Ulumul Hadist
Ulumul Hadist
ULUMUL HADIST
Disusun oleh:
Kelompok 6
Wardin asa Suci Mega Sari
Ardiansyah Johari
Hasrullah
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI
2017
1
KATA PENGANTAR
penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hadist merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-qur`an. Bila dilihat dari
sudut periwayatannya jelas berbeda antara al-qur`an dengan hadist. Untuk al-
qur`an semua periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan
hadist sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung
secara aahaad. Berawal dari hal tersebut sehingga timbul berbagai pendapat dalam
menilai kualitas sebuah hadis sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang
akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan tetapi sebaliknya justru
perpecahan. Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis
yang sering dijumpai tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadis yang
di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk dijadikan landasan
hidup. Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis tertarik untuk memuat
pembagian hadis yang selama ini beredar terutama hadis ditinjau dari segi
kuantitas dan kualitas sanadnya, mudah-mudahan dapat mengurangi tingkat
kekeliruan dalam memahami hadist, baik dari segi kuantitas maupun kualitas
sanadnya. Penulis menyadari didalam makalah sangat jauh dari kesempurnaan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian sangat diharapkan
sebagai kontribusi merevisi makalah ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dengan uraian latar belakang di atas, maka penulis ingin menyajikan
makalah yang berkisar pada permasalahan hadis ditinjau dari kualitasnya yang
bertitik tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
2. Bagaimanakah hadits ditinjau dari segi kualitasnya?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui ada klasifikasi hadist bila ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas
sanadnya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penelitian rawi-rawi
hadist mutawatir tentang keadilan dan kedhabitannya tidak diperlukan lagi, karena
kuantitas atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin
untuk tidak bersepakat untuk berbohong.
d. Macam-macam Hadits Mutawatir
Para ulama hadis membagi hadis mutawatir menjadi tiga macam,
yakni mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawidan mutawatir amali.
1. Mutawatir Lafzhi
2. Mutawatir Ma`nawi
3. Mutawatir Amali
2. Hadis Ãhãd
a. Pengertian
Ãhãd merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau tunggal.
Sedangkan menurut istilah menurut ulama Hadis Aahaad adalah
الخبر الذي لم تبلغ نقلته فى ألكثرة مبلغ الخبرالمتواتر سوا ٌء كان المخبر واحدا أواثنين أو
ثالثة أو أربعة أو جمسة إلى غير ذلك من األعدادالّتي التشعر بأنّ اخبر دخل بها في
.خبرالمتواتر
“Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar
mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya
dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan
bilangan tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”.
Dengan pengertian di atas sehingga hadis aahaad member faedah ilmu
Nazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu,
apakah jumlah perawi yang sedikit memiliki sifat-sifat kreadibilitas yang mampu
dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadis inilah yang memerlukan penelitian
secara cermat apakah apakah para perawinya adil atau tidak, dhabith atau tidak,
sanadnyabersambung atau tidak, sehingga dapat menentukan tingkat kualitas
suatu hadis apakah ia shahih, hasan atau dha`if.
b. Pembagian Hadist Ahad
5
Hadis Aahaad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, `Aziz dan
Gharib.
a. Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan.
Dalam istilah, hadist masyhur terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Masyhur Ishthilaahi.
b. Hadist `Aziz
`Aziz secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti kuat. Hadist
diberi nama`aziz karena sedikit atau langka adanya.
6
Penduduk negeri atau penduduk daerah secara tersendiri meriwayatkan hadis
(muqayyad bi al-balad).
7
Kata illat bentuk jamaknya adalah Ilal atau Al-Ilal yang menurut bahasa
berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini
yang disebut hadis ber-illat adalah hadis-hadis yang mengandung cacat atau
penyakit.
b. Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya
kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perawinya. Berdasarkan martabat seperti
ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
a) Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi
derajatnya. Seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’
mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
b) Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang
tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari
Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
c) Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya
lebih rendah dari tingkatan kedua. Sepert iperiwayatan Suhail bin Abu Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan
Muslim,
e).Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f). Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g) Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti IbnuKhuzaimah, Ibnu
Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai
berikut:
8
a) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
b) Shahih Muslim (w. 261 H).
c) ShahihIbnuKhuzaimah (w. 311 H).
d) Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H).
e) Mustadrok Al-hakim (w. 405).
f) ShahihIbn As-Sakan.
g) Shahih Al-Abani.
c. Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga
berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa
ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadisdha’if, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari
definisinya yaitu:
a) definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah
mashurrawi-rawisanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan
yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukaha’
b) definisiIbnuHajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh
yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambungsanadnya, tidak cacat, dan tidak
syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahihli-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-
annya maka dia adalah hadis hasan lidszatihi.
9
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis
hasan yang telah ditentukan.pengertian hadis hasanli-dzatih sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya.
dengan serta merta dia pergi menuju musuh dengan membawa pedangnya terus
bertempur hingga gugur.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh,
kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.
2. Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai
dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama
hadis, ulama ushulfiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
10
Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria persyaratan
yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti perawi harus
bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut
matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan alquran dan lain-lain .
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan
hujjah dan tidak wajib di amalkan, sedangkan maqbul wajib dijadikan hujjah dan
wajib di amalkan. Secara umum Hadis mardud adalah hadis dha’if (lemah) .
a. Hadis Dho`if
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits
yang lemah lawan dari Qawi (yang kuat).Para ulama memiliki dugaan kecil
bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits
tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan
batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaifialah hadits yang tidak
memuat atau menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun
sifat-sifat hadits hasan”.
1. Para ulama berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali,
baik berkaitan masalah aqidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib
maupun dalam fadha’ilula’mal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-imam
besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga
dikuti oleh IbnuArabi ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-
Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
2. Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan
memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam
permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I, Malik,
11
dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis
dhaif kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-ulama terdahulu.
3. Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif
dengan catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif
khusus dalam targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan
fadilah-fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta
haram, mereka tidak membolehkannya.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadilah amal,
menyaratkan kebolehan mengambilnya itu dengan tiga syarat :
a) Kelemahan hadis itu tidak seberapa b) Apa yang ditunjukan hadis itu juga
ditunjukan oleh dasar lain yang dapat dipegangi, dengan arti bahwa
memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang suda
dibenarkan.
c) Jangan diyakini dikalah menggunakannya bahwa hadist itu benar dari Nabi. Ia
hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan
nash sama sekali.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan hadis ditinjau
dari kuantitas dan kualitas sanadnya sebagai berikut :
1. Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad
2. Hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu: mutawatir lafzhi,
mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali
3. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu: masyhur, ‘azis, gharib
(gharib mutlak dan gharib nisbi)
4. Hadits ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih,
hadits hasan, dan hadits dha’if.
5. Sedangkan pengklasifikasian hadits dha’if berdasarkan cacat pada ke-adil-an
dan ke-dhabit-an rawi dibagi antara lain: hadits maudhu’, hadits matruk, hadits
munkar, hadits syadz. Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, terbagi
menjadi:hadits mu’allaq, hadits mu’dhal, hadits mursal, hadits munqathi, hadits
mudallas.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiaanya kami selaku
manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami
mengharapkan kritik maupun saran dari Dosen pembimbing bagi kami agar kami
tidak melakaukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan
datang .
13
DAFTAR PUSTAKA
Munziersuparca,ilmu hadis,PT.roja,Jakarta,1993.cet.ke-6
14