Anda di halaman 1dari 10

PSIKOLOGI ADVOKASI

“psikologi forensik”
diampu oleh: RR. Dwi Astuti, S. Psi M. Psi

DI SUSUN OLEH :

Agung Nugroho (201560027)


Anindhia Putri (201560015)
Jamalludin Al Afghani (201560035)
Lutfia Ayu (2015600)
Fauziah Risqi Amini (201560004)
Ainan Arum Fluorida (201560030)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2017
PSIKOLOGI FORENSIK

a. PENGERTIAN

Secara umum psikologi forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni
psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk
menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia,
psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan,
psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan
organisasi. Pada kenyataannya di Amerika Serikat, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50
bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering
dikenal sebagai psikologi forensik.

Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam
sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa.
Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan
klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam
berbagai macam kasus hukum.

Sundberg et,al (2007) memberikan defenisi psikologi ferensik sebagai kajian ilmiah
psikologi termasuk isu – isu klinis yang diaplikasikan pada beberapa bagian sistem hukum atau
sistem peradilan.

Committee on ethical guidelines for forensic psychologists (1991), psikologi adalah semua
pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat proses
hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan forensik, dan badan badan adminitratif,
judikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas judisial. Layanana psikologi
forensik pada Psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam
hukum.

Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi
luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga
menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI
dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).

b. SEJARAH PSIKOLOGI FORENSIK

Pada tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan
orang --- suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang
ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun
1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum. Kemudian John
Watson juga mengemukakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.

Pada tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness Stand.
Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada insan hukum terhadap
gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim,
dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat
berfungsi dengan baik hanyalah common sense.

Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern


University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan
tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap
Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh telah membesar-
besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan
pendapat yang terjadi di kalangan para psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan
antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum. Tentu saja “pengadilan” itu menempatkan
Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.

Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun
kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi,
tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya.
Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap menggunakan setiap cara yang oleh para
psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat, dan praktis.

Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun
1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada ilmu-ilmu sosial
dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education. Kemudian, pada tahun 1962 Hakim
Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court of Appeals untuk the District of Columhia Circuit,
untuk pertama kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan
kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.

Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum
termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu, mereka juga berperan
sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi
forensik telah tiba pada suatu titik di mana terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal,
program pelatihan interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal
dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.

c. SIAPA YANG MENGKAJI PSIKOLOGI FORENSIK?

Dilihat dari tugas dan tangungjawabnya, individu yang berkecimpung pada psikologi
forensik dapat dibedakan menjadi :

1. Ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-
aspek perilaku manusia dalam proses hukum.

Pada dasarnya hampir semua penelitian dalam bidang psikologi itu relevan dengan
beberapa isu forensik. misalnya, penelitian tentang komponen genetik schizophrenia mungkin
sangat penting dalam sidang pengadilan tentang kompetensi mental. Hakikat sikap prejudice atau
elemen-elemen dasar proses persuasi juga penting bagi pengacara. Penelitian konsumen mungkin
mempunyai aplikasi langsung pada kasus tuntutan pertanggungjawaban produk. Dan akhir-akhir
ini, penelitian tentang atribusi dan hubungan interpersonal telah diaplikasikan pada undang-
undang tentang penggeledahan dan perampasan. Akan tetapi, beberapa bidang penelitian telah
menjadi sangat dikaitkan dengan psikologi forensik, dan dalam bagian ini akan dibahas dua
bidang, yaitu kesaksian saksi mata dan perilaku juri.

Kesaksian Saksi Mata. Kesaksian saksi mata sering tidak dapat diandalkan dan tidak
akurat, sehingga sering kali orang yang tidak bersalah dinyatakan bersalah atau sebaliknya.
Penelitian menunjukkan bahwa ingatan saksi mata dapat terdistorsi dengan mudah oleh informasi
yang diperolehnya kemudian.
Di samping itu, orang sering kali menarik inferensi berdasarkan ekspektasinya sendiri.
Juga, seorang saksi mata kecelakaan atau kejahatan hampir selalu ditanyai sebelum sidang
pengadilan. Dalam tanya/jawab itu, mungkin ada suatu ucapan yang dapat mendistorsi ingatan
saksi terhadap kejadian sesungguhnya. Peranan psikolog forensik adalah membantu
mengidentifikasi kondisi dalam suatu kasus tertentu yang dapat menghasilkan distorsi dalam
kesaksian.

