aliran darah dari
tali pusat ke bayi (tali pusat putus atau rupture uteri), jika bayi tidak
dilahirkan dalam waktu lima sampai sepuluh menit maka akan
terjadi kerusakan saraf ireversibel atau kematian. Wood, yang
dikutip dalam artikelnya pada tahun 1993, menyatakan bahwa
ketika melahirkan kepala dan tubuh bayu, pH arteri umbilikus
turun sebesar 0,04 unit per menit. Ini berarti bahwadalam lima
menit setelah melahirkan kepala, pH bayi dapat turun dari 7,2
sampai ke level 7,0 yang didefinisikan sebagai asfiksia. Setelah 10
menit, pH akan turun kembali menjadi 6,8. Ouzounian (1998)
melaporkan bahwa dari 39 bayi yang dilahirkan dengan distosia
bahu, 15 diantaranya mengalami kerusakan otak dengan waktu rata-
rata melahirkan kepala ke bahu dalam waktu 10,6 menit. Sedangkan
24 bayi yang lahir dengan distosia bahu tanpa kerusakan otak dapat
melahirkan kepala ke bahu bayu dalam rata-rata waktu 4,3 menit.
Alasan terjadinya asidosis dan asfiksia selama persalinan
dengan distosia bahu adalah ketika kepala lahir, tali pusat akan
sangat terkomptesi antara tubuh bayi dengan jalan lahir ibu. Hal
ini akan membuat suplai darah ke bayi menurun atau terhenti.
Jika tekanan tersebut tidak segera dibebaskan secara cepat,
konsekuensinya adalah aliran oksigen ke bayi akan menurun.
12
2. Ibu
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu pada persalinan dengan
distosia bahu adalah kehilangan darah yang cukup banyak karena
laserasi pada vagina dan vulva. Perdarahan dapat terlihat selama
persalinan ataupun pada masa post partum. Hal itu dapat dikarenakan
laserasi ataupun atonia yang terjadi. Ruptur uteri pernah dilaporkan
terjadi pada persalinan dengan distosia bahu.
Tekanan langsung pada vesika urinaria oleh bahu depan ketika
distosia bahu dapat menyebabkan atonia vesika urinaria yang biasanya
bersifat sementara. Simfisis pubis dapat terpisah ataupun dapat terjadi
kerusakan pada nervus cutaneus femoralis dikarenakan hiperrefleksi
yang berlebihan dalam usaha mengeluarkan bahu.
F. Penatalaksanaan
13
yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu.
2. Manuver McRobert
Manuver ini ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai
sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan
penggunaannya di UniversitasTexas di Houston. Manuver ini terdiri
atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris
dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan
14
rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri
radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan
pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra lumbal disertai dengan
rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta
pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak
memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke arah kepala
cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan rekan
(1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di
laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini
mampu mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin. Jika
digabungkan dengan manuver penekanan bahu diperkirakan dapat
mengatasi distosia bahu sampai dengan 50-60%.
15
3. Manuver Wood Screw
Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang
4. Manuver Jacquemier
Penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai
dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum
pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter oblik panggul
yang diikuti pelahiran bahu depan.
16
Gambar 9. Manuver Jacquemier
5. Manuver Zavanelli
Manuver Zavanelli dilakukan dengan mengembalikan kepala ke
dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian
pertama dari manuver ini adalah mengembalikan kepala ke posisi
oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar
dari posisi tersebut.
Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan
mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran
secara sesar. Terbutaline dapat diberikan untuk menghasilkan relaksasi
uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang
menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil pada 91 persen
kasus presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya kepala
pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada
keadaan- keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli,
terdapat delapan kasus kematian neonatal, enam kasus lahir mati,
dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah
dilaporkan.
17
Gambar 10. Manuver Zavanelli
6. Manuver Rubin
18
diameter miring dari panggul. Keuntungan dari metode ini adalah
penolong dapat mengetahui orientasi bahu yang sebernarnya. Jika rotasi
dapat tercapai, bahu depan akan muncul dari bawah simfisis dengan atau
tanpa traksi tambahan.