Pengalaman menunjukkan bahwa para saksi mata sering kali tidak dapat sepakat di antara
mereka sendiri. Mereka berbeda dalam deskripsinya tentang tinggi, berat, warna rambut, pakaian,
dan bahkan juga ras. Menanggapi keprihatinan tentang kesalahan identifikasi saksi mata ini, the
American Psychology-Law Society (Divisi 41 dari the American Psychological Association) telah
membentuk sebuah subkomite untuk mengkaji evidensi ilmiah dalam bidang ini dan merumuskan
rekomendasi.

Secara ringkas, subkomite tersebut merumuskan rekomendasi berikut:

a. Orang yang melaksanakan penjejeran (lineup) atau penayangan foto (photo-spread) dalam
sebuah kasus seyogyanya tidak mengetahui identitas orang yang dicurigai.

b. Saksi mata seyogyanya diberi tahu bahwa seseorang yang dicurigai dalam kasus tersebut
mungkin ada atau mungkin juga tidak ada di dalam lineup atau photo-spread dan bahwa orang
yang melakukan lineup atau photo-spread itu tidak tahu yang mana orangnya (kalau ada) yang
dicurigai dalam kasus itu.

c. Orang yang dicurigai di dalam lineup atau photo-spread seyogyanya tidak tampil beda (dalam
penampilannya atau pakaiannya) dari orang-orang lain.

d. Keyakinan saksi mata tentang identifikasinya seyogyanya diakses pada saat identifikasi
dilakukan dan sebelum mendapat suatu feedback.

Dengan demikian, diharapkan bahwa kesalahan identifikasi oleh saksi mata akan
diminimalkan.

Perilaku Juri. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui bagaimana anggota juri
memahami bukti dan memproses informasi, bagaimana mereka merespon instruksi dari meja
pengadilan, dan bagaimana mereka bereaksi terhadap jenis argumen tertentu. Anggota juri sering
bingung dengan instruksi dari hakim. Satu penelitian menunjukkan bahwa bila pola instruksi yang
diberikan kepada juri itu disederhanakan, misalnya dengan menggunakan kalimat aktif, pesannya
pendek dan singkat, istilah-istilah hukum yang abstrak lebih dijelaskan, maka mereka mampu
menerapkan hukum secara lebih akurat.

Bahkan kondisi yang sangat sederhana seperti urutan instruksi yang diberikan oleh hakim
dapat berdampak pada juri. Misalnya, satu penelitian menemukan bahwa pemberian informasi
kepada juri tentang persyaratan bukti sebelum menyajikan bukti, bukannya sesudahnya, akan
berbeda dampaknya. Anggota juri dengan kondisi yang disebutkan terdahulu cenderung akan lebih
berpegang pada diktum praduga tak bersalah daripada mereka yang dihadapkan pada kondisi yang
disebutkan kemudian.

Terdapat juga banyak kondisi yang dapat membuat bias keputusan juri. Misalnya, seorang
individu mungkin dihadapkan pada beberapa dakwaan kejahatan. Kadang-kadang kejahatan-
kejahatan ini digabungkan menjadi satu dakwaan; dan dalam kasus lain, terdakwa mungkin akan
disidangkan secara terpisah untuk masing-masing kejahatan itu. Penelitian menunjukkan bahwa
bila beberapa kejahatan itu digabungkan menjadi satu dakwaan, maka juri cenderung mengusulkan
vonis yang lebih berat.

2. Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan


permasalahan hukum.

Berikut akan dipaparkan praktisi psikolog forensik, karena asosiasi psikologi forensik akan
lebih banyak bergerak di praktisi, walau tidak melupakan pengembangan keilmuannya.

Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya untuk membantu


penyelesaian masalah hukum. Di Indonesia, profesi psikolog forensik masih kurang dikenal, baik
di kalangan psikolog maupun di kalangan aparat hukum.

Tugas psikolog forensik pada proses peradilan pidana adalah membantu pada saat
pemeriksaan di kepolisian, di kejaksaan, di pengadilan maupun ketika terpidana berada di lembaga
pemasyarakatan. Gerak psikolog dalam peradilan terbatas dibanding dengan ahli hukum. Psikolog
dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi ahli (UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP).
Oleh karena itu diperlukan promosi kepada bidang hukum akan pentingnya psikologi dalam
permasalahan hukum, sehingga dalam kasus-kasus pidana, ahli hukum mengundang psikologi.
Tanpa undangan aparat hukum, maka psikologi akan tetap berada di luar sistem dan kebanyakan
menjadi ilmuwan, dan bukan sebagai praktisi psikolog forensik.

Inti kompetensi psikolog adalah asesmen, intervensi, dan prevensi. Yang membedakan
psikolog forensik dengan psikolog lainnya adalah konteks tempat ia bekerja. Psikolog forensik
menerapkan kompetensi asesmen, intervensi, dan prevensinya dalam konteks permasalahan
hukum.

Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik di setiap tahap proses peradilan
pidana.

Kepolisian

Pada pelaku. Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang
digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan
kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan
kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat
digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam
Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik
interogasi yang menggunakan prinsip psikologi.

Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat
membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus
teroris dapat disusun criminal profile dari teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di
kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya
seumur hidup).

Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk
memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.

Pada Korban. Beberapa kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan
kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian
informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dibutuhkan
keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian korban perkosaan pada anak
yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005).
Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Seorang psikolog dapat menyusun
otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh
almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi
psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup
almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban
dibunuh atau bunuh diri.

Pada saksi. Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena
baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan
hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak
penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan
teknik investigasi saksi yang tepat antara lain teknik hipnosis dan wawancara kognitif.

Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan
yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan
memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya
kembali.

Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward
Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan
meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks,
dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 %
lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat
melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.

Pengadilan

Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli,
bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anakseperti perkosaan,dan penculikan
anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan
psikopat).

Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait
dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum
persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan
ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.

Lembaga Pemasyarakatan

Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana
maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara
baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait
dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan
dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Psikolog forensik
dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.

Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu
menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog
forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi
perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang
lebih spesifik dibanding psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi
(psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang
khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman
psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman
psikologi perkembangan.

Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan
kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog
forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan
forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada
penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja
psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi
psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu
APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia).
DAFTAR PUSTAKA

Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Baron, R.A., Byrne, D. 1991. Social Psychology – Understanding Human Interaction. Singapore
: Allyn & Bacon.

Bartol, C.R.; Bartol, A.M. 1994. Psychology and Law. Pasicif Grove, California : Brooks/Cole
Publishing Company

Brigham, J.C. 1991. Social Psychology . New York : Harper & Collins.

Costanzo, M. 2004. Psychology Applied to Law. Singapore : Thomson Wadsworth.

Departemen Kehakiman Republik Indonesia. 1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang


Hukum Acara Pidana. Jakarta : Yayasan Pengayoman.

Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The Cognitive Interview :
Enhancing the Recollection of Actual Victims & Witnesses of Crime. Journal of Applied
Psychology, 74 (5), 722 – 727. Kapardis, A. 1997. Psychology and Law. Cambridge : Cambridge
University Press.

Mantwill, M., Kohnken, G., Aschermann, E. 1995. Effect of Cognitive Interview on The Recall of
Familiar and Unfamiliar Events. Journal of Applied Psychology , Vol. 80 (1), 68 – 78.

Milne, R. & Bull, R. 2000. Investigative Interviewing. Psychology and Practice. Singapore : John
Wiley & Sons. LTD

Moeljatno. 1982. Azas-azas Hukum Pidana. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Putwain & Sammons, 2002. Psychology and Crime. New York : Routledge Sanders, G.S., &
Simmons, W.L. 1983. Use of Hypnosis to Enhance Eyewitness Testimony : Does it Work ? Journal
of Applied Psychology, vol. 68 (1), 70-77.

robowati, Y. 2005. Dibalik Putusan Hakim. Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara Pidana.
Surabaya : Srikandi.

Solso, R.L. 1991. Cognitive Psychology. Singapore : Allyn and Bacon.

Wrightsman, L.S. 2001. Forensic Psychology. Singapore : Wadworth Thomson Learning.

Anda mungkin juga menyukai