7. Manuver Gaskin
Manuver Gaskin atau All Four Maneuver diperkenalkan oleh Ina May
Gaskin pada tahun 1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia bahu
dengan menempatkat ibu dalam posisi merangkak. Brunner (1998) melaporkan
bahwa 68 kasus (82%) dari 82 kasus persalinan dengan distosia bahu
berhasil diatasi hanya dengan menggunakan manuver Gaskin. Waktu yang
diperlukan untuk memposisikan ibu dalam manuver ini dan melahirkan
secara lengkap dilaporkan mencapai dua sampai dengan tiga menit.
Namun, tidak ada laporan secara mendetail tentang efek terhadap ibu dan
bayi yang menjalani manuver ini.
Secara teoritis, posisi merangkak dalam manuver ini akan membuat
penambahan luas diameter sagital panggul sebesar satu sampai dua sentimetr
karena pergerakan pada sendi sakroiliaka. Posisi litotomi dapat membatasi
gerakan dari sakrum. Manfaat tambahan dapat diperoleh dari gerakan saat
perubahan posisi dari litotomi ke posisi merangkak yang kemungkinan
19
dapat membantu membebaskan bahu yang terperangkap.
8. Penekanan Fundus
Penekanan fundus ke arah jalan lahir dapat dilakukan namun dianjurkan
dikombinasi dengan manuver lain. Penekanan kuat pada fundus pada saat yang
salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dkk
(1987) melaporkan penekanan fundus tanpa disertai manuver lain akan
menyebabkan komplikasi sebesar 77% dan erat dihubungkan dengan kerusakan
ortopedik dan neurologik pada bayi.
9. Kleidotomi
Kleidotomi merupakan pemotongan tulang klavikula dengan gunting atau
benda tajam lain untuk memperpendek diameter biacromial. Tindakan ini
dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Biasanya dilakukan pada bayi
yang sudah mati.
10. Simfisiotomi
Simfisiotomi juga dilakukan jika manuver lain gagal dilakukan. Akan tetapi,
beberapa penelitian mengungkapkan peningkatan morbiditas ibu dan
kemungkinan terjadinya cedera traktur urinarius.
20
Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada
umumnya akan teratasi dengan manuver ini pada 70% kasus.
c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan)
Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam
dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek
bahu belakang (yaitu dengan mendorong kea rah dada) sehingga akan
menghasilkan diameter terkecil (Manuver Rubin)
d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang)
Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka
dapat dilakukan:
1. Manuver Zavanelli
2. Kleidotomi
3. Simfisiotomi
21
memperluas ruangan di posterior.
3. Penekanan suprapubik digunakan pada saat awal oleh banyak dokter
karena alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk
melakukan penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan
pada kepala janin.
4. Manuver McRoberts memerlukan dua asisten. Tiap asisten memegangi
satu tungkai dan memfleksikannya paha ibu tajam ke arah abdomen.
Manuver-manuver ini biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus
distosia bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut
dapat dicoba:
5. Manuver corkscrew Woods
6. Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi bila lengan belakang
dalam posisi ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
7. Teknik-teknik lain sebaiknya hanya dilakukan pada kasus-kasus
ketika manuver lain telah gagal. Yang termasuk dalam teknik ini
adalah frakturklavikula atau humerus depan dengan sengaja dan manuver
Zavanelli.
The American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) meninjau
penelitian-penelitian yang diklasifikasikan menurut metode evidence-based
yang dikeluarkan oleh the United States Preventive Services Task Force.
Hasilnya menyimpulkan bahwa sebagian besar bukti-bukti terbaru sejalan
dengan pandangan bahwa:
1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah
karena tidak ada metode yang akurat untuk mengidentifikasi janin mana
yang akan mengalami komplikasi ini.
2. Pengukuran ultrasonik untuk memperkirakan makrosomia memiliki
akurasi yang terbatas.
3. Seksio sesarea elektif yang didasarkan atas kecurigaan adanya
makrosomia bukan merupakan strategi yang beralasan.
4. Seksio sesarea elektif dapat dibenarkan pada wanita non-diabetik
dengan perkiraan berat lahir janin lebih dari 5000 g atau wanita diabetik
yang berat lahir janinnya diperkirakan akan melebihi 4500 gram.
22
Daftar Pustaka
23
24